Saturday, March 8, 2014

10:22 PM
Dunia Menulis dan Menulis Dunia
(by: Nofi Maryana)
 
Dunia Menulis dan Menulis dunia

Musik. Semua orang dari berbagai kalangan menyukai musik. Musik merupakan hasil karya seni yang banyak orang gunakan untuk menghibur diri dikala penat. Musisi berperan besar dalam mencipta alunan musik yang indah, tapi seorang musisi tidaklah hebat apabila ia hanya mencipta tanpa peduli akan komponen penyusun musik itu sendiri, padahal musik tidak akan pernah dapat dinikmati apabila ia kehilangan salah satu komponennya. Alat musik, notasi, aransemen adalah segelintir komponennya. Namun yang lebih penting adalah konteksnya yakni bagaimana proses menyatukan semua komponen itu menjadi sebuah alunan musik yang indah. Begitupun dengan teks, tanpa memahami konteksnya, ia akan kosong atau hampa seperti analogi musik diatas. Oleh karenanya berangkat dari gambaran tersebut, 5th class review kali ini akan kembali mengulas perihal teks dan konteks dalam cakupan discourse karena lagi-lagi kesalahan terbesar penulis adalah tidak secara eksplisit menjelaskan keterikatannya. Setelah itu akan dilanjutkan dengan membahas artikle Howard Zinn perihal Speaking Truth to Power With Book yang kembali menuai kritikan dari mr.Lala.
Kembali penulis dihadapkan pada istilah context, alasan kenapa penulis harus menulis yang berat-berat adalah karena penulis selalu gagal diarea context ini dan salah satu penyebabnya adalah reader conflic. Readers conflic yang sering ditemui adalah kurang familiar dengan teks yang dibacanya sehingga reader seharusnya baca berulang-ulang kali sebelum membuat suatu criitical review.





Context harus diperdalam karena context itu penting, dimana ini adalah dasar yang penulis harus kuasai ketika ingin menulis. menurut Lehtonen (2000) dalam bukunya The Cultural Analysis of Texts mengatakan dalam menginterpretasi teks, ia melihatnya dari dua dimensi, yakni dimensi fisik ( teks as physical being ), dan dimensi semiotik ( teks as semiotic being ). Teks terdapat dalam bentuk fisik, tetapi mereka hadir dalam beberapa bentuk semiotik. Teks berupa fisik merupakan suatu komunikasi artefak. Dengan kata lain, tulisan atau wacana yang ditulis oleh penulis mengandung instrument komunikasi di dalamnya, Saat ini teks dapat ditemukan di mana saja. Kemunculan teknologi yang semakin canggih seperti sekarang ini adalah bertujuan untuk menghasilkan teks tertulis yang berkualitas dan hanya ketika mereka mempunyai beberapa bentuk fisik yang jelas, seperti tinta, kertas, dan lain-lain. Sementara secara semiotik, teks dapat diinterpretasikan ke dalam bentuk tulisan, pidato, musik, gambar, atau simbol lainnya. Dari semua bentuk tersebut, teks dikarakteristikkan ke dalam 3 feature, yakni materiality, formal relation, dan meaningfulness
Teks akan selalu dibarengi dengan konteksnya. Konteks dapat dikatakan makna yang mengelilingi teks dan digunakan untuk memahami teks itu sendiri. Pendapat lain mengatakan bahwa konteks merupakan suatu penggambaran yang diserap oleh reader dan berasal dari teks yang telah dibaca kemudian reader seolah-olah  ikut terjun ke dalam teks tersebut. Ferdinand De Sausure mengaitkan teks dan konteks sebagai signifiant dan signifie. Signifiant adalah teks berupa sistem tanda berupa citra bunyi atau kesan psikologi yang timbul dalam pikiran, sedangkan Signifie adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran pembaca yang diterima dari signifiant. Dengan kata lain konteks hadir di luar teks.
Penulis dan pembaca sama-sama membawa konteks kedalam teks. Konteks mencakup 8 paramater: 
1.      Substansi: materi fisik yang membawa teks,
2.      musik dan gambar, 
3.      paralanguage: perilaku yang berarti bahasa yang menyertainya, seperti kualitas suara,
gerak tubuh, ekspresi wajah dan sentuhan (dalam kecepatan), dan pilihan dari jenis huruf dan ukuran huruf (secara tertulis),
4.      Situasi: sifat dan hubungan objek dan orang-orang di sekitarnya teks, seperti yang dirasakan oleh para peserta (pembaca-penulis),
5.      co-teks: text which proceed or follow that under analysis and which participant judge to belong to same discourse
6.      intertext: teks yang peserta anggap sebagai milik wacana lain, tapi yang mereka kumpulkan dengan teks di bawah pertimbangan, dan yang mempengaruhi interpretasi mereka,
7.      peserta: niat dan interpretasi mereka, pengetahuan dan keyakinan, sikap interpersonal, afiliasi dan perasaan,
8.      fungsi: apa teks dimaksudkan untuk melakukan oleh pengirim dan addressers, atau dianggap dilakukan oleh penerima dan addressees.
Dalam buku Teaching and Researching Writing by Ken Hyland (2009), Cutting (2002 :3), menyebutkan 3 aspek utama penafsiran konteks, yaitu:
Situational Context : apa yang orang ketahui tentang apa yang mereka lihat di sekitarnya.
Background Knowledge Context : apa yang orang-orang ketahui tentang dunia, tentang aspek kehidupan dan tentang satu sama lain.
Co-textual Context : apa yang orang-orang tahu tentang apa yang mereka katakan.
Sedangkan menurut Halliday (1985) ada 3 dimensi konteks, yaitu field, tenor, dan mode.




Masih dalam buku Teaching and Researching Writing by Ken Hyland (2002; 2009),  berbicara tentang writing ada beberapa keyword penting yang mendominasi saat menulis, dimana menulis itu melibatkan context, literacy, culture, technology, genre and identity.
T  Konteks : penulis dan pembaca sama-sama berperan dalam meaning making practice. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa konteks didalamnya berperan 8 parameter dan 3 aspek penafsiran konteks.
T  Literasi : baca-tulis adalah salah satu bentuk praktek literasi. Menulis menawarkan berbagai kemungkinan dunia, yaitu kemungkinan dunia yang tercipta di dalam dan bahkan di luar tulisan. Menulis berarti membentangkan dan membangun dunia. Struktur sebuah tulisan menawarkan dunia baru. Sebuah tulisan menawarkan harapan tentang sebuah dunia. Kemungkinan dunia itu adalah semacam dunia kreasi, yang harus dibangun oleh seorang penulis ketika ia menciptakan tulisan. Literasi ada karena dunia kreasi tersebut.
T  Culture : secara umum dapat dikatakan dengan bagaimana budaya ataupun sejarah mempengaruhi tulisan seseorang. Ketika menulis manusia tak luput dari budaya dan sejarahnya, hal ini yang menimbulkan keberagaman tulisan dan menjadikan sistem jaringan penyampaian makna menjadi bervariasi. Hal ini baik karena setiap tulisn memiliki identitasnya masing-masing.
T  Teknologi : teknologi dalam konteks ini bukan hanya sebagai media saja, tetapi harus dimanfaatkan untuk sarana menulis. Orang yang berliterasi dituntut untuk menguasai teknologi, dimana masa sekarang ini adalah masa serba teknologi. Dalam dunia tulis-menulispun teknologi sudah mengambil tempat penting. Artikel, e-book, PDF (Portable Document Format) makin banyak digandrungi oleh para penulis masa kini.
T  Genre : dewasa ini berkembang pelatihan Bahasa Inggris berbasis genre. Dari sudut pandang masab Systemic Functional Linguistic, Martin (1992:546) mendefinisikan genre “ staged, goal-oriented social processes through which social subjects in a given culture live their lives”. Genre berfungsi sebagai proses sosial karena masyarakat dari sebuah budaya berinteraksi satu dengan lainnya untuk mencapai sebuah genre. Dikatakan berorientasi tujuan karena genre berlangsung untuk mencapai sebuah tujuan; dan bertahap karena diperlukan tahapan untuk mencapai sebuah tujuan. Dalam penerapanannya dalam ranah linguistik, genre dikenal sebagai struktur skematik teks untuk mencapai tujuan tertentu sebuah teks. Namun Here written genres are regarded as parts of repeated and typified social situations, rather than particular forms, with writers exercising judgement and creativity in responding to similar circumstances (Hyland 2002).
T  Identity : ini erat kaitannya dengan ke-5 aspek sebelumnya, dimana tulisan yang berlandaskan kelima aspek tersebut akan menciptakan identitas tersendiri. Identitas merajuk pada cara penulis menampilkan siapa mereka sebenarnya (jati diri) lewat perantara tulisan.
Konteks berikutnya yang penulis dapat dari teks dalam slide yang diberikan oleh mr.Lala adalah seputar tugas critical review. Seperti yang kami ketahui critical review adalah tugas ‘Keramat’ bagi kami selaku penulis. Mengapa dikatakan keramat? Dikatakan ‘keramat’ karena sebagai mahasiswa yang baru menginjakkan kakinya dalam dunia critical, mengkritisi sebuah maha karya seorang ahli dibidangnya bukanlah pekerjaan main-main, menyanggah serta mengomentarinya dengan berdasar pada kebenaran teori lainnya menjadikan penulis diambang kebimbangan setiap kali menjalaninya. Dari mulai Appetizer essay, kemudian critical review pertama tentang Classroom discourse to foster religious harmony dan critical review kedua hari ini tentang Speaking Thruth to the Power with Books tak luput dari kekurangan-kekurangan dan pasti tak luput pula dari pandangan mr.Lala. beliau senantiasa membaca dan mengawasi dengan memberikan komentar sebagai responsnya.
 Dalam first critical review saja, ada enam weaknesess yang mr.Lala komentari.  Meliputi: pertama, trapped in trivial matters, yakni dalam mengkritik penulis cenderung memperhatikan hal-hal sepele yang hampir tidak memiliki nilai dibandingkan dengan benang merahnya artikel Classroom discourse to foster religious harmony itu sendiri, sehingga mengakibatkan tulisan  tersebut tidak fokus dan cenderung aneh. Kedua, tidak familiar dengan keywordnya yaitu classroom discourse menjadikan kita semua bingung akan apa yang ingin kita tuliskan dan akhirnya lebih memfokuskan pembahasan pada religious harmoninya. Ketiga, penulis hanya menceritakan fakta-fakta tentang konflik agama tanpa menunjukkan sudut pandang  yang tegas. Keempat, generic structure masih belum terbangun dengan baik. Kelima, pola daftar pustaka sangat berantakan sehingga perlu diperbaiki dan keenam adalah komentar dan saran untuk kita bahwa sebenarnya dalam konteks artikel tersebut banyak sekali ruang untuk kita bisa improve tapi sayangnya penulis missing di area itu.
Jika komentar diatas adalah untuk first critical review, tak jauh berbeda dengan second critical review. Dalam critical review Speaking Thruth to the power with book kesalahan lagi-lagi terjadi dalam konteks yang sama. Ladang yang seharusnya kami garap masih berbentuk composition dimana penullis hanya menggabungkan informasi dari beberapa sumber mengenai Colombus, padahal seharusnya ladang garapan penulis adalah discourse dan critic. Kemudian mengenai generic structure hanya ada satu orang yang secara eksplisit menuliskannya pada paper.
Dalam artikel Howard Zinn, kesalahan yang mendasar adalah kritik penulis kepada paparan atau isi artikel. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya bahwa kritikan penulis masih belum terbangun dan cenderung hanya menyuguhkan informasi. Seharusnya banyak yang dapat dikritisi dari artikel tersebut. Zinn menggunakan konteks antropologi untuk mengungkap kebenaran sejarah America. Seperti yang telah diketahui bahwa Zinn adalah seorang antropologist. Sudah barang tentu ia akan mengkritisi sejarah Columbus yang salah karena ia memenuhi tuntutan ideologisnya yakni seorang kritikus dan aktivis politik. Namun muncul pertanyaan-pertanyaan seputar keberanian ia, yang mengungkapkan kebenaran akan Columbus yang notabene berbeda dengan sejarah Columbus yang berkembang saat itu.
Bagaimana bisa seorang akademisi menyerang negaranya sendiri? Apa tindakan negara terhadap orang yang katakanlah teroris karena menyerang negaranya sendiri seperti Zinn, padahal dalam sebuah negara, seluruh warga negara apalagi seorang PNS harus patuh terhadap pempinannya. Lalu bagaimana ia bertahan dalam lingkungan yang notabene tidak setuju alias menentang teori nya itu? Apakah orang-orang Amerika tidak merasa ‘panas’ akan seorang Howard Zinn? Seharusnya itu semua yang penulis kritisi dari artikel Zinn Speaking Thruth to power with book ini. Satu hal lagi yang crusial dibahas akan seorang Howard Zinn adalah kenyataan bahwa apakah ia melihat seorang Columbus benar-benar dari kacamata antropologi ataukah hanya asal ngomong.
Dari quote Noam Chomsky yang berbunyai “Zinn changed the conciousness of a generation of Amerika” dapat diketahui bahwa zinn memanglah orang yang berliterasi. Orang yang berliterasi adalah yang menguasai teks sejarah, dan orang yang menguasai teks sejarah itu mampu mengubah dunia. Tapi sangat disayangkan dalam artikelnya itu, Zinn belum mengaitkan kebenaran sejarah Columbus dengan literasi. Orang yang berlitersi tidak akan mengungkapkan hanya sisi negatif dan keburukan Columbus saja, at lease ada sisi positif dari kedatangan Columbus bagi ekspansi dunia atau sebagainya.
Memang sejarah bila dipandang sama dengan jurnalisme karena ada unsur subyektivitas yang tidak terelakkan di sana. Ketika memilih sebuah tema untuk diberitakan, atau ketika seorang sejarahwan memilih tema untuk ditulis, keduanya sudah dalam posisi subyektif. Mengapa memilih tema ini dan tidak tema yang lain, padahal penting atau tak pentinnya suatu tema, hanya berdasar pada soal “menurut siapa”.tapi yang membuatnya menjadi obyektif adalah bahwa baik sejarah maupun jurnalisme memiliki metode penulisannya masing masing. Dari gambaran ini, Howard Zinn berada disisi yang kalah bukan disisi yang menang seperti Colombus.
Di kubu berbeda dari Zinn disana berdiri Samuel Elliot Morrison sang sejarahwan Harvard yang menulis buku seminal Christoper Columbus, Mariner. Benar Zinn katakan bahwa, Morison tak sedikitpun berbohong soal kekejaman Columbus. Ia bahkan menyebut sang pelaut telah melakukan genosida pada Indian Arawaks. Namun, tulis Zinn, fakta yang tertera di satu halaman ini kemudian ia kubur dalam ratusan halaman lain yang mengagungkan kebesaran sang pelaut. Keputusan untuk lebih menceritakan sebuah heroisme dan abai pada penekanan fakta pembantaian masal yang terjadi pada suku Indian Arawaks bukanlah sebuah kebutuhan teknis ala pembuat peta, namun murni pilihan ideologis.
Morison memang menyebutkan bahwa terjadi pembantaian suku asli Amerika (Indian) oleh Columbus tetapi fakta itu tidak sebanding dengan kebohongan yang ia sembunyikan lewat pujian-pujian akan jasa Columbus atas Amerika. Kebenaran yang salah inilah yang dikonsumsi orang-orang seluruh dunia.
Keberpihakan Zinn, adalah soal ideologinya dalam menulis sejarah. Ia seseorang yang anti kekerasan dan menolak alasan apapun yang digunakan untuk mendukung sebuah perang. Membaca sedikit soal Zinn. James Joyce, sastrawan asal Irlandia itu sekali waktu pernah berujar bahwa sejarah adalah “mimpi buruk yang aku ingin terbangun darinya”. Sepertinya, karena kebencian Zinn itulah ia mencoba mengungkap masa lalu yang kelam bak mimpi buruk, dari sudut si pecundang, agar suatu saat kita terbangun dari apa yang dinamakan “ketidakadilan” dan “penindasan” itu. Oleh karenanya Zinn tidak peduli meski ia seorang PNS yang dihujat oleh orang-orang amerika yang merasa panas akan dirinya, namun pada akhirnya is sukses menyadarkan satu generasi Amerika.
Disinilah unsur-unsur seperti kepentingan politik berperan, menjadikan sejarah ajang permainan kata (teks) orang-orang literat. Hingga Zinn pun tenggelam olehnya. Dalam artikelnya ia mengatakan bahwa sejarah tentang Columbus selama ini ada kebohongan besar tapi ia justru tidak mengungkapkan who exactly discover America is. Bisa jadi penemu Amerika adalah orang china atau bahkan orang islam yang notabene bukan serumpun dengan Zinn, oleh karenanya ia ikut-ikutan menyembunyikan sejarah sebenarnya.
Dalam Literatur yang menerangkan bahwa penjelajah Muslim sudah datang ke Amerika sebelum Colombus, antara lain pakar sejarah dan geografer Abul Hassan Ali Ibnu al-Hussain al-Masudi (871-957M). Dalam bukunya Muruj Adh-Dhahabwa Maad al-Jawhar (The Meadows of Gold and Quarries of Jewels / Hamparan Emas dan tambang Permata), al-Masudi telah menuliskan bahwa Khaskhas Ibnu Sa’ied Ibn Aswad, seorang penjelajah Muslim dari Cordova, Spanyol, berhasil mencapai benua Amerika pada 889M (5 abad sebelum kedatangan Columbus). Namun disudut pandang lain, disebutkan bahwa sebuah salinan peta berusia 600 tahun mengatakan ihwal laksamana Cheng Ho, seorang pelayar yang berkebangsaan china lah, yang pertama kali menemukan benua amerika, fakta ini diperkuat dengan bukti peta ( Artefak ) yang ditemukan oleh LiuGang, seorang kolektor peta china yang menemukan kopian peta kuno Ceng Ho yang disinyalir sebagai penemu pertama benua Amerika sebelum columbus. Demikian ditegaskan oleh sejumlah pakar sejarah, salah satunya Gavin Menzies dalam buku 'Who Discovered America?’. Kedua sejarah ini pada dasarnya sama yakni mengatakan bahwa orang muslimlah yang pertama menemukan Amerika.
Intinya dari class review kali ini adalah dunia penulis dan kawan-kawan semua adalah dunia menulis. Menebarkan benih-benih praktek literasi bangsa. Menulis harus sesuai konteks. Meski definisi dan pemahaman akan konteks berbeda-beda seperti Lehtonen dengan 8 parameter konteks, Hyland dengan 3 aspek utama penafsiran konteks : Situational Context, Background Knowledge Context, Co-textual Context dan 6 aspek penting writing: context, literacy, culture, technology, genre and identity , Ferdinand De Sausure dengan teori Signifiant dan Signifie nya, dan Halliday dengan 3 ranah field, tenor, dan mode namun akhirnya akan menunjuk satu peranan yang sama yakni meaning making practice
Lewat konteks seorang penulis mampu menuliskan dunia di dalam dunia menulis, seperti apa yang dilakukan Howard Zinn, guna membangunkan kesadaran akan pentingnya artefak tertulis seperti yang kini kami lakukan. Kemudian mengenai penemu benua America sebenarnya, penulispun masih dirundung kegalauan tingkat tinggi karena banyaknya data yang berlainan. Namun saya sebagai penulis yang non-Amerika dan berlandaskan akan banyaknya data dan bulti yang saya peroleh, tittle sang penemu Amerika cocok diberikan pada laksamana Cheng Ho, sang pelayar muslim dari negeri China.

Referensi
Lehtonen, Mikko. 2000. The Cultural Analysis of Text. London: SAGE Publications Ltd.
Hyland, Ken. 2009. Teaching and Researching Writing. United Kingdom: Pearson Education Limited.


0 comments:

Post a Comment