Saturday, March 1, 2014

Sebuah komentar pada suatu dinding blog yang memajang critical review yang saya posting membuat saya sadar akan betapa kurangnya saya dalam hal menulis. Sebuah komentar dengan sedikit pujian dan cukup banyak kritik yang membangun itu membuat saya merasa harus banyak membenahi diri. Kritikan tersebut tidak lain datang dari sang guru writing, yakni Mr Lala Bumela, M.Pd. Beliau berpendapat bahawa tulisan saya masih banyak mengadung kesalahan, salah satunya adalah soal punctuations. Penempatan titik serta koma adalah yang menjadi sorotan utamanya. Sedikit memalukan memang saat kita masih dikritik soal tanda baca, karena sebagai seorang mahasiswa kita seharusnya sudah paham betul soal penempatan tanda baca dalam sebuah tulisan.
Namun dibalik kritikan tersebut, terdapat sedikit pujian yang cukup membuat saya berbangga diri. Critical review saya dianggap sudah menunjukan kekuatannya. Ide yang kohesif ditambah data dan referensi dari Robin terlihat sangat baik. Penjelasan soal Religious Harmoni pun sudah dijelaskan dengan cukup gamblang dan sudah ada sedikit tendangan serangan terhadap teks yang saya kritisi.  Sayangnya, terdapat masalah lain yang muncul dari tulisan saya serta hampir sebagian dari teman sekelas saya, yakni soal ketidak tepat sasaran pokok pembahasan yang kita kaji. Beliau mengomentari saya soal isu multilingual-multicultural yang nampaknya belum banyak digali dalam tulisan yang saya buat, sehingga serangan saya terhadap artikel yang saya kritisi kurang bertaji.
Wacana “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” yang ditulis oleh Prof. Chaedar Alwasilah ini sebenarnya mengemas dua fokus pembahasan yaitu “Classroom Discourse” dan “Religious Harmony”. Namun, kita sebagai penulis yang diembani tugas untuk mengkritisi, mayoritas hanya asyik membahas soal Religious Harmonynya saja. Banyak diantara kita yang lupa membahas Classroom Discourse, padahal sebenarnya itulah yang menjadi pokok permasalahannya. Bila dianalogikan, kita seperti terjebak dalam kerumunan suporter di tribun penonton, kemudian kita ingin pergi ke luar stadion karena ada sebab penting, namun kita malah masuk ke pintu tempat para pemain berkumpul, akhirnya kita putuskan untuk diam dan berbicang-bincang dengan mereka sampai akhirnya kita mengalami euforia dan lupa dengan tujuan kita diawal yakni ingin pergi keluar.
Classroom Discourse, dua kata namun sangat sarat akan makna. Bila kita tilik dari kata discourse atau wacana saja kita sudah dapati sebuah pengertian yang menjelaskan soal kemampuan atau prosedur berpikir secara sistematis; kemampuan atau proses memberikan pertimbangan berdasarkan akal sehat; baik berupa pertukaran ide secara verbal atau melalui percakapan maupun satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh, seperti novel, buku, ataupun artikel. Sedangkan bila kita satukan antara wacana dan kelas, dapat kita simpulkan Classroom Discourse sebagai sesuatu yang umumnya merujuk pada bahasa yang guru dan siswa gunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain di dalam kelas.
Istilah Classroom discourse seringkali selalu mengacu kepada penelitian atau analisis, seperti yang Betsy Rymes tuliskan dalam bukunya yang berjudul Classroom Discourse Analysis: A Tool for Critical Reflection. Dalam bukunya tepatnya pada chapter pertama dia menuliskan sebuah preview question yang berisi:
“Before you read this chapter, think about what you, as a teacher, can gain from re-examining examples of classroom talk. Think back on interactions in your own classrooms (either as a teacher or as a student) and recall a moment that made you uncomfortable or indicated some underlying tension. What do you think caused that discomfort and tension?”
Dari situ saja kita sudah dapat melihat bahwa Classroom Discourse sangat erat kaitannya dengan analisis atau penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb). Dalam kasus classroom discourse ini, suatu yang dianalisis adalah interaksi dalam kelas, baik antara peserta didik dengan pendidiknya, maupun interaksi antar peserta didik.
Selain itu, istilah wacana kelas (Classroom Discourse) juga sering dikaitkan dengan bahasa dalam kelas (classroom language). Hal ini dikarenakan istilah juga menunjukkan jenis register, tidak pada jenis wacana, sehingga bahasa di kelas (classroom language) identik dengan ‚classsroom register’ (lihat Halliday, 1987:610).
Pembahasan bahasa yang digunakan pada ruangan kelas (wacana kelas) akan dikaji berdasarkan sistemik fungsional. Bahasa yang digunakan dalam konteks kelas merupakan bahasa yang memiliki karakteristik tersendiri dari bahasa-bahasa yang digunakan pada konteks lain. Tujuan utama yang paling mendasar dari penggunaan bahasa di kelas adalah pentransferan ilmu pengetahuan. Pada pengkajian hubungan antara pengetahuan dan bahasa, Halliday dan Martin (1992:8) menyatakan bahwa bahasa tidak hanya sebagai alat untuk mengekspresikan ide-ide dari proses fisik dan biologis saja, tetapi lebih dari itu, melalui bahasa seseorang dapat menginterpretasikan atau ‘menafsirkan’ pengalaman dengan pemindahan pengalaman kita ke dalam makna. Pengekspresian bahasa ilmu pengetahuan, banyak konsep dan pengetahuan yang dibentuk, karakteristik bahasa ilmu pengetahuan dihasilkan oleh cara berpikir yang spesifik.
Dengan demikian, belajar di sekolah dapat dilihat sebagai proses magang, pembelajar tidak hanya berlatih linguistik ilmiah, tetapi lebih dari itu, berlatih dalam berpikir dan disiplin ilmu pengetahuan. Sejalan dengan pendapat Christie bahwa pendidikan sebagai proses inisiasi dengan cara membincangkan dan perintah, merupakan pengalaman yang dihargai (1991:237).
Sementara itu, Flander (1970) dalam pengamatannya tentang bahasa guru dan pengaruhnya terhadap keberhasilan siswa menyimpulkan bahwa corak bahasa guru berpengaruh terhadap keberhasilan siswa. Hal ini sama dengan pengamatan yang dilakukan oleh Barnes (1969). Beliau mengemukakan bahwa jenis pertanyaan tertentu, dalam hal ini adalah pertanyaan pancingan, penting artinya bagi guru dalam rangka memusatkan perhatian siswa.
Kegiatan pembelajaran di kelas adalah membelajarkan siswa. Membelajarkan berarti meningkatkan kemampuan siswa untuk memproses, menemukan, dan menggunakan informasi bagi pengembangan diri siswa dalam konteks lingkungannya. Berdasarkan pemahaman tersebut pelibat (guru dan siswa) dalam kegiatan belajar di kelas memerlukan kemampuan saling bertukar pengalaman linguistik yang terpresentasikan dalam fungsi pengalaman.
Terdapat banyak hal yang dapat mempengaruhi interaksi dalam classroom discourse ini. Pertama, background peserta didik dan pendidiknya, latar belakang agama, ras, keluarga, dan lingkungan sekitar sangatlah mempengaruhi interaksi. Bila saja guru tidak peka terhadap perbedaan tersebut, ditakutkan akan muncul banyak permasalahan. Oleh karena itu guru sebaiknya memiliki communication strategy guna menciptakan interaksi yang efektif. Dibandingkan dengan bentuk komunikasi lainnya, bahasa di kelas mempunyai ciri tersendiri. Pertama, bahasa guru dan siswa sebagai ragam konsultatif sangat fungsional dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, pemahaman terhadap fungsi ujar ini sangat diperlukan bagi kalangan pendidikan (guru dan siswa) demi tercapainya proses belajar mengajar yang ideal. Kedua, bahasa guru dan siswa dalam wacana kelas adalah khas. Bahasa guru dan siswa dalam wacana kelas diasumsikan merupakan performansi penutur bahasa Indonesia ‘dewasa’ yang ideal karena para guru dan siswa menguasai bahasa Indonesia tidak hanya melalui pemerolehan, tetapi juga pembelajaran. Konteks lawan tutur atau mitratutur yang juga merupakan penutur bahasa Indonesia ‘dewasa’ yang menguasai bahasa Indonesia juga melalui pemerolehan dan belajar diasumsikan akan terjadi komunikasi yang ideal dengan munculnya kalimat yang ideal dari peserta didik sebagai kalimat konteks. Kekhasan berikutnya dapat dilihat pada kesejajaran siswa-guru pada satu sisi karena berada dalam konteks ilmiah, tetapi pada satu sisi lain tetap dipengaruhi oleh status berbeda.
Selain itu perbedaan goal driver antar pendidik dan peserta didik pun bisa menjadi konflik. Oleh karena itu sikap saling menghormati satu sama lain baik antar sesama pelajar maupun dengan guru harus diciptakan sebaik mungkin, agar menciptakan suatu harmony dan keselarasan.

Pada intinya, classroom discoure adalah suatu proyek guna menciptakan pendidikan yang efektif. Bukan menciptakan pendidikan yang hanya menekankan pada intelektualitas saja melainkan juga pada sikap dan attitude setiap pelajar, yang didalamnya mengandung pola interaksi yang sangat kompleks, dengan melibatkan latar belakang siswa yang berbeda-beda dan komunikasi yang variatif guna menciptakan sebuah tujuan, yakni keharmonisan.

0 comments:

Post a Comment