Saturday, March 1, 2014

10:39 PM
1


Buku merupakan jendela dunia yang dapat mengubah bumi tempat kita berpijak ini, tidak ada seorang pun yang memungkirinya. Setiap lembarnya mengalir berjuta
cahaya, karena setiap aksara membuka jendela dunia. Sesaat sebelum membacanya, terkadang kita hanya memandang buku sebagai suatu tumpukan kertas tak berjiwa yang penuh oleh teori-teori, cerita-cerita, curahan hati sang penulisnya dan jauh dari kenyataan hidup sehari-hari. Namun siapa sangka, dibalik sebuah buku dapat tersimpan suatu kekuatan hebat. Sebegitu hebatnya kekuatan dari buku, sehingga ia merupakan instrumen yang berdaya kuat, mencengkeram erat, menggetarkan dan berkuasa mengubah arah peristiwa-peristiwa yang sedang atau akan terjadi. Yang bisa diarahkan untuk kebaikan maupun keburukan. Bagi kemaslahatan maupun bencana.
Membaca memang memiliki efek yang sangat kuat. Seperti halnya sebuah article yang berjudul “ Speaking Truth to Power with Books” oleh Howard Zinn yang mana mengutarakan bahwa kekuatan kebenaran berbicara itu lewat buku. Kebenaran adalah Sesuatu yang satu atau uniq, tidak berawal dan berakhir tidak memiliki ruang dan waktu. Buku dijadikan bahan pertimbangan atas isu yang muncul yang hanya dari mulut ke mulut dan tidak terbukti kebenarannya. Pada kenyataannya, banyak para pendengar percaya begitu saja atas apa yang mereka dengar, tanpa mencari lebih tahu kebenarannya. Sehingga, kita jangan mudah percaya atas apa yang kita dengar, tetapi harus dibuktikan dengan cara membaca. Kebenaran berbicara dapat dibuktikan dengan kebenaran dalam buku. Menulis dan membaca merupakan suatu media yang dapat membuat pserspektif atau pandagan seseorang terbuka.
“Membacalah yang mampu membuat seseorang keluar dari tempurung pengetahuan yang kerdil. Lewat membaca, seseorang mampu menjelajah selaksa wilayah luas tak bertepi” (Ngainun Naim)
Menurut Howard Zinn, lintasan panjang antara menulis dan mengubah kesadaran, antara menulis dan aktivisme, dan mempengaruhi kebijakan publik, bisa berliku-liku dan rumit. Tetapi bukan berarti kita harus berhenti menulis. Menurut Howard Zinn, buku memiliki efek yang kuat pada pemikirannya. Buku itu mempengaruhinya. Adapun seseorang yang berkata kepadanya, “This book changed my life”. Kemudian, Howard pun bertanya kepada seorang siswi bernama Alice Warker mengenai buku. Dia pun menjawabnya dengan perkataan yang sama, “This book changed my life”. Sehingga, menurut Howard, memang buku dapat melakukan itu. Mengubah hidup seseorang dengan mengubah kesadaran seseorang. Memiliki efek pada dunia, dengan satu atau cara lain, cepat atau lambat, dengan cara yang mungkin tidak bisa kita lacak. Buku mengoperasikan dalam banyak cara untuk mengubah kesadaran seseorang.
Howard Zinn, sang sejarahwan radikal Amerika, mangkat karena serangan jantung yang menyerangnya selagi berenang. Ia meninggalkan seorang istri dan nama besar dari sebuah buku legendaris yang ia tulis; A People’s History of the United States.  Yang menarik dari buku Zinn tentu saja adalah keberaniannya untuk mengungkap sisi gelap sejarah benua baru dan komitmen pada kaum subaltern dalam definisi Spivak: mereka yang terpinggirkan dalam politik menarasikan sejarah. Sasaran tembaknya tak tanggung tanggung: Christoper Colombus dan para sejarahwan yang menulis versi lugu dari kedatangan para kolonis. Di dalamnya termasuk sejarahwan Harvard, Samuel Elliot Morison.
Inilah kritik pedas Zinn pada Samuel Elliot Morrison sang sejarahwan Harvard yang menulis buku seminal Christoper Columbus, Mariner. Benar, Morison tak sedikitpun berbohong soal kekejaman Columbus. Ia bahkan menyebut sang pelaut telah melakukan genosida pada Indian Arawaks. Namun, tulis Zinn, fakta yang tertera di satu halaman ini kemudian ia kubur dalam ratusan halaman lain yang mengagungkan kebesaran sang pelaut. Keputusan untuk lebih menceritakan sebuah heroisme dan abai pada penekanan fakta pembantaian massal yang terjadi pada suku Indian Arawaks bukanlah sebuah kebutuhan teknis ala pembuat peta, namun murni pilihan ideologis. Sebuah pilihan ideologis untuk menjustifikasi apa yang telah terjadi, pungkas Zinn.
Seandainya Morison adalah seorang politisi dan bukan sarjana, pilihan ideologis ini tak akan jadi begitu serius. Namun justru karena fakta ini diceritakan oleh seorang intelektual, maka implikasinya jadi begitu mematikan. Kita seakan diajarkan sebuah imperatif moral bahwa pengorbanan, meski begitu tak manusiawi, itu perlu untuk sebuah kemajuan. Morison seakan mengatakan dengan kalem bahwa benar telah terjadi pembantaian pada suku Arawaks, namun fakta kecil itu tak sebanding dengan jasa dan kepahlawanan Columbus bagi kita. Sense inilah yang kemudian direproduksi  di kelas pengajaran sejarah, dan buku pegangan para siswa.
Berangkat dari ketidaksetujuannya tersebut kemudian Zinn menulis versi sejarah yang berbeda; sejarah dari sudut pandang orang-orang kalah, alias sang pecundang. Jadilah ia bercerita tentang penemuan benua Amerika dari kacamata suku Indian Arawaks, tentang Civil War sebagaimana dialami oleh kaum Irlandia di New York, tentang perang Dunia pertama dilihat dari pihak kaum Sosialis, dan tentang penaklukan Filipina menurut tentara kulit hitam di Luzon.
Ada yang menarik ketika kita sebenarnya juga bisa melempar kritik yang serupa pada Zinn. Bahwa ia juga sedang mengambil sebuah pilihan ideologis dalam menulis sejarah, bahwa ia menekankan fakta fakta yang ia suka dan melewatkan yang lain. Lalu apa bedanya ia dengan Morison? Zinn sebenarnya tak lebih dari petinju dari sudut ring yang berbeda. Jika Morison menulis dari kacamata sang pemenang, Zinn lah corong sang pecundang. Jawaban pada kritik inilah yang menunjukkan kebesaran seorang Howard Zinn.
Pertama, ia jujur dalam mengungkap keberpihakannya. Zinn jelas tidak senaif mereka yang berbicara soal objektifitas dalam narasi. Ia berpihak, dan sedari awal memperingatkan pembaca tentang posisinya. Bab pertama bukunya sangat confessional, dan di halaman 11 dari 729 halaman the People’s History ia menulis:
If history is to be creative, to anticipate a possible future without denying the past, it should, I believe, emphasize new possibilities by disclosing those hidden episodes of the past when, even if in brief flashes, people showed their ability to resist, to join together, occasionally to win. I am supposing, or perhaps only hoping, that our future may be found in the past’s fugitive moments of compassion rather than in its solid centuries of warfare.That, being as blunt as I can, is my approach to the history of the United States. The reader may as well know that before going on.
Ini membuat Zinn tidak berlagak pilon dalam bercerita, ia bias dan sadar bahwa pembaca butuh tahu. Lalu apa pembelaannya atas posisinya tersebut? Ini hal kedua yang perlu dicatat dari seorang Howard Zinn: ia menolak konsekuensi empatik definisi nasion Andersonian! Bangsa bukan dan memang tak sekalipun pernah jadi sebuah komunitas, tungkasnya tajam.
“Sejarah setiap negeri yang selalu ditulis sebagai sebuah sejarah keluarga menyembunyikan konflik kepentingan yang kronis antara penakluk dan pecundang, tuan dan budak, kapitalis dan buruh, serta dominator dan yang terdominasi. Dan dalam dunia yang penuh konflik tersebut, dunia para korban dan eksekutor, adalah tugas mereka yang berpikir, sebagaimana Albert Camus sarankan, untuk tidak berpihak di sisi kaum eksekutor!” Ini kata kata Zinn yang diterjemahkan dari  halaman 10 bukunya untuk menjelaskan sudut pandang penulisan sejarahnya yang berbeda
            Selama ribuan tahun, selalu dipersepsikan bahwa penemu Benua Amerika adalah Christopher Colombus pada 12 Oktober 1492. Hari kedatangannya di "benua baru" masih dirayakan hingga saat ini di Amerika Serikat. Columbus Day. Namun, tidak semua hal berlebihan tentang Columbus adalah benar. Menurut versi tersebut, ketika pertama kali menginjakkkan kakinya di daratan, dia menyangka mendarat di semenanjung Hindia, sehingga penduduk aslinya disebut ”Indian”. Tapi menurut versi lain, penelitian ulang yang dilakukan oleh beberapa peneliti Barat, atau penelitian dari sumber-sumber tertulis dari kalangan Muslim, ilmuan Muslim, ditemukan data-data baru bahwa Benua Amerika telah ditemukan oleh penjelajah Muslim 603 tahun sebelum Colombus menginjakkan kakinya di benua Amerika.
Literatur yang menerangkan bahwa penjelajah Muslim sudah datang ke Amerika sebelum Colombus, antara lain pakar sejarah dan geografer Abul Hassan Ali Ibnu al-Hussain al-Masudi (871-957M). Dalam bukunya Muruj Adh-Dhahabwa Maad al-Jawhar (The Meadows of Gold and Quarries of Jewels / Hamparan Emas dan tambang Permata), al-Masudi telah menuliskan bahwa Khaskhas Ibnu Sa’ied Ibn Aswad, seorang penjelajah Muslim dari Cordova, Spanyol, berhasil mencapai benua Amerika pada 889M.
Terdapat sumber-sumber dan Perspektif Barat yang menyatakan bahwa yang menemukan Amerika adalah islam :
Pertama, dalam bukunya Saga America (New York, 1980), Dr. Barry Fell, arkeolog dan ahli bahasa berkebangsaan Selandia Baru jebolan Harvard University menunjukan bukti-bukti detail bahwa berabad-abad sebelum Colombus, telah bermukim kaum Muslimin dari Afrika Utara dan Barat di benua Amerika. Tak heran jika bahasa masyarakat Indian Pima dan Algonquain memiliki beberapa kosakata yang berasal dari bahasa Arab.
Kedua, dalam bukunya Africa and the Discovery of America (1920), pakar sejarah dari Harvard University, Loe Weiner, menulis bahwa Colombus sendiri sebenarnya juga mengetahui kehadiran orang-orang Islam yang tersebar di Karibia, Amerika Utara, Tengah dan Selatan, termasuk Canada. Tapi tak seperti Colombus yang ingin menguasai dan memperbudak penduduk asli Amerika, umat Islam datang untuk berdagang, berasimilasi dan melakukan perkawinan dengan orang-orang India suku Iroquis dan Algonquin. Colombus juga mengakui, dalam pelayaran antara gibara dan Pantai Kuba, 21 Oktober 1492, ia melihat masjid berdiri diatas bukit dengan indahnya. Saat ini, reruntuhan masjid-masjid itu telah ditemukan di Kuba, Mexico, Texas dan Nevada.
Ketiga, John Boyd Thacher dalam, bukunya Christopher Colombus yang terbit di New York, 1950, menunjukkan bahwa Colombus telah menulis bahwa pada hari Senin, 21 Oktober 1492, ketika sedang berlayar di dekat Cibara, bahagian tenggara pantai Cuba, ia menyaksikan mesjid di atas puncak bukit yang indah. Sementara itu , dalam rangkaian penelitian antropologis, para antropolog dan arkeolog memang menemukan reruntuhan beberapa masjid dan menaranya serta ayat-ayat al-Qur’an di Cuba, Mexico, Texas dan Nevada.
Keempat, Clyde Ahmad Winters dalam bukunya Islam in Early North and South America, yang diterbitkan penerbit Al-Ittihad, Juli 1977, halaman 60 menyebutkan, para antropo0log yang melakukan penelitian telah menemukan prasasti dalam bahasa Arab di lembah Mississipi dan Arizona. Psasasti itu menerangkan bahwa imigran Muslim pertama tersebut juga membawa gajah dari Afrika.
Sedangkan Ivan Van Sertima, yang dikenal karena karyanya They Came Before Colombus, menemukan kemiripan arsitrektur bangunan penduduk asli Amerika dengan kaum Muslim Afrika. Sedang dalam bukunya yang lain African Presence in Early America, juga menegaskan tentang telah adanya pemukiman Muslim Africa sebelum kehadiran Colombus di Amerika.
Kelima, ahli sejarah Jerman, Alexander Von Wuthenan juga memberikan bukti bahwa orang-orang Islam sudah berada di Amerika tahun 300-900 M. Artinya, umat Islam sudah ada di Amertika, paling tidak setengah abad sebelum Colombus lahir. Bukti berupa ukiran kayu berbentuk kepala manusia yang mirip dengan orang Arab diperkirakan dipahat tahun 300 dan 900 M. Beberapa ukiran kayu lainnya diambil gambarnya dan diteliti, ternyata memiliki kemiripan dengan orang Mesir.
Keenam, salah satu buku karya Gavin Menzies, seorang bekas pelaut yang menerbitkan hasil penelusurannya, menemukan peta empat pulau di Karibia yang dibuat pada tahun 1424 dan ditandatangani oleh Zuanne Pissigano, kartografer dari Venezia, yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Peta ini berarti dibuat 68 tahun sebelum Colombus mendarat di Amerika. Dua pulau pada peta ini kemudian diidentifikasi sebagai Puertorico dan Guadalupe.
Henry Ford dalam bukunya The Complete International Jew, terdapat cuplikan yang menjelaskan bagaimana kondisi riil Umat Islam pada akhir kekuasaan Islam di Spanyol, yang mengalami penyiksaan yang sangat luar biasa, dan bagaimana dari penyiksaan tersebut akhirnya ada yang melarikan diri bersama rombongan Colombus ke Amerika.
Menurut Dr. Youssef Mroueh, hari ini di Amerika Utara terdapat 565 nama tempat, baik nergara bagian, kota, sungai, gunung, danau dan desa yang diambil dari nama Islam atau nama dengan akar kata dari bahasa Arab. Selebihnya, sebanyak 484 nama terdapat di Amerika Serikat dan 81 di Kanada. Nama-nama ini diberikan oleh penduduk asli yang telah ada sebelum Colombus menginjakkan kakinya di Amerika.
Ketika Colombus mendarat di kepulauan Bahama, 12 Oktober 1492, pulau itu sudah diberi nama Guanahani oleh penduduknya. Guanahani berasal dari kata Arab ikhwana (saudara), kemudian dibawa ke bahasa Mandika (kerajaan Islam di barat Afrika) yang berarti ”tempat keluarga Hani bersaudara”. Tapi kemudian Colombus secara ”seenaknya” memberinya nama San Salvador, dan merampas pulau ini dari pemilik awalnya.
            Sumber-sumber tersebut cukup dijadikan bukti bahwa memang  bukan Columbus lah yang menemukan benua Amerika. Kemudian, terdapat fakta-fakta orang seperti apa Columbus itu.
Christopher Columbus dikenal sebagai penemu benua Amerika dan dipandang sebagai pahlawan eksplorasi abad pertengahan oleh banyak sejarawan masa kini. Namun banyak buku teks gagal mengungkapkan berbagai fakta bahwa ia adalah seorang maniak genosida yang mencetuskan apa yang mungkin menjadi kasus terburuk genosida yang dilakukan satu bangsa manusia terhadap bangsa yang lain.

            Terobsesi menemukan rute perjalanan laut ke Asia dan Timur Jauh, Columbus dengan kapal 'Enterprise Hindia' pada tahun 1492 berlayar ke laut lepas, dengan dukungan keuangan dari Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dari Spanyol.
Namun, bukannya menemukan daerah perdagangan kaya di Timur, Columbus dan krunya menemukan Dunia Baru yaitu Amerika, dan segera mulai menundukkan dan membunuh penduduk setempat dan menghapus kekayaan besar dari tanah tersebut.

            Sebuah koloni kecil segera didirikan di Hispaniola yang terdiri dari tiga puluh sembilan krunya, sisanya kembali ke Spanyol dengan Columbus bersama dengan emas, rempah-rempah dan penduduk asli diambil sebagai budak untuk diberikan sebagai hadiah bagi pelanggan kerajaan. Tahun berikutnya, ia memimpin ekspedisi kedua terdiri dari tujuh belas kapal besar dan berisi satu setengah ribu pendatang baru, yang tiba di Amerika sebulan kemudian. Pada saat ia kembali ke Hispaniola, anak buahnya sudah banyak yang dibunuh oleh penduduk setempat dan koloni kedua kemudian didirikan.

Columbus menghukum suku setempat, yang dikenal sebagai Taino, dengan kejam. Dia memperbudak banyak penduduk lokal dan membantai lebih banyak lagi, menurut Ward Churchill, mantan profesor studi etnis di University of Colorado, sampai tahun 1496, populasi telah berkurang dari sebanyak delapan juta menjadi sekitar tiga juta.

            Pada ekspedisi yang ketiga, ia menjelajahi daerah tersebut sebelum kembali ke Hispaniola pada tahun 1498 di mana ia meninggalkan saudara-saudaranya, Diego dan Bartholomew untuk memegang kendali kekuasaan disana. Kondisi semakin menurun sehingga ia mengadakan kampanye teror melawan Taino, memerintah dengan tangan besi hingga menyebabkan banyak yg menentangnya termasuk pendatang baru (bangsa eropa sendiri) dan kepala daerah setempat. Keluhan kebrutalan sampai ke telinga penguasa Spanyol dan pada tahun 1500 mereka mengirim Hakim Ketua untuk membawa Columbus dan saudara-saudaranya kembali ke Spanyol dengan dirantai.

            Namun segera setibanya di Spanyol mereka dilepaskan dan diizinkan melakukan ekspedisi keempat dan terakhir, yang dilakukan dengan kebrutalan yang sama seperti yang sebelumnya. Pada saat ia akhirnya meninggalkan Amerika di tahun 1504, bangsa Taino telah menurun menjadi sekitar 100.000 orang arguably membuat Columbus penjahat perang menurut standar sekarang dan bersalah melakukan beberapa kekejaman terburuk terhadap ras lain dalam sejarah. Beberapa dibunuh langsung ditempat sebagai hukuman 'atas kejahatan' untuk seperti tidak membayar upeti kepada penjajah. Banyak yang tidak bisa atau tidak mau membayar kemudian tangan mereka dipotong dan dibiarkan berdarah sampai mati. Columbus dan anak buahnya didokumentasikan oleh sejarah Las Casas, dikenal sebagai Brev'sima-n relaci, yang melakukan penggantungan manusia secara massal, orang dipanggang di pantai, pembakaran dipertaruhkan dan bahkan memenggal kepala anak-anak dan memberikannya sebagai makanan anjing sebagai hukuman untuk tindak kejahatan yang paling kecil.

            Para master Spanyol membantai penduduk pribumi, kadang-kadang ratusan hanya sebagai bentuk olahraga, membuat taruhan tentang siapa yang bisa membelah seorang pria menjadi dua, atau memotong kepala hingga putus dalam satu pukulan, kadang pula mereka memancung kaki anak-anak kecil hingga putus hanya untuk menguji ketajaman pedang mereka.
            Hanya dalam waktu sekitar lima puluh tahun Colombus dan para pengikutnya mendapatkan segalanya tetapi mengeliminasi populasi sekitar lima belas juta orang. Proses ini hanya merupakan awal dari pembantaian massal sekitar 100 juta orang oleh bangsa Eropa yang disebut sebagai 'peradaban' di Belahan Barat membuat awal penemuan Dunia Baru(benua Amerika) menjadi kasus genosida massal terburuk dalam sejarah manusia.
Tambahan Fakta2 yg kemudian terungkap berdasarkan dokumen2 dan jurnal2 yg ditulis oleh saksi mata dan oleh Columbus sendiri :
·         Ketika bangsa Spanyol baru mendarat di benua Amerika, para orang-orang Indian menyambutnya dengan gegap gempita dan rasa ingin tahu, mereka menyuguhi bangsa Spanyol dengan berbagai makanan dan minuman serta memberikan berbagai macam hadiah, Columbus menuliskan hal tsb di buku hariannya:
"Mereka membawakan kita beo dan bola kapas dan tombak dan banyak hal lainnya, yang mereka ingin pertukarkan dgn manik-manik kaca dan lonceng elang '. Mereka rela menyerahkan segala yang mereka miliki. Mereka tegap, dengan tubuh yang baik dan wajah tampan. Mereka tidak memanggul senjata, dan tidak mengenal senjata, karena aku menunjukkan kepada mereka pedang, mereka memegang bagian yg tajam dan melukai tangan mereka sendiri akibat ketidaktahuannya itu. Mereka tidak mengenal besi/iron. tombak mereka dibuat dari tebu. Mereka akan menjadi budak yg baik. Dengan hanya lima puluh orang, kita bisa menundukkan mereka semua dan membuat mereka melakukan apapun yang kita inginkan."
·         Columbus dan anak buahnya juga menggunakan Taino sebagai budak seks. Hal yg biasa bagi Columbus menghadiahi anak buahnya dengan wanita lokal untuk diperkosa. Saat ia mulai mengekspor Taino sebagai budak ke berbagai belahan dunia, perdagangan seks-budak menjadi bagian penting dari bisnis, seperti Columbus menulis kepada seorang teman pada tahun 1500: "Dengan seratus castellanoes (koin Spanyol) sangat mudah memperoleh wanita seperti halnya untuk pertanian, dan sangat umum dan ada banyak dealer yang bersedia mencari anak perempuan mereka 9-10 (tahun) yang sekarang sedang diminati."
·         Akibat kekejaman pemerintahan bangsa Eropa terhadap suku asli, ribuan Indian melakukan bunuh diri massal dengan meminum racun yang terbuat dari singkong (cassava). Banyak orang tua membunuh bayi-bayi mereka untuk melepaskan mereka dari penderitaan hidup di bawah kekuasaan Spanyol.
·         Salah seorang anak buah Columbus, Bartolome De Las Casas, merasa sangat bersalah atas kekejaman brutal Columbus terhadap penduduk asli, ia berhenti bekerja untuk Columbus dan menjadi seorang imam Katolik. Ia menggambarkan bagaimana orang-orang Spanyol di bawah komando Columbus memotong kaki anak-anak yang lari dari mereka, untuk menguji ketajaman pisau mereka. Menurut De Las Casas, para pria membuat taruhan siapa yang bisa memotong seseorang menjadi dua dengan sapuan pedang. Dia mengatakan bahwa anak buah Columbus menuangkan air sabun mendidih di atas orang-orang. Dalam satu hari, De Las Casas pernah menjadi saksi mata tentara Spanyol memotong-motong, memenggal, atau memperkosa 3000 orang asli. "Inhumanities tersebut dan barbarisms itu dilakukan di depan mataku seperti umur tidak bisa paralel," tulis De Las Casas. "Mataku telah melihat tindakan ini begitu asing terhadap sifat manusia yang sekarang, saya gemetar saat aku menulis."
·         Sepulang dari amerika, Columbus dan anak buahnya menyebarkan penyakit sipilis ke eropa, sebaliknya orang eropa menyebarkan penyakit smallpox ke orang2 indian.

Berbicara kebenaran melalui buku sebagai bukti yang dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya atau valid ( referensi yang jelas ). Buku memang dapat dijadikan sebuah bukti dan kekuatan atas isu yang terkubur dalam dunia ini, seperti yang terkuak di atas. Mayoritas orang lebih cenderung membenarkan apa yang hanya mereka dengar dari kiai, pendeta atau petinggi ( pemerintah), padahal realitanya untuk membuktikan fakta tersebut kita juga harus membaca. Tidak hanya langsung melahap mentah-mentah konsep pembicaraan yang sudah terbangun tersebut, kita harus mengkonsep ulang dengan cara mengkritisi serta harus mencari referensi lain ( fakta dan bukti ) mengenai hal yang sedang dibicarakan tersebut.
Kita mulai dengan mengambil contoh buku Common Sense dan Mein Kampf, ternyata kekuatan sebuah buku yang dapat mengubah sejarah dunia bukan dilihat dari tebal tipisnya jumlah halaman. Common Sense, buku tipis hanya 47 halaman, tidak lebih dari sebuah pamflet. Sementara Mein Kampf, cukup tebal dengan lebih dari 700 halaman.
Di mana rahasia kekuatan sebuah buku? Dalam konteks tulisan di atas, inilah hukum besi yang berlaku di mana-mana: tiada lain lantaran tuntutan zaman telah siap buat para penulis bersangkutan. Rakyat Amerika kala itu tengah bersitegang dengan Inggris hingga melahirkan perang kemerdekaan. Sumbu-sumbu pendek dinamit yang siap terbakar dan meledak, mendapatkan percikan api lebih cepat dari pamflet Common Sense Thomas Paine.
Demikian pula Jerman di masa Hitler hidup. Dipermalukan sebagai bangsa melalui Perjanjian Versailles pada 1919 oleh Sekutu karena kalah dalam Perang Dunia I, ekonomi Jerman kalang kabut dan terhempas di titik nadir. Kehidupan dan masa depan tidak menentu. Kondisi psikologi publik semacam itu melahirkan perlunya suatu kambing hitam. Lantas, ras Yahudi di Eropa dipersalahkan sebagai penyebab kekacauan tersebut dan sasaran utamanya. Terbitnya Mein Kampf karya Adolf Hitler dinilai sebagai jawaban atas situasi kacau itu. Dan ia dianggap membawa pesan-pesan yang acapkali emosional sifatnya.
Dua buah buku semacam dikupas sekilas di atas, harus diakui memiliki kekuatan-kekuatan. Kekuatan dimaksud bisa menimbulkan pengaruh baik maupun buruk. Lebih daripada itu, keduanya menorehkan rekor dari segi besarnya jumlah eksemplar yang diterbitkan. Pula tingkat keterbacaan tinggi.
Sejatinya dalam konteks tulisan bertajuk buku si pembuka cakrawala dunia, kekuatan buku berpengaruh sebagai sejarah dunia. Buku bukanlah untuk mengukur nilai-nilai moral, akan tetapi untuk menunjukkan bahwa buku adalah suatu instrumen belaka. Yang dapat menjadi senjata-senjata dinamis dan hebat, tergantung sejauhmana kita meresapi dan mendalami kandungan isinya.

Referensi

1 comments:

  1. saya aga kelelahan dalam mencari fokus artikel kamu. Coba tandai dengan jelas mana par yang menandai posisi kamu sebagai kritikus

    ReplyDelete