Monday, February 10, 2014


Dulu Bangsa Penulis, Sekarang Bukan
Setelah membaca dan mengamati artikel pertama dari Bapak Prof. Dr. A. Chaedar Alwasilah yang berjudul (Bukan) Bangsa Penulis. Jika judul tersebut disematkan untuk civitas akademik saja, memang judul tersebut sesuai untuk potret pendidikan di perguruan tinggi saat ini. Namun, saya merasa kurang setuju dan kurang tepat dengan judul tersebut jika dikatakan rakyat Indonesia itu sepenuhnya bukan bangsa penulis. Jika beliau menilik lagi masa lalu bangsa Indonesia, yang memiliki banyak penulis-penulis terbaik pada masa angkatan 45-90an. Mungkin judul artikel tersebut bukanlah seperti itu, tepatnya berjudul “Dulu Bangsa Penulis, Sekarang Bukan”. Kata ‘dulu’ tersebut jika kita menilik sejarah yang pernah terjadi, ternyata dari hasil beberapa artikel-artikel yang saya baca mengenai penulis-penulis di Indonesia. Dulu Indonesia banyak melahirkan penulis-penulis terbaik pada masanya. Seperti tokoh Chairil Anwar, Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, Idrus, dan lain sebagainya. Tetapi, entah kenapa banyak para sastrawan dan penulis yang malah menghilang, bahkan minat menulis bangsa Indonesia semakin menurun. Salah satu penyebabnya adalah pengekangan dari pemerintah terhadap rakyat terutama dalam kebebasan berpendapat, dari situlah yang menyebabkan semakin menurunya produktifitas para penulis di indonesia.
Contohnya saja, Penulis Mochtar Lubis. Pada era Soekarno, beliau pernah dipenjara selama sepuluh tahun karena tulisannya yang dianggap subversif dengan judul Indonesia di Mata Dunia, yang menceritakan duta-duta besar Indonesia yang kerjanya hanya berfoya-foya saja, kemudian selama dalam tahanan beliau menerbitkan bukunya yang berjudul catatan Subversif. Sebagai seorang wartawan, hadiah Magsaysay dan Pena Emas pernah beliau dapatkan dari World Federation of Editors and Publishers. Selain itu, novelnya yang berjudul Jalan tak ada ujung -1952, memenangkan hadiah Sastra Nasional BMKN, dan masih banyak lagi karya-karya lainnya yang terkenal. Beliau menjadi salah satu bukti nyata tentang adanya pengekangan dari pemerintah untuk kebebasan berpendapat dan berkreasi.
Kemudian mengenai penelitian Krashen (1984) di perguruan tinggi AS yang menunjukkan bahwa para penulis produktif dewasa adalah semasa di SMA-nya. Pada zaman modern saat ini, rasa-rasanya sedikit susah jika diterapkan pada siswa SMA di Indonesia. Dari beberapa artikel yang saya baca, kesulitan mengajak siswa SMA di Indonesia untuk produktif dalam menulis essay atau karya ilmiah,  karena kurangnya minat membaca siswa SMA dalam hidup hariannya. Mengapa kurang minat membaca mempengaruhi dalam menulis? Tanpa membaca, tidak memiliki modal untuk menulis. Modal yang dimaksud adalah wawasan, inspirasi, contoh, sumber tulisan untuk karya ilmiah, berita, dan lain-lain. Factor lainnya adalah siswa SMA zaman sekarang lebih tertarik pada adanya jaringan informasi dan komunikasi yang serba canggih daripada berlangganan Koran atau membeli buku. Sehingga membuat siswa SMA malas untuk produktif dalam menulis. Jika saja menulis karya ilmiah, mereka lebih memilih mencari referensi di Internet dengan melakukan plagiatisme (Copy paste) tanpa harus menulis sedikitpun. Kemudian, aktivitas siswa SMA saat ini lebih banyak melalui media social seperti facebook, twitter, dan lain sebagainya. Hal ini membuat para siswa SMA tidak bisa produktif dalam menulis.
Contohnya saja, sebelum ramainya jaringan informasi dan komunikasi modern, seperti penggunaan jejaring sosial internet, gadget, dan handphone (HP). Kegiatan positif siswa SMA dalam membaca dan menulis cukup tinggi dengan media perantara surat, menulis buku diary, dan berlangganan koran. Contohnya kakak saya, sebelum adanya jaringan internet, sewaktu SMA dia setiap harinya selalu berlangganan Koran dan majalah sepak bola, tidak hanya itu dia juga gemar membeli buku-buku novel dan buku inspiratif. Kemudian, kegiatan lainnya dia sering menulis buku diary dalam kesehariannya. Bagi kakak saya, menulis buku diary adalah menuangkan ide, pikiran, dan konsep sebagai perwujudan kejadian yang sebenarnya (fakta). Kini, menilik dari fakta zaman sekarang, siswa SMA lebih suka melakukan kegiatan kesehariannya menggunakan gadget, Handphone, dan jejaring social network daripada berlangganan Koran ataupun menulis diary.
Kemudian pada artikel kedua, menjelaskan tentang mahasiswa Indonesia yang suka menyualahkan dirinya sendiri gara-gara tidak punya background nulis yang baik, dikarenakan sang penulis lebih berkompeten daripada kapasitas pembaca. Kebanyakan para pembaca tidak mengerti akan buku yang mereka baca, mereka hanya suka membaca buku yang sesuai dengan kita. Pada dasarnya pembaca selalu menyesuaikan sendiri background bahasa yang tepat dengan pembaca.  Kemudian dosen yang terlalu memaksakan mahasiswa untuk membaca buku import yang tidak sesuai dengan kapasitasnya, yang membuat siswa jadi lebih berorientasi menjadi intelektual reader daripada writer.
Pada artikel yang ketiga, dukungan C W Watson terhadap Bapak Prof. Dr. A. Chaedar Alwasilah mengenai kurikulum di Indonesia itu aneh, karena lebbih mementingkan ujian nasional dengan soal pilihan ganda dari pada soal essay. Hal tersebutlah yang membuat lulusan SMA di Indonesia tidak produktif dalam hal menulis, paradigma yang dibangun dalam pendidikan di Indonesia selama ini lebih mengutamakan prestasi kelulusan siswa hanya diukur berdasarkan pada ujian nasional saja. Selain itu, kelemahan pendidikan di Indonesia adalah ketiadaan apresiasi dan penghargaan atas capaian yang diraih oleh siswa. Berbeda dengan pendidikan di luar negeri. Di Belanda, pada sejak dini, para siswa diajarkan untuk berani berargumen, menyampaikan ide serta memberikan apresiasi atas prestasi yang diraih, bahkan prestasi sekecil apapun harus diberikan acungan jempol.
Jika pendidikan hanya berorientasi pada nilai dan angka, maka siswa akan berupaya mencapai angka tersebut agar naik kelas atau lulus. Jika dihubungkan dengan teacher-centered learning, maka para siswa akan menjadi pasif dan hanya bisa menghafal materi pelajaran. Mereka tidak dibiasakan sejak dini berargumen di kelas baik secara tertulis maupun lisan. Akibatnya, ketika mereka diberi tugas untuk membuat karangan dan menulis essay, banyak siswa yang mengeluh hingga akhirnya melakukan plagiatisme. Paradigma pendidikan di Indonesia tersebut, perlu dihapuskan dengan selalu mengutamakan dan mengajarkan menulis sejak usia dini. Para siswa akan merasa bangga, jika mereka diberi kesempatan untuk berargumen melalui menulis. Kemudian tulisan tersebut mendapatkan apresiasi, mereka akan termotivasi untuk menghasilkan karya sebanyak-banyaknya dan sebaik mungkin.

Jadi, saya menyimpulkan bahwa maksud dari pemikiran-pemikiran penulis (Bapak Chaedar) adalah mengajak kepada para mahasiswa di perguruan tinggi untuk bersama-sama melatih ketrampilan dalam menulis. Sangat disayangkan bila para mahasiswa tidak mengembangkan kemampuan menulisnya. Jangan biarkan kemampuan menulis kita semua kemampuan menulisnya hanya pas-pasan, tidak berkembang. Jangan malas menulis! Bangunlah motivasi dan kesadaran akan rasa talenta menulis yang terdapat di dalam diri. Jangan lupa untuk mulai membaca agar bertambah wawasan, dan segala hal baik yang dapat membantu dalam hal menulis.

0 comments:

Post a Comment