Tuesday, February 18, 2014



2nd Class review
Masanya apa...??
Masanya apa..?? yah sering kali saya memikirkan hal itu, melihat realitas yang terjadi sekarang, orang bangga mengikuti gaya orang lain, bangga mengadopsi budaya luar dan membuang budaya sendiri, bangga dengan terus menjadi konsumen tanpa menginginkan menjadi produsen, orang bangga dengan plagiarisme-plagiarisme karya orang lain. Tidak mau menciptakan karya sendiri, tidak mempunyai identitas yang seharusnya menjadi kebanggannya. Idealitas yang sudah hilang, sikap pragmatis yang selalu diunggul-unggulkan. Masanya apa??
Masa dimana orang-orang sangat dimanjakan dengan kehidupan yang serba mudah, akses informasi yang cepat, yah.. dengan teknologi yang modern. Seharusnya, orang mampu berlomba-lomba untuk menciptakan peradaban baru, sehingga akan memajukan kualitas diri dan negaranya. Tapi realitasnya terbalik, dengan serba maju nya teknologi orang menjadi malas, berpikir pragmatis, tidak mau mengembangkan kualitasnya.
Menurut Al wasilah dalam bukunya Rekayasa Literasi menyatakan “kini adalah zaman edan, pendidikan dasar tidak cukup mengandalkan kemampuan membaca dan menulis”. orang yang bersikap pragmatis tidak mau mengembangkan kualitasnya, sehingga mereka hanya berpikir bahwa orang yang sudah bisa membaca dan menulis itu sudah cukup, padahal zaman itu terus berkembang, jika kita tidak mengikuti perkembangan zaman, kita akan terbunuh oleh perkembangan itu, seperti menurut Mr. Lala Bumela dalam ceramah kelasnya bahwa “seorang harus melakukan evolusi terhadap kehidupannya, jika tidak melakukan evolusi dia gagal dengan kehidupannya.
Kemajuan teknologi yang terus berkembang telah menciptakan peradaban yang modern. Seperti menurut Hawe setiawan dalam Republika.co.id (14/12/07) “kegiatan membaca dan menulis juga berbicara, menyimak, dan menonton berlangsung secara serentak dan interaktif; berbalas sandek, mengisi dan mengomentari status dalam jejaring sosial, menyimak buku audio, dan sebagainya. Kita membaca sekaligus menulis”. Secara generalnya tanpa disadari orang telah melakukan budaya Literasi, dalam dunia maya misalnya, sangat mudah untuk mendapatkan informasi yang kita butuhkan melalui akses internet, yang bisa di akses dimana saja dan kapan saja. Bukankah itu sangat menguntungkan, kita tidak perlu lagi membawa buku banyak yang tebalnya ratusan halaman dan beratnya sampai ½ kilo. Transaksi belanja online sekarang sedang menjadi trend di masyarakat, karena kita bisa transaksi dengan jarak jauh, ini sangat memudahkan kita.
Namun, dengan kemudahan-kemudahan yang di berikan dalam kemajuan teknologi, menurut Hawe Setiawan, orang cenderung menyerap informasi sepotong-sepotong tanpa mengetahui lebih mendalam tentang satu teks, dan tidak memikirkannya dengan kritis.
Kritis adalah bagian dari literasi. Kritis yang baik adalah memberikan kritik yang akan menghasilkan kekayaan dalam karya sastra. Seperti sambal, sambal bukan makanan pokok, tetapi sambal adalah makanan pelengkap yang sangat mempengaruhi kenikmatan makan. Begitupun kritik, kritik adalah pelengkap sebuah karya sastra yang akan memperkaya keragaman sastra. Jika sambal tersebut terlalu pedas akan menyebabkan perut sakit. Juga dengan kritik, jika kritik itu hanya untuk menjatuhkan penulis, tidak akan memperkaya keragaman dan pemahaman sastra tetapi akan menyakiti karya sastra. Untuk itu kritis karya sastra sangat baik untuk kekayaan sastra.
Jika kita dihadapkan pada sebuah teks, bagi orang yang berpikir kritis atau disebut dengan “critical reading”, dia tidak akan langsung menerima teks tersebut, dia akan mempertimbangkan dengan melihat dari berbagai posisi, dia akan mencari kebenaran dari tulisan tersebut. Kemudian dia akan mencari hubungan dengan tulisan-tulisan yang lain, artinya dia akan membandingkan dengan tulisan yang lain yang berhubungan dengan tulisan tersebut.
Untuk memahami bagaimana cara mengkritisi sebuah tulisan, saya mempunyai konsep yang sederhana. Yakni:
1.     Epistemologis, dalam mengkritisi sebuah tulisan dalam bagian ini pembaca harus mencari kebenaran terhadap tulisan tersebut, kebenaran yang seperti apa? Kebenaran di sini relative karena semua karya sastra itu terpengaruh oleh background penulisnya. Jika kita membenarkan tanpa membandingkan berarti kebenaran kita itu subjektif terhadap tulisannya. Seperti seorang penulis itu berlatar belakang NU, dia akan menyajikan tulisan banyak dengan pandangan-pandangan NU nya, maka di sini semua tulisan itu adalah PEMBENARAN bukan sebuah kebenaran.
2.    Ontologis, dalam bagian ini mengkritisi tulisan dengan kita mencari tahu hakikat dari tulisan itu, contohnya kita akan mengkritisi sebuah teks yang berjudul “kritik karya sastra”, kita harus tahu mengenai kritik itu yang seperti apa, karya itu apa, begitupun pemahaman terhadap sastra. Kita juga harus tahu background dari penulisnya, bagaimana pemahamannya terhadap kritik sastra, karena background penulis akan mempengaruhi tulisannya. Jika kita sudah mengetahui hakikat dari tulisan itu, kita akan lebih mudah mengkritisi tulisannya.
3.    Aksiologis, mengkaji tentang nilai yang menjadi objek kritis kita, seperti nilai estetika, etis dan nilai logika. Nilai estetika yakni mengkritisi nilai-nilai keindahan sebuah teks, nilai etis yakni mengkritisi etis atau pantas tidaknya terhadap sebuah teks, dan nilai logika yakni mengkritisi masuk akal atau tidaknya teks tersebut.
Mengkritisi karya tulis adalah kerja dari critical reading, semakin banyak kritik terhadap karya sastra, semakin membangun perkembangan intelektual. Untuk itu kritik terhadap tulisan harus di ganjang mulia dari sekarang. Namun, sebelum kita mengkritisi tulisan kita harus bisa membuat karya tulis.
Menurut Mr.Lala Bumena dalam kelasnya, “menulis adalah way of knowing something, way of representing something, way of reproducting something”. Ini adalah sebuah urutan yang sistematis karena untuk menulis kita harus mengetahui dulu objek ynag akan di kaji dalam tulisan, kita bisa mendapatkan pengetahuan dengan membaca, berdiskusi. Kemudian setelah mengetahui kita mengolah dalam bentuk tulisan dengan style kita sendiri, yakni disebut dengan representing. Yang terakhir yaitu mereproduksi artinya setelah mengolah kita akan menyajikannya dengan aksen yang menjadi ciri khas sendiri.
Menurut Al Wasilah dalam rekayasa literasi, dimensi literasi adalah dilihat dari bahasanya, seperti monolingual, bilingual, dan multilingual. Jika monolingual hanya menguasai satu bahasa yakni bahas ibu, bilingual hanya menguasai bahasa indonesia dan bahasa ibu (L1). Seorang literat adalah orang yang memiliki kemampuan bahasa yang multilingual yakni bisa menulis dengan bahasa ibu, bahasa indonesia dan bahasa asing (bahasa inggris/L2), bisa menjadi critical reading dalam kemampuan bermacam bahasa. Namun, yang paling mendominasi adalah bahasa ibu, jika kita sudah menguasai bahasa ibu, kita akan dengan mudah mengugunakan bahasa asing.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kita tahu masanya apa..?? masa kita adalah masa literasi, masa dimana dihidupkan lagi sebuah karya-karya yang akan membangun sebuah peradaban baru. Objeknya adalah literasi dan subjeknya adalah diri kita, perbaiki diri dengan menanam pentingnya peningkatan literasi dalam masyarakat. Dengan tindakan yang kritis dan kritik sastra yang akan membangun karya sastra.

1 comments: