Sunday, March 2, 2014



Class Review 3
17 Februari 2014
Menjadi manusia terdidik & berbudaya yang berliterasi






            “Kita bawa obor dan Pak Lala yang menyalakan,urusan obor itu apinya akan gede atau tidak itu terserah kita.”  Bukannya “bawa ember gede yang harus Pak Lala isi.”
            Kalimat itulah yang memotivasi saya agar lebih giat dan serius lagi dalam belajar. Sebuah perumpamaan dari Mr.Lala Bumela yang bermakna dan mempunyai arti yang membuat kami (PBI.B) tercengang. Hal tersebut dikarenakan Pak Lala ingin agar kita menangkap ilmu yang beliau sampaikan dan kita bisa mengembangkan ilmu tersebut sebesar-besarnya. Bukannya Pak Lala memberikan ilmu sebanyak-banyaknya,tetapi kita hanya menerima asupan ilmu dari beliau saja tanpa mencari referensi lain untuk mengembangkan ilmu tersebut. Kita semua sedang dibimbing oleh beliau untuk menjadi manusia terdidik & berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal yang biasa kita sebut Literasi.
            Literasi merupakan suatu cara untuk melahirkan suatu masyarakat yang berperadaban tinggi. Dalam hal ini,literasi tidak hanya berkutat pada kegiatan baca tulis saja,melainkan memiliki makna luas dengan berbagai dimensi yang meliputinya. Dimensi Literasi tersebut melingkupi dimensi sosial,ekonomi,politik,budaya,dan lain-lain. Dimensi-dimensi tersebutlah yang membentuk predikat civilization (masyarakat yang berperadaban). Sedangkan ciri-ciri dari civilization adalah eksistensinya system security yang tinggi,dan juga terciptanya kondisi masyarakat yang harmoni dan sejahtera (comfortable).
            Budaya literasi terlahir dengan adanya interpolasi moral,sosial dan spiritual supaya mampu menjadikan masyarakatnya berkepribadian yang beradab,berbudaya dan menjunjung tinggi nilai dan norma. Tidak bisa dikatakan literasi bagi orang yang memiliki kapasitas keilmuan yang mapan namun tidak diimbangi dengan perilaku baik atau akhlakul karimah. Jadi literasi harus memadukan antara intelektual,moral,sosial,dan juga spiritual. Jika ke 4 aspek tersebut menempel pada diri setiap masyarakat atau warga negara,bukan tidak mungkin lagi mereka bisa membangun peradaban bangsa yang lebih maju. Untuk membangun masyarakat yang itulah literasi sangat dibutuhkan sekali. Namun nyatanya di Indonesia cenderung lebih mengembangakn tradisi dengar-ucap dibandingkan dengan budaya literasi yaitu baca-tulis.
            Dalam masyarakat Madari didalam wacana Prof.Chaedar Alwasilah menuturkan bahwa berjubelnya lulusan-lulusan perguruan tinggi yang setengah literasi dikarenakan para dosen pengajar mata kuliah bahasa belum terlalu matang baik usia maupun ilmunya yang mengakibatkan mereka terkesan asal-asalan dalam mengajar,sehingga mayoritas lulusan dari perguruan tinggi tidak mampu mengaktualisasikan ide-idenya kedalam bentuk tulisan.
            Seperti yang dituturkan Prof.Chaedar bahwa ujung tombak pendidikan Literasi adalah guru,maka untuk membangun literasi bangsa harus diawali dengan memangun guru yang profesional,dan guru yang profesional hanya dihasilakan melalui lembaga pendidikan yang profesional juga. Dimensi rekayasa literasi berkutat pada linguistik,kognitif,perkembangan dan sosiokultural.
            Konsep rekayasa literasi berarti suatu taktik atau strategi dalam upaya mengkonsep ulang hal-hal yang masih mentah dalam menjalankan pendidikan literasi tersebut. Tujuannya untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju pendidikan dan pembudayaan literasi meliputi keterampilan membaca dan menulis . Dengan demikian,rekayasa literasi berarti merekayasa,mengkonsep ulang dan mematangkan pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi tersebut. Contoh ketika kita disuguhkan teks,maka yang seharusnya kita lakukan adalah membaca,merespon,menulis,dikomentari,dikritisi,merevisi kembali kemudian dipublikasikan ke media masa. Tujuannya agar kita tidak hanya menjadi manusia pembaca saja,melainkan dapat menghasilkan sebuah karya tulis yang akan membantu orang lain untuk mendapatkan ilmu lewat karya tulis kita. Seperti itulah rekayasa literasi terbangun. Hal tersebut tentunya dapat mematangkan daya berfikir kritis pelajar. Disamping itu ada catatan bahwa orang literat tidak sekedar berbaca-tulis tapi juga terdidik dan mengenal sastra.
            Sedangakan literasi kontannya dengan bahasa,ketika bahasa semakin banyak digunakan,maka tingkat vitalitasnya semakin tinggi dan bagus. Ketika kita memperbanyak tulisan-tulisan dalam bahasa inggris berarti kita sedang meningkatkan vitalitas dari bahasa inggris itu sendiri. Dalam hal demikian,kita ditempatkan menjadi bilingual writer,yakni disamping cakap dan beretorika dengan bahasa Indonesia,kita juga dituntut untuk cakap beretorika dalam bahasa Inggris. Tingkat penggunaan bahasalah yang menentukan eksistensi bahasa itu.

0 comments:

Post a Comment