Saturday, March 8, 2014


"Mereka membawakan kita beo dan bola kapas dan tombak dan banyak hal lainnya, yang mereka ingin pertukarkan dengan manik-manik kaca dan lonceng elang '. Mereka rela menyerahkan segala yang mereka miliki. Mereka tegap, dengan tubuh yang baik dan wajah tampan .... Mereka tidak memanggul senjata, dan tidak mengenal senjata, karena aku menunjukkan kepada mereka pedang, mereka memegang bagian yang tajam dan melukai tangan mereka sendiri akibat ketidaktahuannya itu. Mereka tidak mengenal besi/iron. tombak mereka dibuat dari tebu. Mereka akan menjadi budak yang baik. Dengan hanya lima puluh orang, kita bisa menundukkan mereka semua dan membuat mereka melakukan apapun yang kita inginkan." Christopher Columbus

Christopher Columbus dikenal sebagai penemu benua Amerika dan dipandang sebagai pahlawan eksplorasi abad pertengahan oleh banyak sejarawan masa kini. Namun banyak buku teks gagal mengungkapkan fakta sebenarnya. Howard Zinn melalui artikelnya berjudul “Speaking Truth to Power with Book” dengan berani menentang Columbus sebagai seoarang pahlawan. Bahkan dia menuliskan bahwa Columbus adalah seorang maniak genosida yang mencetuskan apa yang mungkin menjadi kasus terburuk genosida yang dilakukan satu bangsa manusia terhadap bangsa yang lain.
Genosida atau genosid adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan di Amerika Serikat. Kata ini diambil dari bahasa Yunani γένος genos ('ras', 'bangsa' atau 'rakyat') dan bahasa Latin caedere ('pembunuhan'). Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan Agresi.
Columbus menghukum suku setempat, yang dikenal sebagai Taino, dengan kejam. Dia memperbudak banyak penduduk lokal dan membantai lebih banyak lagi, menurut Ward Churchill, mantan profesor studi etnis di University of Colorado, sampai tahun 1496, populasi telah berkurang dari sebanyak delapan juta menjadi sekitar tiga juta. Dan pada saat ia akhirnya meninggalkan Amerika di tahun 1504, bangsa Taino telah menurun menjadi sekitar 100.000 orang, sehingga membuat Columbus penjahat perang menurut standar sekarang dan bersalah melakukan beberapa kekejaman terburuk terhadap ras lain dalam sejarah.
Semua fakta diatas sepertinya tidak banyak diketahui oleh publik, entah sengaja dihilangkan atau memang luput dari perhatian. Soal benar tidaknya juga sulit untuk dibuktikan. Validitas kisah di atas masih bisa dipertanyakan. Sumbernya pun bisa dipertanyakan, karena kontradiktif dengan sumber-sumber lain. Misal, sebelum bisa berlayar, Colombus sudah melobi raja-raja di berbagai negara selama bertahun-tahun. Konyol kalau ada penguasa yang malah mengeluakan dana luar biasa besar demi mengusir pelaku kejahatan. Dan dalam catatan Clombus pun Colombus bicara bukan tentang menjadikan mereka budak, justru menyinggung tentang kaum dari daratan utama yang menjadikan kaum indian yang dia temukan sebagai budak. Tapi itulah sejarah, sangat sulit memang membuktikan mana yang benar atau mana yang salah.
Ismaun (2002: 13) menguraikan tiga komponen pengertian atau konsep tentang sejarah, yaitu: sejarah sebagai peristiwa, sejarah sebagai kisah, dan sejarah sebagai seni. Sejarah sebagai peristiwa ialah kejadian, kenyataan, aktualitas, sejarah in concreto yang sebenarnya telah terjadi atau berlangsung pada waktu yang lampau (sejarah serba objek). Sejarah sebagai kisah adalah cerita berupa narasi yang disusun dari memori, kesan, atau tafsiran manusia terhadap kejadian atau peristiwa yang terjadi atau berlangsung pada waktu yang lampau (sejarah serba subjek).
Bury (Teggart, 1960: 56) secara tegas menyatakan “History is science; no less, and no more”. Carr (1982: 30). yang menyatakan, bahwa “history is a continous process of interaction between the historian and his facts, and unending dialogue between the present and the past. Colingwood (1973: 9) yang menegaskan bahwa: “Every historian would agree, I think that history is a kind of research or inquiry”. menurut Carr (Dalam Sjamsuddin, 2007: 23), sejrawan memperoleh fakta-fakta sejarah (historical fact) dari dokumenh, inskripsi, dan dari ilmu-ilmu Bantu sejarah lainnya seperti arkeologi, sepgarfi, numismatic, dan kronologi.
Hayden White dan Munslow (Sjamsuddin, 2007) mengatakan sejarah adalah sebuah narasi yang dikuasai oleh konvensi-konvensi estetika sastra daripada ke bidang pengetahuan dan menyangkal bahwa suatu makna "lebih baik" atau ’"lebih benar" daripada makna lain. Naratif-naratif sejarah adalah fiksi-fiksi verbal yang isinya diciptakan atau diimajinasikan sebanyak ditemukan sehingga dekat sastra ketimbang sains. Konteks adalah keseluruhan, totalitas, atau latar belakang, atau masa lalu itu sendiri. Konteks berfungsi membuat masa lalu masuk akal, berari, signifikan, dan berarti.
Guy Cook memberikan satu daftar kemungkinan dari perbedaan dimensi dari 'konteks'  dalam bukunya yang berhubungan dengan iklan. Konteks mencakup semua hal berikut:
1.       substansi: materi fisik yang membawa atau relay tek
2.       musik dan gambar
3.       paralanguage: perilaku yang berarti bahasa yang menyertainya, seperti kualitas suara, gerak tubuh, ekspresi wajah dan sentuhan (dalam kecepatan), dan pilihan dari jenis huruf dan ukuran huruf (secara tertulis)
4.       Situasi: sifat dan hubungan objek dan orang-orang di sekitarnya teks, seperti yang dirasakan oleh para peserta
5.       co-teks: teks yang mendahului atau mengikuti yang di bawah analisis, dan yang peserta menilai milik wacana yang sama
6.       intertext: teks yang peserta anggap sebagai milik wacana lain, tapi yang mereka persekutukan dengan teks di bawah pertimbangan, dan yang mempengaruhi interpretasi mereka
7.       peserta: niat dan interpretasi mereka, pengetahuan dan keyakinan, sikap interpersonal, afiliasi dan perasaan. . .
8.       fungsi: apa teks dimaksudkan untuk melakukan oleh pengirim dan addressers, atau dianggap dilakukan oleh penerima dan addressees.7
Gagasan Cook terhadap konteks cukup praktis. 'Faktor eksternal teks', seperti situasi, pembaca dan fungsi ditujukan untuk teks ditampilkan secara kuat di samping hal-hal tekstual yang lazim diperhitungkan di antara konteks.
hal-hal yang berpartisipasi dalam pembentukan makna (baik sebagai nontekstual ataupun sebagai tekstual), sangat subur untuk mempertimbangkan konteks variabel dan sumber daya budaya (special cultural resources), dengan bantuan pembaca yang menghasilkan makna dalam teks. Makna tekstual adalah potensi yang mengaktualisasikan suatu hal dengan jenis sumber daya kontekstual yang pembaca miliki dan bagaimana mereka menghasilkan rasa dalam teks yang mereka baca denagn mengandalkan sumber daya tersebut.
Oleh karena itu, dalam prakteknya, suatu yang mustahil bila teks dan konteks saling terpisah satu sama lain (memisahkan mereka sementara untuk tujuan analisis adalah hal yang berbeda). Mari kita mempertimbangkan, misalnya, wacana yang seperti kerangka referensi adalah salah satu yang paling sentral dari faktor-faktor kontekstual dalam pembentukan makna. Wacana bertindak sebagai semacam sumber daya budaya batalyon, dalam batas-batas makna yang pembaca produksi dari teks. Mereka menetapkan batas tidak hanya untuk apa yang dapat dikatakan tetapi juga bagaimana kata dapat dipahami. Apapun teks yang lain, mereka juga selalu merealisasikan wacana. Namun, gagasan dari wacana mempertanyakan pemisahan teks dan konteks seolah-olah mereka interior dan eksterior. Menurut divisi yang disebutkan di atas, wacana akan termasuk dalam bagian luar teks, tetapi juga diatakan sebagai pengdefinisi potensi dan pemahaman mereka yang paling kuat terletak di pedalaman teks.
Sejarawan sering kali kesulitan menemukan konteks guna mendapatkan fakta-fakta sejarah yang signifikan dan bermakna dan konteks tidak pernah secara pasti ditemukan. Konteks dikonstruksi untuk mengkontekstualkan fakta-fakta yang pada akhirnya harus diimajinasikan dan diciptakan. Semua interpretasi dari masa lalu benar-benar diciptakan (konteks) sebanyak yang ditemukan (fakta). Karena ada unsur imajinasi dalam sejarah, maka tidak ada sejarah yang secra harfiah faktual (seluruhnya ditemukan) atau benar. Karena tidak bisa menghindari kiasan, Kisah sejarah merupakan metafora dan metahistory.
Menurut White (Shuterland: 2008, 48) mengatakan bahwa sejarah adalah sebuah narasi yang dikuasai oleh konvensi- konvensi estetika dan lebih dekat kepada sastra daripada ke ilmu pegetahuan. (Sjamsuddin, 2007), menjelaskan bahwa sejarah disebut metahistory karena sejarah tidak bisa menolak masuknya kiasan-kiasan dalam penulisan sejarah. Metahistory adalah karya-karya sejarah yang tujuannya bukan untuk membuat informasi baru tentang suatu objek tertentu tetapi menimbang informasi yang ada, mendiskusikan interpretasi-interpretasi yang sudah ada, dan kemungkinan mengomentari asumsi-asumsi yang telah membuat mungkin interpretasi-interpretasi itu.
Linguistic turn menyatakan bahwa bahasa dalam bentuk budaya dan intelektual merupakan media pertukaran bagi hubungan antar kekuatan dan konstitutor terakhir dari kebenaran dalam penulisan dan pemahaman masa lalu (Purwanto, 2006: 3). Purwanto (2006:3-4) menjelaskan bahwa sejarah sebagai sebuah pengetahuan sangat tergantung pada wacana dan bentuk representasi antar teks pada konteks sosial dan institusional yang lebih luas di dalam atau melalui bahasa, karena realitas objek masa lalu telah berjarak dengan sejarah sebagai ilmu.
Rekonstruksi sejarah adalah produk subjektif dari sebuah proses pemahaman intelektual yang dilambangkan dalam simbol-simbol kebahasaan atau naratif dan dapat berubah dari waktu-ke waktu, dari satu tempat ketempat lain, atau dari satu orang ke orang lain. Sementara itu pada waktu yang sama, sastra berhasil menampilkan citra dirinya sejajar dengan sejarah karena mampu menghadirkan situasi faktual dari masa lalu sebagai sebuah naratif melalui imajinatif kebahasaan (Purwanto, 2006:3-4).
Sastra telah membuktikan dirinya sebagai ilmu yang bukan hanya bicara persoalan kreativitas dan rentetan imajinasi, tetapi dapat pula berfungsi sebagai dokumen sejarah (Surur, 2008). Zainuddin Fananie berpendapat, dengan keluarnya sastra dari kreativitas imajiner ke wilayah sejarah, maka sastra secara tidak langsung bisa diletakkan sebagai dokumen sejarah atau dokumen sosial yang kaya dengan visi dan tata nilai suatu masyarakat.
Mengacu pada pemikiran tersebut , selanjutnya dikemukakan beberapa ilmu sosial dalam persinggungannya dengan studi sejarah. Empat disiplin yang dijelaskan yaitu; ilmu Politik, antropologi , sosiologi,  dan ekonomi.
Dalam buku pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah Sartono menuliskan “Politik adalah sejarah masa kini dan sejarah adalah politik masa lampau. Sejarah identik dengan politik, sejauh keduanya menunjukkan proses yang mencakup keterlibatan para aktor dalam interaksi dan peranannya dalam usaha memperoleh apa, kapan dan bagaimana.
Sedangkan ilmu ekonomi dan sejarah itu sama-sama termasuk kedalam ilmu sosial, yaitu ilmu yang membahas interaksi manusia dan lingkungannya. itulah kenapa di SMP, pelajaran ekonomi dan sejarah itu digabung. karena berasal dari rumpun ilmu yang sama, terkadang materinya pun berkaitan bahkan terkadang tumpang-tindih. Misalnya, pada materi perdagangan internasional, di sejarah juga  ada. di sejarah disebutkan bahwa bangsa eropa pergi ke indonesia utk mencari rempah-rempah.Dengan belajar dari masa lalu (sejarah) kita juga dapat belajar supaya perekonomian dapat lebih baik.
Selain itu, pada beberapa dasawarsa terakhir ini banyak sekali hasil-hasil penelitian sosiologi berupa studi sosiologis yang memfokuskan studinya pada gejala-gejala sosial yang terjadi dimasa lampau(supardan, 2008:325), dengan memasukkan konsep ruang tadi maka dapat kita lihat bahwa kajian tersebut jelas menggunakan beberapa konsep dari sejarah untuk menjelaskan studi tersebut. Karya-karya seperti Pemberontakan Petani Kaya yang ditulis oleh Tilly, Perubahan Sosial Masa Revolusi Industri di Inggris Karya Smelzer, serta Asal Mula Sistem Totalitier dan Demokrasi karya Barrington Moore. Karya-karya tersebut sering disebut Sejarah Sosilogi.(Kartodirdjo dalam Supardan, 2008: 325)
Begitu pun dalam ilmu Antropologi ,titik temu antara budaya dan sejarah sangatlah jelas. Keduanya mempelajari tentang manusia. Bila sejarah menggambarkan kehidupan manusia dan masyarakat pada masa lampau, maka gambaran itu juga mencakup unsur-unsur kebudayaannya . unsur-unsur itu antara lain, kepercayaan, mata pencaharian, dan teknologi. Hasil rekonstruksi yang memadukan antara sejarah dan antropologi menghasilkan karya sejarah kebudayaan.
Melihat fakta diatas, akan betapa kompleksnya suatu sejarah, sudah saatnya kita tidak menganggap enteng sebuah sejarah. Keterkaitannya dengan banyak ilmu sosial serta sastra pun seharusnya menyadarkan kita akan pentingnya belajar sejarah. Dengan belajar sejarah seseorang akan senantiasa berdialog anatara masa kini dan masa lampau sehingga bisa memperoleh nilai-nilai penting yang berguna bagi kehidupannya. Nilai-nilai itu dapat berupa ide-ide maupun konsep kreatif sebagai sumber motivasi bagi pemecahan masalah kini dan selanjutnya untuk merealisasikan harapan masa yang akan datang.
Keterkaitannya dengan sastra pun membuka mata kita bahwa sejarah tidak hanya tercipta dengan begitu adanya, terdapat input-input subjektif dari seorang penulis yang dimasukan dalam karangan sejarah yang mereka tulis. Perbedaan kontekslah yang menciptakan karangan sejarah seseorang dengan orang lainnya akan berbeda. Sehingga kita tidak bisa membenarkan atau menyalahkan karangan seseorang. Karena pada intinya mereka menulis sejarah tersebut berdasarkan konteks mereka masing-masing.

Referensi
[Mikko_Lehtonen]_The_Cultural_Analysis_of_Texts(BookZa.org) 
Nos Ex Praeteritum: HUBUNGAN ANTARA ANTROPOLOGI DENGAN ILMU SEJARAH iraganean.blogspot.com diunduh 8 maret 2014 (2.45 pm)

0 comments:

Post a Comment