Tuesday, March 4, 2014




            Challenge disk minggu lalu menghasilkan rasa yang hambar pada masakan saya. Hal itu dikarenakan tema dari disk yang seharusnya berangkat dari classroom discourse, tidak kami gunakan. Kami terlalu nyaman dengan menu religious harmony. Kami pun akhirnya masuk ke dalam ‘trap’ yang telah diperkirakan sebelumnya oleh Master Lala Bumela M.Pd. akhirnya beliau memberikan buku menu tentang classroom discourse dari Betsy Rymes.Untuk memasuki dunia religious harmony, kita harus masuk gerbang utamanya terlebih dahulu, yaitu classroom discourse.
            Classroom adalah ruangan yang digunakan oleh sekumpulan orang yang mempunyai tujuan dan menjalani proses yang sama. Walaupun mereka mempunyai perbedaan, namun di dalam kelas mereka dianggap satu dalam perbedaan tersebut.
            Discourse terdiri dari dua elemen penting, yaitu text dan context. Text dapat berupa tulisan atau ujaran. Menurut Lehtonen (2000:72),"Texts are surely physical beings, but they exist
in such forms in order to be semiotic beings. Conversely, texts can be
semiotic beings only when they have some physical form." Sedangkan context menurut beliau adalah "In traditional notions of texts and contexts, contexts are seen as separate
‘backgrounds’ of texts, which in the role of a certain kind of additional
information can be an aid in understanding the texts themselves." (2000:110). Dapat dikatakan, text dan context di dalam classroom dicourse sangat berpengaruh terhadap masyarakat untuk menentukan meaning.
            Di sisi lain menurut Iguis Mariane (2002), "wacana (discourse) merupakan proses bagaimana seseorang berbicara dan mengerti apa yang dibicarakan dan apa yang didengarnya, yang mencakup semua aspek perkataan." Sedangkan menurut Abdul Khaer (2004), "Wacana (discourse) merupakan gejala individual yang bersifat psychologist dan berkelangsungannya di tentukan oleh kemampuan berbahasa si penutur dalam situasi tertentu." Dari ketiga definisi di atas tentang discourse, dapat di katakan bahwa discourse bersifat individual namun semua aspek yang ada di sekitarnya sangat berpengaruh dalam menentukan meaning.
            Sedangkan menurut Betsy Rymes (2008:12)dalam mengartikan discourse adalah sebagai ‘language-in-use’. Sangat sederhana namun cukup sulit untuk dapat mengartikannya. Menurutnya classroom discourse, yaitu "as aninvestigation into how discourse (language-in-use) and context affect each other, our framework comprises three ever-present dimensions of Language-in-Use: 1) Socialcontext—the social factors outside the immediate interaction that influence how words
function in that interaction (e.g., how does social context influence whether you or yourstudents use the word dude? What effects would it have?) ; 2) Interactional context— the sequential or other patterns of talk within an interaction that influence what we can and cannot say, and how others interpret it within classroom discourse (e.g., in what sequence of interaction would your use the word dude? A greeting? A compliment? What effects would it have on the rest of the interaction?); and 3) Individual agency— the influence an individual can have on how words are used and interpreted in an interaction (e.g., When and why would an individual choose to use dude and for what purpose? How much can an individual control its effects?)" (2008:31-32)
            Dari pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa penggunaan kata atau ujaran sangat mempengaruhi konteks atau situasi yang sedang dialami oleh si penutur. Sehingga dapat menghasilkan pengaruh yang berbeda pula walaupun berasal dari satu kata yang sama (e.g dude). Dalam hal ini, kita dituntut untuk berhati-hati dalam memilih kata dan kalimat untuk di sampaikan pada berbagai konteks. Kenapa kita harus ‘pay attention’ terhadapnya? Pe-respone atau listeners yang kita ajak berkomunikasi selalu berbeda tergantung pada situasi di dalamnya, yakni berdasarkan umur, tingkatan sosial, agama, dan lainnya.
            Dalam mengahadapi anak-anak dikelas (TK-SD), kesabaran dan pengendalian diri sangat berperan. Seperti yang kita tahu, anak pada usia itu lebih senang untuk bermain dan tidak ingin oleh peraturan. Menurut Betsy Rymes (2008:7), "By targeting specific differences in discourse patterns, this research into cross-cultural communication in classroom contexts has been able to enhance teachers and students’ mutual understanding—reconceptualizing deficits as differences, and differences as resources for learning." Wacana kelas memang sangat memprioritaskan komunikasi (interaction). Komunikasi di kelas bukan sebatas hanya meliputi ujaran, tapi sikap, respon, attitude, bahkan kenakalan. Semua itu merupakan bentuk cross-cultural communication karena dalam satu kelas terdiri dari banyak perbedaan. Disanalah wahana untuk murid-murid menyampaikan atau mengkomunikasikan perbedaan secara ekplisit.
            Ada beberapa pendekatan yang harus dilakukan oleh guru untuk dapat menjadikan perbedaan di kelas menjadi sebuah proses pembelajaran. Menurut Betsy Rymes (2008:7), "teachers began to see these ways of talking and responding to classroom prompts as part of the way these children had been socialized to use language at home and in their non-school communities. As a result, teachers were then able to use their knowledge of these different language practices as a resource to build mutual, collaborative understandings of the ways stories can be told, questions can be responded to, and problems can be solved." Dengan melakukan pendektan tersebut, guru mampu belajar tentang perbedaan dari berbagai aspek yang ada pada murid-muridnya. Pelatihan/pendekatan tersebut pada akhirnya menjadi sumber dari terbukanya mutual-understunding guru dan murid, serta antara murid dengan murid. Walaupun demikian, cukup sulit untuk melakukan pendekatan tersebut bila guru tidak memiliki cukup kesabaran. Mengingat hal ini harus diajarkan sedari dini.
            Kenapa classroom discourse harus dipraktekan sedari dini? Perbedaan yang ada dalam classroom discourse datang dari sisi bahasa dan budaya. Perbedaan tersebut menimbulkan momment yang rumit dan tidak dimengerti dalam suasana kelas oleh guru. Sehingga munculah classroom discourse analysis melalui recording, viewing, transcribing, dan analyzing dalam obrolan di kelas (Betsy Rymes, 2008:6).
            Ikatan guru dengan murid bukan hanya sekedar profesionalisme semata. Namun, mereka juga harus memiliki ikatan interaksi yang baik. Kesulitan dalam memberikan pembelajaran, diantaranya karena background, communication standard, dan goal-driven (cognitive, affective, dan psycomotor).
           
            Menghadapi murid-murid yang memiliki background yang berbeda, sebenarnya dari perbedaan tersebut guru dapat mempelajari sikap muridnya. Sikap tersebut juga merupakan salah satu bentuk interaksi. Background yang berbeda harus dijadikan satu wahana pembelajaran bagi murid dan gurunya. Dalam classroom discourse analysis, perbedaan tersebut merupakam salah satu yang mempengaruhi kelas. Keadaan tersebut bergantung pada guru, yakni sejauh mana ia dapat membawa perbedaan menjadi pembelajaran.
            Oleh karenanya, diperlukan media yang dapat dimengerti oleh semua murid. Communication standard adalah jembatan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Di Indonesia, seharusnya Bahasa Nasional dapat menjadi standar komunikasi dalam classroom discourse. Mengingat, sedari kecil murid-murid lebih diajarkan kepada Bahasa Daerah. Disisi lain, menurut Batsy Rymes tentang Communication Standard adalah berbicara dan merespon keadaan di kelas. Hal ini sebagai wujud dari sikap sosial mereka dalam menggunakan bahasa, baik di rumah maupun di lingkungan sosial lain. Dengan demikian, guru dapat mempelajari dan menggunakan bahasa mereka (2008:7).
            Kesulitan lainnya, yaitu goal-driven. Menurut Batsy Rymes (2008:10), "…teachers also need to be internally driven to continue the hard work necessary to maintain high levels and equity in student achievement."Oleh karena itu, untuk mencapai achievement tersebut di perlukan 3 aspek penting, yaitu cognitive, affective, dan psycomotor. Dari interaction yang terjalin tersebutlah, terbentuknya meaning-practice. Melalui itu kita dapat mencapai religious harmony.
            Tidak berlebihan jika Betsy berujar mengenai bukunya (2008:11), "Some books on classroom discourse not only resonate with hope for teachers, but for humanity in general."Memang dalam kenyataannya, interaction dan tolerance harus di bangun sejak dini. Dari interaksilah akan memproduksi meaning yang dapat diterima receiver-acceptor. Jika perbedaan dapat menemukan titik temu, maka level mutual-understunding dapat tercapai. Sehingga kerukunan antar umat beragama dapat terjalin, tidak mudah memang untuk mewujudkannya. Jangankan yang berbeda agama, masih dalam agama yang samapun toleransi merupakan barang yang hampir punah.
            Jadi, dapat diakatakan bahwa inti yang terdapat dalam classroom discourse adalah interaction. Di dalamnya terdapat nucleus yang disebut ‘talk’. Classroom discourse harus diterapkan sedari dini karena ini merupakan cikal bakal bagi terjalinnya kerukunan beragama. Sehingga para guru harus lebih ‘aware’ atas segala sikap (respon) murid-muridnya. Seorang guru harus mampu mengartikan perilaku dan bahasa yang mereka gunakan. Pada dasarnya para guru juga sedang belajar dari murid-muridnya ketika mereka sedang melakukan proses pembelajaran.

0 comments:

Post a Comment