Senin 24 Februari 2014
merupakan pertemuan keempat dalam mata kuliah Writing. Tidak seperti biasanya
kelas PBI.B/4 harus masuk 30 menit lebih awal, yang biasanya jam perkuliahan
dimilai pukul 07.30 namun hari itu sangat special. Mengapa dikatakan special? Alasan yang pertama yaitu karena hari saat
itu adalah pertama kalinya kita melaksanakan progress test yaitu Critical
Review. Alasan yang kedua adalah agar kondisi kita lebih fresh untuk menghadapi
panasnya progress test pertama dalam mata kuliah Writing ini.
Kita tidak merasa kaget atas
perpindahan mata kuliah tersebut, sebab pada semester 3 lalu ketika belajar
mata kuliah Phonology pun kita pernah masuk lebih awal yaitu pukul 06.00.
memang benar jika kita masuk kuliah lebih pagi akan terasa fresh dan penjelasan
materi akan lebih mudah dipahami. Pada pertemuan minggu lalu, sebelum masuk
pada pembahasan materi dan progress test 1 kita disuguhi puisi yang begitu
indah milik Bpk. Budi Hermawan (dosen) Mr. Lala Bumela. Inilah bunyi puisi
tersebut:
Berkariblah dengan sepi, sebab dalam sepi ada [momen]
penemuan dari apa yang dalam riuh gelisah dicari. Dalam sepi ada berhenti dari menerima
ramainya stimulus yang memborbardir indera kita. Stimulus yang harus dipilah dan dipilih satu satu
untuk ditafakuri, lalu
dimaknai, dan dijadikan berguna bagi kita. Bila tidak mereka hanya dengungan
yang bising di kepala saja tak mengendap menjadi sesuatu yang mengizinkan
kita memahami dunia di sekitar kita [sedikit] lebih baik.
Berkariblah dengan sepi, sejak dalam sepi kita menemukan diri yang luput dari penglihatan dan kesadaran ketika beredar dalam ramai; dalam sepi kita dapat melihat pendaran diri yang diserakkan gaduh, mendekat, lalu merapat, membentuk bayang jelas untuk dilihat tanpa harus memuaskan keinginan yang lain.
Berkariblah dengan sepi karena dalam sepi berlalu lalang inspirasi yang tak kita mengerti, atau tak dapat kita tangkapi ketika kita sibuk berjalan dalam hingar yang pekak.
Berkariblah dalam sepi sebab dalam sepi suara hati lebih nyaring terdengar jernih. (Budi Hermawan)
Berkariblah dengan sepi, sejak dalam sepi kita menemukan diri yang luput dari penglihatan dan kesadaran ketika beredar dalam ramai; dalam sepi kita dapat melihat pendaran diri yang diserakkan gaduh, mendekat, lalu merapat, membentuk bayang jelas untuk dilihat tanpa harus memuaskan keinginan yang lain.
Berkariblah dengan sepi karena dalam sepi berlalu lalang inspirasi yang tak kita mengerti, atau tak dapat kita tangkapi ketika kita sibuk berjalan dalam hingar yang pekak.
Berkariblah dalam sepi sebab dalam sepi suara hati lebih nyaring terdengar jernih. (Budi Hermawan)
Maksud puisi tersebut adalah mengajak kepada
pembaca agar senantiasa berkarib atau terbiasa dalam keadaan sepi dalam
aktivitas menulis, sebab dalam sepi seseorang mudah menemukan inspirasi yang
brilian untuk dituangkan dalam tulisan.
Pertama diperlihatkan puisi
oleh Mr. Lala, saatnya kita memasuki progress test 1 (Critical Review).
Sebenarnya Critical Review sudah kami kirim satu hari sebelumnya, namun kita
juga diwajibkan untuk membawa tugas progress test dalam bentuk print out.
Critical Review kelas kita pun telah dicomment oleh Mr. Lala satu hari
sebelumnya. Critical Review milik saya di comment seperti ini (Artikel ini
bercita rasa “wartawan” karena kamu memulainya dengan pertanyaan di awal. Keterhubungan
antara kelas sebagai situs penting penyemai dan nilai-nilai dasar bagi
kemanusiaan mestinya mandapat porsi lebih dulu). Saat itu critical review yang
saya buat memang kurang memuaskan. Wajar, karena itu adalah kali pertama saya
menulis mengenai mengenai kritikan terhadap suatu artikel. Mungkin comment dari
Mr. Lala harus dijadikan cambuk untuk kedepannya agar lebih baik.
Bukan hanya saya, sebagian
besar teman sekelas saya pun menurut Mr. Lala memasuki gerbong yang salah sebab
terdapat banyak kekurangan dalam critical review baik dalam konten maupun
generic structure-nya.
Menurut Mr. Lala kesalahan
penulis dalam kontennya terletak pada penjelasan classroom discourse dan
religious harmony yang kurang detail dan tidak konsisten. Bahkan dalam membuat
suatu opini pun tidak didasari dengan bukti yang kuat. Sedangkan pada generic
structure, penulis dalam pembahasannya tidak sesuai dengan aturan yang telah
ada dalam silabus.
Wacana “Classroom Discourse
to Foster Religious Harmony” memiliki dua pembahasan yaitu classroom discourse
itu sendiri, sehingga terasa sekali kekurangannya dalam menulis Critical
Review. Karena itu, kita harus memahami dulu apa pengertian atau definisi
Classsroom discourse. Dalam TFL Glosary classroom discourse (wacana kelas)
diartikan sebagai pertukaran koneksi verbal (lisan atau tertulis) yang
digunakan untuk tujuan pengajaran dan pembelajaran. Menurut Lois dan Mariane
(2002) wacana adalah proses bagaimana seseorang berbicara dan mengerti apa yang
dibicarakan dan didengarnya mencakup semua aspek kata yang diucapkan. Sedangkan
menurut Abdul chaer (2004) wacana
yang termasuk ke dalam tindak tutur merupakan
gejala individual , bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh
kemampuan berbahasa si penutur dalam situasi tertentu. Jadi secara garis besar
wacana merupakan proses dimana seseorang menyampaikan ujaran untuk dapat
dimengerti oleh orang lain yang tidak terlepas dari sistem dan kaidah bahasa
yang berlaku, untuk mengkaji dan memahami wacana maka digunakan analisis wacana
atau discourse analisis.
Analisis
wacana termasuk kedalam disiplin ilmu, sejak dasawarsa 1960-an. Seiring dengan berkembangnya ilmu etnografi analisi wacana
mulai ikut berkembang pesat, tidak lagi mencakup bentuk sapaan, mitos, dan
interaksi tapi mrncakup ke bentuk percakapan dan interaksi verbal lainnya
begitu yang diungkapkan Bambang (1995). Percakapan menjadi satu model wacana
yang paling dekat dengan keseharian kita sehingga lebih mudah kita temui.
Percakapan
dapat didefinisikan sebagai bentuk kegiatan yang melibatkan dua orang atau
lebih, percakapan juga bisa disebut sebagai proses komunikasi. Proses
komunikasi bisa terjadi dimana saja dengan wacana yang berbeda atau sesuai
dengan kondisi yang ada. Interaksi pedagogis adalah wacana yang dapat kita
temui di sekitar dunia pendidikan khususnya di ruang kelas yang merupakan
tempat paling sering terjadi percakapan atau interaksi antara pengajar
dan pembelajar. Dalam wacana pedagogis banyak hal menarik yang dapat
dikaji dalam usaha memperbaiki kondisi dalam proses pembelajaran
tersebut.
Percakapan terjadi dalam interaksi
antara pengajar dan pembelajar dapat diamati secara kasat mata dan dikaji
secara mendalam. Pada makalah ini akan di gambarkan bagaimana proses
interaksi atau percakapan tersebut terjadi dan mencoba memberikan pencerahan
pada kedua belah pihak agar proses interaksi dapat dilakukan sesuai porsinya.
Biasanya pengajar berusaha mengamati apakah pembelajar mengikuti apa yang
dikatakanya. Penelitian berikut bertujuan mendeskripsikan interaksi yang
terjadi berdasarkan langkah langkah yang di lakukan dalam penelitian wacana
oleh Stubbs (1984) yang terdiri dari:
- Menarik perhatian pembelajar maksudnya, pengajar selalu berusaha menarik perhatian pembelajar.
- Memantau jumlah perkataan dimana pengajar sering memantau apakah pembelajar berbicara atau tidak upaya memantau ini dapat dilakukan dalam bentuk perintah atau permintaan.
- Memeriksa pemahaman, pengajar kadang-kadang memeriksa apakh dia dapat memahami para pembelajar.
- Meringkas ialah dimana pengajar sering pula mringkas sesuatu yang dikatakan atu meringkas situasi yang dicapai dalam diskusi atau pelajaran.
- Mendefinisikan adalah bagaimana si pengajar dapat mendefenisikan atau memberi penjelasan teentang sesuatu yang telah dikatakan.
- Menyunting, pengajar juga terkadang memberi komentar tentang apa yang dikatakan oleh pembelajar yang menunjukan penilaian atau kritik.
- Membenarkan, pengajar juga berusaha membenarkan apa yang dikatakan atau ditulis oleh pembelajar.
- Menspesifikasikan topik, bagaimana si pengajar juga dapat memfokuskan pada sebuah topik pembahasan atau menentukan batas-batas yang relevan.
Classroom discourse adalah
hal yang cukup complicated yang didalamnya mencakup beberapa hal di bawah ini:
1. Background
(latar belakang) => Adanya perbedaan background antara guru dengan siswa, atau
siswa dengan teman lainnya. Baik berbeda suku, etnis, maupun agama.
2. Communication
=> Dalam komunikasi ada strategi atau cara tertentu agar interaksi berjalan
secara efektif.
3.
Goal- driven => - Kognitif
(berkaitan dengan kecerdasan intelektual)
-
Afektif (berkaitan dengan sikap dan nilai)
-
Psikomotorik (berkaitan dengan skill)
4. Meaning-
making practice => Perbedaan yang ada harus disikapi seperti apa.
Pertama
membahas classroom discourse, mari beralih pada religious harmony (kerukunan
umat beragama). Religious harmony yaitu hubungan antar umat beragama yang
dilandasi dengan toleransi, saling penngertian, saling menghormati, dan
bekerjasama dalam melakukan kehidupan bermasyarakat.
Jadi,
kesimpulannya religious harmony akan tercipta dengan baik apabila pengajar dan
pembelajar memahami dan menguasai classroom discourse dengan baik pula karena
keduanya saling berkaitan satu sama lain.
0 comments:
Post a Comment