Pasca
menulis Critical review yang pertama, kami mendapat kesempatan untuk
mengevaluasi tulisan kami sendiri. Disanalah kami menyadari bahwa kami salah
gerbang untuk memasuki (mengkritisi) tulisan pak Chaedar. Seyogianya kami
memasuki gerbang Classroom Discourse, dan menjadikannya sebagai inti dari
tulisan kami. Akan tetapi yang terjadi adalah kami terlalu fokus untuk memajang isu-isu Religious Harmony, sehingga
ihwal Classroom Discourse belum tersaji dengan baik. Kesempatan kali ini akan
kami gunakan untuk mengenal lebih jauh apa itu Classroom Discourse yang bukan
hanya soal kegiatan di dalam kelas yang mana terdapat guru dan murid sehingga
ada proses belajar dan mengajar. Tetapi lebih dari itu semua, classroom
discourse adalah tentang interaksi. Pola
interaksi bagaimana siswa dan guru pada saat berbicara, memperkenalkan topik,
menggunakan beberapa bahasa, atau
bercerita dengan cara yang berbeda dapat menggambarkan bagaimana kesalahpahaman
antara kelompok sosial
yang berbeda dalam kelas dan cara menyelesaikannya. Kemudian,
mengapa kita harus bersusah payah untuk menganalisis suatu classroom discourse,
mengapa kita harus terbebani dengan pikiran-pikiran ini, Namun, setidaknya ada
empat alasan mengapa ihwal classroom discourse ini penting (Besty; 2008):
1. Wawasan yang
diperoleh dari analisis wacana kelas telah meningkatkan saling
pemahaman antara guru dan siswa;
2. Dengan menganalisis wacana kelas sendiri, guru telah mampu
memahami perbedaan lokal di kelas bicara-akan melampaui stereotip atau
generalisasi budaya lainnya;
3. Ketika para guru menganalisis wacana di kelas mereka sendiri, akademik
prestasi meningkat, dan
4. Proses melakukan analisis wacana kelas sendiri dapat menumbuhkan intrinsik
dan mencintai proses mengajar dan teguh dalam potensi yang ada dalam hidupnya
pemahaman antara guru dan siswa;
2. Dengan menganalisis wacana kelas sendiri, guru telah mampu
memahami perbedaan lokal di kelas bicara-akan melampaui stereotip atau
generalisasi budaya lainnya;
3. Ketika para guru menganalisis wacana di kelas mereka sendiri, akademik
prestasi meningkat, dan
4. Proses melakukan analisis wacana kelas sendiri dapat menumbuhkan intrinsik
dan mencintai proses mengajar dan teguh dalam potensi yang ada dalam hidupnya
Seyogianya kelas merupakan “a huge place to
growth and learn” sehingga menciptakan manusia-manusia yang semangat dalam
belajar. Sedangkan pintar adalah hanya salah satu efeknya saja. Dengan
demikian, belajar di sekolah dapat dilihat sebagai proses magang, pembelajar
tidak hanya berlatih linguistik ilmiah, tetapi lebih dari itu, berlatih dalam
berpikir dan disiplin ilmu pengetahuan. Sejalan dengan pendapat Christie bahwa
pendidikan sebagai proses inisiasi dengan cara membincangkan dan perintah,
merupakan pengalamanyang dihargai (1991:237).
Mackey (1967) mengemukakan hasil
penelitiannya bahwa dalam situasi proses kegiatan pembelajaran di kelas terjadi
interaksi antara guru dan siswa. Kesimpulan ini didukung oleh Arthur (1983)
yang mengemukakan bahwa dalam kelas terjadi pertukaran tindak atau interaksi
selama proses belajar mengajar. Sementara itu, Flander (1970) dalam
pengamatannya tentang bahasa guru dan pengaruhnya terhadap keberhasilan siswa
menyimpulkan bahwa corak bahasa guru berpengaruh terhadap keberhasilan siswa.
Hal ini sama dengan pengamatan yang dilakukan oleh Barnes (1969). Beliau
mengemukakan bahwa jenis pertanyaan tertentu, dalam hal ini adalah pertanyaan
pancingan, penting artinya bagi guru dalam rangka memusatkan perhatian siswa.
Kegiatan pembelajaran di kelas adalah
membelajarkan siswa. Membelajarkan berarti meningkatkan kemampuan siswa untuk
memproses, menemukan, dan menggunakan informasi bagi pengembangan diri siswa
dalam konteks lingkungannya. Berdasarkan pemahaman tersebut pelibat (guru dan
siswa) dalam kegiatan belajar di kelas memerlukan kemampuan saling bertukar
pengalaman linguistik yang terpresentasikan dalam fungsi pengalaman. Dibandingkan
dengan bentuk komunika
si lainnya, bahasa di kelas mempunyai ciri tersendiri.
Masih hangat
di benak, ketika kemarin mengikuti kuliah Cross Cultural Understanding. Bahwa
dalam membaca yang merupakan salah satu bagian dari Classroom Discourse harus
mempunyai tahap seperti berikut; perceive, process, dan store. Inilah 3 proses
yang menjadi paket lengkap untuk menciptakan Critical teaching and learning.
Menciptakan pembaca yang powerful, selain 3 proses tadi yang harus dipenuhi.
Ada dua lagi proses lain yaitu analyzing and criticizing. Dimana siswa menjadi
makhluk intelektual yang mempunyai daya kritis tinggi. Pada akhirnya siswa
paham dengan yang namanya mutual understanding. Inilah cikal
bakal dari toleransi itu sendiri. Saling pengertian, simpati, dan memahami
sesama. Sayangnya, Classroom Discourse di Negara ini belum memenuhi perceive,
process, dan store. Persive lalu store, sehingga ada satu yang hilang yaitu
sebuah proses. Padahal proses inilah yang menjadi sentral dalam kegiatan dalam
kelas.
Dapat
disimpulkan, Pertama, bahasa guru dan siswa sebagai ragam konsultatif
sangat fungsional dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu,
pemahaman terhadap fungsi ujar ini sangat diperlukan bagi kalangan pendidikan
(guru dan siswa) demi tercapai nya proses belajar mengajar yang ideal. Kedua,
bahasa guru dan siswa dalam wacana kelas adalah khas. Bahasa guru dan siswa
dalam wacana kelas diasumsikan merupakan performansi penutur bahasa Indonesia
‘dewasa’ yang ideal karena para guru dan siswa menguasai bahasa Indonesia tidak
hanya melalui pemerolehan, tetapi juga pembelajaran. Konteks lawan tutur atau
mitratutur yang juga merupakan penutur bahasa Indonesia ‘dewasa’ yang menguasai
bahasa Indonesia juga melalui pemerolehan dan belajar diasumsikan akan terjadi
komunikasi yang ideal dengan munculnya kalimat yang ideal dari peserta didik
sebagai kalimat konteks. Kekhasan berikutnya dapat dilihat pada kesejajaran
siswa-guru pada satu sisi karena berada dalam konteks ilmiah, tetapi pada satu
sisi lain tetap dipengaruhi oleh status berbeda.
0 comments:
Post a Comment