Challenge disk
minggu lalu menghasilkan rasa yang hambar pada masakan saya. Hal itu
dikarenakan tema dari disk yang seharusnya berangkat dari classroom discourse,
tidak kami gunakan. Kami terlalu nyaman dengan menu religious harmony. Kami pun
akhirnya masuk ke dalam ‘trap’ yang telah diperkirakan sebelumnya oleh Master
Lala Bumela M.Pd. akhirnya beliau memberikan buku menu tentang classroom
discourse dari Betsy Rymes.Untuk memasuki dunia religious harmony, kita harus
masuk gerbang utamanya terlebih dahulu, yaitu classroom discourse.
Classroom adalah
ruangan yang digunakan oleh sekumpulan orang yang mempunyai tujuan dan
menjalani proses yang sama. Walaupun mereka mempunyai perbedaan, namun di dalam
kelas mereka dianggap satu dalam perbedaan tersebut.
Discourse terdiri
dari dua elemen penting, yaitu text dan context. Text dapat berupa tulisan atau
ujaran. Menurut Lehtonen (2000:72),"Texts are surely physical beings,
but they exist
in such forms in order to be semiotic beings. Conversely, texts can
be
semiotic beings only when they have some physical form." Sedangkan context menurut beliau adalah "In traditional
notions of texts and contexts, contexts are seen as separate
‘backgrounds’ of texts, which in the role of a certain kind of
additional
information can be an aid in understanding the texts
themselves."
(2000:110). Dapat dikatakan, text dan context di dalam classroom dicourse
sangat berpengaruh terhadap masyarakat untuk menentukan meaning.
Di sisi lain
menurut Iguis Mariane (2002), "wacana (discourse) merupakan proses
bagaimana seseorang berbicara dan mengerti apa yang dibicarakan dan apa yang
didengarnya, yang mencakup semua aspek perkataan." Sedangkan menurut
Abdul Khaer (2004), "Wacana (discourse) merupakan gejala individual
yang bersifat psychologist dan berkelangsungannya di tentukan oleh kemampuan
berbahasa si penutur dalam situasi tertentu." Dari ketiga definisi di
atas tentang discourse, dapat di katakan bahwa discourse bersifat individual
namun semua aspek yang ada di sekitarnya sangat berpengaruh dalam menentukan
meaning.
Sedangkan menurut
Betsy Rymes (2008:12)dalam mengartikan discourse adalah sebagai ‘language-in-use’.
Sangat sederhana namun cukup sulit untuk dapat mengartikannya. Menurutnya
classroom discourse, yaitu "as aninvestigation into how discourse
(language-in-use) and context affect each other, our framework comprises three
ever-present dimensions of Language-in-Use: 1) Socialcontext—the social
factors outside the immediate interaction that influence how words
function in that interaction (e.g., how does social context
influence whether you or yourstudents use the word dude? What effects would it
have?) ; 2) Interactional context— the sequential or other patterns of
talk within an interaction that influence what we can and cannot say, and how
others interpret it within classroom discourse (e.g., in what sequence of
interaction would your use the word dude? A greeting? A compliment? What
effects would it have on the rest of the interaction?); and 3) Individual
agency— the influence an individual can have on how words are used and
interpreted in an interaction (e.g., When and why would an individual choose to
use dude and for what purpose? How much can an individual control its
effects?)" (2008:31-32)
Dari pendapat
diatas, dapat dikatakan bahwa penggunaan kata atau ujaran sangat mempengaruhi
konteks atau situasi yang sedang dialami oleh si penutur. Sehingga dapat
menghasilkan pengaruh yang berbeda pula walaupun berasal dari satu kata yang
sama (e.g dude). Dalam hal ini, kita dituntut untuk berhati-hati dalam memilih
kata dan kalimat untuk di sampaikan pada berbagai konteks. Kenapa kita harus
‘pay attention’ terhadapnya? Pe-respone atau listeners yang kita ajak
berkomunikasi selalu berbeda tergantung pada situasi di dalamnya, yakni
berdasarkan umur, tingkatan sosial, agama, dan lainnya.
Dalam mengahadapi
anak-anak dikelas (TK-SD), kesabaran dan pengendalian diri sangat berperan.
Seperti yang kita tahu, anak pada usia itu lebih senang untuk bermain dan tidak
ingin oleh peraturan. Menurut Betsy Rymes (2008:7), "By targeting
specific differences in discourse patterns, this research into cross-cultural communication
in classroom contexts has been able to enhance teachers and students’ mutual
understanding—reconceptualizing deficits as differences, and differences as resources
for learning." Wacana kelas memang sangat memprioritaskan komunikasi
(interaction). Komunikasi di kelas bukan sebatas hanya meliputi ujaran, tapi
sikap, respon, attitude, bahkan kenakalan. Semua itu merupakan bentuk
cross-cultural communication karena dalam satu kelas terdiri dari banyak
perbedaan. Disanalah wahana untuk murid-murid menyampaikan atau
mengkomunikasikan perbedaan secara ekplisit.
Ada beberapa pendekatan
yang harus dilakukan oleh guru untuk dapat menjadikan perbedaan di kelas
menjadi sebuah proses pembelajaran. Menurut Betsy Rymes (2008:7), "teachers
began to see these ways of talking and responding to classroom prompts as part
of the way these children had been socialized to use language at home and in
their non-school communities. As a result, teachers were then able to use their
knowledge of these different language practices as a resource to build
mutual, collaborative understandings of the ways stories can be told, questions
can be responded to, and problems can be solved." Dengan melakukan
pendektan tersebut, guru mampu belajar tentang perbedaan dari berbagai aspek
yang ada pada murid-muridnya. Pelatihan/pendekatan tersebut pada akhirnya menjadi
sumber dari terbukanya mutual-understunding guru dan murid, serta antara murid
dengan murid. Walaupun demikian, cukup sulit untuk melakukan pendekatan
tersebut bila guru tidak memiliki cukup kesabaran. Mengingat hal ini harus
diajarkan sedari dini.
Kenapa classroom
discourse harus dipraktekan sedari dini? Perbedaan yang ada dalam classroom
discourse datang dari sisi bahasa dan budaya. Perbedaan tersebut menimbulkan
momment yang rumit dan tidak dimengerti dalam suasana kelas oleh guru. Sehingga
munculah classroom discourse analysis melalui recording, viewing, transcribing,
dan analyzing dalam obrolan di kelas (Betsy Rymes, 2008:6).
Ikatan guru dengan
murid bukan hanya sekedar profesionalisme semata. Namun, mereka juga harus
memiliki ikatan interaksi yang baik. Kesulitan dalam memberikan pembelajaran,
diantaranya karena background, communication standard, dan goal-driven (cognitive,
affective, dan psycomotor).
Menghadapi
murid-murid yang memiliki background yang berbeda, sebenarnya dari perbedaan tersebut
guru dapat mempelajari sikap muridnya. Sikap tersebut juga merupakan salah satu
bentuk interaksi. Background yang berbeda harus dijadikan satu wahana
pembelajaran bagi murid dan gurunya. Dalam classroom discourse analysis,
perbedaan tersebut merupakam salah satu yang mempengaruhi kelas. Keadaan
tersebut bergantung pada guru, yakni sejauh mana ia dapat membawa perbedaan
menjadi pembelajaran.
Oleh karenanya,
diperlukan media yang dapat dimengerti oleh semua murid. Communication standard
adalah jembatan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Di Indonesia, seharusnya
Bahasa Nasional dapat menjadi standar komunikasi dalam classroom discourse.
Mengingat, sedari kecil murid-murid lebih diajarkan kepada Bahasa Daerah.
Disisi lain, menurut Batsy Rymes tentang Communication Standard adalah
berbicara dan merespon keadaan di kelas. Hal ini sebagai wujud dari sikap
sosial mereka dalam menggunakan bahasa, baik di rumah maupun di lingkungan
sosial lain. Dengan demikian, guru dapat mempelajari dan menggunakan bahasa mereka
(2008:7).
Kesulitan lainnya,
yaitu goal-driven. Menurut Batsy Rymes (2008:10), "…teachers also need
to be internally driven to continue the hard work necessary to maintain high
levels and equity in student achievement."Oleh karena itu, untuk
mencapai achievement tersebut di perlukan 3 aspek penting, yaitu cognitive,
affective, dan psycomotor. Dari interaction yang terjalin tersebutlah,
terbentuknya meaning-practice. Melalui itu kita dapat mencapai religious
harmony.
Tidak berlebihan
jika Betsy berujar mengenai bukunya (2008:11), "Some books on classroom
discourse not only resonate with hope for teachers, but for humanity in general."Memang
dalam kenyataannya, interaction dan tolerance harus di bangun sejak dini. Dari
interaksilah akan memproduksi meaning yang dapat diterima receiver-acceptor.
Jika perbedaan dapat menemukan titik temu, maka level mutual-understunding
dapat tercapai. Sehingga kerukunan antar umat beragama dapat terjalin, tidak
mudah memang untuk mewujudkannya. Jangankan yang berbeda agama, masih dalam
agama yang samapun toleransi merupakan barang yang hampir punah.
Jadi, dapat
diakatakan bahwa inti yang terdapat dalam classroom discourse adalah
interaction. Di dalamnya terdapat nucleus yang disebut ‘talk’. Classroom
discourse harus diterapkan sedari dini karena ini merupakan cikal bakal bagi
terjalinnya kerukunan beragama. Sehingga para guru harus lebih ‘aware’ atas
segala sikap (respon) murid-muridnya. Seorang guru harus mampu mengartikan
perilaku dan bahasa yang mereka gunakan. Pada dasarnya para guru juga sedang
belajar dari murid-muridnya ketika mereka sedang melakukan proses pembelajaran.
0 comments:
Post a Comment