Saturday, March 8, 2014

24 Februari 2014

 
            Sebuah hentaka telah terjadi pada pertemuan kali ini, karena sebuah Critical Review pertama telah disajikan oleh kami dengan citarasa yang beragam.  2500 kata merupakan point penting atau syarat utama yang harus dikerjakan guna tersajinya sebuah hidangan Critical Review 1.  Kami mempunai waktu satu minggu kurang untuk menyelesaikannya, karena Mr. Lala Bumela menginstuksikan agar kami mempostingkan hasil tulisan kami kedalam blog kelas agar beliau dapat mengkoreksi dahulu hasil tulisan kami sebelum permatakuliahan berlangsung.

            Pembahasan dari Critical Review 1 kami yaitu membahas tentang Classroom Discourse dan Religious Harmoni, dari wacana “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” yang ditulis oleh Prof. Chaedar Alwasilah.  Hasil Critical Review 1 saya mendapat tanggapan dari Mr.Lala, yang menurutnya saya belum jelas menguraikan esensi dari Classroom Discourse dan Religious Harmony.  Sebaiknya kita harus mengetahui dahulu Classroom Discourse (wacana kelas), sebelum mengembangkan pemahaman Religious Harmony.

            Classroom Discourse atau wacana kelas.  Dalam kridalaksana (2011)  dipaparkan bahwa wacana merupakan satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar.  Sementara menurut Louis Marianne (2002) , Wacana merupakan proses bagaimana seseorang berbicara dan mengerti apa yang dibicarakan dan didengarnya yang mencakup semua aspek kata yang di ucapkan.  Pengertian wacana termasuk ke dalam tindak tutur yang menurut Abdul chaer (2004)  merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan berbahasa si penutur dalam situasi tertentu.  Jadi, secara garis besar wacana merupakan proses dimana seseorang menyampaikan ujaran untuk dapat dimengerti oleh orang lain yang tidak terlepas dari sistem dan kaidah bahasa yang berlaku.  Untuk mengkaji dan memahami wacana maka digunakan analisis wacana atau discourse analis.

                Selanjutnya yaitu kelas.  Kelas bisa diartikan ke dalam dua perspektif, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas.  Dalam arti sempit kelas adalah ruangan yang dibatasi oleh empat dinding ( persegi ), tempat dimana sejumlah siswa berkumpul untuk mengikuti proses pembelajaran.  Sementara dalam arti luas, kelas adalah suatu masyarakat kecil yang merupakan bagian dari masyarakat sekolah, sebagai satu kesatuan disorganisasi yang menjadi unit kerja yang dinamis, menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang kreatif untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan.

            Istilah Classroom discourse selalu mengacu kepada penelitian atau analisis. Classroom discourse atau wacana kelas umumnya merujuk pada bahasa yang guru dan siswa gunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain di dalam kelas. Berbicara, atau percakapan ( conversation ) merupakan suatu media di mana sebagian besar pengajaran berlangsung.

            Guru sebagai penentu pergerakan kelas harus menciptakan interaksi yang efektif apabila memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi seperti penjabaran tujuan, motivasi kepada siswa, penggunaan model pembelajaran, dan mengenal perbedaan individu.

            Hal tersebut dengan cepat menjadi jelas dari studi awal bahwa interaksi verbal antara guru dan siswa memiliki struktur dasar yang sama di semua kelas, dan di semua tingkatan kelas, di negara-negara berbahasa Inggris . Pada dasarnya, guru mengajukan pertanyaan, kemudian satu atau dua siswa menjawab. Setelah itu guru mengomentari jawaban siswa ( kadang-kadang meringkas apa yang telah dikatakan ) dan kemudian mengajukan pertanyaan lebih lanjut. Pola siklik ini berulang dengan variasi yang menarik, sepanjang perjalanan pembelajaran.

            Classroom Discourse sangat berkaitan dengan Religion Harmony.  Misalnya saja dalam satu kelas, pastinya banyak perbedaan-perbedaan yang ada secara lahiriah seperti latar belakang mereka yang berbeda, dalam satu kelas mereka asalnya tidak satu budaya bahkan ada yang berbeda agama.  Kemudian perbedaan komunikasi, pada dasarnya bahasa Indonesia sebagai penghubung tetapi ada yang membawa jati dirinya masing-masing sehingga terjadi perbedaan komunikasi.  Perbedaan ketiga yaitu goal-given, tujuan dari mengajar itu pada intinya  terfokus pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.  Perbedaan di kelas yang terakhir ialah meaning making practices.  Siswa belajar bagaimana menginterpretasikan dan mengartikan prakteknya itu agar didalam kelas terjadi kerukunan lintas agama yang dibangun sejak kecil.  Pak Chaedar saja mengungkapkan kalau orang kuliah saja tidak rukun bagaimana dengan yang tidak kuliah.  Nah, dengan adanya classroom discourse ini bisa meminimalisir konflik antar umat beragama yang mana fokus pembelajaran di kelas itu pada tension atau tensinya.

            Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa, dengan adanya pembelajaran di dalam kelas, kita dapat memahami situasi penyimpangan pemahaman yang dapat menimbulkan konflik.  Sebagai seorang mahasiswa yang berpendidikan dan berwawasan luas, seharusnya kita dapat memanfaatkan Classroom Discourse ini agar dapat meminimalisir konflik, terutama konflik antar umat beragama.

0 comments:

Post a Comment