Setelah membaca dan mengamati artikel pertama dari Bapak Prof. Dr. A.
Chaedar Alwasilah yang berjudul (Bukan) Bangsa Penulis. Jika judul tersebut
disematkan untuk civitas akademik saja, memang judul tersebut sesuai untuk
potret pendidikan di perguruan tinggi saat ini. Namun, saya merasa kurang
setuju dan kurang tepat dengan judul tersebut jika dikatakan rakyat Indonesia
itu sepenuhnya bukan bangsa penulis. Jika beliau menilik lagi masa lalu bangsa
Indonesia, yang memiliki banyak penulis-penulis terbaik pada masa angkatan 45-90an.
Mungkin judul artikel tersebut bukanlah seperti itu, tepatnya berjudul “Dulu
Bangsa Penulis, Sekarang Bukan”. Kata ‘dulu’ tersebut jika kita menilik sejarah
yang pernah terjadi, ternyata dari hasil beberapa artikel-artikel yang saya baca
mengenai penulis-penulis di Indonesia. Dulu Indonesia banyak melahirkan
penulis-penulis terbaik pada masanya. Seperti tokoh Chairil Anwar, Mochtar
Lubis, Pramoedya Ananta Toer, Idrus, dan lain sebagainya. Tetapi, entah kenapa
banyak para sastrawan dan penulis yang malah menghilang, bahkan minat menulis
bangsa Indonesia semakin menurun. Salah satu penyebabnya adalah pengekangan
dari pemerintah terhadap rakyat terutama dalam kebebasan berpendapat, dari situlah
yang menyebabkan semakin menurunya produktifitas para penulis di indonesia.
Contohnya saja, Penulis Mochtar Lubis. Pada era Soekarno, beliau
pernah dipenjara selama sepuluh tahun karena tulisannya yang dianggap subversif
dengan judul Indonesia di Mata Dunia, yang menceritakan duta-duta besar
Indonesia yang kerjanya hanya berfoya-foya saja, kemudian selama dalam tahanan
beliau menerbitkan bukunya yang berjudul catatan Subversif. Sebagai seorang
wartawan, hadiah Magsaysay dan Pena Emas pernah beliau dapatkan dari World
Federation of Editors and Publishers. Selain itu, novelnya yang berjudul Jalan
tak ada ujung -1952, memenangkan hadiah Sastra Nasional BMKN, dan masih banyak
lagi karya-karya lainnya yang terkenal. Beliau menjadi salah satu bukti nyata
tentang adanya pengekangan dari pemerintah untuk kebebasan berpendapat dan
berkreasi.
Kemudian mengenai penelitian Krashen (1984) di perguruan
tinggi AS yang menunjukkan bahwa para penulis produktif dewasa adalah semasa di
SMA-nya. Pada zaman modern saat ini, rasa-rasanya sedikit susah jika diterapkan
pada siswa SMA di Indonesia. Dari beberapa artikel yang saya baca, kesulitan
mengajak siswa SMA di Indonesia untuk produktif dalam menulis essay atau karya
ilmiah, karena kurangnya minat membaca siswa SMA dalam hidup hariannya.
Mengapa kurang minat membaca mempengaruhi dalam
menulis? Tanpa membaca, tidak memiliki modal untuk menulis. Modal yang
dimaksud adalah wawasan, inspirasi, contoh, sumber tulisan untuk karya ilmiah,
berita, dan lain-lain. Factor lainnya adalah siswa SMA zaman sekarang lebih
tertarik pada adanya jaringan informasi
dan komunikasi yang serba canggih daripada berlangganan Koran atau membeli
buku. Sehingga membuat siswa SMA malas untuk produktif dalam menulis. Jika saja
menulis karya ilmiah, mereka lebih memilih mencari referensi di Internet dengan
melakukan plagiatisme (Copy paste) tanpa harus menulis sedikitpun. Kemudian,
aktivitas siswa SMA saat ini lebih banyak melalui media social seperti
facebook, twitter, dan lain sebagainya. Hal ini membuat para siswa SMA tidak
bisa produktif dalam menulis.
Contohnya saja, sebelum ramainya jaringan informasi dan komunikasi
modern, seperti penggunaan jejaring sosial internet, gadget, dan handphone
(HP). Kegiatan positif siswa SMA dalam membaca dan menulis cukup tinggi dengan
media perantara surat, menulis buku diary, dan berlangganan koran. Contohnya
kakak saya, sebelum adanya jaringan internet, sewaktu SMA dia setiap harinya
selalu berlangganan Koran dan majalah sepak bola, tidak hanya itu dia juga gemar
membeli buku-buku novel dan buku inspiratif. Kemudian, kegiatan lainnya dia
sering menulis buku diary dalam kesehariannya. Bagi kakak saya, menulis buku
diary adalah menuangkan ide, pikiran, dan konsep sebagai perwujudan kejadian yang
sebenarnya (fakta). Kini, menilik dari fakta zaman sekarang, siswa SMA lebih
suka melakukan kegiatan kesehariannya menggunakan gadget, Handphone, dan
jejaring social network daripada berlangganan Koran ataupun menulis diary.
Kemudian pada artikel kedua, menjelaskan tentang mahasiswa Indonesia
yang suka menyualahkan dirinya sendiri gara-gara tidak punya background nulis
yang baik, dikarenakan sang penulis lebih berkompeten daripada kapasitas
pembaca. Kebanyakan para pembaca tidak mengerti akan buku yang mereka baca,
mereka hanya suka membaca buku yang sesuai dengan kita. Pada dasarnya pembaca
selalu menyesuaikan sendiri background bahasa yang tepat dengan pembaca. Kemudian dosen yang terlalu memaksakan
mahasiswa untuk membaca buku import yang tidak sesuai dengan kapasitasnya, yang
membuat siswa jadi lebih berorientasi menjadi intelektual reader daripada
writer.
Pada artikel yang ketiga, dukungan C W Watson terhadap Bapak
Prof. Dr. A. Chaedar Alwasilah mengenai kurikulum di Indonesia itu aneh, karena
lebbih mementingkan ujian nasional dengan soal pilihan ganda dari pada soal
essay. Hal tersebutlah yang membuat lulusan SMA di Indonesia tidak produktif
dalam hal menulis, paradigma yang dibangun dalam pendidikan di Indonesia selama
ini lebih mengutamakan prestasi kelulusan siswa hanya diukur berdasarkan pada ujian
nasional saja. Selain itu, kelemahan pendidikan di Indonesia adalah ketiadaan
apresiasi dan penghargaan atas capaian yang diraih oleh siswa. Berbeda dengan
pendidikan di luar negeri. Di Belanda, pada sejak dini, para siswa diajarkan
untuk berani berargumen, menyampaikan ide serta memberikan apresiasi atas
prestasi yang diraih, bahkan prestasi sekecil apapun harus diberikan acungan
jempol.
Jika pendidikan hanya
berorientasi pada nilai dan angka, maka siswa akan berupaya mencapai angka
tersebut agar naik kelas atau lulus. Jika dihubungkan dengan teacher-centered learning,
maka para siswa akan menjadi pasif dan hanya bisa menghafal materi pelajaran.
Mereka tidak dibiasakan sejak dini berargumen di kelas baik secara tertulis
maupun lisan. Akibatnya, ketika mereka diberi tugas untuk membuat karangan dan
menulis essay, banyak siswa yang mengeluh hingga akhirnya melakukan plagiatisme.
Paradigma pendidikan di Indonesia tersebut, perlu dihapuskan dengan selalu mengutamakan
dan mengajarkan menulis sejak usia dini. Para siswa akan merasa bangga, jika
mereka diberi kesempatan untuk berargumen melalui menulis. Kemudian tulisan
tersebut mendapatkan apresiasi, mereka akan termotivasi untuk menghasilkan
karya sebanyak-banyaknya dan sebaik mungkin.
Jadi, saya menyimpulkan bahwa maksud dari
pemikiran-pemikiran penulis (Bapak Chaedar) adalah mengajak kepada para
mahasiswa di perguruan tinggi untuk bersama-sama melatih ketrampilan dalam
menulis. Sangat
disayangkan bila para mahasiswa tidak mengembangkan kemampuan menulisnya.
Jangan biarkan kemampuan menulis kita
semua kemampuan menulisnya hanya pas-pasan,
tidak berkembang. Jangan malas menulis! Bangunlah motivasi dan kesadaran akan
rasa talenta menulis yang terdapat di dalam diri. Jangan lupa untuk mulai
membaca agar bertambah wawasan, dan segala hal baik yang dapat membantu dalam hal menulis.
0 comments:
Post a Comment