Dunia Menulis dan
Menulis Dunia
(by: Nofi Maryana)
Musik.
Semua orang dari berbagai kalangan menyukai musik. Musik merupakan hasil karya
seni yang banyak orang gunakan untuk menghibur diri dikala penat. Musisi
berperan besar dalam mencipta alunan musik yang indah, tapi seorang musisi
tidaklah hebat apabila ia hanya mencipta tanpa peduli akan komponen penyusun
musik itu sendiri, padahal musik tidak akan pernah dapat dinikmati apabila ia
kehilangan salah satu komponennya. Alat musik, notasi, aransemen adalah
segelintir komponennya. Namun yang lebih penting adalah konteksnya yakni
bagaimana proses menyatukan semua komponen itu menjadi sebuah alunan musik yang
indah. Begitupun dengan teks, tanpa memahami konteksnya, ia akan kosong atau
hampa seperti analogi musik diatas. Oleh karenanya berangkat dari gambaran
tersebut, 5th class review kali ini akan kembali mengulas perihal
teks dan konteks dalam cakupan discourse karena lagi-lagi kesalahan terbesar
penulis adalah tidak secara eksplisit menjelaskan keterikatannya. Setelah itu
akan dilanjutkan dengan membahas artikle Howard Zinn perihal Speaking Truth to Power With Book yang kembali menuai
kritikan dari mr.Lala.
Kembali
penulis dihadapkan pada istilah context, alasan kenapa penulis harus menulis
yang berat-berat adalah karena penulis selalu gagal diarea context ini dan
salah satu penyebabnya adalah reader conflic. Readers conflic yang sering
ditemui adalah kurang familiar dengan teks yang dibacanya sehingga reader
seharusnya baca berulang-ulang kali sebelum membuat suatu criitical review.
Context
harus diperdalam karena context itu penting, dimana ini adalah dasar yang
penulis harus kuasai ketika ingin menulis. menurut Lehtonen (2000) dalam
bukunya The Cultural Analysis of
Texts mengatakan dalam menginterpretasi
teks, ia melihatnya dari dua dimensi, yakni dimensi fisik ( teks as physical being ),
dan dimensi semiotik ( teks as
semiotic being ). Teks terdapat
dalam bentuk fisik, tetapi mereka hadir dalam beberapa bentuk semiotik. Teks
berupa fisik merupakan suatu komunikasi artefak. Dengan kata lain, tulisan atau
wacana yang ditulis oleh penulis mengandung instrument komunikasi di dalamnya,
Saat ini teks dapat ditemukan di mana saja. Kemunculan teknologi yang semakin
canggih seperti sekarang ini adalah bertujuan untuk menghasilkan teks tertulis
yang berkualitas dan hanya ketika mereka mempunyai beberapa bentuk fisik yang
jelas, seperti tinta, kertas, dan lain-lain. Sementara secara semiotik, teks
dapat diinterpretasikan ke dalam bentuk tulisan, pidato, musik, gambar, atau
simbol lainnya. Dari semua bentuk tersebut, teks dikarakteristikkan ke dalam 3
feature, yakni materiality, formal relation, dan meaningfulness
Teks akan selalu dibarengi dengan
konteksnya. Konteks dapat dikatakan makna yang mengelilingi teks dan digunakan
untuk memahami teks itu sendiri. Pendapat lain mengatakan bahwa konteks
merupakan suatu penggambaran yang diserap oleh reader dan berasal dari teks yang
telah dibaca kemudian reader seolah-olah ikut terjun ke dalam teks tersebut. Ferdinand
De Sausure mengaitkan teks dan konteks sebagai signifiant
dan signifie. Signifiant adalah teks berupa sistem tanda berupa citra
bunyi atau kesan psikologi yang timbul
dalam pikiran, sedangkan Signifie adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran pembaca yang diterima
dari signifiant. Dengan kata lain konteks hadir di luar teks.
Penulis dan
pembaca sama-sama membawa konteks kedalam teks.
Konteks mencakup 8 paramater:
1. Substansi: materi fisik yang membawa teks,
2.
musik dan gambar,
3.
paralanguage: perilaku yang berarti bahasa yang menyertainya, seperti
kualitas suara,
gerak
tubuh, ekspresi wajah dan sentuhan (dalam kecepatan), dan pilihan dari jenis
huruf dan ukuran huruf (secara tertulis),
4. Situasi: sifat dan hubungan objek dan
orang-orang di sekitarnya teks, seperti yang dirasakan oleh para peserta
(pembaca-penulis),
5. co-teks: text
which proceed or follow that under analysis and which participant judge to belong
to same discourse
6. intertext: teks yang peserta anggap sebagai
milik wacana lain, tapi yang mereka kumpulkan dengan teks di bawah
pertimbangan, dan yang mempengaruhi interpretasi mereka,
7.
peserta: niat dan interpretasi mereka, pengetahuan dan keyakinan,
sikap interpersonal, afiliasi dan perasaan,
8.
fungsi: apa teks dimaksudkan untuk melakukan oleh pengirim dan
addressers, atau dianggap dilakukan oleh penerima dan addressees.
Dalam buku Teaching
and Researching Writing
by Ken Hyland (2009), Cutting (2002 :3), menyebutkan 3 aspek utama
penafsiran konteks, yaitu:
Situational Context : apa yang orang ketahui tentang apa yang mereka lihat di
sekitarnya.
Background Knowledge Context : apa yang orang-orang ketahui
tentang dunia, tentang aspek kehidupan dan tentang
satu sama lain.
Co-textual Context : apa yang orang-orang tahu tentang apa yang mereka katakan.
Sedangkan
menurut Halliday (1985) ada 3 dimensi konteks, yaitu field, tenor, dan mode.
Masih
dalam buku Teaching and
Researching Writing
by Ken Hyland (2002; 2009), berbicara tentang
writing ada beberapa keyword penting yang mendominasi saat menulis, dimana
menulis itu melibatkan context, literacy, culture, technology, genre and
identity.
T Konteks : penulis dan pembaca sama-sama
berperan dalam meaning making practice. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa konteks didalamnya berperan 8 parameter dan 3 aspek penafsiran
konteks.
T Literasi : baca-tulis adalah salah satu
bentuk praktek literasi. Menulis menawarkan berbagai kemungkinan
dunia, yaitu kemungkinan dunia yang tercipta di dalam dan bahkan di luar
tulisan. Menulis berarti membentangkan dan membangun dunia. Struktur sebuah
tulisan menawarkan dunia baru. Sebuah tulisan menawarkan harapan tentang sebuah
dunia. Kemungkinan dunia itu adalah semacam dunia kreasi, yang harus dibangun
oleh seorang penulis ketika ia menciptakan tulisan. Literasi ada karena dunia
kreasi tersebut.
T Culture : secara umum dapat dikatakan
dengan bagaimana budaya ataupun sejarah mempengaruhi tulisan seseorang. Ketika
menulis manusia tak luput dari budaya dan sejarahnya, hal ini yang menimbulkan
keberagaman tulisan dan menjadikan sistem jaringan penyampaian makna menjadi
bervariasi. Hal ini baik karena setiap tulisn memiliki identitasnya
masing-masing.
T Teknologi : teknologi dalam konteks ini
bukan hanya sebagai media saja, tetapi harus dimanfaatkan untuk sarana menulis.
Orang yang berliterasi dituntut untuk menguasai teknologi, dimana masa sekarang
ini adalah masa serba teknologi. Dalam dunia tulis-menulispun teknologi sudah
mengambil tempat penting. Artikel, e-book, PDF (Portable Document Format) makin
banyak digandrungi oleh para penulis masa kini.
T Genre : dewasa ini berkembang pelatihan Bahasa
Inggris berbasis genre. Dari sudut pandang masab Systemic
Functional Linguistic, Martin (1992:546) mendefinisikan genre “ staged,
goal-oriented social processes through which social subjects in a given culture
live their lives”. Genre berfungsi sebagai proses sosial karena masyarakat dari
sebuah budaya berinteraksi satu dengan lainnya untuk mencapai sebuah genre.
Dikatakan berorientasi tujuan karena genre berlangsung untuk mencapai sebuah
tujuan; dan bertahap karena diperlukan tahapan untuk mencapai sebuah tujuan.
Dalam penerapanannya dalam ranah linguistik, genre dikenal sebagai struktur
skematik teks untuk mencapai tujuan tertentu sebuah teks. Namun Here written
genres are regarded as parts of repeated and typified social situations, rather
than particular forms, with writers exercising judgement and creativity in
responding to similar circumstances (Hyland 2002).
T Identity : ini erat kaitannya dengan ke-5
aspek sebelumnya, dimana tulisan yang berlandaskan kelima aspek tersebut akan
menciptakan identitas tersendiri. Identitas merajuk pada cara penulis
menampilkan siapa mereka sebenarnya (jati diri) lewat perantara tulisan.
Konteks
berikutnya yang penulis dapat dari teks dalam slide yang diberikan oleh mr.Lala
adalah seputar tugas critical review. Seperti yang kami ketahui critical review
adalah tugas ‘Keramat’ bagi kami selaku penulis. Mengapa dikatakan keramat?
Dikatakan ‘keramat’ karena sebagai mahasiswa yang baru menginjakkan kakinya
dalam dunia critical, mengkritisi sebuah maha karya seorang ahli dibidangnya
bukanlah pekerjaan main-main, menyanggah serta mengomentarinya dengan berdasar
pada kebenaran teori lainnya menjadikan penulis diambang kebimbangan setiap
kali menjalaninya. Dari mulai Appetizer essay, kemudian critical review pertama
tentang Classroom discourse to foster religious harmony dan critical review
kedua hari ini tentang Speaking Thruth to the Power with Books tak luput dari
kekurangan-kekurangan dan pasti tak luput pula dari pandangan mr.Lala. beliau
senantiasa membaca dan mengawasi dengan memberikan komentar sebagai responsnya.
Dalam first critical review saja, ada enam
weaknesess yang mr.Lala komentari.
Meliputi: pertama, trapped in trivial matters, yakni dalam mengkritik
penulis cenderung memperhatikan hal-hal sepele yang hampir tidak memiliki nilai
dibandingkan dengan benang merahnya artikel Classroom discourse to foster
religious harmony itu sendiri, sehingga mengakibatkan tulisan tersebut tidak fokus dan cenderung aneh.
Kedua, tidak familiar dengan keywordnya yaitu classroom discourse menjadikan
kita semua bingung akan apa yang ingin kita tuliskan dan akhirnya lebih
memfokuskan pembahasan pada religious harmoninya. Ketiga, penulis hanya
menceritakan fakta-fakta tentang konflik agama tanpa menunjukkan sudut
pandang yang tegas. Keempat, generic
structure masih belum terbangun dengan baik. Kelima, pola daftar pustaka sangat
berantakan sehingga perlu diperbaiki dan keenam adalah komentar dan saran untuk
kita bahwa sebenarnya dalam konteks artikel tersebut banyak sekali ruang untuk
kita bisa improve tapi sayangnya penulis missing di area itu.
Jika
komentar diatas adalah untuk first critical review, tak jauh berbeda dengan
second critical review. Dalam critical review Speaking Thruth to the power
with book kesalahan lagi-lagi terjadi dalam konteks yang sama. Ladang yang
seharusnya kami garap masih berbentuk composition dimana penullis hanya
menggabungkan informasi dari beberapa sumber mengenai Colombus, padahal
seharusnya ladang garapan penulis adalah discourse dan critic. Kemudian
mengenai generic structure hanya ada satu orang yang secara eksplisit
menuliskannya pada paper.
Dalam
artikel Howard Zinn, kesalahan yang mendasar adalah kritik penulis kepada
paparan atau isi artikel. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya bahwa
kritikan penulis masih belum terbangun dan cenderung hanya menyuguhkan
informasi. Seharusnya banyak yang dapat dikritisi dari artikel tersebut. Zinn menggunakan
konteks antropologi untuk mengungkap kebenaran sejarah America. Seperti yang
telah diketahui bahwa Zinn adalah seorang antropologist. Sudah barang tentu ia
akan mengkritisi sejarah Columbus yang salah karena ia memenuhi tuntutan
ideologisnya yakni seorang kritikus dan aktivis politik. Namun muncul
pertanyaan-pertanyaan seputar keberanian ia, yang mengungkapkan kebenaran akan
Columbus yang notabene berbeda dengan sejarah Columbus yang berkembang saat
itu.
Bagaimana
bisa seorang akademisi menyerang negaranya sendiri? Apa tindakan negara
terhadap orang yang katakanlah teroris karena menyerang negaranya sendiri
seperti Zinn, padahal dalam sebuah negara, seluruh warga negara apalagi seorang
PNS harus patuh terhadap pempinannya. Lalu bagaimana ia bertahan dalam
lingkungan yang notabene tidak setuju alias menentang teori nya itu? Apakah
orang-orang Amerika tidak merasa ‘panas’ akan seorang Howard Zinn? Seharusnya
itu semua yang penulis kritisi dari artikel Zinn Speaking Thruth to power
with book ini. Satu hal lagi yang crusial dibahas akan seorang
Howard Zinn adalah kenyataan bahwa apakah ia melihat seorang Columbus
benar-benar dari kacamata antropologi ataukah hanya asal ngomong.
Dari quote
Noam Chomsky yang berbunyai “Zinn changed the conciousness of a
generation of Amerika” dapat diketahui bahwa zinn memanglah orang yang
berliterasi. Orang yang berliterasi adalah yang menguasai teks sejarah, dan
orang yang menguasai teks sejarah itu mampu mengubah dunia. Tapi sangat
disayangkan dalam artikelnya itu, Zinn belum mengaitkan kebenaran sejarah
Columbus dengan literasi. Orang yang berlitersi tidak akan mengungkapkan hanya
sisi negatif dan keburukan Columbus saja, at lease ada sisi positif dari
kedatangan Columbus bagi ekspansi dunia atau sebagainya.
Memang sejarah bila dipandang sama dengan jurnalisme
karena ada unsur subyektivitas yang tidak terelakkan di sana. Ketika memilih
sebuah tema untuk diberitakan, atau ketika seorang sejarahwan memilih tema
untuk ditulis, keduanya sudah dalam posisi subyektif. Mengapa memilih tema ini
dan tidak tema yang lain, padahal penting atau tak pentinnya suatu tema, hanya
berdasar pada soal “menurut siapa”.tapi yang membuatnya menjadi obyektif adalah
bahwa baik sejarah maupun jurnalisme memiliki metode penulisannya masing
masing. Dari gambaran ini, Howard Zinn berada disisi yang kalah bukan
disisi yang menang seperti Colombus.
Di kubu berbeda dari Zinn disana
berdiri Samuel Elliot Morrison sang
sejarahwan Harvard yang menulis buku seminal Christoper Columbus, Mariner. Benar Zinn katakan bahwa,
Morison tak sedikitpun berbohong soal kekejaman Columbus. Ia bahkan menyebut
sang pelaut telah melakukan genosida pada Indian Arawaks. Namun, tulis Zinn,
fakta yang tertera di satu halaman ini kemudian ia kubur dalam ratusan halaman
lain yang mengagungkan kebesaran sang pelaut. Keputusan untuk lebih
menceritakan sebuah heroisme dan abai pada penekanan fakta pembantaian masal
yang terjadi pada suku Indian Arawaks bukanlah sebuah kebutuhan teknis ala
pembuat peta, namun murni pilihan ideologis.
Morison memang menyebutkan bahwa terjadi pembantaian suku
asli Amerika (Indian) oleh Columbus tetapi fakta itu tidak sebanding dengan
kebohongan yang ia sembunyikan lewat pujian-pujian akan jasa Columbus atas
Amerika. Kebenaran yang salah inilah yang dikonsumsi orang-orang seluruh dunia.
Keberpihakan Zinn, adalah soal ideologinya dalam menulis
sejarah. Ia seseorang yang anti kekerasan dan menolak alasan apapun yang
digunakan untuk mendukung sebuah perang. Membaca sedikit soal Zinn. James
Joyce, sastrawan asal Irlandia itu sekali waktu pernah berujar bahwa sejarah
adalah “mimpi buruk yang aku ingin terbangun darinya”. Sepertinya, karena kebencian
Zinn itulah ia mencoba mengungkap masa lalu yang kelam bak mimpi buruk, dari
sudut si pecundang, agar suatu saat kita terbangun dari apa yang dinamakan
“ketidakadilan” dan “penindasan” itu. Oleh karenanya Zinn tidak peduli meski ia
seorang PNS yang dihujat oleh orang-orang amerika yang merasa panas akan
dirinya, namun pada akhirnya is sukses menyadarkan satu generasi Amerika.
Disinilah
unsur-unsur seperti kepentingan politik berperan, menjadikan sejarah ajang
permainan kata (teks) orang-orang literat. Hingga Zinn pun tenggelam olehnya.
Dalam artikelnya ia mengatakan bahwa sejarah tentang Columbus selama ini ada
kebohongan besar tapi ia justru tidak mengungkapkan who exactly discover
America is. Bisa jadi penemu Amerika adalah orang china atau bahkan orang islam
yang notabene bukan serumpun dengan Zinn, oleh karenanya ia ikut-ikutan
menyembunyikan sejarah sebenarnya.
Dalam Literatur yang menerangkan bahwa
penjelajah Muslim sudah datang ke Amerika sebelum Colombus, antara lain pakar
sejarah dan geografer Abul Hassan Ali Ibnu al-Hussain al-Masudi (871-957M).
Dalam bukunya Muruj Adh-Dhahabwa Maad al-Jawhar (The Meadows of Gold and
Quarries of Jewels / Hamparan Emas dan tambang Permata), al-Masudi telah
menuliskan bahwa Khaskhas Ibnu Sa’ied Ibn Aswad, seorang penjelajah Muslim dari
Cordova, Spanyol, berhasil mencapai benua Amerika pada 889M (5 abad sebelum
kedatangan Columbus). Namun disudut pandang lain, disebutkan bahwa sebuah
salinan peta berusia 600 tahun mengatakan ihwal laksamana Cheng Ho, seorang pelayar yang berkebangsaan china lah, yang pertama
kali menemukan benua amerika, fakta ini diperkuat dengan bukti peta ( Artefak )
yang ditemukan oleh LiuGang,
seorang kolektor peta china yang menemukan kopian peta kuno Ceng Ho yang
disinyalir sebagai penemu pertama benua Amerika sebelum columbus. Demikian
ditegaskan oleh sejumlah pakar sejarah, salah satunya Gavin Menzies dalam
buku 'Who Discovered America?’. Kedua sejarah ini pada dasarnya
sama yakni mengatakan bahwa orang muslimlah yang pertama menemukan Amerika.
Intinya dari class review kali ini
adalah dunia penulis dan kawan-kawan semua adalah dunia menulis. Menebarkan
benih-benih praktek literasi bangsa. Menulis harus sesuai konteks. Meski
definisi dan pemahaman akan konteks berbeda-beda seperti Lehtonen dengan 8
parameter konteks, Hyland dengan 3
aspek utama penafsiran konteks : Situational
Context, Background Knowledge Context, Co-textual Context dan 6
aspek penting writing: context, literacy, culture, technology, genre and
identity , Ferdinand De Sausure dengan teori Signifiant dan Signifie
nya, dan Halliday dengan 3 ranah field, tenor, dan mode namun akhirnya
akan menunjuk satu peranan yang sama yakni meaning making practice
Lewat konteks seorang penulis mampu
menuliskan dunia di dalam dunia menulis, seperti apa yang dilakukan Howard Zinn,
guna membangunkan kesadaran akan pentingnya artefak tertulis seperti yang kini
kami lakukan. Kemudian mengenai penemu benua America sebenarnya, penulispun
masih dirundung kegalauan tingkat tinggi karena banyaknya data yang berlainan.
Namun saya sebagai penulis yang non-Amerika dan berlandaskan akan banyaknya
data dan bulti yang saya peroleh, tittle sang penemu Amerika cocok diberikan
pada laksamana Cheng Ho, sang pelayar muslim dari negeri China.
Referensi
Lehtonen, Mikko. 2000. The Cultural Analysis of Text. London:
SAGE Publications Ltd.
Hyland, Ken. 2009. Teaching
and Researching Writing. United
Kingdom: Pearson Education Limited.
0 comments:
Post a Comment