Saturday, March 1, 2014






Buku adalah sekumpulan kertas, di dalamnya berisi tulisan yang dijadikan satu dan dijilid. Kalimat yang sering kita dengar tentang benda yang satu ini, buku adalah jendela dunia. Bukan tanpa alasan, saya semakin percaya hal tersebut setelah membaca tulisan Howard Zinn, Speaking Truth to Power with Books. Bahkan, buku bukan hanya jendela dunia tetapi lebih dari itu, buku bisa mengubah dunia. Berbicara tentang buku pasti berbicara juga tentang menulis. Dalam artikelnya itu Zinn membuka tulisannya dengan isu perihal menulis. Untuk apa orang-orang menulis? Apakah hanya sebatas keprofesionalan semata atau hanya untuk bukunya terbit? Ia membuka dengan suatu yang mempersuasi pembacanya, kemudian dilanjutkan dengan beberapa ihwal hidupnya yang berubah karena buku. Ketika orang-orang bertanya apa yang membuat ia seperti ia sekarang? Dia menjawab bahwa bukulah yang membuatnya seperti ini, seorang aktivis dengan kesadaran sosial. Bukulah yang membuat seseorang berbeda, apa yang ia baca akan berdampak pada cara pemikirannya, bahkan pada lingkungannya. Buku mempunyai dampak yang dapat merubah hidup pembacanya. Merubah pemikiran, paradigma, sampai tingkah laku seseorang dapat dirubah dengan sebuah benda yang bernama buku.

“This book changed my life” kalimat yang sering pembaca katakan ihwal buku yang dianggap sangat berpengaruh dalam hidupnya. Sama seperti halnya seperti apa yang saya rasakan pasca mencicipi tulisan Howard Zinn. Dalam kata-kata Zinn, setiap penekanan tertentu dalam penulisan setiap jengkal kalimatnya akan mendukung sebuah kepentingan. Bisa kepentingan politik, ekonomi, rasial ataupun nasional. Akan tetapi apa yang ingin disampaikan oleh Howard Zinn adalah seperti judulnya yaitu Speaking Truth to Power with Book. Arti dari Speaking Truth sendiri adalah  berbicara tentang kebenaran suatu keadaan yang sebenar-benarnya tanpa ada pembelokan cerita atau penyembunyian cerita. Apalagi dibelakangnya di dalangi oleh sebuah birokrasi demi suatu kepentingan. Juga tak perduli yang mendengarkan akan menyimak atau tidak, yang penting adalah menyampaikan. Bukan dengan menghujat atau menjustifikasi. Sebenarnya Speaking Truth to Power adalah sebuah frasa yang diciptakan oleh Quaker selama di pertengahan 1950-an. Ini adalah panggilan bagi Amerika Serikat untuk berdiri teguh melawan fasisme dan bentuk lain dari totalitarianisme, yang merupakan frase yang tampaknya membuat bingung hak politik.

Howard Zinn (24 Agustus 1922 - 27 Januari 2010) adalah seorang sejarawan, penulis naskah, dan aktivis. Zinn, seorang Yahudi yang jelas pendirian Anti Israel dan Anti Zionisnya. Sebab itulah kita tidak boleh melihat konflik Palestin dan Israel sebagai konflik bangsa Arab dan Yahudi atau perseteruan Islam dan bukan Islam. Hampir keseluruhan karya2 akademiknya, wawancara, tulisan atau syarahannya mengkritik AS, industri perang Amerika dan dasar imperialisme AS sejak dari Vietnam, Panama, Granada, Palestin hinggalah ke Afghanistan dan Iraq.  Howard Zinn meninggal dunia dalam usia 87 tahun.

Masih hangat dibenak kita kalimat “seseorang yang menguasai teks akan bisa mengubah sejarah”,  inilah yang dilakukan Howard Zinn. Ia sangat berani dalam menulis buku A People’s History of the United States, buku yang mengagetkan seluruh warga dunia tentang bias sejarah yang terjadi dalam sejarah benua Amerika. Keberanian Zinn mengungkap sisi gelap benua Amerika, yang tak sedikit menuai protes tidak hanya dari rakyat Amerika namun seluruh dunia. Tak tanggung-tanggung yang menjadi sasaran tembaknya adalah Christoper Columbus. Ia mematahkan segala pemikiran orang-orang yang beranggapan bahwa Christoper Columbus adalah seorang discover, bahkan seorang hero.

Inilah yang mendorong Howard Zinn untuk mengatakan kebenaran melalui bukunya (A People’s History of the United States), kebenaran harus dikabarkan sekaligus merupakan bukti bahwa buku memiliki  dampak yang sangat powerful. Berikut kritik pedas Zinn pada Samuel Elliot Morrison sang sejarahwan Harvard yang menulis buku seminal Christoper Columbus, Mariner. Benar, Morison tak sedikitpun berbohong soal kekejaman Columbus. Ia bahkan menyebut sang pelaut telah melakukan genosida pada Indian Arawaks. Namun, tulis Zinn, fakta yang tertera di satu halaman ini kemudian ia kubur dalam ratusan halaman lain yang mengagungkan kebesaran sang pelaut. Keputusan untuk lebih menceritakan sebuah heroisme dan abai pada penekanan fakta pembantaian masal yang terjadi pada suku Indian Arawaks  bukanlah sebuah kebutuhan teknis ala pembuat peta, namun murni pilihan ideologis. Sebuah pilihan ideologis untuk menjustifikasi apa yang telah terjadi, pungkas Zinn.

Seandainya Morison adalah seorang politisi dan bukan sarjana, pilihan ideologis ini tak akan jadi begitu serius. Namun justru karena fakta ini diceritakan oleh seorang intelektual, maka implikasinya jadi begitu mematikan. Kita seakan diajarkan sebuah imperatif moral bahwa pengorbanan, meski begitu tak manusiawi, itu perlu untuk sebuah kemajuan. Morison seakan mengatakan dengan kalem bahwa benar telah terjadi pembantaian pada suku Arawaks, namun fakta kecil itu tak sebanding dengan jasa dan kepahlawanan Columbus bagi kita. Sense inilah yang kemudian direproduksi  di kelas pengajaran sejarah, dan buku pegangan para siswa.

Berangkat dari ketidaksetujuannya tersebut kemudian Zinn menulis versi sejarah yang berbeda. Sejarah dari sudut pandang orang-orang kalah, alias sang pecundang. Jadilah ia bercerita tentang penemuan benua Amerika dari kacamata suku Indian Arawaks, tentang Civil War sebagaimana dialami oleh kaum Irlandia di New York, tentang perang Dunia pertama dilihat dari pihak kaum Sosialis, dan tentang penaklukan Filipina menurut tentara kulit hitam di Luzon.

Lalu, apa yang membuat Howard Zinn berbeda? Bukankah ia sama mengambil sebuah pilihan ideologis ketika menulis dalam bukunya? Ya, Zinn mengakuinya. Pertama, ia jujur dalam mengungkap keberpihakannya. Zinn jelas tidak senaif mereka yang berbicara soal objektifitas dalam narasi. Ia berpihak, dan sedari awal memperingatkan pembaca tentang posisinya. Bab pertama bukunya sangat confessional, dan di halaman 11 dari 729 halaman the People’s History ia menulis:


If history is to be creative, to anticipate a possible future without denying the past, it should, I believe, emphasize new possibilities by disclosing those hidden episodes of the past when, even if in brief flashes, people showed their ability to resist, to join together, occasionally to win. I am supposing, or perhaps only hoping, that our future may be found in the past’s fugitive moments of compassion rather than in its solid centuries of warfare.That, being as blunt as I can, is my approach to the history of the United States. The reader may as well know that before going on.


Ini membuat Zinn tidak berlagak dalam bercerita, ia bias dan sadar bahwa pembaca butuh tahu.


*

Negara lahir dari tangan penyair.

Jaya dan runtuhnya di tangan para politisi.

Mohammad Iqbal



Jika kekuasaan membawa orang pada arogansi.

Puisi mengingatkan kita akan keterbatasan manusia.

Jika kekuasaan mempersempit kepedulian kita,

puisi mengingatkan mereka

akan kaya dan beragamnya eksistensi manusia.

Jika kekuasaan kotor, puisi membersihkannya.

John F. Kennedy



Berada dalam masyarakat yang melek sejarah dan berbasis literasi, seperti di benua Amerika. Mungkin tidak sulit untuk menjadikan buku sebagai sesuatu yang powerful bahkan hingga mengubah kesadaran orang-orang. Namun, bagaimanakah di negeri ini yang belum seutuhnya menjadikan buku sebagai sesuatu yang mempunyai kekuatan dalam hidupnya. Orang-orang masih sangat malas untuk membaca belum lagi untuk memahaminya, menganalisisnya, apalagi sampai pada mengkritisinya. Kata Zinn “book operate in many ways to change people’s consciousness” nampaknya ini belum bisa terlihat jelas di negeri kita.

Padahal, dulu tulisan-tulisan dari sastrawan pada zaman kolonial. Mempunyai peran yang sangat besar dalam pengukiran sejarah negeri ini. Seperti Sukarno adalah pembaca karya-karya tulis para sarjana Eropa yang kritis atas politik kolonial. Bukan hanya Sukarno. Mohammad Hatta, Tan Malaka, Soepomo, Iwa Kusumasumatri, hingga S.M. Kartosoewirjo pun  pembaca yang baik. Seperti Multatuli karya Eduard Douwes Dekker, Multatuli telah mengilhami bukan saja karya sastra di Indonesia, misalnya kelompok Angkatan Pujangga Baru, namun ia telah mengubah semangat kebangsaan di Indonesia. Semangat kebangsaan ini bukan saja pemberontakan terhadap sistem kolonialisme dan eksploitasi ekonomi Hindia Belanda (misal tanam paksa) melainkan juga kepada adat, kekuasaan dan feodalisme yang tak ada habisnya menghisap rakyat jelata. Kemudian pada tahun 1859, ia menulis buku berjudul Max Havelaar, of de koffi-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappy atau dalam bahasa Indonesia: “Max Havelaar, Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda" dengan nama samaran selaku pengarang yaitu Multatuli.  Reputasinya sebagai orang yang bermoral tinggi, sebagai pembela kaum tertindas, menjadi terlihat jelas dan diakui dengan publikasi buku tersebut. Bila Multatuli dalam Max Havelaar dapat dikatakan telah mempersonifikasikan dirinya sebagai Max yang idealis dan akhirnya frustrasi, Muhammad Yamin lebih berfokus pada si kaum terjajah, misalnya dalam puisinya yang berjudul Hikajat Saidjah dan Adinda Dalam sisi filosofis frustrasi yang dihadapi Max serta Saidjah dan Adinda adalah sama pada hakekatnya; keduanya putus asa dan terbelenggu dalam rantai sistem yang hanya bisa terputuskan melalui revolusi.

Kelahiran sastra Indonesia tidak dapat dipisahkan dari gejolak sosial-politik pada masa-masa berseminya gagasan tentang lahirnya negara Indonesia di awal abad ke-20. Konsep Indonesia sebagai sebuah negara-baru dicanangkan lewat Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Bukankah Sumpah Pemuda —bertanah air dan berbangsa satu, yaitu Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia— adalah deklarasi politik dalam bentuk puisi? Bukankah rumusan itu pula yang menggelindingkan kesadaran bersama dalam kesatuan tanah air Indonesia; kesatuan bangsa Indonesia meski terdiri dari berbagai etnis, budaya, dan agama; dan kesadaran untuk menjunjung Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan? Ya, Sumpah Pemuda —yang dikonsep oleh Muhammad Yamin— adalah puisi. Dengan demikian, Indonesia sebagai negara-baru sesungguhnya dideklarasikan lewat puisi.

Tentu saja perumusan konsep itu tidak datang seketika. Ada proses pemikiran yang terjadi sebelumnya. Dan proses itu bermula dari sebuah puisi yang berjudul “Tanah Air” (1920) karya Muhammad Yamin, di mana sang penyair mengemukakan konsepnya tentang tanah air yang mula-mula bersifat kedaerahan, hingga akhirnya sampai pada konsep Indonesia sebagai tanah air dalam puisi “Indonesia Tumpah Darahku” (1928), yang ditulis Yamin dua hari sebelum Sumpah Pemuda dikumandangkan. Hal itu menegaskan bahwa kesusastraan lahir dari kecamuk pemikiran, bukan dari bahasa berbunga-bunga, bukan pula dari sebuah khayalan yang tidak berpijak pada realitas. Perjalanan sastra Indonesia beriringan dengan perkembangan pemikiran tentang sebuah bangsa bernama Indonesia.

Sekali lagi, Indonesia lahir dari sebuah puisi yang ditulis secara bersama-sama oleh kaum muda Indonesia, yakni Sumpah Pemuda. Tentu pada waktu itu, semua pernyataan dalam Sumpah Pemuda merupakan metafora, setidaknya masih imajinatif dan bukan kenyataan. Namun, dengan rumusan metaforis dan imajinatif itulah seluruh bangsa diajak untuk bersama-sama mengimajinasikan kemungkinan lahirnya sebuah bangsa dan tanah air baru: Indonesia. Berdasar pada Sumpah Pemuda itulah para sastrawan dari berbagai wilayah Nusantara menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia serta mangacu dan menggemakan satu tanah air dan bangsa yang sama: Indonesia. Lahirlah kemudian negara yang kita tinggali bersama ini. Setelah lahir dari puisi Sumpah Pemuda dan kemudian tumbuh lewat pewacanaan sastra, nasib bangsa Indonesia selanjutnya memang berada di tangan para politisi.

Kini, posisi kesusastraan sebenarnya tidak begitu berbeda dengan peranan yang telah dimainkannya baik di masa-masa terbitnya fajar nasionalisme maupun di masa pergerakan dan revolusi Indonesia. Namun, terdapat kecenderungan besar di Indonesia dewasa ini untuk mengabaikan hasil renungan, imajinasi, pemikiran, kiprah, dan peranan sastra(wan) Indonesia dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya secara umum. Selepas hiruk-pikuk sastra dan politik di penghujung Orde Lama, perlahan tapi pasti masyarakat menjauh dan/atau dijauhkan dari sastra. Kesusastraan tidak lagi diapresiasi secara wajar, meskipun ternyata tetap ditakuti dan diwaspadai secara politik. Penangkapan dan pemenjaraan sastrawan dan pelarangan buku sastra tetap terjadi. Dalam pada itu, masyarakat Indonesia yang belum beranjak dari kelisanan ke keberaksaraan dengan cepat memasuki era kelisanan kedua. Buku bacaan serta tradisi membaca, khususnya sastra, tidak dijadikan bagian penting dan mendasar dalam pendidikan Indonesia. Bahkan, tanpa banyak perdebatan, sastra telah digusur habis dalam Kurikulum 2013, yang merupakan antiklimaks dari penjauhan sastra dari masyarakat dan sebaliknya.

Dilihat dari banyak segi, Indonesia cenderung durhaka pada puisi sebagai ibu kandung yang telah melahirkannya, yakni Sumpah Pemuda. Menjauhkan sastra dari masyarakat Indonesia dan/atau sebaliknya adalah memisahkan ibu kandung dari anak kandungnya. Demikian juga sebaliknya, menjauhkan masyarakat dari sastra adalah memisahkan anak kandung dari ibu kandungnya. Jika kedurhakaan tersebut dibiarkan, apalagi terus berlanjut, maka dapat dipastikan bangsa Indonesia akan mengalami nasib sebagaimana lazimnya anak-anak durhaka.

Jika kepada masyarakat Indonesia belakangan ini ditanyakan siapakah tokoh Indonesia, bukan tidak mungkin yang segera terbayang adalah serombongan selebriti dan para politisi bermasalah. Mau bagaimana lagi, merekalah yang terus-menerus hadir dan tampil mengisi ruang pemberitaan media cetak dan terutama media elektronik. Para politisi, pejabat, dan aparat bermasalah mendapatkan porsi pemberitaan yang sangat besar. Demikian juga para pelawak, pemain sinetron, penyanyi pop maupun dangdut merupakan tokoh-tokoh utama dalam pemberitaan media massa Indonesia belakangan ini. Nyaris seluruh sepak terjang mereka diberitakan secara rinci setiap hari. Kisah asmara mereka (mulai dari diisukan pacaran, sedang pacaran, diisukan mau menikah, menikah, bertengkar, cerai, hampir rujuk, rujuk, berebut anak dan sebagainya) dengan rinci dan detail diberitakan, ditayangkan, bahkan dikomentari dan dibahas tuntas. Media massa menjadikan para selebriti ini tokoh-tokoh utama dalam pemberitaan, tak peduli mereka berprestasi atau tidak.

Jarang sekali bangsa Indonesia mendapat pemberitaan dan berkenalan dengan sosok-sosok yang benar-benar berprestasi dan mengabdikan dirinya di dunia ilmu pengetahuan, pemikiran, penelitian, sosial, budaya, dan kesusastraan. Para pemikir, intelektual, peneliti, penemu, dan sastrawan yang hebat tidaklah dikenal karena mereka tidak diberitakan. Demikian juga politisi, pejabat, dan aparat yang tidak bermasalah, yakni mereka yang jujur, bersih dan berprestasi, tidak jadi berita dengan sedikit sekali pengecualian.

Artikel Zinn ini bukan tanpa kekurangan, saya melihat bahwa apa yang disampaikan Zinn memang betul. Akan tetapi, Speaking Truth to Power with Book belum bisa terlihat di semua bangsa termasuk di Indonesia. Buku belum menjadi kebutuhan primer di Negara kami. Padahal, bukulah yang merupakan sumber dari peradaban itu sendiri.  Itulah mengapa bangsa ini masih sangat tertinggal. Orang-orangnya acuh tak acuh terhadap teks, ini juga yang menjadi cikal bakal,mengapa orang Indonesia tidak suka sejarah. Bagaimana jika ada yang mempropagandakan sejarah, mungkin Negara ini akan bisu karena tidak ada ahli dalam ihwal tersebut. Itulah mengapa buku adalah sesuatu yang powerful, dan pembaca adalah jantungnya. Pembaca yang menghidupkan makna-maknanya.

Kegiatan mengungkapkan masa lampau yang berdasarkan pada naskah (atau bahkan tradisi, termasuk mitologi) itu ternyata memberikan peluang kepada kita untuk mencoba merenungkan, apa yang sebenarnya tersembunyi di balik semua kisah yang dikandungnya itu. Apalagi Indonesia berdiri dengan sejarah yang panjang dan juga beragam. Seyogianya membuat kita lebih terpacu lagi dalam melakukan Speaking Truth to Power with Book. Mulai dari hal terkecil seperti senang membaca, lebih baik lagi jika sampai pada tahap menganalisis dan menkritisi.

            Akhir kata, artikel Howard Zinn membuka mata kita bahwa betul berbicara tentang kebenaran perlu dilakukan. Apapun responnya, itu harus dilakukan. Apalagi mengenai hal yang sensitif seperti sejarah. Dan buku adalah alatnya, benda yang satu ini biasa dibuat oleh para sastrawan, kaum intelektualitas, akademisi, pemikir, kritikus. Yang merupakan agen dalam pembentukan suatu peradaban. Gagasannya, pemikirannya, kiprahnya, dan tindakannya memberikan pengaruh dan dampak cukup luas khususnya pada dinamika kehidupan sastra, dan umumnya pada dinamika kehidupan intelektual, sosial, politik, dan kebudayaan yang lebih luas. Buku merupakan sebuah paket lengkap untuk mengubah dunia ini.  Mohammad Iqbal, penyair dan filsuf terkenal asal Pakistan itu, mengemukakan bahwa negara lahir justru dari tangan para penyair. Untuk bangsa-bangsa pada umumnya, ungkapan tersebut benar secara metaforis. Namun, bagi bangsa-bangsa terjajah, khususnya Indonesia, pernyataan Iqbal bahkan benar secara faktual. Kelahiran sastra Indonesia tidak dapat dipisahkan dari gejolak sosial-politik pada masa-masa berseminya gagasan tentang lahirnya negara Indonesia di awal abad ke-20. Makin kecil peranan pujangga pada suatu kerajaan, makin mudah kerajaan itu menjadi lemah, goyah, dan dikalahkan penjajah. Makin kecil peranan pujangga, makin kecil pula peluang suatu bangsa untuk memperluas cakrawala imajinasinya dan menemukan kemungkinan-kemungkinan baru dalam kehidupan. kemandegan intelektual dan kecupetan imajinasi yang pada gilirannya akan menjerumuskan Indonesia ke dalam kehidupan budaya yang kerdil.



























Daftar Pustaka



·       

2.      http://gdepublications.wordpress.com/category/others/ diunduh pada tanggal 27 Februari 2014


4.      http://www2.gol.com/users/quakers/living_the_truth.htm diunduh pada tanggal 1 Maret 2014








1 comments:

  1. aroma masakan kamu semakin kuat, namun generic structure harus dieksplisitkan. Kalimat pertama kehilangan sesuatu, dan keterhubungan antara sejarah. literasi, keusasteraan harus diperkaya dengan banyak sekali contoh yang pas

    ReplyDelete