Sunday, March 2, 2014

12:03 AM
1



Dalam tulisan “ Anthropology off the shelf : speaking truth to power with books “ oleh Howard Zinn membicarakan mengenai kebenaran suatu ucapan yang dikuatkan oleh adanya buku. Howard Zinn ( 24 Agustus 1922 - 27 Januari 2010) adalah seorang sejarawan , penulis naskah , dan aktivis . Dia menulis banyak buku Sejarah yang termasuk salah satu bukunya yaitu A People's History of the United States. Sejarah  brilian yang  bergerak dari sudut pandang rakyat Amerika yang sebagian besar nasibnya  telah dihilangkan dari sebagian besar sejarah.
Buku memang sebuah media penyambung ilmu yang efektif untuk menyalurkan ilmu kepada pembacanya. Banyak sekali manfaat yang terkandung jika membaca buku, selain menambah pengetahuan juga memberikan kesenangan atau manfaat tersendiri bagi pembacanya.
Buku mengoperasikan banyak hal untuk mengubah kesadaran seseorang.  banyak orang yang sudah membaca buku-buku tertentu dan menganggap buku tersebut  membawa perubahan dalam hidupnya. Tapi, jika sebuah buku dapat mengubah hidup seseorang dengan mengubah kesadaran seseorang, tentulah akan membawa pengaruh bagi dunia. Hal pertama mengenai buku yang dapat merubah kesadaran seseorang yaitu ketika buku dapat memperkenalkan sebuah ide atau gagasan yang belum pernah diketahui oleh pembaca sebelumnya.
Sebuah buku yang hanya terdiri dari kumpulan kertas dan tulisan itu mampu membawa perubahan yang besar bagi kelangsungan sebuah bangsa. Dengan membaca buku, seseorang dapat mengetahui bahkan menemukan realita atau fenomena kehidupan. Kita dapat mengetahui kedahsyatan dan pengaruh sebuah buku dalam segala hal bidang kehidupan. Sebut saja, buku “Prinsipia Mathematic” yang ditulis Isaac Newton. Buku ini berisi pandangan dan sebuah pemikiran kritis bahwa kebenaran akal harus dibuktikan dengan eksperimen-eksperimen yang tertuang dalan buku.
Berbicara kebenaran melalui buku sebagai bukti yang dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya atau valid ( referensi yang jelas ). Berbicara untuk menguatkan kebenaran salah satunya dapat membawa perubahan mendasar dalam cara kita untuk berpikir tentang kehebatan dan bagaimana untuk menolak yang tidak benar. Berbicara dalam menguatkan kebenaran berkomitmen untuk perdamaian yang harus memanifestasikan dalam segala sesuatu yang kita lakukan.
Pengetahuan yang didapatkan oleh pembaca dari buku akan membawa pengaruh yang kuat mengenai pandangannya terhadap sesuatu hal. Seperti kepala sekolah Gradgrind yang memberikan nasehat pada guru muda bahwa yang perlu diingat adalah hanya berikan fakta, bukan hal lain tatapi fakta. Dari sini dapat diketahui bahwa tidak ada hal – hal lain seperti fakta murni yang tidak dihiasi oleh pengadilan. Pengadilan yang dimaksudkan mengenai fakta-fakta tertentu yang penting diketahui oleh seseorang dan fakta yang tidak diberitahukan kepada orang lain karena tidak penting untuk diketahui.
Seseorang mengetahui sesuatu hal tidak hanya cukup dari mendengar saja, melainkan harus mengetahui fakta, yakni dengan cara membaca teks. Mayoritas orang lebih cenderung membenarkan apa yang hanya mereka dengar dari kiai, pendeta atau petinggi ( pemerintah), padahal realitanya untuk membuktikan fakta tersebut kita juga harus membaca. Tidak hanya langsung melahap mentah-mentah konsep pembicaraan yang sudah terbangun tersebut, kita harus mengkonsep ulang dengan cara mengkritisi serta harus mencari referensi lain ( fakta dan bukti ) mengenai hal yang sedang dibicarakan tersebut.
Buku mengoperasikan dalam banyak cara untuk mengubah kesadaran seseorang. Menulis dan membaca merupakan suatu media yang dapat membuat pserspektif atau pandagan seseorang terbuka. Ketika suara diproduksi maka akan langsung hilang pada saat itu juga kecuali jika suara tersebut direkam, informasi yang dibangun secara lisan tersebut akan bisa diperdengarkan kembali. Hal itu  bisa diimplikasikan seperti pada sejarah. Sejarah jika hanya direpresentasikan melalui mulut ke mulut tanpa dituangkan dalam bentuk tulisan, sejarah tersebut akan hilang. Ilmu pun jika tidak direpresentasikan dengan tulisan, ia akan hilang, Jadi tulisan merupakan suatu media untuk mengikat pengetahuan yang diperoleh baik melalui komunikasi verbal ( Lisan ) maupun dokumental ( tulisan ).
Diketahui bahwa pandangan seseorang dapat dipengauhi oleh buku. Tetapi tidak sedikit buku yang membawa pandangan pribadi penulisnya. Dalam hal ini, penulis buku terkadang menulis berdasarkan pandangan yang sebenarnya dan selebihnya tidak. Sudah sepatutnya seorang penulis harus menulis sesuai dengan fakta yang sebenarnya tanpa harus merubah atau hanya memberitahu sesuatu yang perlu diketahui saja.
Menguasai teks dapat memanipulasi atau memutar-balikkan sejarah ( dunia ). Dalam hal ini, buku bisa dikatakan sebagai salah satu bagian dari tulisan yang dapat memutar-balikkan sejarah. Salah satu yang paling hangat dibicarakan adalah Benua Amerika. Benua yang satu ini menyimpan banyak misteri yang seolah tak bisa dipecahkan hingga saat ini. Salah satu misteri tersebut terkait dengan sejarah penemu benua Amerika itu sendiri. Dunia mengenal Colombus sebagai orang pertama yang menjejakkan kaki di daratan Benua Amerika.
Namun di kemudian hari, fakta sejarah berkata lain. Menurut Howard zinn bahwa christopher Colombus itu bukanlah pahlawan. Dia adalah orang yang berfaham komunis. Dia juga bukan penemu Benua Amerika. Dia adalah penjahat, orang yang serakah, pembunuh, penindas kelompok ras hitam yang ada di Benua Amerika. Pertentangan mengenai penemu Benua Amerika dikaitkan dengan namanya yang bukan bernama benua columbia tetapi berasal dari nama Amerigo Vespucci, yang hanya salah satu asisten dari Columbus, bukan meniru nama penemunya.
Jay Kislak seorang banker yang memberikan sebagian koleksi peta Benua Amerika menduga nama Amerika yang muncul karena kelincahan dan relasi Vespucci yang kian luas. “Vespucci jelas punya kontak yang lebih baik dengan media dari pada Columbus. Dia punya kemampuan relasi yang lebih baik. Dia juga bisa menulis lebih baik. “Itu sebabnya, kita mengenal Amerika, dan bukan Columbia. Inilah kekuatan dari media,” ujar Kislak. Amerigo Vespucci juga lebih pandai menulis.
Dengan kata lain, ada banyak kemungkinan bahwasanya telah dilakukannya manipulasi sejarah melalui tulisan. Dari beberapa hal yang sudah disebutkan diatas dapat diketahui bahwa pemberian nama Benua Amerika berasal dari nama Amerigo Vespucci karena dia yang lebih pandai menulis. Maka tampak ada ketidak-jujuran dalam menuliskan fakta sejarah tentang penemuan benua Amerika.
Disamping itu, Para peneliti sejarah telah menunjukkan banyak bukti yang mengukuhkan teori bahwa Colombus bukan penemu benua Amerika yang pertama kali. Sebab, ada banyak bukti fisik seperti prasasti yang membuktikan bahwa jauh sebelum Colombus tiba di Benua Amerika, telah ada seorang tokoh bernama Cheng Ho atau Zheng He yang tiba 70 tahun sebelum Colombus. Bahkan beberapa sejarawan juga berargumen bahwa berabad-abad sebelum Cheng Ho, para saudagar sekaligus pelaut-pelaut muslim sudah menjejakkan kaki di Benua Amerika dan membuat perkampungan di sana. Pendapat ini secara terang-terangan dituliskan seorang peneliti bernama Dr. Yousseef Mroueh di dalam essainya yang cukup populer berjudul "Precolumbian Muslims in America".
Selain itu, ada peristiwa lainnya juga yang ada kaitannya dengan buku. Sebuah buku, A Memoir of The Holocaust Years. Buku ini ditulis oleh Misha Defonseca, kini 71 tahun, berkebangsaan Belgia. Buku itu segera saja menjadi best seller, bahkan bertahun-tahun lamanya. Misha menceritakan bagaimana perlakukan Nazi Jerman kepada kedua orang tua Yahudinya, dan ia sendiri ketika itu masih bocah kecil. Misha, menceritakan dirinya sendiri, berkelana dari satu negara Eropa ke negara Eropa lainnya, karena kemudian ia kehilangan kedua orang tuanya. Ia mengaku ia tersesat di Warsawa dan kemudian diasuh oleh kawanan srigala.
Tapi kini, secara terang-terangan Misha mengakui bahwa buku itu hanya merupakan rekaannya belaka—tidak berdasarkan pada kejadian sebenarnya. “Saya minta maaf pada semua orang yang merasa dibohongi,” ujar wanita yang kini menetap di Massachussetts, AS.
Adanya ketidakjujuran dalam menuliskan fakta sejarah ataupun lainnya, membuktikan bahwa penulisan buku yang bisa dibilang fungsi keakuratannya lebih tepat ternyata kadang tidak sesuai dengan faktanya. Dalam kata lain masih ada manupulasi tulisan dari penulis untuk memberikan informasi yang terkadang dipengaruhi oleh kepentingan pribadi.  Buku yang tertulis saja belum tentu benar, apalagi ucapan yang memang akan langsung hilang tanpa bekas. Itu akan terasa lebih susah dalan menyampaikan kebenaran.
Bila dilihat berdasarkan aspek sejarah, buku memang mempunyai peran yang sangat penting karena pengetahuan mengenai sejarah tidak mungkin dapat disampaikan hanya dengan melalui lisan atau ucapan saja. Diperlukan adanya bukti otentik yang dapat menguatkan untuk menjaga keutuhan sejarah sampai masa yang akan datang. 
Dengan demikian pula bahwa dalam buku yang menuliskan perjalanan sejarah perlu dikaji lebih dalam mengenai keakuratan dan validasi sumbernya. Buku yang berisi sejarah sebagai sesuatu karya, tidak boleh dipengaruhi oleh subyektivitas sejarawan. Sebagai contoh, tentang biografi Diponegoro. Jika ditulis oleh sejarawan Belanda yang pro pemerintah kolonial, maka Diponegoro dalam pikiran dan pendapat sejarawan tersebut dipandang sebagai “pemberontak” bahkan mungkin “penghianat”.
Sebaliknya jika biografi itu ditulis oleh seorang sejarawan yang pro-perjuangan bangsa Indonesia, sudah dapat diduga bahwa Diponegoro adalah “pahlawan” bangsa Indonesia. Di sinilah letak penulisan buku sejarah sebagai buku yang bersifat subyektif. Artinya memuat unsur-unsur dari subyek, si penulis / sejarawan sebagai subyek turut serta mempengaruhi atau memberi “warna”, atau “rasa” sesuai dengan “kacamata” atau selera subyek (Kartodirdjo, 1992: 62).
Oleh karena itu, tidak aneh jika tidak semua bacaan tentang sejarah itu benar, maka penting bagi kita bersikap selektif dalam membaca buku-buku sejarah. Seorang sejarawan pernah berujar seperti ini “Sejarah itu adalah versi atau sudut pandang orang yang membuatnya. Versi ini sangat tergantung dengan niat atau motivasi si pembuatnya.”. Kita sebut penulis yang seperti itu sebagai upaya ”Rekayasa Sejarah”. seperti sejarah-sejarah yang selama ini kita baca pada buku-buku sekolah misalnya, tak sepenuhnya benar, banyak sekali sejarah yang ditulis sesuai dengan keinginan politisi penguasa, rekayasa sejarah sebagai ajang pencitraan.
Jika sejarah serba subyektif, sejarah akan dapat disimpulkan sebagai hasil rekonstruksi intelektual dan imajinatif sejarawan tentang apa yang telah dipikirkan, dirasakan, atau telah diperbuat oleh manusia, baik sebagai individu maupun kelompok berdasarkan atas rekaman-rekaman lisan, tertulis atau peninggalan sebagai pertanda kehadirannya di suatu tempat tertentu.
Sebagian besar tulisan sejarah menunjukkan hal tersebut seperti penggambaran rekayasa sejarah politik selama ini. Oleh  sebab itu, dikatakan bahwa ilmu sejarah paling besar muatan politiknya bahkan digunakan sebagai wadah untuk memperkuat kekuasaan dari penguasa. Subjektivitas dalam sejarah merupakan sesuatu yang tidak dapat di pisahkan juga, karena penulis sejarah tidak mungkin bisa lepas dari nilai yang  di yakini oleh seorang penulis sejarah tersebut. Mereka tidak bisa lepas dari nilai politik dan etnis dimana penulis sejarah tersebut berada.
Ada banyak ide yang terjadi pada orang yang sudah membaca buku. Mungkin setelah mereka membaca buku, khususnya jika mereka membaca buku yang tidak lazim atau menyimpang. Bisa saja terjadi hal yang tidak diinginkan  karena tidak semua orang mempunyai pemahaman yang sama terhadap buku. Tidak hanya melalui ucapan saja untuk mempengaruhi pikiran, dengan buku pun bida mempengaruhi pikiran seseorang.
Buku memang memang sebuah media penyambung ilmu yang efektif untuk menyalurkan ilmu. Tapi tidak semua buku mengandung pesan baik. Ada beberapa buku yang bisa membuat pembacanya sempit wawasan, tidak toleran, dan bahkan menjadi teroris. Tidak sedikit pula kita akan menemukan buku-buku yang berisi anjuran untuk memerangi perbedaan. Orang bisa dengan mudah menyesat-sesatkan orang lain hanya dengan membaca buku-buku semacam itu.
Tetapi bukan berarti setiap buku tidak penting untuk dibaca. Dari sisi penulisnya, bisa saja buku semacam ini dianggap sebagai buku hebat yang padat argumentasi kuat dengan tujuan memperkuat keyakinan para pembacanya. Tetapi pengaruhnya bagi masyarakat luas ternyata tidak jarang justru bisa berpotensi merusak. Dari sisi pembacanya, buku semacam ini bisa memprovokasi pembaca agar mengikuti anjuran penulis. Dapat juga pengaruhnya diimbangi dengan cara membaca buku lain yang memungkinkan pembacanya memiliki sisi pandang baik dan berwawasan luas.
Buku harus dibaca dengan kritis agar pembaca tidak terjebak pada apa yang semula tidak mereka sadari. Buku diharapkan dapat mempengaruhi kesadaran seseorang dalam hal yang positif. Namun buku apapun tetap harus dibaca dengan kritis juga sehingga pembaca berpeluang untuk mengembangkannya serta tidak sekedar mengikuti pada apa maunya penulis. Dari sini seorang pembaca tidak saja diutungkan dari segi bertambahnya pengetahuan.
Pada prinsipnya, setiap buku pasti memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga tidak dapat memuaskan semua pembacanya. Penyajian informasi pada sebuah buku diharapkan dapat memenuhi sebanyak mungkin aspek kegiatan proses penyebaran ilmu pengetahuan dan dapat dibaca oleh semua orang untuk memperoleh pengetahuan.
Begitu banyak buku yang dapat digunakan sebagai bahan bacaan dan  secara umum semua buku  tampak semarak dengan ragam jenis mulai dari fiksi realistik (termasuk seri lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati, seri budi pekerti, seri anak beriman), biografi, petualangan, bacaan bergambar, buku bacaan dwi-bahasa, hingga cerita misteri dalam bahasa asing.
Penyebaran ilmu dan pengetahuan telah dilakukan oleh berbagai bangsa dalam berbagai budaya, melalui simbol gambar, ikon, lukisan, prasasti termasuk kemudian buku. Sebuah sejarah dan beberapa kejadian yang terjadi di waktu lampau bahkan dapat kita temukan di dalam buku. Berbagai ide, pemikiran dan pencerahan bahkan dituliskan di beberapa helai kertas dan disusun menjadi sebuah buku.
Namun sangat disayangkan beberapa buku-buku yang berisikan hal penting beberpa hilang, rusak baik secara disengaja maupun tidak disengaja. Faktor-faktor yang menghambat seseorang dalam membaca, faktor yang paling besar adalah berasal dari dalam diri orang itu sendiri yang ditunjukan dengan kebiasaan atau kegemaran membaca yang sangat rendah. Sesuatu yang digemari pasti diminati, jika seseorang memiliki kegemaran membaca bisa diasumsikan bahwa dia memiliki minat yang tinggi untuk membaca. Membaca bukan sesuatu yang menjadi kebiasaan atau gaya hidup bagi setiap orang
Dengan demikian, dapat diambil beberapa poin dari beberapa penjelasan diatas. Buku adalah sebuah alat perubahan sejati yang tak lekang oleh usia dan waktu. Begitu banyak perubahan dan peristiwa yang terjadi hanya karena sebuah buku. Buku memiliki kekuatan rahasia yang tersembunyi di setiap kata-katanya. Sayangnya, masih banyak orang yang berpikir buku itu benda yang tidak berguna dan menghabis-habiskan waktu. Jika diberikan opsi antara berselancar di dunia maya, shopping di mall, dan membaca, mungkin membacalah yang akan menjadi pilihan terakhir bagi beberapa orang tertentu, khususnya anak muda. Tak heran jika kadar intelektualitas masyarakat Indonesia dinilai kurang karena kurangnya aktivitas membaca.
Sebuah perubahan datang dari buku. Jika ingin hidup kita berubah, maka mulailah membaca dan memahami sebuah buku. Mungkin filosofi itulah yang harus kita tanamkan dalam diri kita masing-masing untuk memahami pentingnya membaca bagi kelangsungan hidup kita. Buku memang sebuah benda mati yang tidak bernilai. Namun setiap lembar dari buku adalah intrepretasi dari pemikiran dan ide seseorang yang nilainya sangat berharga. Kita dapat memetik begitu banyak pelajaran, pengalaman, dan pemikiran serta dapat menimbulkan keinginan menulis juga. Buku membuat otak kita kaya akan pengetahuan untuk menghadapi kehidupan. Tentu kita pun harus memilih buku yang tepat untuk mendapatkan perubahan yang optimal ke arah yang lebih baik.
Pada akhirnya, membaca adalah sebuah aktivitas yang wajib dilakukan masyarakat Indonesia untuk maju. Tentu jangan salahkan pemerintah dan aparat lainnya jika masyarakat Indonesia tidak maju-maju. Pemerintah hanyalah abdi rakyat, namun yang berkuasa untuk membawa perubahan adalah diri kita masing-masing. Dengan buku sebagai bahan bakar perubahan, mari kita menjadi agen perubahan bangsa yang menciptakan sejarah dengan langkah tepat yang kita ambil.

Referensi
A transcription of remarks presented in “ anthropology of the shelf : speaking truth to power with books”. December 2005.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah


1 comments:

  1. coba tunjukkan di artikel ini posisi kamu sebagai kritikus, bukan sebagai storyteller?

    ReplyDelete