Saturday, February 22, 2014

Pendidikan memang tak lepas dari makna dan definisi. Dalam dunia pendidikan banyak sekali istilah-istilah yang dipakai dan memerlukan pembahasan mengenai hal definisi atau pengertiannya.Menurut UU Sisdiknas Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Masalah sosial seperti tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan radikalisme di Indonesia termasuk kedalam indikasi penyakit sosial di negeri ini . Contoh kuatnya radikalisme di Indonesia adalah konflik antar etnis dan agama besar yang terjadi di daerah sambas, ambon,papua,singkawang, dan Pontianak. Sebenarnya, menurut Emile Durkheim ada 3 fungsi utama agama yang salah satunya dapat menjembatani pluralisme tersebut (Macionis, 2006). Fungsi yang pertama adalah sebagai perekat sosial, agama berfungsi mempersatukan orang-orang melalui simbolisme, nilai dan norma bersama. Yang kedua adalah sebagai kontrol sosial, agama berfungsi untuk mendorong terjadinya komformitas. Dan yang terakhir adalah sebagai pemberi makna dan tujuan. Maksudnya adalah keyakinan agama menawarkan rasa aman dan nyaman bagi manusia dalam menjalani kehidupan di dunia. Dari ketiga fungsi utama diatas, fungsi agama sebagai kontrol sosial yang paling berperan dalam menyikapi perbedaan antara agama satu dengan agama lainnya.
penyebab terjadinya konflik antar agama di Indonesia sebenarnya sangat kompleks dan tidak bisa dicari dengan jelas apa yang menyebabkannya. Tetapi salah satu penyebabnya adalah transisi dari kekuasaan Orde Baru ke kekuasaan reformasi. Penanganan konflik pada masa Orde Baru yang koersif dengan cara pengerahan kekuatan militer secara besar-besaran menekan jumlah adanya konflik, terutama konflik antar agama di Indonesia. Pada masa reformasi keadaan mulai berubah, penanganan konflik yang lembek dan pemerintah yang kurang berani mengambil kebijakan membuat konflik antar agama menjadi tumbuh subur. Contohnya saja konflik Poso pada tahun 1998 dan juga konflik Ambon pada tahun 1999 yang sarat dengan nuansa pertentangan Islam dan Kristen.
Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menangani konflik antar agama adalah mencari faktor penyebabnya dan berusaha mengatasinya. Sejalan dengan pendapat Azyumardi Azra, ada lima faktor yang menjadi sumber konflik antara kelompok agama di Indonesia. Sumber konflik yang pertama adalah adanya penerbitan tulisan-tulisan yang dianggap mencemarkan agama. Kedua, bila ada usaha penyebaran agama yang dilakukan secara agresif. Ketiga, bila pemeluk agam beribadah di tempat yang merupakan tempat ibadah. Keempat, bila ada penetapan dan penerapan peraturan pemerintah yang dipandang diskriminatif dan membatasi penyebaran agama. Dan yang terakhir, adanya kecurigaan timbal balik berkaitan dengan posisi dan peranan agama dalam negara (Azra, 2001). Dengan mengetahui faktor penyebabnya, semoga di masa yang akan datang tidak akan terjadi konflik antar agama lagi.


Menurut Thedore Brameld  Robert W. richey menyebutkan bahwa; The term “Education” refers to the broad funcition of preserving and improving the life of the group through bringing new members into its shared concem. Education is thus a far broader process than that which occurs in schools. It is an essential social activity by which communities continue to exist. In Communities this function is specialzed and institutionalized in formal education, but there is always the education, out side the school with which the formal process is related. (Istilah pendidikan mengandung fungsi yang sangat luas dari pemelihara dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat, terutama membawa warga masyarakat yang baru mengenal tanggung jawab bersama  dalam lingkup  masyarakat. Jadi pendidikan merupakan suatu proses yang lebih luas daripada proses yang berlangsung di dalam sekolah saja. Pendidikan adalah suatu kegiata sosial yang memungkinkan masyarakat tetap tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang kompleks, fungsi pendidikan ini mengalami spesialisasi dan melembaga dengan pendidikan formal yang selalu  tetap berhubungan dengan proses pendidikan informal di luar sekolah).
Salah satu visi dan misi  dari pendidikan dasar adalah untuk memberikan siswa dengan keterampilan dasar dalam mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat maupun warga negara. Masalah sosial di Indonesia yang sedang marak terjadi. Mengapa demikian? karena kurangnya kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda. Maka dari itu bagi para pendidik  ini adalah tantangan yang besar dalam pembentukan karakter generasi muda sejak dini. Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik,kompetitif, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Ada sebuah kata bijak mengatakan “ ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”. Sama juga artinya bahwa pendidikan kognitif tanpa pendidikan karakter adalah buta. Alhasil, karena buta tidak bisa berjalan, berjalan pun dengan asal nabrak. Kalaupun berjalan dengan menggunakan tongkat tetap akan berjalan dengan lambat. Sebaliknya, pengetahuan karakter tanpa pengetahuan kognitif, maka akan lumpuh sehingga mudah disetir, dimanfaatkan dan dikendalikan orang lain. Untuk itu, penting artinya untuk tidak mengabaikan pendidikan karakter anak didik.
Pendidikan karakter pula sangat di anjurkan  di Indonesia. Pendidikan karakter akan menjadi dasar dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa, yang tidak mengabaikan nilai-nilai sosial seperti toleransi, kebersamaan, kegotong royongan, saling membantu dan mengormati dan sebagainya.Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi berkompeten  yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja namun memiliki karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan kognisinyan (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).

Thomas Lickona mengatakan “ seorang anak hanyalah wadah di mana seorang dewasa yang bertanggung jawab dapat diciptakan”. Karenanya, mempersiapkan anak adalah sebuah strategi investasi manusia yang sangat tepat. Sebuah ungkapan terkenal mengungkapkan “Anak-anak berjumlah hanya sekitar 25% dari total populasi, tapi menentukan 100% dari masa depan”. Sudah terbukti bahwa periode yang paling efektif untuk membentuk karakter anak adalah sebelum usia 10 tahun. Diharapkan pembentukan karakter pada periode ini akan memiliki dampak yang akan bertahan lama terhadap pembentukan moral anak.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak anak usia sekolah lebih memilih berinteraksi dengan teman sebayanya. Itu artinya konsep interaksi dengan teman sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan social (Rubin,2009). Menurut Hurlock dalam J.W Santrock (2006), peer group acceptance didefinisikan sebagai keberadaan seseorang yang dinilai menyenangkan dan memberikan positive reinforcement bagi sekelompok teman sebaya atau peer group. Sementara itu, Sondra H.Birch dan Gary W. Ladd dalam Jaana Juvonen dan Kathryn R.Wentzel (1996) menyatakan bahwa  penerimaan kelompok teman sebaya adalah suatu indeks seberapa baik anak – anak masuk ke dalam jaringan sosial kelas. Selain itu William M. Bukowski, Andrew F. Newcomb, Willard W. Hartup (1996) SimakBaca secara fonetik menyatakan bahwa penerimaan kelompok teman sebaya mengacu pada sejauh mana seorang anak disukai atau diterima oleh anggota lain dari kelompok sebaya)”.Eric S.Bush, Garry W.Ladd and Sarah L.Herald (2006) menyatakan enerimaan kelompok teman sebaya / penolakan didefinisikan sebagai sejauh mana individu yang disukai / tidak disukai oleh rekan – rekan kelas dan diindeks dengan rata – rata peringkat sosiometrik yang diperoleh dari teman sekelas selama tahun pertama anak disekolah dasar (TK).
Penelitian yang dilakukan Buhrmester (Santrock, 2009 : 394) menunjukkan bahwa pada masa remaja kedekatan hubungan dengan teman sebaya meningkat secara drastis, dan pada saat yang bersamaan kedekatan hubungan remaja  dengan  orang  tua  menurun  secara  drastis.  Hasil  penelitian Buhrmester dikuatkan oleh temuan Nickerson & Nagle (2005 : 240) bahwa pada masa remaja komunikasi dan kepercayaan terhadap orang tua berkurang, dan beralih kepada teman sebaya untuk memenuhi kebutuhan  akan kelekatan (attachment). Penelitian Crosnoe dkk. (2008); Rubin, Fredstrom, dan Bowker (2008) dalam Santrock, (2009:394) menemukan bahwa karakteristik teman sebaya memiliki pengaruh yang penting terhadap perkembangan remaja. Hal ini antara lain terlihat pada rata-rata prestasi belajar yang tinggi secara konsisten telah menjadi prediktor bagi prestasi sekolah yang positif. Sebaliknya, prestasi belajar yang rendah telah menjadi prediktor bagi perilaku-perilaku negatif seperti penyalahgunaan obat terlarang. Penelitian lain menemukan remaja yang memiliki hubungan dekat dan berinteraksi dengan pemuda yang lebih tua akan terdorong untuk terlibat dalam kenakalan, termasuk juga melakukan hubungan  seksual  secara  dini  (Billy,  Rodgers,  &  Udry,  dalam  Santrock,  2009 : 394). Sementara itu, remaja alkoholik tidak memiliki hubungan yang baik dengan teman sebayanya dan memiliki kesulitan dalam membangun kepercayaan pada orang lain (Muro & Kottman, 1995 : 229). Remaja membutuhkan afeksi dari remaja lainnya, dan membutuhkan kontak fisik yang penuh rasa hormat. Remaja juga membutuhkan perhatian dan rasa nyaman ketika mereka menghadapi masalah, butuh orang yang mau mendengarkan dengan penuh empati, serius, dan memberikan kesempatan untuk berbagi kesulitan dan perasaan seperti rasa marah, takut, cemas, dan keraguan (Cowie and Wallace, 2000 : 5).
Teman sebaya adalah anak-anak  atau remaja dengan tingkat kematangan atau usia yang kurang lebih sama. Salah satu fungsi terpenting dari kelompok teman sebaya adalah untuk memberikan sumber informasi dan komparasi tentang dunia di luar keluarga. Melalui kelompok teman sebaya individu menerima umpan balik dari teman-teman mereka tentang kemampuan mereka. Remaja menilai  apa-apa  yang  mereka  lakukan,  apakah  dia  lebih  baik dari pada teman-temannya, sama, ataukah lebih buruk dari apa yang remaja  lain kerjakan. Hal demikian akan sulit dilakukan dalam keluarga karena saudara-saudara kandung biasanya lebih tua atau lebih muda (bukan sebaya) (Santrock, 2004 : 287).  Hubungan yang baik di antara teman sebaya akan sangat membantu perkembangan aspek sosial anak secara normal. Anak  pendiam yang ditolak oleh teman sebayanya, dan merasa kesepian berisiko menderita depresi. Anak-anak yang agresif terhadap teman sebaya berisiko pada berkembangnya sejumlah masalah seperti kenakalan dan drop out dari sekolah. Gladding (1995 : 113-114) mengungkapkan bahwa dalam interaksi teman sebaya memungkinkan terjadinya proses identifikasi, kerjasama dan proses kolaborasi. Proses-proses tersebut akan mewarnai proses pembentukan tingkah laku yang khas pada siswa.
Memperhatikan pentingnya peran teman sebaya, pengembangan lingkungan teman sebaya yang positif merupakan cara efektif yang dapat ditempuh  untuk mendukung perkembangan remaja. Dalam kaitannya dengan keuntungan remaja memiliki kelompok teman sebaya yang positif, Laursen (2005 : 138) menyatakan bahwa kelompok teman sebaya yang positif memungkinkan remaja merasa diterima, memungkinkan remaja melakukan katarsis, serta memungkinkan remaja menguji nilai-nilai baru dan pandangan-pandangan baru. Lebih lanjut Laursen menegaskan bahwa kelompok teman sebaya yang positif  memberikan kesempatan kepada remaja untuk membantu orang lain, dan mendorong remaja untuk mengembangkan jaringan kerja untuk saling memberikan dorongan positif. Interaksi di antara teman sebaya dapat digunakan untuk membentuk makna dan persepsi serta solusi-solusi baru. Budaya teman sebaya yang positif memberikan kesempatan kepada remaja untuk menguji keefektivan komunikasi, tingkah laku, persepsi, dan nilai-nilai yang mereka miliki. Budaya teman sebaya yang positif sangat membantu remaja untuk memahami bahwa dia tidak sendirian dalam menghadapi berbagai tantangan. Budaya teman sebaya yang positif dapat digunakan untuk membantu mengubah tingkah laku dan nilai-nilai remaja (Laursen, 2005 : 138). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membangun budaya teman sebaya yang positif adalah dengan mengembangkan konseling teman sebaya dalam komunitas remaja.
Menurut Hasibuan (1998), pola pembelajaran yang efektif adalah pola pembelajaran yang di dalamnya terjadi interaksi dua arah antara guru dan siswa, artinya guru tidak harus selalu menjadi pihak yang lebih dominan. Pada pola pembelajaran ini guru tidak boleh hanya berperan sebagai pemberi informasi, tetapi juga bertugas dan bertanggung jawab sebagai pelaksana yang yang harus menciptakan situasi memimpin, merangsang, dan menggerakkan secara aktif. Selain itu, guru harus dapat menimbulkan keberanian siswa baik untuk mengeluarkan idenya maupun hanya sekadar untuk bertanya. Hal itu disebabkan karena mengajar bukannya hanya suatu aktivitas yang sekadar menyampaikan informasi kepada siswa, melainkan suatu proses yang menuntut perubahan peran seorang guru dari informator menjadi pengelola belajar yang bertujuan untuk membelajarkan siswa agar terlibat secara aktif sehingga terjadi perubahan-perubahan tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
            Lev Vygotsky adalah tokoh pendidikan yang melihat bagaimana pembelajaran itu terjadi dipandang dari sisi sosial. Perkembangan kognitif dan bahasa anak-anak tidak berkembang dalam suatu situasi sosial yang hampa. Lev Vygotsky (1896-1934), seorang psikolog berkebangsaan Rusia, mengenal poin penting tentang pikiran anak ini lebih dari setengah abad yang lalu. Teori Vygotsky mendapat perhatian yang makin besar ketika memasuki akhir abad ke-20.
Sezaman dengan Piaget, Vygotsky menulis di Uni Soviet selama 1920-an dan 1930-an. Namun, karyanya baru dipublikasikan di dunia Barat pada tahun 1960-an. Sejak saat itulah, tulisan-tulisannya menjadi sangat berpengaruh. Vygotsky adalah pengagum Piaget. Walaupun setuju dengan Piaget bahwa perkembangan kognitif terjadi secara bertahap dan dicirikan dengan gaya berpikir yang berbeda-beda, tetapi Vygotsky tidak setuju dengan pandangan Piaget bahwa anak menjelajahi dunianya sendirian dan membentuk gambaran realitas batinnya sendiri.
Penerapan teori belajar Vygotsky dalam interaksi belajar mengajar mungkin dapat dijabarkan sebagai berikut : Secara khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga berpengaruh penting pada perkembangan kognitif anak, kerja kelompok secara kooperatif tampaknya mempercepat perkembangan anak, Gagasan tentang kelompok kerja kreatif ini diperluas menjadi pengajaran pribadi oleh teman sebaya (peer tutoring), yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang agak tertinggal dalam pelajaran. Satu anak bisa lebih efektif membimbing anak lainnya melewati ZPD karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu sehingga bisa dengan mudah melihat kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain dan menyediakan scaffolding yang sesuai.
Peer Tutoring atau dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan istilah tutor sebaya,Menurut PAra ahli yang meneliti masalah ini diantaranya, adalah Edward L. Dejnozken dan David E. Kopel dalam American Education Encyclopedia menyebutkan  pengertian tutor sebaya merupakan  sebuah prosedur siswa mengajar siswa lainnya. Hal utama  adalah pengajar dan pembelajar dari usia yang sama. Hal  kedua adalah pengajar yang lebih tua usianya dari pembelajar. Selanjutnya  yang lain kadang  dimunculkan pertukaran usia pengajar.
Pembelajaran dengan tutor sebaya dilakukan atas dasar bahwa ada sekelompok siswa yang lebih mudah bertanya, lebih terbuka dengan teman sendiri dibandingkan dengan gurunya. Dengan adanya tutor sebaya siswa yang kurang aktif menjadi aktf karena tidak malu lagi untuk bertanya dan mengeluarkan pendapat secara bebas, sebagaimana diungkapkan oleh M. Saleh Muntasir bahwa dengan pergaulan  antara para tutor dengan siswa-siswanya mereka dapat mewujudkan apa yang terpendam dalam hatinya, dan khayalannya. Pembelajaran dengan tutor sebaya tampaknya memudahkan siswa untuk mengeluarkan pendapat atau pikiran  dan kesulitan kepada temannya sendiri ketimbang kepada guru, siswa lebih sungkan dan malu. Hal tersebut dimungkinkan karena diantara siswa telah terbentuk bahasa mereka sendiri, tingkah laku, dan juga  pertanyaan perasaaan yang dapat diterima oleh semua siswa.
Jadi, pembelajaran dengan tutor sebaya akan membantu siswa yang kurang mampu atau kurang cepat menerima pelajaran dari gurunya. Kegiatan tutor sebaya bagi siswa merupakan kegiatan yang kaya akan pengalaman yang sebenarnya merupakan kebutuhan siswa itu sendiri. Tutor maupun yang ditutori sama-sama diuntungkan, bagi tutor akan mendapat  pengalaman sedang yang ditutori akan lebih kreatif dalam menerima pelajaran.
Keunggulan pembelajaran dengan tutor sebaya dapat memperkecil kesenjangan yang terjadi antara siswa yang prestasinya rendah dengan siswa yang prestasinya lebih tinggi dalam suatu kelas. Kemudian siswa termotivasi dalam menyelesaikan tugas dan motivasi itu diharapkan tumbuh dari terciptanya hubungan yang saling menentukan dan membutuhkan antara guru, siswa yang prestasinya tergolong tinggi dan siswa yang prestasinya rendah. Hal ini akan berimbas kepada seorang guru dituntut untuk mempersiapkan, memaksimalkan kemampuannya tanpa harus menjadi informatory (pemberi informasi) saja tetapi guru juga berfungsi sebagai mediator, komunikator, dan fasilitator sehingga guru mampu memberikan tugas yang sesuai dengan tingkat kematangan siswa yang pada akhirnya dapat memotivasi siswa dalam peningkatan prestasi belajar.
Jadi  kesimpulannya adalah konflik antara agama satu dengan agama lain tidak jarang membawa kerugian materil maupun nonmateril, karena agama merupakan hal yang sangat tabu, apalagi dengan Indonesia sebagai yang sangat majemuk menjadi sebuah sorotan yang menakutkan bagi rakyat dan penguasa karena dari konflik yang kecil bisa berubah yang sangat besar. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menangani konflik antar agama adalah mencari penyebabnya dan berusaha memperbaikinya dan disinilah  para guru di tuntut untuk membentuk karakter anak didiknya sejak dini dengan cara berinteraksi bersama dalam lingkup agama yang berbeda. Pembelajaran dengan tutor sebaya yaitu sebuah prosedur siswa mengajar siswa lainnya. Pembelajaran dengan tutor sebaya dilakukan atas dasar bahwa ada sekelompok siswa yang lebih mudah bertanya, lebih terbuka dengan teman sendiri dibandingkan dengan gurunya. Guru SD harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendorong pengalaman bermakna seperti interaksi siswa antaretnis adri kelompok kelompok sosial yang berbeda.





1 comments:

  1. ko referensi ga ditulis? banyak kutipan tapi masih kurang interpretasi

    ReplyDelete