Monday, March 3, 2014

 Guru yang Hebat untuk Siswa yang Hebat

Berkariblah dalam sepi sebab dalam sepi suara hati lebih nyaring terdengar jernih
 ­­­__Budi Hermawan



            Berhari-hari saya selalu dikejar-kejar oleh diamnya ribuan kata-kata dalam sebuah wacana nan merumitkan. Membuat segenap tubuh saya terasa sakit tak menentu arah sakitnya. Teman paling dekat saya adalah pena, Net-book, dan buku. Penghibur dan pelipur di malam sepi adalah secangkir susu coklat hangat yang lama menjadi dingin karena tak pernah saya sentuh cangkirnya. Tidur malam-malam pun adalah hal yang wajar sekali untuk sekarang-sekarang ini, dengan ditemani kitab suci di kala saya temukan berbagai sumbatan-sumbatan dalam benak pikiran dan hati ini. Saya cerminkan hati dan pikiran ini menyatu dalam lantunan bacaan Al-qur’an. Tersiram sejuk nan tenang jiwa yang sedang dilanda bermacam pedasnya masalah-masalah.
            setelah saya berkicau-kicau indah di atas gelaran sajadah, saya akan melanjut pada pembahasan lebih dalam mengenai Classroom Discourse. Terkait dengan Critical Review pertama yang kami buat, banyak sekali kekurangan yang mesti dibenahi terutama sekali dalam masalah classroom discourse. Hampir dari kami tidak bisa menejelaskan masalah ini, malah kami cenderung lebih detail menjelaskan Religious Harmony. Bila dikata, memang susah untuk membahas tentang classroom discourse. Diceritakan oleh bapak Lala bahwasannya ada seorang mahasiswa yang mau membuat skripsi mengenai classroom discourse, namun saying di tengah perjalanan si mahasiswa ini menyerah karena kerumitan yang ada dalam pembahasannya.
            Dikarenakan kakurangan yang saya miliki di bagian classroom discourse, maka saya akan lebih sedikit mendetail mengenai apa itu classroom discourse yang mana dikutip dalam sebuah buku karya Besty Rymes yang berjudul “Classroom Discourse Analysis: A Tool for Critical Reflection”. Dikatakan dalam bukunya bahwa kebanyakan dari kita sebagai pengajar tidak membayangkan bagaimana setiap siswanya memulai untuk belajar.
            Melanjut pada bab pertama dari bukunya bahwasannya sebelum kami membaca bab ini, fikirkan tentang dirimu, sebagai seorang guru, bisa memperoleh dari pengujian seperti percakapan di dalam kelas. Fikirkan kembali pada interaksi di dalam kelasmu sendiri, baik sebagai guru ataupun murid, dan panggillah moment yang membuatmu tidak nyaman dan menunjukkan beberapa hal yang membuat marah. Apa yang kamu fikirkan dari alasan tidak nyaman dan marah tersebut?
            Setelah kita menyimak pernyataan tersebut, Besty Rymes menjelaskan bahwa tujuan dari penulisan bukunya adalah melengkapi guru-guru dengan peralatannya untuk menganalisis percakapan di dalam kelas. Mengapa hal ini sungguh terlalu membebani, dibayar kurang, dan sebagainya. Dalam hal ini ada empat alasan yang melatarbelakanginya:
            Pertama, perolehan wawasan dari classroom discourse analysis pada 20 tahun yang lalu memiliki mutual understanding yang tinggi antara guru dan muridnya. Hal ini disebabkan karena kedekatan komunikasi mampu menampakkan pola komunikasi antara kelompok dalam sisi perbedaannya. Pola dimana guru dan muridnya berbicara dalam satu ranah, pengenalan topic, menggunakan variasi bahasa atau menceritakan cerita dengan cara yang berbeda namun mampu dalam mengilustrasikan kesalah pahaman antara perbedaan kelompok social dalam perkembangan classroom dan bagaimana murid dan guru dapat mengatasinya. Dari sinilah, betapa pentingnya mutual understanding dalam classroom.
            Poin yang kedua, tentang analysis pembelajaran di kelas. Seorang guru harus mampu untuk memahami perbedaan local dalam suatu pembicaraan di dalam kelas. Dalam kasus ini, berbelit-belit permasalahan yang muncul dan pertanyaan yang timbul dari benak kita. Menghadapi permasalahn tersebut, terdapat suatu alsan kenapa harus mampu untuk memahami baik guru maupun murid? Karena dengan adanya analysis pembelajaran kelas, kita dapat mengurangi moment-moment yang tak terduga yang timbul dari kelas itu sendiri. Mungkin, dengan jembatan merekam, melihat, menulis catatan dan menanalysis, maka penelitian ini telah menunjukkan bahwa bagaiman perbedaan cara berkomunikasi yang meneyeleweng yang diinterpretasikan oleh guru itu sendiri, serta kekurangan mekanisme dalam pengaturan ini. Contohnya, seorang anak Amerika Affrika tradisional bercerita sebuah cerita yang padanya diinterpretasikan oleh remaja Amerika Affrika meskipun sedikit agak menjelimet dan di tempa baik, tetapi gurunya tidak terfokus oleh cerita tersebut. (Michaels, 1981; Michaels dan Cazden, 1986)
            Dengan perbedaan pola seperti ini, maka hal ini termasuk dalam cross-cultur communication dalam konteks kelas untuk meningkatkan mutual understanding antara guru dan murid. Sebagai seorang guru, guru harus mampu menggunakan pengetahuan mereka dalam praktek membangun mutual (kebersamaan), serta berkolaborasi untuk memahami jalan cerita yang diucapkan, pertanyaan yang harusdirespon, dan masalah yang harus diselesaikan.
            Poin ketiga, jikalau guru menganalisis wacana kelasnya sendiri, prestasi akademiknya berkembang. Terkait dengan poin kedua, dimana manfaat classroom discourse adalah untuk memahami, maka dalam hal ini adalah bagaimana pembelajaran di kelas tersebut dapat melengkapi dengan analisis metodenya. Dalam bahasan ini, guru adalah situasi yang baik  untuk belajar membatasi atau menyetempatkan dan merubah pola percakapan di kelas mereka. Inilah alasannya pembelajaran di kelas menghabiskan waktu tetapi memberikan hasil. Ketika seorang guru memahami bentuk percakapan atau komunikasi di dalam kelas, maka prestasi murid akan meningkat. Contoh:
·         Ketika seorang guru menemukan bahwa siswanya adalah native Amerika yang belajar pertama kali dari saudara kandungnya beserta kawan sebaya dalam rumah, di sanalah mereka menemukan rancangan grup yang bekerja lebih dari pada instruksi tatap muka gurunya yang memfasilitasi kesuksesan sekolah. (Philips, 1993)
·         Dalam mereview siswanya, Cazden menemukan bahwa kami mempertimbangkan aspek interaksi pembelajaran seperti topic, tugas, siapakah yang menanyakan pertanyaan, dan bagaimana mereka (siswa) menyusun. Dalam hal ini, siswa mampu lebih baik untuk menambah atau memperbesar reaksi makna. (Cazden, 1972)
Dalam hal ini, pembelajaran interaksi di dalam kelas dan mengatur atau menyusun pembicaraan dapat menuju ke ranah yang lebih produktif dan termasuk interaksi untuk membangun kesuksesan siswa. National Board Teacher, level tertinggi guru yang professional, juga menyambungkan baik pemahaman pola di dalam kelas dan prestasi siswa yang tinggi. Untuk menjadi national board yang berizah atau meminjam, guru harus mampu untuk berfikir sistematis tentang praktek dan pembelajaran mereka dari pengalaman. Untuk mengilustrasikan bagaimana cara berfikir yang sistematis, national board menggunakan penilaian individual guru, termasuk penjelasan, analisis, dan reflesi pada “Interaksi Rekaman Video antara guru dan muridnya”, dalam kata lain ialah classroom discourse analisis.
Berbicara mengenai point ke tiga, lalu bagaimana siswa menjadi siswa yang berperi kemanusiaan? Meskipun kebijakan manyatakan tujuan yang tinggi adalah baik untuk siswa, lalu bagaiman dengan siswa yang terbelakang. Dalam hal ini, guru harus melakukan pendekatan pada siswa, memahami apa yang perlu dimotivaasi untuk mereka yang bagaiman menghubungkan bahasa untuk pembelajaran yang merupakan setiap harinya berada dalam kelas, menghabiskan waktu sehari-harinya berkomunikasi dengan sebayanya yang mereka saying, rasa tawa, berfikir dan bertumbuh dalam jalan yang unik dan fastastis.
Dengan demikian, classroom discourse memiliki efek positive dalam lingkungan kelas, pembelajaran siswa, rasa kemanusiaan dan rasa cinta guru untuk bekerja. Dimana kita akan menghadapi hal demikian pada aspek spesifik discourse analisis yang semoga bermanfaat bagi guru dan generasi setelahnya.
 Classroom discourse adalah analisis wacana, adalah studi tentang bagaimana bahasa-di-gunakan dipengaruhi oleh konteks-nya yang digunakan. Di dalam kelas, konteks dapat berkisar dari pembicaraan dalam pelajaran, untuk siswa  seumur hidup sosialisasi, dengan sejarah lembaga pendidikan. Ceramah analisis kelas menjadi analisis wacana kritis ketika kelas kelas peneliti mengambil efek dari konteks variabel tersebut menjadi pertimbangan dalam analisis mereka. Definisi paling sederhana dari wacana adalah bahasa-in digunakan. Hal ini mungkin mengganggu jelas. Bahasa selalu digunakan, jadi mengapa tidak hanya menyebutnya "bahasa"? Karena, fitur "wacana" mendefinisikan (bahwa itu adalah "in-use") adalah fitur yang sebagian orang percaya adalah bukan komponen penting dari bahasa. Sebaliknya, beberapa ahli bahasa berpendapat bahwa Fitur bahasa mendefinisikan adalah kemampuannya untuk de-dikontekstualisasikan. Sebagai contoh, kata,  "Pohon" tidak perlu "pohon" sekitar untuk bisa dimengerti.Seorang siswa akan memberitahu Anda ia melihat "Pohon" hari ini, dan Anda akan tahu apa yang dia maksud. Dia tidak perlu menunjuk pohon atau menggambar untuk Anda. Dalam hal ini, bahasa adalah de-contextualizable dan hal ini dapat menjadi fitur yang membuat unik bahasa manusia. 
"The Classroom" adalah konteks utama dan paling jelas untuk wacana kita akan
memeriksa. Namun, "konteks" untuk analisis wacana kelas juga meluas  di luar kelas, dan dalam komponen yang berbeda dari bicara kelas, untuk mencakup konteks yang mempengaruhi apa yang dikatakan dan bagaimana hal itu ditafsirkan dalam kelas. Konteks dapat dibatasi oleh batas-batas yang sesuai fisik bahasa di rumah mungkin berbeda dari bahasa yang sesuai di sekolah, tetapi konteks juga dapat dibatasi oleh batas-batas fisik tidak, tetapi oleh batas-batas yang sesuai wacana bahasa dalam pelajaran mungkin berbeda dari bahasa yang sesuai setelah pelajaran berakhir (bahkan sambil duduk di meja yang sama). Meskipun kita akan melihat pembicaraan yang terjadi di dalam kelas, semuanya mengatakan dalam kelas juga dipengaruhi, untuk berbagai tingkat, dengan konteks di luar kelas. Dan banyak bentuk wacana memiliki arti yang berbeda jika terjadi di kelas daripada mereka akan jika mereka terjadi di luar kelas.
Kelas penelitian di berbagai situasi telah menunjukkan bahwa interaksi kelas secara dramatis constrains apa jenis bahasa dan keaksaraan peristiwa didorong atau dibiarkan
(McGroarty, 1996), sedangkan wacana di luar konteks kelas memiliki lebih luas
berbagai kemungkinan yang dapat diterima dan produktif. Dalam keluarga atau peer group pengaturan. Misalnya, siswa dapat didorong untuk berbicara panjang lebar, menceritakan kisah-kisah imajinatif, atau rok topik awalnya diperkenalkan, yang mendukung menghibur samping. Di ruang kelas sekolah, sebagai Holden Caulfield menunjukkan di JD Sallinger The Catcher in the Rye, pembicaraan tersebut dapat berlabel sebagai "penyimpangan" yang sama sekali tidak cocok (Salinger, 1951). 

Jadi dapat saya simpulkan bahwasannya peranan seorang guru dalam kelas memang sangat penting sekali, karena kehebatan seorang guru mampu menjadikan muridnya pun menjadi hebat mungkin lebih hebat dari  sang guru itu sendiri. Tanpa adanya peranan guru dalam wacana kelas, tidak mungkin sang murid mampu memahami berbagai pandangan-pandangan dari anak sebayanya, sungguh sulit. Dikatakan guru adalah panutan bagi muridnya dalam sebuah sajak “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Nah kita bisa membalikkannya dengan sebuah sajak yang berbunyi “di balik guru yang hebat, terdapat murid yang lebih hebat”. Begitu saja dan terimakasih. 

0 comments:

Post a Comment