Sunday, February 23, 2014

12:50 AM
1


Pendidikan: Klonning Budaya dan Agama
By Nofi Maryana

Dalam buku yang berjudul pokoknya rekayasa literasi yang ditulis oleh prof Chaedar alwasilah (2011), seorang revolusionis literasi dari tartar sunda, yang membahas mengenai wacana kelas untuk mendorong kerukunan beragama, dijelaskan bahwa Indonesia adalah negara yang multicultural dan juga multireligion. Kedua aspek yang seharusnya menjadi aset berharga ini, justru menjadikannya boomerang bagi keharmonisan Indonesia sendiri. Budaya dan agama sejatinya adalah pemersatu bangsa namun karena faktor tertentu-konflik antar agama menjadikannya ajang perselisihan.
Ketidakharmonisan ini jelas terlihat salah satunya pada sistem pendidikan. Pendidikan di Indonesia khususnya pada pendidikan sekolah, anak-anak akan cenderung lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka yang memiliki kesamaan  dibandingkan dengan meraka yang memiliki perbedaan baik budaya atau agama. Mengapa demikian? Sejatinya karena belum tertanamnya kesadaran beragama dan berbudaya dalam sistem pendidikan Indonesia.
 Hal ini akan menjadi highlight besar dimana penanaman kesadaran akan multicultural dan juga multireligion ini perlu ditanamkan sejak dini. Jenjang pendidikan sekolah dasar merupakan ranah yang tepat untuk menanamkan segala keterampilan dasar agar dimasa depan anak tersebut siap bersosialisasi dengan dunia yang notabene tidak bersahabat ini. Dengan pembekalan keterampilan dasar ini, anak akan sadar siapa mereka, posisi mereka dalam masyarakat dan kewajiban mereka sebagai warga negara atas negaranya. Akan tetapi pembekalan keterampilan tersebut masih jauh dari sempurna karena dalam kehidupan nyata saat ini indikasi penyakit sosial sudah muncul dimana-mana.
Penyakit sosial muncul sebagai konflik yang terjadi dalam masyarakat, hal ini dikarenakan kurangnya rasa solidaritas terhadap orang lain sebab kelompok yang berbeda. Oleh karena itu pendidik disini mengambil peran khusus guna melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga negara yang demokratis dan berkarakter kuat. Untuk dapat merealisasikan tujuan ini, yang paling crusial ditanamkan sedini mungkin adalah kerukunan umat beragama, dengan wacana sipil positif  sebagai dasar program-program kreatif dan inovatif di kalangan siswa.
Wacana sipil menitikberatkan pada peran aktif anak dalam pembelajan. Disamping diajarkannaya mata pelajaran umum, siswa juga harus dibekali pengetahuan akan multikultural dan multireligion agar menghasilkan anak yang tak hanya pandai namun juga bertoleransi tinggi. Menggunakan metode pelajaran ini, siswa akan mampu mengubah pendapat berdasar mereka menjadi argumen beralasan. Mereka juga akan belajar bagaimana untuk secara efektif menghadapi lawan argumen -tidak dengan tinju dan marah- melainkan dengan proses sanggahan.
Dalam konteksnya sebagai negara multikultural, siswa berasal dari latar belakang etnis , agama dan sosial yang berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang mereka. Wajar apabila disuatu titik tertentu akan terjadi disintegrasi faham. Begitupun kasusnya dengan multireligion negara ini. Islam, kristen baik protestan ataupun khatolik, hindu, dan budha adalah agama-agama besar yang eksistensinya di Indonesia tak dapat diragukan lagi. Namun belakangan marak konflik antar etnis. Ini adalah bentuk-bentuk radikalisme yang akan mengganggu kohesi sosial tak terkecuali pendidikan. Oleh karenanya program sekolah harus dimodifikasi sedemikian mungkin agar perbedaan latar belakang budaya atau agama tak mengganggu proses pendidikan dan malah memperkaya interaksi untuk mengembangkan wacana sipil positif.
Sedikit mengkaji ke belakang, dulu konflik antar etnis semacam Sambas ( 2008 ), Ambon ( 2009 ), Papua ( 2010 )dan Singkawang ( 2010 ) ini sempat terselesaikan namun belum habis terselesaikan. Tapi setidaknya sempat terselesaikannya inilah yang perlu kita kaji. Pada masa pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur memiliki teori yang dicetuskannya sendiri yakni Pluralisnme atau toleransi. Dimana pluralisme ini memiliki keyakinan bahwa semua agama adalah benar karena memiliki satu titik tujuan yang sama yakni “Tuhan”. Dalam pemerintahannya Gus Dur tidak pernah mempersalahkan agama. Beliau menyatukan semua agama dengan payung toleransi, dan dengan semua pemikiran brilian tapi “nylenehnya”itu, beliau mampu mendamaikan seluruh agama. Alih-alih mendamaikan seluruh agama, pihak islam sendiri yang tidak setuju dengan teori tersebut. Akibatnya beliau lengser diturunkan oleh pihaknya sendiri. Padahal seiring berkembangnya jaman, pemikiran-pemikiran “nyleneh” beliau menjadi nyata. Bahkan ada istilah yang mengatakan bahwa pemikiran Gus Dur mendahului jamannya.
Pemikiran-pemikiran yang dalam arti kritis dan menyeluruh seperti ini yang mestinya ditanamkan di pendidikan saat ini. Lewat pendidikanlah pemikiran budaya dan agama tersalurkan membentuk pemahaman bahwasanya meski mereka berbeda dalam budaya maupun  agama, namun mereka dalam satu payung yakni Indonesia. Kenyataan sekarang gencar disuarakan pendidikan liberal atau liberalisasi pendidikan, pertanyaannya adalah apa sebenarnya pendidikan liberal itu dan apakah cocok diterapkan di Indonesia yang sejatinya terlebih dahulu menganut sisitem pendidikan Pancasila. Inilah PR bagi bangsa Indonesia yang harus menemukan sistem pendidikan yang cocok dengan jati diri bangsa bukan hanya mengikuti mode barat atau sebagainya.
Pendidikan liberal seperti yang dikatakan oleh bapak Chaedar rupanya tidak pantas diterapkan pada sistem pendidikan di Indonesia. Hal ini dilihat pada sistem pendidikan liberal tidak ada sedikitpun unsur agama didalamnya. Karena sistem pendidikan yang besar di Amerika ini memisahkan pembelajaran agama dan pembelajaran umum mereka. Ada asrama yang berfungsi sebagai tempat pembelajaran agama mereka, dan di jenjang pendidikan formal dikhususkan pada pengembangan pengetahuan atau kognitif, moral, dan emosi. Dua hal ini dirasa tidak cocok apabila di terapkan pada sistem pendidikan Indonesia.
Salah satu pendidikan  yang dirasa cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia adalah pendidikan multikultural dimana pendidikan multikultural menurut Prudence Crandall adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh terhadap latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran kepercayaan), dan budaya (culture). Secara lebih ringkas Andersen dan Custer (1994) mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan mengenai kergaman budaya. Sedangkan menurut Gibson (1984) mendefinisikan mendidikan ini sebagai suatu proses pendidikan yang membantu individu mengembangkan cara menerima, mengevaluasi, dan masuk kedalam sistem budaya yang berbeda dari yang mereka miliki.
Intinya pendidikan multikultural menanamkan nilai-nilai toleransi sejak dini. Indonesia tidak akan pernah ada tanpa jawa, sunda, bali, batak, minang, dayak, dan sebagainya. Kemajemukan adalah modal perekat membangun peradaban maju Indonesia. Merajalelenya benih radikalisme di kalangan generasi muda Indonesia dinilai mengancam prinsip kebhinekaan bangsa. Pancasila sebagai pemersatu yang melahirkan Indonesia dirasa semakin tidak dikenali lagi sebagai harga diri bangsa. Banyak survei yang membuktikan maraknya gejala militansi keagamaan. Sungguh meresahkan memang, oleh karenanya sistem pendidikan juga harus memperhatikan keragaman agama. Pluralisme yang dilakukan oleh Gus Dur pun pelu dipertimbangkan. Singkatnya pendidikan di indonesia harus bisa mengawinkan perbedaan agama serta budaya karena itulah adalah cita-cita bersama untuk mempersatukan Indonesia.
Wacana pendidikan multikultural di Indonesia telah bergema sejak tahun 2000. Frans Magnis Suseno ketika itu menulis di harian Suara Pembaharuan. Suseno mendefinisikan pendidikan pluralisme sebagai pendidikan yang mengandaikan manusia untuk membuka visi pada cakrawala yang lebih luas serta mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama,  sehingga manusia mampu melihat ‘kemanusiaan’ sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Muaranya adalah terbangunnya nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.
Agama bersifat fundamental oleh karenanya penggalian ajaran agama, ras, suku, dan kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan haruslah ditanamkan pada peserta didik. Memanusiakan manusia sebagai kedudukan yang mulia merupakan ajaran semua agama. Semua agama sebagai keyakinan  warga bangsa Indonesia mengakui  bahwa  menghargai orang lain merupakan kewajiban; memudahkan sesama umat manusia merupakan perintah Tuhan; menolong adalah perbuatan terpuji; umat yang taat adalah umat yang menjaga perdamaian hidup; dan mencintai sesama adalah ajaran semua agama.
Berdasarkan penjelasan diatas, guna merealisasikan pendidikan multikultural yang berbasis pluralisme maka diperlukan strategi khusus untuk memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dll. Karena itulah yang terpenting dalam pendidikan ini adalah seorang guru atau dosen tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put yang dihasilkan dari sekolah/universitas tidak hanya cakap sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan kepercayaan lain.
Ketika suatu negara sudah bisa menghargai perbedaan, maka disitulah perdamaian terjadi. Pertanyaannya bagaimana cara meminimaliskan pperbedaan tersebut. Salah satunya adalah denagn dialog agama. Sebenarnya dialog agama bukan hal baru yang digunakan Indonesia untuk menyelesaikan konflik agama. Dialog antar umat beragama mulai mendapat perhatian sejak tahun 1960-an, khususnya dimasa Orde Baru. Musyawarah kerukunan beragama yang diprakarsai oleh Departemen Agama telah berlangsung pada tahun 1967. Kemudian pertemuan diberbagai tingkat permukaan agama berlangsung dibanyak daerah, sekitar masalah kerukunan dan toleransi beragama
Dialog yang diselenggarakan atas prakarsa tokoh atau lembaga keagamaan terjadi, antara lain di Jawa Barat, khususnta di Sukabumi (misalnya pada tahun 1967, 1968, 1971) atas prakarsa panglima Divisi Siliwangi di Karit (1967) dan lain-lain. untuk mengembangkan kerukunan,pemerintah pernah menyelenggarakan semacam proyek yang disebut “Proyek Pelita Dialog Antar Umat beragama” yang dipusatkan di ibukota provinsi (1972-1975).
Perhatian gereja-gereja terhadap masalah hubungan antar umat beragama mulai didengar dalam Konferensi Gereja dan Masyarakat di Slatiga (1967) yang mengatakan “agama dalam memenuhi tugasnya di tengeh-tengah proses modernisasi dengan memperkembangkan pemikiran baru dengan bertolak belakang dari iman masing-masing”.
Selanjutnya perhatian terhadap hubungan antar umat beragama di kalangan gereja-gereja mulai berkurang. Barulah pada tahun 1981 PGI (DGI) menyelenggarakan seminar-seminar agama-agama yang kemudian berlangsung setiap tahun dengan tema-tema yang disesuaikan dengan perkembangan yang sedang terjadi. Dari teme-tema tersebut jelas dialog dipusatkan pada masalah yang sedang dihadapi bersama sebagai bangsa dan masyarakat Indonesia.
Di Indonesia tampaknya agama-agama bergerak sendiri-sendiri menghadapi tantangan perkembangan jamannya. Padahal tantangan yang dihadapi itu adalah tantangan bersama umat manusia. GBHN mengamanatkan harapan dari umat beragama akan bertanggung jawab bersama dari semua golongan beragama dan kepercayaan kepada Tuhan YME untuk secara terus menerus, serta bersama-sama meletakkan landasan spiritual, moral, dan etika yang kokoh bagi pembangunan nasional sebagai pengamalan pancasila.
Selain itu umat beragama di Indonesia masih belum bergaul secara akrab yang ada hanya semacam ko-eksistensi, enggan membicarakan masalah  secara bersama-sama karena takut menimbulkan “keresahan” atau takut ada yang tersinggung. Padahal justru karena ada perbedaanlah,pengenalan perlu dan karena perbedaan pula persatuan menjadi hidup (Einar M. Sitompul).
Selain sebagai media sharing ataupun penyelesaian masalah atau konflik antar agama, dialog agama bertujuan pula sebagai berikut:
  • Tumbuhnya saling pengertian yang objektif dan kritis;
  •  menumbuhkan kembali alam kejiwaan yang tertutup oleh tirai pemisah karena tiadanya saling pengertian kepada alam dan bentuk kejiwaan yang otentik dan segar, yang memungkinkan dua belah pihak mengembangkan diri sendiri sebagai pribadi yang sejati (sehingga) Dialog yang baik akan mengarah kepada terciptanya pertemuan pribadi-pribadi yang bentuk konkretnya berupa kerja sama demi kepentingan bersama.”
  • Untuk menumbuhkan pengenalan yang lebih mendalam kepada orang lain dan kemudian melahirkan keperdulian kepada sesama manusia.
  • Untuk menciptakan ketemtraman didalam masyarakat.
  • Menjamin terbinanya kerukunan dan kedamaian yang terarah kepada suatu bentuk kongkret.
  • Untuk menanggapi penderitaan yang terus bertambah dan menakutkan serta menyakitkan.
  • Untuk menolong dan melayani orang lain menghadapi krisis kemanusiaan.

Tujuan dialog agama begitu ideal, agar apa yang diharapakan benar-benar nyata. Dalam dialog antar agama diciptakan pedoman-pedoman dalam berdialog. Mengingat, anggota berasal dari berbagai macam agama, maka perlu adanya pedoman untuk menjaga kelangsungan dialog itu sendiri.
Pedoman khusus dialog antar umat beragama antara lain:
1.    Dasar pijakan yang sama, semua pemeluk agama memiliki kepercayaan yang sama akan satu Tuhan. Adanya agama yang berbeda-beda merupakan bagian-bagian satu keluarga umat manusia. Mereka tinggal dalam tempat yang sama baik daerah dan Negara, sehingga perlu dibuatlah landasan hidup bersama untuk terbinanya kerukunan dan kerja sama dalam hidup bernegara.
2.    Tujuan dialog adanya saling pengertian dan menghargai yang lebih baik antar pemeluk agama. Adanya perbedaan bukan direltiviskan kebenarannya, melainkan untuk toleransi antar umat beragama.
3.    Materi dialog merupakan tema-tema menarik untuk kepentingan nasional bangsa Indonesia.

 Kode etik dialog antar umat beragama.
  • Kesaksian yang jujur dan saling menghormati. Dalam dialog masing-masing umat beragama memberikan kesaksiannya tentang agamanya secara jujur. Juga tidak ada unsur saling menjatuhkan antar umat beragama yakni, simpati akan kesukaran, kemajuan agama lain.
  • Prinsip Kebebasan Bersama. Prinsip kebebasan bersama meliputi kebebasan perorangan dan sosial. Setiap orang bebas memilih agama, tanpa ditekan oleh sistem sosial masyarakat berkembang, yang didominasi oleh agama tertentu.
  • Prinsip penerimaan (acceptance). Prinsip ini bertujuan untuk menerima umat beragama lain apa adanya. Kita tidak memproyeksikan agama lain menurut agama kita dan pikiran kita.
  •  Berpikir positif dan percaya. Berpikir positif adalah melihat nilai-nilai positif dari agama lain. Percaya adalah sikap yang tidak menaruh prasangka-prasangka (prejudices). Perlu dikembangkan sikap saling percaya untuk mengawali dialog.
Dengan bantuan pedoman-pedoman dalam dialog antara umat beragama diatas, insyaAllah  akan tercipta kerukunan umat beragama yang diidam-idamkan semua masyarakat.
Kaitannya dengan Classroom discourse to foster religious harmony, bahasa yang guru dan siswa pakai dalam berinteraksi di dalam kelas harus diperhatikan. Siswa harus dibiasakan berinteraksi atau peer interaction dengan sesamanya demi menanamkan nilai-nilai humanisme atau toleransi dan membiasakan dialig aktif. Bila perlu rekayasa interaksi untuk memancing tumbuhnya kesadaran bertoleransi tersebut. Wacana sipil yang berkiblat pada wacana yang high literat, dirasa perlu diterapkan untuk mendorong kesuksesannya.
Selain jalur pendidikan formal, jalur informal seperti keluarga pun menjadi faktor utama seorang anak mampu bertoleransi dengan sesamanya, karena hanya dalam keluarga anak mendapatkan pembelajaran yang tak diberikan oleh sekolah formal. Dalam keluarga dikenal pembelajaran secara langsung yakni orangtua langsung mempraktekkan sebuah pelajaran yang tersirat dalam perbuatannya dan sang anak akan belajar dari situ, meniru apa yang dilakukan orang tuanya, dan kemudian diakhir orang tua hanya tinggal menjelaskan mengenai hikmah atau nilai dibalik perilaku mereka. Sehingga anak akan dengan mudah mengaplikasikan toleransi dalam kehidupannya.
keharmonisan berinteraksi. Salah satu bahan kajian wacana sipil sistem pendidikan multikultural indonesia. Keprihatinan menyelimuti pemerintahan Indonesia. Dalam megahnya gedung kepresidenan, diatas kursi tahta yang dijunjung, praktek interaksi bobrok. Para wakil rakyat yang seharusnya memberi contoh pada masyarakat negeri ini dalam berperilaku sipil, justru berinteraksi dengan kata-kata yang kasar bahkan bertukar pikiranpun harus dengan menjatuhkan satu sama lain. Disaat mereka gempar menyuarakan berperilaku literat, perilaku diri sendiri miskin etika.
Lewat pendidikanlah budaya bercampur benghasilkan budaya baru yang memiliki nilai yang tak kalah saing dengan budaya aslinya, begitupun dengan agama. Lewat pendidikan, agama bersosialisasi bukan ingin memunculkan agama baru, melainkan menambah saling pengertian dan wawasan akan hikmah dibalik perbedaan. Dari perbedaan manusia dapat belajar bersyukur atas kelebihan dan memperbaiki kekurangan. Dari perbedaan pula manusia tahu begitu indahnya sebuah keragaman. Keragaman budaya dan agama selayaknya dijadikan aset bangsa, bukan malah jadi sarana adu domba. seperti yang dikatakan KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU/kakek Gus Dur) bahwasanya: “Sebenarnya Indonesia ini untuk dijadikan Negara Islam sangatlah mudah. Hanya saja Allah justru berkehendak menampakkan kekuasaanNya terhadap bangsa ini lewat keberagamannya. Dari suku, bahasa, agama dan ras yang berbeda-beda itu (Bhineka), Tuhan menghadirkan Islam untuk merangkul mereka semua sebagai perwujudan Rahmatan Lil’alamin (Tunggal Ika).” Begitu terbukanya islam menerima negara lain berjalan di sampingnya. Jadi apapun agama yang kalian anut, bersikaplah bijaksana menyikapi perbedaan ini. Orang yang bijaksana adalah orang yang mau belajar dari perbedaan (Nofi/2014).
Jadi yang dapat disimpulkan dari semua penjelasan diatas adalah negara Indonesia sebagai salah satu negara multikultural terbesar di dunia adalah bangsa yang beradab dan memilki peradaban. Indonesia sangatlah unik dan memilki karakteristik yang khas. Begitu pula dalam pendidikan, sistem dan prinsip pendidikan di Indonesia tidak dibenarkan untuk mengiblat kepada negara lain. Karena Indonesia sama sekali berbeda dengan mereka. Indonesia memilki kebijaksanaan lokal (local wisdom) yang jauh lebih baik dari Negara manapun. Jika pendidikan di Indonesia ingin berhasil dan mencapai keberhasilan maka pendidikan di Indonesia haruslah berorientasikan kepada kebijaksanaan local dan budi pekerti luhur yang dimilki bangsa ini.


Referensi
Alwasilah, A. Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung. PT Kiblat Buku Utama.
Knitter, Paul F. Satu Bumi Banyak Agama.
Suseno, Frans Magnis. 2000. “Pendidikan Pluralisme” dalam Suara Pembaharuan.
http://m.sindonews.com/read/1014/02/19/15837032/indonesia-perlu-adopsi-pendidikan-multikultural
Id.wkipedia.com/dialog agama

1 comments: