"Mereka membawakan kita beo dan bola kapas dan tombak dan banyak hal lainnya, yang mereka ingin pertukarkan dengan manik-manik kaca dan lonceng elang '. Mereka rela menyerahkan segala yang mereka miliki. Mereka tegap, dengan tubuh yang baik dan wajah tampan .... Mereka tidak memanggul senjata, dan tidak mengenal senjata, karena aku menunjukkan kepada mereka pedang, mereka memegang bagian yang tajam dan melukai tangan mereka sendiri akibat ketidaktahuannya itu. Mereka tidak mengenal besi/iron. tombak mereka dibuat dari tebu. Mereka akan menjadi budak yang baik. Dengan hanya lima puluh orang, kita bisa menundukkan mereka semua dan membuat mereka melakukan apapun yang kita inginkan." Christopher Columbus
Christopher Columbus dikenal sebagai penemu benua Amerika dan dipandang
sebagai pahlawan eksplorasi abad pertengahan oleh banyak sejarawan masa kini. Namun banyak buku teks gagal mengungkapkan fakta sebenarnya. Howard Zinn melalui artikelnya berjudul “Speaking
Truth to Power with Book” dengan berani menentang Columbus sebagai seoarang
pahlawan. Bahkan dia menuliskan bahwa Columbus adalah seorang maniak genosida
yang mencetuskan apa yang mungkin menjadi kasus terburuk genosida yang
dilakukan satu bangsa manusia terhadap bangsa yang lain.
Genosida atau genosid adalah sebuah pembantaian besar-besaran
secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud
memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini pertama kali digunakan
oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada tahun 1944 dalam bukunya Axis
Rule in Occupied Europe yang diterbitkan di Amerika Serikat. Kata ini
diambil dari bahasa Yunani γένος genos ('ras', 'bangsa' atau 'rakyat') dan bahasa Latin caedere ('pembunuhan').
Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada dalam
yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat
lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan
Agresi.
Columbus menghukum suku setempat, yang dikenal sebagai Taino, dengan kejam.
Dia memperbudak banyak penduduk lokal dan membantai lebih banyak lagi, menurut
Ward Churchill, mantan profesor studi etnis di University of Colorado, sampai
tahun 1496, populasi telah berkurang dari sebanyak delapan juta menjadi sekitar
tiga juta. Dan pada saat ia akhirnya meninggalkan Amerika di tahun 1504, bangsa
Taino telah menurun menjadi sekitar 100.000 orang, sehingga membuat Columbus
penjahat perang menurut standar sekarang dan bersalah melakukan beberapa
kekejaman terburuk terhadap ras lain dalam sejarah.
Semua fakta diatas sepertinya tidak banyak diketahui oleh publik, entah
sengaja dihilangkan atau memang luput dari perhatian. Soal benar tidaknya juga
sulit untuk dibuktikan. Validitas kisah di atas masih bisa dipertanyakan.
Sumbernya pun bisa dipertanyakan, karena kontradiktif dengan sumber-sumber
lain. Misal, sebelum bisa berlayar, Colombus sudah melobi raja-raja di berbagai
negara selama bertahun-tahun. Konyol kalau ada penguasa yang malah mengeluakan
dana luar biasa besar demi mengusir pelaku kejahatan. Dan dalam catatan Clombus
pun Colombus bicara bukan tentang menjadikan mereka budak, justru menyinggung
tentang kaum dari daratan utama yang menjadikan kaum indian yang dia temukan
sebagai budak. Tapi itulah sejarah, sangat sulit memang membuktikan mana yang
benar atau mana yang salah.
Ismaun (2002: 13) menguraikan tiga komponen pengertian atau konsep tentang
sejarah, yaitu: sejarah sebagai peristiwa, sejarah sebagai kisah, dan sejarah sebagai seni. Sejarah sebagai peristiwa
ialah kejadian, kenyataan, aktualitas, sejarah in concreto yang sebenarnya
telah terjadi atau berlangsung pada waktu yang lampau (sejarah serba objek). Sejarah
sebagai kisah adalah cerita berupa narasi yang disusun
dari memori, kesan, atau tafsiran manusia terhadap kejadian atau peristiwa yang
terjadi atau berlangsung pada waktu yang lampau (sejarah serba subjek).
Bury (Teggart, 1960: 56) secara tegas
menyatakan “History is science; no less, and no more”. Carr (1982: 30). yang menyatakan, bahwa “history
is a continous
process of interaction between the historian and his facts, and unending
dialogue between the present and the past.” Colingwood (1973: 9) yang menegaskan bahwa:
“Every historian would agree, I think that history is a kind of research or
inquiry”. menurut Carr (Dalam Sjamsuddin, 2007: 23), sejrawan memperoleh
fakta-fakta sejarah (historical fact) dari dokumenh, inskripsi, dan dari
ilmu-ilmu Bantu sejarah lainnya seperti arkeologi, sepgarfi, numismatic, dan
kronologi.
Hayden White dan Munslow (Sjamsuddin, 2007) mengatakan sejarah adalah
sebuah narasi yang dikuasai oleh konvensi-konvensi estetika sastra daripada ke bidang pengetahuan dan menyangkal bahwa suatu
makna "lebih baik" atau ’"lebih benar" daripada makna lain.
Naratif-naratif sejarah adalah fiksi-fiksi verbal yang isinya diciptakan atau
diimajinasikan sebanyak ditemukan sehingga dekat sastra ketimbang sains. Konteks adalah keseluruhan, totalitas, atau latar
belakang, atau masa lalu itu sendiri. Konteks berfungsi membuat masa lalu masuk akal, berari,
signifikan, dan berarti.
Guy Cook memberikan satu daftar kemungkinan dari perbedaan dimensi dari
'konteks' dalam bukunya yang berhubungan
dengan iklan. Konteks mencakup semua hal berikut:
1.
substansi:
materi fisik yang membawa atau relay tek
2.
musik dan
gambar
3.
paralanguage: perilaku yang berarti bahasa
yang menyertainya, seperti kualitas suara, gerak tubuh, ekspresi wajah dan
sentuhan (dalam kecepatan), dan pilihan dari jenis huruf dan ukuran huruf
(secara tertulis)
4.
Situasi:
sifat dan hubungan objek dan orang-orang di sekitarnya teks, seperti yang
dirasakan oleh para peserta
5.
co-teks:
teks yang mendahului atau mengikuti yang di bawah analisis, dan yang peserta
menilai milik wacana yang sama
6.
intertext:
teks yang peserta anggap sebagai milik wacana lain, tapi yang mereka
persekutukan dengan teks di bawah pertimbangan, dan yang mempengaruhi interpretasi
mereka
7.
peserta:
niat dan interpretasi mereka, pengetahuan dan keyakinan, sikap interpersonal,
afiliasi dan perasaan. . .
8.
fungsi: apa
teks dimaksudkan untuk melakukan oleh pengirim dan addressers, atau dianggap
dilakukan oleh penerima dan addressees.7
Gagasan Cook terhadap konteks cukup praktis. 'Faktor eksternal teks',
seperti situasi, pembaca dan fungsi ditujukan untuk teks ditampilkan secara
kuat di samping hal-hal tekstual yang lazim diperhitungkan di antara konteks.
hal-hal yang berpartisipasi dalam pembentukan makna (baik sebagai
nontekstual ataupun sebagai tekstual), sangat subur untuk mempertimbangkan
konteks variabel dan sumber daya budaya (special
cultural resources), dengan bantuan pembaca yang menghasilkan makna dalam teks. Makna tekstual
adalah potensi yang mengaktualisasikan suatu hal dengan jenis sumber daya
kontekstual yang pembaca miliki dan bagaimana mereka menghasilkan rasa dalam
teks yang mereka baca denagn mengandalkan sumber daya tersebut.
Oleh karena itu, dalam prakteknya, suatu yang mustahil bila teks dan
konteks saling terpisah satu sama lain (memisahkan mereka sementara untuk
tujuan analisis adalah hal yang berbeda). Mari kita mempertimbangkan, misalnya,
wacana yang seperti kerangka referensi adalah salah satu yang paling sentral
dari faktor-faktor kontekstual dalam pembentukan makna. Wacana bertindak sebagai
semacam sumber daya budaya batalyon, dalam batas-batas makna yang pembaca produksi
dari teks. Mereka menetapkan batas tidak hanya untuk apa yang dapat dikatakan
tetapi juga bagaimana kata dapat dipahami. Apapun teks yang lain, mereka juga
selalu merealisasikan wacana. Namun, gagasan dari wacana mempertanyakan
pemisahan teks dan konteks seolah-olah mereka interior dan eksterior. Menurut divisi
yang disebutkan di atas, wacana akan termasuk dalam bagian luar teks, tetapi juga
diatakan sebagai pengdefinisi potensi dan pemahaman mereka yang paling kuat
terletak di pedalaman teks.
Sejarawan sering kali kesulitan menemukan
konteks guna mendapatkan fakta-fakta sejarah yang signifikan dan bermakna dan
konteks tidak pernah secara pasti ditemukan. Konteks dikonstruksi untuk mengkontekstualkan
fakta-fakta yang pada akhirnya harus diimajinasikan dan diciptakan. Semua
interpretasi dari masa lalu benar-benar diciptakan (konteks)
sebanyak yang ditemukan (fakta). Karena ada unsur imajinasi dalam sejarah, maka tidak ada sejarah yang
secra harfiah faktual (seluruhnya ditemukan) atau benar. Karena tidak bisa
menghindari kiasan, Kisah sejarah merupakan metafora
dan metahistory.
Menurut White (Shuterland: 2008, 48) mengatakan bahwa sejarah adalah sebuah
narasi yang dikuasai oleh konvensi- konvensi estetika dan lebih dekat kepada
sastra daripada ke ilmu pegetahuan. (Sjamsuddin, 2007), menjelaskan bahwa sejarah
disebut metahistory karena sejarah tidak bisa menolak masuknya kiasan-kiasan
dalam penulisan sejarah. Metahistory adalah karya-karya sejarah yang tujuannya
bukan untuk membuat informasi baru tentang suatu
objek tertentu tetapi menimbang informasi yang ada, mendiskusikan
interpretasi-interpretasi yang sudah ada, dan kemungkinan mengomentari
asumsi-asumsi yang telah membuat mungkin interpretasi-interpretasi itu.
Linguistic turn menyatakan bahwa bahasa dalam bentuk budaya dan intelektual
merupakan media pertukaran bagi hubungan antar kekuatan dan konstitutor terakhir dari kebenaran dalam penulisan dan
pemahaman masa lalu (Purwanto, 2006: 3). Purwanto (2006:3-4) menjelaskan bahwa sejarah sebagai
sebuah pengetahuan sangat tergantung pada wacana dan bentuk representasi antar
teks pada konteks sosial dan institusional yang lebih
luas di dalam atau melalui bahasa, karena realitas objek masa lalu telah
berjarak dengan sejarah sebagai ilmu.
Rekonstruksi sejarah adalah produk subjektif dari sebuah proses pemahaman
intelektual yang dilambangkan dalam simbol-simbol kebahasaan
atau naratif dan dapat berubah dari waktu-ke waktu, dari satu tempat ketempat
lain, atau dari satu orang ke orang lain. Sementara itu pada waktu yang sama, sastra berhasil
menampilkan citra dirinya sejajar dengan sejarah
karena mampu menghadirkan situasi faktual dari masa lalu sebagai sebuah naratif
melalui imajinatif kebahasaan (Purwanto, 2006:3-4).
Sastra telah membuktikan dirinya sebagai ilmu yang bukan hanya bicara persoalan kreativitas dan rentetan imajinasi, tetapi dapat pula
berfungsi sebagai dokumen sejarah (Surur, 2008). Zainuddin Fananie berpendapat, dengan keluarnya
sastra dari kreativitas imajiner ke wilayah sejarah, maka sastra secara tidak
langsung bisa diletakkan sebagai dokumen sejarah atau
dokumen sosial yang kaya dengan visi dan tata nilai suatu masyarakat.
Mengacu pada pemikiran
tersebut , selanjutnya dikemukakan beberapa ilmu sosial dalam persinggungannya
dengan studi sejarah. Empat disiplin yang dijelaskan yaitu; ilmu Politik,
antropologi , sosiologi, dan ekonomi.
Dalam buku pendekatan
Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah Sartono menuliskan “Politik adalah sejarah
masa kini dan sejarah adalah politik masa lampau. Sejarah identik dengan
politik, sejauh keduanya menunjukkan proses yang mencakup keterlibatan para
aktor dalam interaksi dan peranannya dalam usaha memperoleh apa, kapan dan
bagaimana.
Sedangkan ilmu ekonomi
dan sejarah itu sama-sama termasuk kedalam ilmu sosial, yaitu ilmu yang
membahas interaksi manusia dan lingkungannya. itulah kenapa di SMP, pelajaran
ekonomi dan sejarah itu digabung. karena berasal dari rumpun ilmu yang sama,
terkadang materinya pun berkaitan bahkan terkadang tumpang-tindih. Misalnya, pada materi perdagangan internasional, di sejarah juga ada. di sejarah disebutkan bahwa bangsa eropa
pergi ke indonesia utk mencari rempah-rempah.Dengan belajar dari masa lalu
(sejarah) kita juga dapat belajar supaya perekonomian dapat lebih baik.
Selain itu, pada beberapa dasawarsa terakhir ini banyak sekali hasil-hasil penelitian
sosiologi berupa studi sosiologis yang memfokuskan studinya pada gejala-gejala
sosial yang terjadi dimasa lampau(supardan, 2008:325), dengan memasukkan konsep
ruang tadi maka dapat kita lihat bahwa kajian tersebut jelas menggunakan
beberapa konsep dari sejarah untuk menjelaskan studi tersebut. Karya-karya
seperti Pemberontakan Petani Kaya yang ditulis oleh Tilly, Perubahan Sosial
Masa Revolusi Industri di Inggris Karya Smelzer, serta Asal Mula Sistem
Totalitier dan Demokrasi karya Barrington Moore. Karya-karya tersebut sering disebut
Sejarah Sosilogi.(Kartodirdjo dalam Supardan, 2008: 325)
Begitu pun dalam ilmu Antropologi ,titik temu antara budaya
dan sejarah sangatlah jelas. Keduanya mempelajari tentang manusia. Bila sejarah
menggambarkan kehidupan manusia dan masyarakat pada masa lampau, maka gambaran
itu juga mencakup unsur-unsur kebudayaannya . unsur-unsur itu antara lain,
kepercayaan, mata pencaharian, dan teknologi. Hasil rekonstruksi yang memadukan
antara sejarah dan antropologi menghasilkan karya sejarah kebudayaan.
Melihat fakta diatas,
akan betapa kompleksnya suatu sejarah, sudah saatnya kita tidak menganggap
enteng sebuah sejarah. Keterkaitannya dengan banyak ilmu sosial serta sastra
pun seharusnya menyadarkan kita akan pentingnya belajar sejarah. Dengan belajar
sejarah seseorang akan senantiasa berdialog anatara masa kini dan masa lampau
sehingga bisa memperoleh nilai-nilai penting yang berguna bagi kehidupannya. Nilai-nilai itu dapat berupa ide-ide maupun konsep kreatif sebagai sumber
motivasi bagi pemecahan masalah kini dan selanjutnya untuk merealisasikan
harapan masa yang akan datang.
Keterkaitannya dengan sastra pun membuka mata kita bahwa sejarah tidak
hanya tercipta dengan begitu adanya, terdapat input-input subjektif dari
seorang penulis yang dimasukan dalam karangan sejarah yang mereka tulis. Perbedaan
kontekslah yang menciptakan karangan sejarah seseorang dengan orang lainnya
akan berbeda. Sehingga kita tidak bisa membenarkan atau menyalahkan karangan
seseorang. Karena pada intinya mereka menulis sejarah tersebut berdasarkan
konteks mereka masing-masing.
Referensi
http://socyberty.com/history/christopher-columbus-and-the-genocide-of-the-taino-nation/ diunduh 8 maret 2014 (2.45 pm)
http://id.shvoong.com/social-sciences/political-science/2121432-hubungan-ilmu-politik-dan-sejarah/#ixzz2GL40f0qV diunduh 8 maret 2014 (2.45 pm)
[Mikko_Lehtonen]_The_Cultural_Analysis_of_Texts(BookZa.org)
0 comments:
Post a Comment