Tuesday, March 4, 2014




Pada pertemuan kempat ini, membicarakan mengenai ‘clasroom discourse to foster religious harmony’. Sebelum  membahas itu, akan diceritakan atau berangkat dari warming up dulu perihal proses pembuatan critical review. Proses perubahan yang besar dikatakan akan dimulai setelah membuat critical review, apa sajakah perubahan tersebut ? Dilihat berdasarkan tingkat kegiatannya, yang pastinya akan sering bangun sampai larut malam untuk mendapatkan 2500 kata, banyak bergelut dengan internet atau buku untuk mencari informasi, dan sebagainya. Apalagi sudah melewati bulan pertama perkuliahan sebagai pertanda bahwa tantangannya akan semakin meningkat dengan menumpuknya tugas-tugas dari dosen lainnya.
Disamping perubahan diatas, perubahan yang sesungguhnya yaitu become smarter than before. Bisa dibilang itu hanya sekedar efek samping karena yang terpenting disini adalah prosesnya. Didalam proses inilah tantangan terbesar muncul seperti suatu masalah yang harus diatasi. Kemampuan dalam menyelesaikan tugas tersebut dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan dalam menghadapi tantangan tetapi tidak sepenuhnya.
Melihat hasil dari critical review kemarin, ternyata masih banyak terdapat kekeliruan. Menurut Mr. Lala kesalahan tersebut terjadi karena kita memasuki gerbang yang salah pada saat menulis. Diantara beberapa kesalahan yang terjadi seperti penguraian materi atau pokok pembahasan  yang tidak mendetail karena tidak mencantumkan definisi diawal pembahasan. Selain itu, penguraian materi pembahasan yang tidak sesuai aturan. Dalam kata lain, relasi pembahasan yang saling terputus sehingga tulisan nampak membingungkan.
Memulai pembahasan mengenai clasroom discourse to foster religious harmony yang ditulis oleh prof. Chaedar alwasilah intinya terletak pada clasroom discourse yang dikaitkan dengan religious harmony. Menurut Betsy Rymes (2008:12) dalam mengartikan discourse adalah sebagai ‘language-in-use’. Sangat sederhana namun cukup sulit untuk dapat mengartikannya. Menurutnya classroom discourse, yaitu "as aninvestigation into how discourse (language-in-use) and context affect each other, our framework comprises three ever-present dimensions of Language-in-Use.
 Definisi clasroom atau kelas bisa dirtikan kedalam dua perspektif yaitu dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti sempit, kelas adalah ruangan yang dibatasi oleh empat dinding, dimana sejumlah siswa mengikuti kegiatan pembelajaran. Sedangkan dalam arti luas, kelas adalah suatu masyarakat kecil yang merupakan bagian dari masyarakat sekolah sebagai satu kesatuan yang menjadi unit kerja yang dinamis dan menyelenggarakan kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Ada beberapa hal yang membuat kelas menjadi rumit. Background atau latar belakang siswa  membentuk kepribadian yang berbeda dan dapat mempengaruhi terjadinya perbedaan strategi dalam komunikasi. Dengan kata lain, setiap siswa mempunyai pandangan yang tidak selalu sama dengan siswa yang lainnya. Pola interaksinya pun akan berbeda–beda. Ada yang memiliki kemampuan interaksi yang baik didalam kelas, ada juga yang lebih condong ketika berada di luar kelas, ada juga yang kedua-duanya atau bahkan tidak sama sekali. Interaksi yang dilakukan tersebut tidak selamanya mengimplementasikan keharmonisan.
Menurut Betsy Rymes (2008:7), "By targeting specific differences in discourse patterns, this research into cross-cultural communication in classroom contexts has been able to enhance teachers and students’ mutual understanding—reconceptualizing deficits as differences, and differences as resources for learning.". Didalam kelas dikelilingi oleh ideologi dan nilai-nilai yang dibawa oleh setiap individu. Maka tidak heran jika didalamnya terdapat perbedaan. Tension atau tegangan dalam kelas ditimbulkan karena adanya perbedaan tersebut. Namun, perbedaan tersebut harus tetap dihargai sebagai wujud dari local differences untuk menciptakan mutual understanding.
Salah satu alasan adanya praktik clasroom discourse analysis adalah untuk memahami penyebab yang tidak dapat diduga saat terjadinya interaksi di kelas. Caranya bisa dilakukan dengan merekam, mengamati, menulis penjelasan dan menganalisis contoh interaksi di kelas. Guru mulai melihat langkah dalam berbicara dan merespon yang tepat sebagai bagian dari aktivitas sosialisasi pada anak-anak dengan bahasa baik dirumah maupun lingkungan lain.
Menurut Betsy Rymes (2008:7), "teachers began to see these ways of talking and responding to classroom prompts as part of the way these children had been socialized to use language at home and in their non-school communities. As a result, teachers were then able to use their knowledge of these different language practices as a resource to build mutual, collaborative understandings of the ways stories can be told, questions can be responded to, and problems can be solved." Guru mempunyai peran penting sebagai pemersatu pergerakan yang ada dikelas harus menciptakan interaksi yang efektif. Seperti memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya baik dengan memberikan motivasi,  penggunaan model pembelajaran maupun mengenal perbedaan berbagai individu.
Dalam membangun permulaan pada Classroom Discourse Analysis, ada tiga perbandingan atau dimensi dalam penggunaan bahasa yaitu :
1) Social context – faktor sosial yang ada diluar dengan serta merta mempengaruhi fungsi kata-kata dalam interaksi ( contoh, bagaimana pengaruh konteks sosial ketika para siswa menggunakan kata ‘dude’ ? apa efek yang ditimbulkan ?)
2) Interactional context – percontohan atau pola percakapan pada interaksi yang mempengaruhi apa yang bisa dikatakan atau tidak dan bagaimana menerjemahkannya dalam wacana kelas. ( contoh, dalam interaksi apa menggunakan kata ‘dude’ ? sebuah salam ? sebuah pujian ?)
3) Individual agency – mempengruhi individu agar dapat menggunakan kata-kata untuk diinterpretasikan dalam interaksi. ( contoh, kapan dan mengapa seseorang menggunakan kata ‘dude’ dan untuk apa tujuannya ? berapa banyak individu yang mengendalikan pengaruh itu ? (2008:31-32).
Clasroom menjadi situs yang paling suci karena ada ritual yang panjang sebelum memasukinya. Seperti halnya guru yang akan memasuki kelas akan berpikir mau mengajar apa dikelas ? bagaimana caranya ? dan beberapa hal lainnya termasuk juga ketika awal masuk pada pengurusan amdinistrasi yang begitu panjang. Itu semua tidak hanya terjadi pada guru, tapi sama halnya juga pada siswa.
Dari penjelasan diatas, dapat diambil keismpulan bahwa untuk melakukan suatu wacana kelas yang baik dibangun melalui interaksi atau percakapan antara guru dan siswa maupun siswa dengan siswa. Dari percakapan itu, akan timbul rasa keharmonisan dalam menjalin hubungan termasuk keharmonisan beragama. Jika sudah tercipta saling berinteraksi dengan baik, maka dengan sendirinya akan muncul rasa saling memahami satu sama lain ( mutual understanding ). Sehingga terciptalah sikap toleransi pada setiap perbedaan yang ada.   

0 comments:

Post a Comment