Buku
adalah sekumpulan kertas, di dalamnya berisi tulisan yang dijadikan satu dan
dijilid. Kalimat yang sering kita dengar tentang benda yang satu ini, buku
adalah jendela dunia. Bukan tanpa alasan, saya semakin percaya hal tersebut
setelah membaca tulisan Howard Zinn, Speaking Truth to Power with Books. Bahkan,
buku bukan hanya jendela dunia tetapi lebih dari itu, buku bisa mengubah dunia.
Berbicara tentang buku pasti berbicara juga tentang menulis. Dalam artikelnya
itu Zinn membuka tulisannya dengan isu perihal menulis. Untuk apa orang-orang
menulis? Apakah hanya sebatas keprofesionalan semata atau hanya untuk bukunya
terbit? Ia membuka dengan suatu yang mempersuasi pembacanya, kemudian
dilanjutkan dengan beberapa ihwal hidupnya yang berubah karena buku. Ketika
orang-orang bertanya apa yang membuat ia seperti ia sekarang? Dia menjawab
bahwa bukulah yang membuatnya seperti ini, seorang aktivis dengan kesadaran
sosial. Bukulah yang membuat seseorang berbeda, apa yang ia baca akan berdampak
pada cara pemikirannya, bahkan pada lingkungannya. Buku mempunyai dampak yang
dapat merubah hidup pembacanya. Merubah pemikiran, paradigma, sampai tingkah
laku seseorang dapat dirubah dengan sebuah benda yang bernama buku.
“This
book changed my life” kalimat yang sering pembaca katakan ihwal buku yang
dianggap sangat berpengaruh dalam hidupnya. Sama seperti halnya seperti apa
yang saya rasakan pasca mencicipi tulisan Howard Zinn. Dalam kata-kata Zinn, setiap
penekanan tertentu dalam penulisan setiap jengkal
kalimatnya
akan mendukung sebuah kepentingan. Bisa kepentingan politik, ekonomi, rasial
ataupun nasional. Akan tetapi apa yang ingin disampaikan oleh Howard
Zinn adalah seperti judulnya yaitu Speaking Truth to Power with Book. Arti
dari Speaking Truth sendiri adalah berbicara
tentang kebenaran suatu keadaan yang sebenar-benarnya tanpa ada pembelokan
cerita atau penyembunyian cerita. Apalagi dibelakangnya di dalangi oleh sebuah
birokrasi demi suatu kepentingan. Juga tak perduli yang mendengarkan akan
menyimak atau tidak, yang penting adalah menyampaikan. Bukan dengan menghujat
atau menjustifikasi. Sebenarnya Speaking Truth to Power adalah sebuah frasa yang diciptakan oleh Quaker selama di pertengahan
1950-an. Ini adalah panggilan bagi Amerika Serikat untuk berdiri teguh melawan
fasisme dan bentuk lain dari totalitarianisme, yang merupakan frase yang
tampaknya membuat bingung hak politik.
Howard Zinn
(24 Agustus 1922 - 27 Januari 2010) adalah seorang sejarawan, penulis naskah, dan aktivis. Zinn, seorang Yahudi yang jelas pendirian Anti
Israel dan Anti Zionisnya. Sebab itulah kita tidak boleh melihat konflik
Palestin dan Israel sebagai konflik bangsa Arab
dan Yahudi atau perseteruan Islam dan bukan Islam. Hampir keseluruhan karya2
akademiknya, wawancara, tulisan atau syarahannya mengkritik AS, industri perang
Amerika dan dasar imperialisme AS sejak dari Vietnam, Panama, Granada, Palestin
hinggalah ke Afghanistan dan Iraq.
Howard Zinn meninggal dunia dalam usia 87 tahun.
Masih
hangat dibenak kita kalimat “seseorang yang menguasai teks akan bisa mengubah
sejarah”, inilah yang dilakukan Howard
Zinn. Ia sangat berani dalam menulis buku A People’s History of the United
States, buku yang mengagetkan seluruh warga dunia tentang bias sejarah yang
terjadi dalam sejarah benua Amerika. Keberanian Zinn mengungkap sisi gelap
benua Amerika, yang tak sedikit menuai protes tidak hanya dari rakyat Amerika
namun seluruh dunia. Tak tanggung-tanggung yang menjadi sasaran tembaknya
adalah Christoper Columbus. Ia mematahkan segala pemikiran orang-orang yang
beranggapan bahwa Christoper Columbus adalah seorang discover, bahkan seorang
hero.
Inilah yang mendorong Howard Zinn untuk
mengatakan kebenaran melalui bukunya (A People’s History of the United
States), kebenaran harus dikabarkan sekaligus merupakan bukti bahwa buku
memiliki dampak yang sangat powerful.
Berikut kritik pedas Zinn pada Samuel Elliot Morrison sang sejarahwan Harvard
yang menulis buku seminal Christoper Columbus, Mariner. Benar, Morison tak
sedikitpun berbohong soal kekejaman Columbus. Ia bahkan menyebut sang pelaut
telah melakukan genosida pada Indian Arawaks. Namun, tulis Zinn, fakta yang
tertera di satu halaman ini kemudian ia kubur dalam ratusan halaman lain yang
mengagungkan kebesaran sang pelaut. Keputusan untuk lebih menceritakan sebuah
heroisme dan abai pada penekanan fakta pembantaian masal yang terjadi pada suku
Indian Arawaks bukanlah sebuah kebutuhan teknis ala pembuat peta, namun
murni pilihan ideologis. Sebuah pilihan ideologis untuk menjustifikasi apa yang
telah terjadi, pungkas Zinn.
Seandainya Morison adalah seorang politisi dan
bukan sarjana, pilihan ideologis ini tak akan jadi begitu serius. Namun justru
karena fakta ini diceritakan oleh seorang intelektual, maka implikasinya jadi
begitu mematikan. Kita seakan diajarkan sebuah imperatif moral bahwa pengorbanan, meski begitu tak manusiawi,
itu perlu untuk sebuah kemajuan. Morison seakan mengatakan dengan kalem bahwa
benar telah terjadi pembantaian pada suku Arawaks, namun fakta kecil itu tak
sebanding dengan jasa dan kepahlawanan Columbus bagi kita. Sense inilah yang
kemudian direproduksi di kelas pengajaran sejarah, dan buku pegangan para
siswa.
Berangkat dari ketidaksetujuannya tersebut
kemudian Zinn menulis versi sejarah yang berbeda. Sejarah dari sudut pandang
orang-orang kalah, alias sang pecundang. Jadilah ia bercerita tentang penemuan
benua Amerika dari kacamata suku Indian Arawaks, tentang Civil War sebagaimana
dialami oleh kaum Irlandia di New York, tentang perang Dunia pertama dilihat
dari pihak kaum Sosialis, dan tentang penaklukan Filipina menurut tentara kulit
hitam di Luzon.
Lalu, apa yang membuat Howard Zinn berbeda?
Bukankah ia sama mengambil sebuah pilihan ideologis ketika menulis dalam bukunya?
Ya, Zinn mengakuinya. Pertama, ia jujur dalam mengungkap keberpihakannya. Zinn
jelas tidak senaif mereka yang berbicara soal objektifitas dalam narasi. Ia
berpihak, dan sedari awal memperingatkan pembaca tentang posisinya. Bab pertama
bukunya sangat confessional, dan di halaman 11
dari 729 halaman the People’s History ia menulis:
If history is to be creative, to anticipate a possible future without denying the past, it should, I believe, emphasize new possibilities by disclosing those hidden episodes of the past when, even if in brief flashes, people showed their ability to resist, to join together, occasionally to win. I am supposing, or perhaps only hoping, that our future may be found in the past’s fugitive moments of compassion rather than in its solid centuries of warfare.That, being as blunt as I can, is my approach to the history of the United States. The reader may as well know that before going on.
Ini membuat Zinn tidak berlagak dalam bercerita, ia bias dan sadar bahwa pembaca butuh tahu.
*
Negara lahir dari tangan
penyair.
Jaya dan runtuhnya di
tangan para politisi.
Mohammad Iqbal
Jika kekuasaan membawa
orang pada arogansi.
Puisi mengingatkan kita
akan keterbatasan manusia.
Jika kekuasaan mempersempit
kepedulian kita,
puisi mengingatkan mereka
akan kaya dan beragamnya
eksistensi manusia.
Jika kekuasaan kotor, puisi
membersihkannya.
John F. Kennedy
Berada dalam masyarakat yang melek sejarah dan
berbasis literasi, seperti di benua Amerika. Mungkin tidak sulit untuk
menjadikan buku sebagai sesuatu yang powerful bahkan hingga mengubah kesadaran
orang-orang. Namun, bagaimanakah di negeri ini yang belum seutuhnya menjadikan
buku sebagai sesuatu yang mempunyai kekuatan dalam hidupnya. Orang-orang masih
sangat malas untuk membaca belum lagi untuk memahaminya, menganalisisnya,
apalagi sampai pada mengkritisinya. Kata Zinn “book operate in many ways to
change people’s consciousness” nampaknya ini belum bisa terlihat jelas di
negeri kita.
Padahal, dulu tulisan-tulisan dari sastrawan
pada zaman kolonial. Mempunyai peran yang sangat besar dalam pengukiran sejarah
negeri ini. Seperti Sukarno adalah pembaca karya-karya tulis para sarjana Eropa
yang kritis atas politik kolonial. Bukan hanya Sukarno. Mohammad Hatta, Tan
Malaka, Soepomo, Iwa Kusumasumatri, hingga S.M. Kartosoewirjo pun pembaca
yang baik. Seperti Multatuli karya Eduard Douwes Dekker, Multatuli telah
mengilhami bukan saja karya sastra di Indonesia, misalnya
kelompok Angkatan
Pujangga Baru, namun ia telah mengubah semangat kebangsaan
di Indonesia. Semangat kebangsaan ini bukan saja pemberontakan terhadap sistem kolonialisme dan
eksploitasi ekonomi Hindia Belanda (misal tanam paksa)
melainkan juga kepada adat, kekuasaan dan feodalisme yang
tak ada habisnya menghisap rakyat jelata. Kemudian pada tahun 1859, ia menulis
buku berjudul Max Havelaar, of de koffi-veilingen der Nederlandsche
Handel-Maatschappy atau dalam bahasa Indonesia:
“Max Havelaar, Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda" dengan nama samaran
selaku pengarang yaitu Multatuli. Reputasinya sebagai orang yang bermoral
tinggi, sebagai pembela kaum tertindas, menjadi terlihat jelas dan diakui
dengan publikasi buku tersebut. Bila Multatuli dalam Max Havelaar dapat
dikatakan telah mempersonifikasikan dirinya sebagai Max yang idealis dan
akhirnya frustrasi, Muhammad Yamin lebih berfokus pada si kaum terjajah, misalnya
dalam puisinya yang berjudul Hikajat Saidjah dan Adinda Dalam sisi filosofis frustrasi yang dihadapi
Max serta Saidjah dan Adinda adalah sama pada hakekatnya; keduanya putus asa
dan terbelenggu dalam rantai sistem yang hanya bisa terputuskan melalui
revolusi.
Kelahiran sastra Indonesia tidak dapat
dipisahkan dari gejolak sosial-politik pada masa-masa berseminya gagasan
tentang lahirnya negara Indonesia di awal abad ke-20. Konsep Indonesia sebagai
sebuah negara-baru dicanangkan lewat Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Bukankah
Sumpah Pemuda —bertanah air dan berbangsa satu, yaitu Indonesia, dan menjunjung
bahasa persatuan, Bahasa Indonesia— adalah deklarasi politik dalam bentuk
puisi? Bukankah rumusan itu pula yang menggelindingkan kesadaran bersama dalam
kesatuan tanah air Indonesia; kesatuan bangsa Indonesia meski terdiri dari
berbagai etnis, budaya, dan agama; dan kesadaran untuk menjunjung Bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan? Ya, Sumpah Pemuda —yang dikonsep oleh
Muhammad Yamin— adalah puisi. Dengan demikian, Indonesia sebagai negara-baru
sesungguhnya dideklarasikan lewat puisi.
Tentu saja perumusan konsep itu tidak datang
seketika. Ada proses pemikiran yang terjadi sebelumnya. Dan proses itu bermula
dari sebuah puisi yang berjudul “Tanah Air” (1920) karya Muhammad Yamin, di
mana sang penyair mengemukakan konsepnya tentang tanah air yang mula-mula
bersifat kedaerahan, hingga akhirnya sampai pada konsep Indonesia sebagai tanah
air dalam puisi “Indonesia Tumpah Darahku” (1928), yang ditulis Yamin dua hari
sebelum Sumpah Pemuda dikumandangkan. Hal itu menegaskan bahwa kesusastraan
lahir dari kecamuk pemikiran, bukan dari bahasa berbunga-bunga, bukan pula dari
sebuah khayalan yang tidak berpijak pada realitas. Perjalanan sastra Indonesia
beriringan dengan perkembangan pemikiran tentang sebuah bangsa bernama
Indonesia.
Sekali lagi, Indonesia lahir dari sebuah puisi
yang ditulis secara bersama-sama oleh kaum muda Indonesia, yakni Sumpah Pemuda.
Tentu pada waktu itu, semua pernyataan dalam Sumpah Pemuda merupakan metafora,
setidaknya masih imajinatif dan bukan kenyataan. Namun, dengan rumusan
metaforis dan imajinatif itulah seluruh bangsa diajak untuk bersama-sama
mengimajinasikan kemungkinan lahirnya sebuah bangsa dan tanah air baru:
Indonesia. Berdasar pada Sumpah Pemuda itulah para sastrawan dari berbagai
wilayah Nusantara menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia serta mangacu dan
menggemakan satu tanah air dan bangsa yang sama: Indonesia. Lahirlah kemudian
negara yang kita tinggali bersama ini. Setelah lahir dari puisi Sumpah Pemuda
dan kemudian tumbuh lewat pewacanaan sastra, nasib bangsa Indonesia selanjutnya
memang berada di tangan para politisi.
Kini, posisi kesusastraan
sebenarnya tidak begitu berbeda dengan peranan yang telah dimainkannya baik di
masa-masa terbitnya fajar nasionalisme maupun di masa pergerakan dan revolusi
Indonesia. Namun, terdapat kecenderungan besar di Indonesia dewasa ini untuk mengabaikan
hasil renungan, imajinasi, pemikiran, kiprah, dan peranan sastra(wan) Indonesia
dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya secara umum. Selepas hiruk-pikuk
sastra dan politik di penghujung Orde Lama, perlahan tapi pasti masyarakat
menjauh dan/atau dijauhkan dari sastra. Kesusastraan tidak lagi diapresiasi
secara wajar, meskipun ternyata tetap ditakuti dan diwaspadai secara politik.
Penangkapan dan pemenjaraan sastrawan dan pelarangan buku sastra tetap terjadi.
Dalam pada itu, masyarakat Indonesia yang belum beranjak dari kelisanan ke
keberaksaraan dengan cepat memasuki era kelisanan kedua. Buku bacaan serta
tradisi membaca, khususnya sastra, tidak dijadikan bagian penting dan mendasar
dalam pendidikan Indonesia. Bahkan, tanpa banyak perdebatan, sastra telah
digusur habis dalam Kurikulum 2013, yang merupakan antiklimaks dari penjauhan
sastra dari masyarakat dan sebaliknya.
Dilihat dari banyak segi,
Indonesia cenderung durhaka pada puisi sebagai ibu kandung yang telah
melahirkannya, yakni Sumpah Pemuda. Menjauhkan sastra dari masyarakat Indonesia
dan/atau sebaliknya adalah memisahkan ibu kandung dari anak kandungnya.
Demikian juga sebaliknya, menjauhkan masyarakat dari sastra adalah memisahkan
anak kandung dari ibu kandungnya. Jika kedurhakaan tersebut dibiarkan, apalagi
terus berlanjut, maka dapat dipastikan bangsa Indonesia akan mengalami nasib
sebagaimana lazimnya anak-anak durhaka.
Jika kepada masyarakat
Indonesia belakangan ini ditanyakan siapakah tokoh Indonesia, bukan tidak
mungkin yang segera terbayang adalah serombongan selebriti dan para politisi
bermasalah. Mau bagaimana lagi, merekalah yang terus-menerus hadir dan tampil
mengisi ruang pemberitaan media cetak dan terutama media elektronik. Para
politisi, pejabat, dan aparat bermasalah mendapatkan porsi pemberitaan yang
sangat besar. Demikian juga para pelawak, pemain sinetron, penyanyi pop maupun
dangdut merupakan tokoh-tokoh utama dalam pemberitaan media massa Indonesia
belakangan ini. Nyaris seluruh sepak terjang mereka diberitakan secara rinci
setiap hari. Kisah asmara mereka (mulai dari diisukan pacaran, sedang pacaran,
diisukan mau menikah, menikah, bertengkar, cerai, hampir rujuk, rujuk, berebut
anak dan sebagainya) dengan rinci dan detail diberitakan, ditayangkan, bahkan
dikomentari dan dibahas tuntas. Media massa menjadikan para selebriti ini
tokoh-tokoh utama dalam pemberitaan, tak peduli mereka berprestasi atau tidak.
Jarang sekali bangsa
Indonesia mendapat pemberitaan dan berkenalan dengan sosok-sosok yang
benar-benar berprestasi dan mengabdikan dirinya di dunia ilmu pengetahuan,
pemikiran, penelitian, sosial, budaya, dan kesusastraan. Para pemikir,
intelektual, peneliti, penemu, dan sastrawan yang hebat tidaklah dikenal karena
mereka tidak diberitakan. Demikian juga politisi, pejabat, dan aparat yang
tidak bermasalah, yakni mereka yang jujur, bersih dan berprestasi, tidak jadi
berita dengan sedikit sekali pengecualian.
Artikel
Zinn ini bukan tanpa kekurangan, saya melihat bahwa apa yang disampaikan
Zinn memang betul. Akan tetapi, Speaking Truth to Power with Book belum bisa
terlihat di semua bangsa termasuk di Indonesia. Buku belum menjadi kebutuhan
primer di Negara kami. Padahal, bukulah yang merupakan sumber dari peradaban
itu sendiri. Itulah mengapa bangsa ini
masih sangat tertinggal. Orang-orangnya acuh tak acuh terhadap teks, ini juga
yang menjadi cikal bakal,mengapa orang Indonesia tidak suka sejarah. Bagaimana
jika ada yang mempropagandakan sejarah, mungkin Negara ini akan bisu karena
tidak ada ahli dalam ihwal tersebut. Itulah mengapa buku adalah sesuatu yang powerful,
dan pembaca adalah jantungnya. Pembaca yang menghidupkan makna-maknanya.
Kegiatan mengungkapkan masa lampau yang berdasarkan pada naskah (atau
bahkan tradisi, termasuk mitologi) itu ternyata memberikan peluang kepada kita
untuk mencoba merenungkan, apa yang sebenarnya tersembunyi di balik semua kisah
yang dikandungnya itu. Apalagi Indonesia berdiri dengan sejarah yang panjang
dan juga beragam. Seyogianya membuat kita lebih terpacu lagi dalam melakukan Speaking
Truth to Power with Book. Mulai dari hal terkecil seperti senang membaca,
lebih baik lagi jika sampai pada tahap menganalisis dan menkritisi.
Akhir kata, artikel Howard Zinn membuka mata kita bahwa
betul berbicara tentang kebenaran perlu dilakukan. Apapun responnya, itu harus
dilakukan. Apalagi mengenai hal yang sensitif seperti sejarah. Dan buku adalah
alatnya, benda yang satu ini biasa dibuat oleh para sastrawan, kaum
intelektualitas, akademisi, pemikir, kritikus. Yang merupakan agen dalam
pembentukan suatu peradaban. Gagasannya, pemikirannya, kiprahnya, dan
tindakannya memberikan pengaruh dan dampak cukup luas khususnya pada dinamika
kehidupan sastra, dan umumnya pada dinamika kehidupan intelektual, sosial,
politik, dan kebudayaan yang lebih luas. Buku merupakan sebuah paket lengkap
untuk mengubah dunia ini. Mohammad
Iqbal, penyair dan filsuf terkenal asal Pakistan itu, mengemukakan bahwa negara
lahir justru dari tangan para penyair. Untuk bangsa-bangsa pada umumnya,
ungkapan tersebut benar secara metaforis. Namun, bagi bangsa-bangsa terjajah,
khususnya Indonesia, pernyataan Iqbal bahkan benar secara faktual. Kelahiran
sastra Indonesia tidak dapat dipisahkan dari gejolak sosial-politik pada
masa-masa berseminya gagasan tentang lahirnya negara Indonesia di awal abad
ke-20. Makin kecil peranan pujangga pada suatu kerajaan, makin mudah
kerajaan itu menjadi lemah, goyah, dan dikalahkan penjajah. Makin kecil peranan
pujangga, makin kecil pula peluang suatu bangsa untuk memperluas cakrawala
imajinasinya dan menemukan kemungkinan-kemungkinan baru dalam kehidupan. kemandegan
intelektual dan kecupetan imajinasi yang pada gilirannya akan menjerumuskan
Indonesia ke dalam kehidupan budaya yang kerdil.
Daftar Pustaka
·
1.
http://inspirasi.co/polemik_yang_melegenda/post/22/677/naskah_dan_sejarah_-_ayatrohaedi#sthash.0nEpoIb0.dpuf diunduh pada tanggal 28 Februari 2014
2.
http://gdepublications.wordpress.com/category/others/ diunduh pada tanggal 27 Februari 2014
3.
http://sampahseni.blogspot.com/2010/01/howard-zinn-saat-keretapi-sedang.html diunduh pada tanggal 1 Maret 2014
4.
http://www2.gol.com/users/quakers/living_the_truth.htm diunduh pada tanggal 1 Maret 2014
5.
http://inspirasi.co/forum/post/3448/pengantar_buku_33_tokoh_sastra_paling_berpengaruh_oleh_tim_8#sthash.jQ917o6A.dpuf diunduh pada tanggal 1 Maret 2014
aroma masakan kamu semakin kuat, namun generic structure harus dieksplisitkan. Kalimat pertama kehilangan sesuatu, dan keterhubungan antara sejarah. literasi, keusasteraan harus diperkaya dengan banyak sekali contoh yang pas
ReplyDelete