Jika
kita melihat kembali kebelakang tentang tugas membuat critical review, di sana
terdapat banyak sekali kesalahan. Mulai dari struktur teks yang kurang tepat,
cara mengaitkan satu masalah ke masalah lainnya yang belum benar dan masih
banyak lagi kesalahan di dalam teks yang saya buat itu.
Nah
pada class review kali ini akan membahas materi yang mencakup konteks, delapan
parameter dalam konteks, writing and culture, writing and technologi, writing
and genre, writing and identity, dan juga hubungan antara literasi dan sejarah.
Untuk
pembahasan pertama yang akan saya ulas yaitu mengenai konteks dari sudut
pandang Ken Hyland.
1. Konteks
Menurut
Ken Hyland, cara untuk memahami tulisan dikembangkan melalui pemahaman konnteks
yang semakin canggih. Perlu disadari bahwa makna bukanlah sesuatu yang berada
dalam kata-kata yang ditulis, tetapi diciptakan dalam interaksi antara penulis
dan pembaca karena writer and reader memahami kata-kata dengan cara yang
berbeda, masing-masing berusaha menebak
niat yang lain. Sebagai akibatnya, analisis dan guru sekarang mencoba untuk
memperhitungkan pribadi faktor-faktor kelembagaan, dan sosial yang mempengaruhi
tindakan menulis. Secara tradisional, faktor-faktor kontekstual sebagian besar dipandang sebagai ‘objektif variabel kelas, gender dan ras,’ tapi
sekarang cenderung dipandang apa para peserta melihat secara relevan.
Pandangan
Dijk mengenai konteks, ini bukan situasi sosial yang mempengaruhi (atau
dipengaruhi oleh) wacana, tetapi cara peserta yang mendefinisikan seperti itu. Konteks
demikian bukan semacam kondisi ‘objektif’ atau sebab langsung, melainkan
(inter)konstruki subjektif dirancang dan ongoingly diperbarui dalam interaksi
oleh peserta sebagai anggota kelompok dan masyarakat. Jika mereka, semua orang
dalam situasi sosial yang sama akan berbicara dengan cara yang sama. Konteks adalah
peserta konstruksi. Van Dijk (2008).
Cutting
(2003: 3) menyatakan bahwa ada tiga aspek utama konteks yaitu:
1. Konteks
situaional : apa tahu masyarakat tentang apa yang dapat mereka lihat disekitar
mereka.
2. Latar
belakang konteks pengetahuan : apa tahu masyarakat tentang dunia, apa yang
mereka tahu tentang aspek kehidupan, dan apa yang mereka tahu tentang satu sama
lain.
3. Co
– tekstual: apa tahu masyarakat tentang apa yang mereka miliki telah
mengatakan. Aspek-aspek interpretasi telah datang untuk digulung menjadi ide
masyarakat. Ini adalah suatu konsep yang bermasalah, tapi menawarkan cara yang
berprinsip memahami bagaimana makna diproduksi dalam interaksi.
Dimensi
konsep Halliday tentang konteks (1985)
1.
Field: mengacu pada apa yang terjadi,
jenis aksi sosial, atau teks adalah tentang (topik bersama dengan bentuk-bentuk
yang diharapkan secara sosial dan pola biasanya digunakan untuk mengekspresikan
itu.
2.
Tenor: mengacu pada siapa yang mengambil
bagian, peran dan hubungan peserta (status dan kekuasaan mereka misalnya, yang
mempengaruhi ketertiban, formalitas dan kesopanan).
3.
Mode: yaitu mengacu pada apa bagian
bahasa diputar, apa yang peserta harapkan ( apakah lisan atau tertulis,
bagaimana informasi terstruktur dan sebagainya ).
Dengan
kata lain, bahasa yang kita gunakan harus sesuai dengan situasi di mana kami
menggunakannya, dan mendaftarkan merupakan upaya untuk mengkarakterisasi
konfigurasi menulis (atau pidato) yang membatasi pilihan menulis akan terbuat
dalam suatu situasi. Jadi, beberapa register cukup mengandung fitur yang
diprediksi memungkinkan kita untuk mengidentifikasi korespondensi yang erat
antara teks dan konteks.
2. 1
Menulis dan Budaya
Gagasan
bahwa pengalaman penulis dari prkatik keaksaraan yang berbeda akan mempengaruhi
pilihan linguistik mereka menunjukkan bahwa guru harus mempertimbangkan bagian
yang dimainkan budaya dalam menulis. Budaya secara umum dipahami sebagai
historis ditransmisikan dan jaringan sistematis nakna yang memungkinkan kita
untuk memahami, mengembangkan, dan mengkomunikasikan pengetahuan dan keyakinan
kita tentang dunia (Lantol 1999).
2. 2 Menulis dan teknologi
Untuk
menjadi orang yang melek hari ini berarti memiliki kontrol atas berbagai cetak
dan media elektronik. Elektronik memiliki dampak yang cukup besar pada cara
kita menulis, genre yang kita buat, identitas pengarang kita asumsikan, dan cara kita terlibat dengan pembaca. Beberapa yang
paling penting di atas tercantum dalam konsep 2.6 di bawah ini:
a. Kombinasi
teks tertulis dengan media visual dan audio lebih mudah.
b. Mendorong
menulis non-linear dan proses membaca melalui hypertext link
c. Tantangan
pemikiran tradisional tentang kepenulisan, wewenang dan intelektual
d. Izinkan
penulis mengakses informasi lebih lanjut dan untuk menghubungkan informasi
dengan cara yang baru
e. Mengubah
hubungan antara penulis dan pembaca sebagai pembaca bisa sering ‘menulis
kembali’ memperluas berbagai genre dan peluang untuk mencapai yang lebih luas
f. Blur
tradisional lisan dan tertulis
g. Memperkenalkan
kemungkinan untuk membangun dan memproyeksikan sosial identitas baru
h. Memfasilitasi
masuk ke komunitas wacana baru on-line
i.
Meningkatkan marginilisasi penulis yang
terisolasi dari baru menulis teknologi.
Jadi
pada dasarnya menulis menggunakan teknologi itu untuk memudahkan kita saat
mengedit seperti memeriksa ejaan, memotong, menyalin, menghapus, memeriksa
tatabahasa dan memasukkan sebuah gambar terhadap tulisan yang akan memberi efek
lebih varitif, cantik dan mudah direvisi ulang.
Selain
inovasi teknologi tantangan bagi seorang penulis, mereka juga membuka identitas
baru, genre dan masyarakat kepada mereka. Munculnya dan popularitas dari blog,
chatroom dan listserves, misalnya menghasilkan kedekatan dan kecepatan
transmisi yang secara radikal mengubah praktek tekstual dengan mendorong
simulasi gaya percakapan secara tertulis.
2. 3
Menulis dan Genre
Genre adalah termotivasi , hubungan
fungsional antara jenis teks dan situasi retoris. Artinya, genre bukanlah jenis
teks maupun
situasi, melainkan hubungan fungsional antara jenis teks
dan jenis situasi. Jenis teks bertahan karena mereka bekerja, karena mereka merespons secara efektif terhadap situasi yang berulang. Ceo ( 2002)
situasi, melainkan hubungan fungsional antara jenis teks
dan jenis situasi. Jenis teks bertahan karena mereka bekerja, karena mereka merespons secara efektif terhadap situasi yang berulang. Ceo ( 2002)
2. 4
Menulis dan Identitas
Penelitian
baru telah menekankan hubungan dekat antara menulis dengan identitas seorang
penulis. Dalam arti luas mengacu pada cara bahwa orang-orang menampilkan siapa diri
mereka satu sama lain (Benwell dan Stoke
2006: 6).
Pengertian
saat ini identitas melihatnya sebagai konteks prular, yang mendefinisikan
secara sosial, dan dinegosiasikan melalui pilihan penulis buat dalam wacana
mereka.
Selanjutnya
beralih ke pembahasan tentang kaitan kontek dan teks menurut lehtonen.
3. Teks
dan Konteks
Konteks
dapat diartikan memasukkan berbagai macam hal seperti faktor antara penulis dan
oembaca, membawanya kedalam proses formasi pembentukan makna, terutama
kemampuan mereka yang tidak bersambungan satu sama laindan kerangka nilai
pendapat.
Ada
delapan parameter yaitu :
a. Substansi:
materi fisik yang membawa atau replay teks
b. Musik
dan gambar
c. Paralanguage:
perilaku yang berarti bahasa yang menyertainya, seperti kualitas suara, gerak
tubuh, ekspresi wajah dan sentuhan ( dalam kecepatan), dam pilihan dari jenis
huruf dan ukuran huruf (secara tertulis)
d. Situasi:
sifat dan hubungan objek dan orang-orang di sekitar teks, seperti yang
dirasakan oleh para peserta.
e. Co-teks:
teks yang mendaului atau mengikuti yang dibawah analisis, dan peserta yang
menilai milik wacana yang sama
f. Interteks:
teks yang peserta anggap sebagai milik wacana lain, tapi yang mereka
persekutukan dengan teks dibawah pertimbangan, dan yang mempengaruhi
interpretasi mereka
g. Peserta:
niat dan interpretasi mereka, pengetahuan dan keyakinan, sikap interpersonal,
afiliasi dan perasaan.
h. Fungsi:
apa teks dimaksudkan untuk melakukan oleg addresser, atau dianggap dilakukan
oleh penerima dan addresser.
4. Hubungan
literasi dengan sejarah
Selain
mempunyai ilmu bantu dalam keilmuannya, sejarah juga menjalin dengan ilmu-ilmu
lainnya terutama sesama ilmu sosial. Lantas apa sih hubungan sejarah dengan
literasi? Di sini dapat kita lihat bahwa sejarah dan literasi tidak bisa
dipisahkan karena saling membutuhkan. Namun yang lebih dominan membutuhkan
bantuan adalah sejarah guna mengungkap suatu masalah.
Perkembangan
sejarah setelah perang dunia ke II menunjukkan kecenderungan kuat untuk mempergunakan
ilmu-ilmu sosial dalam kajian sejarah. Dasar pemikirannya adalah:
Pertama
sejarah deskriptif-naratif sudah tidak memuaskan lagi untuk menjelaskan
pelbagai masalah atau gejala yang serba kompleks dalam peristiwa Sejarah.
Kedua,
pendekatan multidimensional yang bertumpu pada penggunaan konsep dan teori ilmu
sosial paling tepat untuk memahami gejala atau masalah yang kompleks itu.
Ketiga,
dengan bantuan teori-teori sosial , yang menunjukkan hubungan antara berbagai
faktor (inflasi, pendapatan nasional, pengangguran, dan sebagainya), maka
pernyataan – pernyataan mengenai masa silam dapat dirinci, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif.
Keempat,
teori-teori dalam ilmu sosial biasanya berkaitan dengan struktur umum dalam
kenyataan sosio-historis. Karena itu, teori-teori tersebut dapat digunakan
untuk menganalisis perubahan-perubahan yang mempunyai jangkauan luas. Bila
teori-teori sosial itu diandalkan dan dipercaya, maka dengan menggunakan
teori-teori itu pengkajian sejarah juga dapat diandalkan seperti halya
ilmu-ilmu sosial yang terbukti kesahihan studinya. Dengan cara ini,pengkajian
sejarah yang dihasilkan tidak lagi dominan dengan subjektifitas,yang sering
dialamatkan kepadanya.
Kelima,
studi sejarah tidak terbatas pada pengkajian hal-hal informatif tentang “apa” ,
“siapa” , “kapan” , “dimana” , dan “ bagaimana”, tetapi juga ingin melacak pelbagai struktur masyarakat ( sosiologi ),
Pola kelakuan ( antropologi ) dan sebagainya. Studi yang menggunakan pendekatan
ini akan melahirkan karya sejarah yang semakin antropologis (anthropological
history) dan sejarah yang sosiologis ( sosiologycal history ).
Meskipun penggunaan
ilmu-ilmu sosial sangat penting, namun terdapat pula kalangan yang justru
sebaliknya atau kontra dengan cara berpikir semacam itu. Keberatan mereka juga
didasarkan pada beberapa pemikiran. Pertama, bahan sumber sejarah sering tidak
lengkap, sehingga kurang memberi pegangan untuk menerapkan teori-teori dari
ilmu-ilmu sosial. Kedua, sering pendekatan sosio-historis dipersalahkan
memotong kekayaan historis, karena ia hanya menaruh minat pada segi-segi
tertentu dari masa silam yang dapat dikaji dengan bantuan ilmu-ilmu soial.
Alhasil, masa silam tidak dapat dipaparkan seutuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Angkersmit,F.R. 1987 . Refleksi tentang sejarah :
pendapat-pendapat modern tentang filsafat sejarah.( terjemahan Dick Hartoko).
Jakarta: Gramedia
Madjid,M. Saleh dan Abd. Rahman Hamid.2008. Pengantar
Ilmu Sejarah. Makassar : Rayhan Intermedia.
0 comments:
Post a Comment