Setelah saya membaca dan memahami artikel milik pak Chaedar dan pak CW Watson, ternyata mereka membahas masalah yang sama yaitu budaya membaca-menulis kritis di Indonesia.
Budaya membaca-menulis kritis di Indonesia memang masih sangat minim. Entah karena tidak minat, malas, atau yang lainnya. Saya sangat setuju dengan survei yang dilakukan pak Chaedar yaitu “ jika anda tidak memahami teks yang anda baca, apa alasannya!?” pasti banyak sekali opini-opini yang berlalu lalang, ada yang menyalahkan diri mereka sendiri dan ada juga yang tidak suka membaca kecuali bacaan yang mereka sukai. Mungkin bagi para wanita lebih menyukai tabloid dari pada buku, artikel, atau koran.
Saya pernah mengalami kejadian serupa. Waktu itu saya masih semester 1 dan kebetulan memang pada mata kuliah yang sama yaitu writing. Pada saat UAS (Ujian Akhir Semester) writing kita diminta untuk membaca dan memahami sebuah teks kemudian ditanya oleh penguji tentang teks tersebut saya tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh penguji karena saya merasa terlalu grogi, mungkin karena UAS pertama di kampus. Padahal saat itu saya hanya ditanya “ Siapa tokoh utama dalam cerita tersebut? Kemudian menentukan kalimat utamanya”. Saya akui memang saat itu saya kurang berkonsentrasi dan mungkin karena waktu untuk membaca sangat minim sehingga saya lupa dengan materi yang telah diajarkan.
Salah satu contoh di atas menunjukkan bagaimana pendidikan bahasa terjadi di Indonesia. Menurut pak Chaedar hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
Pertama, pendekatak koneksi membaca-menulis. Percayalah bahwa tingkat membaca menentukan kekuatan tulisan kita. Memang demikian yang sedang terjadi di Indonesia, mereka selalu menyepelehkan budaya membaca. Namun, walau begitu mereka masih belum sadar bahwa sulitnya kitra memindahkan isi yang ada di kepala kita untuk dituangkan ke dalam secarik kertas. Itu karena selama ini kita belum membaca kritis. Mengapa demikian? Karena dengan begitu kita akan mendapatkan banyak referensi penggunaan kata yang benar, menambah wawasan pengetahuan, dan kita akan merasa lebih mudah untuk menuangkan ide-ide yang ada di pikiran kita ke dalam sebuah tulisan.
Tapi walau bagaimana pun seharusnya kita bisa mulai membaca-menulis sejak dini. Semuanya bisa kita lakukan dengan hal-hal kecil seperti halnya menulis buku harian. Menurut saya minimnya budaya membaca-menulis di Indonesia itu bukan murni kesalahan siswa, karena yang saya ingat dulu saat saya Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama, saya selalu dijejali atau lebih tepatnya dibacakan materi daripada dijelaskan oleh guru saya. Sehingga saya merasa jenuh dan malas untuk menyimak. Tidak hanya itu, sikap saling menghargai tidak sepenuhnya ada dan dilakukan bagaimana mestinya.
Misalnya kita disuruh menulis kembali tentang pengalaman liburan kita, dan ketika dikumpulkan yang dibaca hanya paragraf awal dan akhir saja. Bagaimana tidak merasa kecewa sedangkan kita baru belajar untuk menulis dan menghasilkan sebuah cerita yang bagus. Kita sudah menulis dengan susah payah atau mungkin memakan waktu yang sangat lama bahkan sampai berhari-hari. Seharusnya guru tersebut membaca sampai selesai karena dengan begitu ia akan tahu kualitas membaca-menulis kita, baik buruknya karangan yang kita buat, dan sejauh mana progres yang kita lakukan. Karena benar kata pak Chaedar bahwa pembaca dan penulis itu sama-sama bertanggung jawab untuk membuat makna. Ini adalah salah satu alasan mengapa saya kurang gemar dalam menulis.
Kemudian bagaimana dengan orang yang hanya membaca buku yang mereka suka? Menurut saya semuanya sah-sah saja, selama buku yang mereka baca itu bermanfaat untuk dirinya. Kita tidak bisa memaksakan agar orang lain suka dengan jenis bacaan kita, begitu juga dengan sebaliknya mereka tidak bisa memaksakan diri kita untuk suka dengan bacaan mereka.
Menurut saya, apapun yang mereka baca selagi bermanfaat untuk dirinya kenapa harus dipermasalahkan, percuma jika kita membaca buku yang bagus tapi tidak paham dengan makna dari buku tersebut, apalagi untuk mencari popularitas dan gengsi.
Sebenarnya yang harus kita perhatikan adalah proses bagaimana agar kita dapat berubah, kita merubah kebiasaan kita yang tadinya hanya menyukai satu jenis buku menjadi menyukai segala jenis buku, kita suka dan paham dengan apa yang ada di dalam buku tersebut.
Menurut pak Chaedar, semua perkuliahan di AS memaksa mahasiswa banyak menulis essay seperti laporan observasi, review buku, dan sebagainya. Tugas-tugas tersebut selalu dikembalikan dengan komentar kritis dari dosen, sehingga nalar dan argumen tulisan mahasiswa betul-betul terasah. Saya sangat setuju dengan perkuliahan di Amerika Serikat karen adengan begitu kita bisa melatih kualitas menulis kita supaya lebih baik dan baik lagi. Dan kita bisa menciptakan tulisan-tulisan yang hebat dan bagus.
Tapi tentu tidak gampang untuk menjadi penulis yang handal itu. Mereka butuh latihan menulis yang ekstra keras, dan biasanya mereka melatih dengan cara menulis dairy, menulis blogg, mengirim ke media cetak.
Jadi kesimpulannya kebiasaan membaca-menulis kritis itu harus diterapkan sejak dini, agar ketika kita sudah mampu untuk membuat tulisan, kita akan tahu level membaca-menulis kita. Jangan malu untuk meminta komentar orang tentang tulisan kita karena mereka pasti akan memberikan kritik yang membuat kita akan menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Monday, February 10, 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment