Friday, March 7, 2014




            Pasca menulis Critical review yang pertama, kami mendapat kesempatan untuk mengevaluasi tulisan kami sendiri. Disanalah kami menyadari bahwa kami salah gerbang untuk memasuki (mengkritisi) tulisan pak Chaedar. Seyogianya kami memasuki gerbang Classroom Discourse, dan menjadikannya sebagai inti dari tulisan kami. Akan tetapi yang terjadi adalah kami terlalu fokus untuk  memajang isu-isu Religious Harmony, sehingga ihwal Classroom Discourse belum tersaji dengan baik. Kesempatan kali ini akan kami gunakan untuk mengenal lebih jauh apa itu Classroom Discourse yang bukan hanya soal kegiatan di dalam kelas yang mana terdapat guru dan murid sehingga ada proses belajar dan mengajar. Tetapi lebih dari itu semua, classroom discourse adalah tentang interaksi.  Pola interaksi bagaimana siswa dan guru pada saat berbicara, memperkenalkan topik, menggunakan beberapa bahasa, atau bercerita dengan cara yang berbeda dapat menggambarkan bagaimana kesalahpahaman antara kelompok sosial yang berbeda dalam kelas dan cara menyelesaikannya. Kemudian, mengapa kita harus bersusah payah untuk menganalisis suatu classroom discourse, mengapa kita harus terbebani dengan pikiran-pikiran ini, Namun, setidaknya ada empat alasan mengapa ihwal classroom discourse ini penting (Besty; 2008):
 1. Wawasan yang diperoleh dari analisis wacana kelas telah meningkatkan saling
pemahaman antara guru dan siswa;
2. Dengan menganalisis wacana kelas sendiri, guru telah mampu
memahami perbedaan lokal di kelas bicara-akan melampaui stereotip atau
generalisasi budaya lainnya;
3. Ketika para guru menganalisis wacana di kelas mereka sendiri, akademik
prestasi meningkat, dan
4. Proses melakukan analisis wacana kelas sendiri
dapat menumbuhkan intrinsik
dan
mencintai proses mengajar dan teguh dalam potensi yang ada dalam hidupnya
Seyogianya kelas merupakan “a huge place to growth and learn” sehingga menciptakan manusia-manusia yang semangat dalam belajar. Sedangkan pintar adalah hanya salah satu efeknya saja. Dengan demikian, belajar di sekolah dapat dilihat sebagai proses magang, pembelajar tidak hanya berlatih linguistik ilmiah, tetapi lebih dari itu, berlatih dalam berpikir dan disiplin ilmu pengetahuan. Sejalan dengan pendapat Christie bahwa pendidikan sebagai proses inisiasi dengan cara membincangkan dan perintah, merupakan pengalamanyang dihargai (1991:237).


Mackey (1967) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa dalam situasi proses kegiatan pembelajaran di kelas terjadi interaksi antara guru dan siswa. Kesimpulan ini didukung oleh Arthur (1983) yang mengemukakan bahwa dalam kelas terjadi pertukaran tindak atau interaksi selama proses belajar mengajar. Sementara itu, Flander (1970) dalam pengamatannya tentang bahasa guru dan pengaruhnya terhadap keberhasilan siswa menyimpulkan bahwa corak bahasa guru berpengaruh terhadap keberhasilan siswa. Hal ini sama dengan pengamatan yang dilakukan oleh Barnes (1969). Beliau mengemukakan bahwa jenis pertanyaan tertentu, dalam hal ini adalah pertanyaan pancingan, penting artinya bagi guru dalam rangka memusatkan perhatian siswa.
Kegiatan pembelajaran di kelas adalah membelajarkan siswa. Membelajarkan berarti meningkatkan kemampuan siswa untuk memproses, menemukan, dan menggunakan informasi bagi pengembangan diri siswa dalam konteks lingkungannya. Berdasarkan pemahaman tersebut pelibat (guru dan siswa) dalam kegiatan belajar di kelas memerlukan kemampuan saling bertukar pengalaman linguistik yang terpresentasikan dalam fungsi pengalaman. Dibandingkan dengan bentuk komunika
si lainnya, bahasa di kelas mempunyai ciri tersendiri.


                     Masih hangat di benak, ketika kemarin mengikuti kuliah Cross Cultural Understanding. Bahwa dalam membaca yang merupakan salah satu bagian dari Classroom Discourse harus mempunyai tahap seperti berikut; perceive, process, dan store. Inilah 3 proses yang menjadi paket lengkap untuk menciptakan Critical teaching and learning. Menciptakan pembaca yang powerful, selain 3 proses tadi yang harus dipenuhi. Ada dua lagi proses lain yaitu analyzing and criticizing. Dimana siswa menjadi makhluk intelektual yang mempunyai daya kritis tinggi. Pada akhirnya siswa
paham dengan yang namanya mutual understanding. Inilah cikal bakal dari toleransi itu sendiri. Saling pengertian, simpati, dan memahami sesama. Sayangnya, Classroom Discourse di Negara ini belum memenuhi perceive, process, dan store. Persive lalu store, sehingga ada satu yang hilang yaitu sebuah proses. Padahal proses inilah yang menjadi sentral dalam kegiatan dalam kelas.
                     Dapat disimpulkan, Pertama, bahasa guru dan siswa sebagai ragam konsultatif sangat fungsional dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, pemahaman terhadap fungsi ujar ini sangat diperlukan bagi kalangan pendidikan (guru dan siswa) demi tercapai nya proses belajar mengajar yang ideal. Kedua, bahasa guru dan siswa dalam wacana kelas adalah khas. Bahasa guru dan siswa dalam wacana kelas diasumsikan merupakan performansi penutur bahasa Indonesia ‘dewasa’ yang ideal karena para guru dan siswa menguasai bahasa Indonesia tidak hanya melalui pemerolehan, tetapi juga pembelajaran. Konteks lawan tutur atau mitratutur yang juga merupakan penutur bahasa Indonesia ‘dewasa’ yang menguasai bahasa Indonesia juga melalui pemerolehan dan belajar diasumsikan akan terjadi komunikasi yang ideal dengan munculnya kalimat yang ideal dari peserta didik sebagai kalimat konteks. Kekhasan berikutnya dapat dilihat pada kesejajaran siswa-guru pada satu sisi karena berada dalam konteks ilmiah, tetapi pada satu sisi lain tetap dipengaruhi oleh status berbeda.

0 comments:

Post a Comment