Sebuah komentar pada suatu
dinding blog yang memajang critical review yang saya posting membuat saya sadar
akan betapa kurangnya saya dalam hal menulis. Sebuah komentar dengan sedikit
pujian dan cukup banyak kritik yang membangun itu membuat saya merasa harus
banyak membenahi diri. Kritikan tersebut tidak lain datang dari sang guru writing,
yakni Mr Lala Bumela, M.Pd. Beliau berpendapat bahawa tulisan saya masih banyak
mengadung kesalahan, salah satunya adalah soal punctuations. Penempatan titik
serta koma adalah yang menjadi sorotan utamanya. Sedikit memalukan memang saat
kita masih dikritik soal tanda baca, karena sebagai seorang mahasiswa kita seharusnya
sudah paham betul soal penempatan tanda baca dalam sebuah tulisan.
Namun dibalik kritikan
tersebut, terdapat sedikit pujian yang cukup membuat saya berbangga diri.
Critical review saya dianggap sudah menunjukan kekuatannya. Ide yang kohesif
ditambah data dan referensi dari Robin terlihat sangat baik. Penjelasan soal Religious
Harmoni pun sudah dijelaskan dengan cukup gamblang dan sudah ada sedikit
tendangan serangan terhadap teks yang saya kritisi. Sayangnya, terdapat masalah lain yang muncul
dari tulisan saya serta hampir sebagian dari teman sekelas saya, yakni soal
ketidak tepat sasaran pokok pembahasan yang kita kaji. Beliau mengomentari saya
soal isu multilingual-multicultural yang nampaknya belum banyak digali dalam
tulisan yang saya buat, sehingga serangan saya terhadap artikel yang saya
kritisi kurang bertaji.
Wacana “Classroom
Discourse to Foster Religious Harmony” yang ditulis oleh Prof. Chaedar
Alwasilah ini sebenarnya mengemas dua fokus pembahasan yaitu “Classroom
Discourse” dan “Religious Harmony”. Namun, kita sebagai penulis yang diembani
tugas untuk mengkritisi, mayoritas hanya asyik membahas soal Religious
Harmonynya saja. Banyak diantara kita yang lupa membahas Classroom
Discourse, padahal sebenarnya itulah yang menjadi pokok permasalahannya. Bila
dianalogikan, kita seperti terjebak dalam kerumunan suporter di tribun
penonton, kemudian kita ingin pergi ke luar stadion karena ada sebab penting,
namun kita malah masuk ke pintu tempat para pemain berkumpul, akhirnya kita
putuskan untuk diam dan berbicang-bincang dengan mereka sampai akhirnya kita
mengalami euforia dan lupa dengan tujuan kita diawal yakni ingin pergi keluar.
Classroom Discourse, dua
kata namun sangat sarat akan makna. Bila kita tilik dari kata discourse atau
wacana saja kita sudah dapati sebuah pengertian yang menjelaskan soal kemampuan
atau prosedur berpikir secara sistematis; kemampuan atau proses memberikan
pertimbangan berdasarkan akal sehat; baik berupa pertukaran ide secara verbal
atau melalui percakapan maupun satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam
bentuk karangan atau laporan utuh, seperti novel, buku, ataupun artikel. Sedangkan
bila kita satukan antara wacana dan kelas, dapat kita simpulkan Classroom
Discourse sebagai sesuatu yang umumnya merujuk pada bahasa yang guru dan
siswa gunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain di dalam
kelas.
Istilah Classroom
discourse seringkali selalu mengacu kepada penelitian atau analisis, seperti
yang Betsy Rymes tuliskan dalam bukunya yang berjudul Classroom Discourse
Analysis: A Tool for Critical Reflection. Dalam bukunya tepatnya pada
chapter pertama dia menuliskan sebuah preview question yang berisi:
“Before you read this
chapter, think about what you, as a teacher, can gain from re-examining
examples of classroom talk. Think back on interactions in your own classrooms
(either as a teacher or as a student) and recall a moment that made you
uncomfortable or indicated some underlying tension. What do you think caused
that discomfort and tension?”
Dari situ saja kita sudah dapat melihat bahwa Classroom
Discourse sangat erat kaitannya dengan analisis atau penyelidikan terhadap
suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yang
sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb). Dalam kasus classroom
discourse ini, suatu yang dianalisis adalah interaksi dalam kelas, baik
antara peserta didik dengan pendidiknya, maupun interaksi antar peserta didik.
Selain itu, istilah wacana
kelas (Classroom Discourse) juga sering dikaitkan dengan bahasa
dalam kelas (classroom language). Hal ini dikarenakan istilah juga menunjukkan
jenis register, tidak pada jenis wacana, sehingga bahasa di kelas (classroom
language) identik dengan ‚classsroom register’ (lihat Halliday, 1987:610).
Pembahasan bahasa yang
digunakan pada ruangan kelas (wacana kelas) akan dikaji berdasarkan sistemik
fungsional. Bahasa yang digunakan dalam konteks kelas merupakan bahasa yang
memiliki karakteristik tersendiri dari bahasa-bahasa yang digunakan pada
konteks lain. Tujuan utama yang paling mendasar dari penggunaan bahasa di kelas
adalah pentransferan ilmu pengetahuan. Pada pengkajian hubungan antara
pengetahuan dan bahasa, Halliday dan Martin (1992:8) menyatakan bahwa bahasa
tidak hanya sebagai alat untuk mengekspresikan ide-ide dari proses fisik dan
biologis saja, tetapi lebih dari itu, melalui bahasa seseorang dapat
menginterpretasikan atau ‘menafsirkan’ pengalaman dengan pemindahan pengalaman
kita ke dalam makna. Pengekspresian bahasa ilmu pengetahuan, banyak konsep dan
pengetahuan yang dibentuk, karakteristik bahasa ilmu pengetahuan dihasilkan
oleh cara berpikir yang spesifik.
Dengan demikian, belajar
di sekolah dapat dilihat sebagai proses magang, pembelajar tidak hanya berlatih
linguistik ilmiah, tetapi lebih dari itu, berlatih dalam berpikir dan disiplin
ilmu pengetahuan. Sejalan dengan pendapat Christie bahwa pendidikan sebagai
proses inisiasi dengan cara membincangkan dan perintah, merupakan pengalaman
yang dihargai (1991:237).
Sementara itu, Flander
(1970) dalam pengamatannya tentang bahasa guru dan pengaruhnya terhadap
keberhasilan siswa menyimpulkan bahwa corak bahasa guru berpengaruh terhadap
keberhasilan siswa. Hal ini sama dengan pengamatan yang dilakukan oleh Barnes
(1969). Beliau mengemukakan bahwa jenis pertanyaan tertentu, dalam hal ini
adalah pertanyaan pancingan, penting artinya bagi guru dalam rangka memusatkan
perhatian siswa.
Kegiatan pembelajaran di
kelas adalah membelajarkan siswa. Membelajarkan berarti meningkatkan kemampuan
siswa untuk memproses, menemukan, dan menggunakan informasi bagi pengembangan
diri siswa dalam konteks lingkungannya. Berdasarkan pemahaman tersebut pelibat
(guru dan siswa) dalam kegiatan belajar di kelas memerlukan kemampuan saling
bertukar pengalaman linguistik yang terpresentasikan dalam fungsi pengalaman.
Terdapat banyak hal yang
dapat mempengaruhi interaksi dalam classroom discourse ini. Pertama,
background peserta didik dan pendidiknya, latar belakang agama, ras, keluarga,
dan lingkungan sekitar sangatlah mempengaruhi interaksi. Bila saja guru tidak
peka terhadap perbedaan tersebut, ditakutkan akan muncul banyak permasalahan.
Oleh karena itu guru sebaiknya memiliki communication strategy guna menciptakan
interaksi yang efektif. Dibandingkan dengan bentuk komunikasi lainnya, bahasa
di kelas mempunyai ciri tersendiri. Pertama, bahasa guru dan siswa sebagai
ragam konsultatif sangat fungsional dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
Oleh karena itu, pemahaman terhadap fungsi ujar ini sangat diperlukan bagi
kalangan pendidikan (guru dan siswa) demi tercapainya proses belajar mengajar
yang ideal. Kedua, bahasa guru dan siswa dalam wacana kelas adalah khas. Bahasa
guru dan siswa dalam wacana kelas diasumsikan merupakan performansi penutur
bahasa Indonesia ‘dewasa’ yang ideal karena para guru dan siswa menguasai
bahasa Indonesia tidak hanya melalui pemerolehan, tetapi juga pembelajaran.
Konteks lawan tutur atau mitratutur yang juga merupakan penutur bahasa
Indonesia ‘dewasa’ yang menguasai bahasa Indonesia juga melalui pemerolehan dan
belajar diasumsikan akan terjadi komunikasi yang ideal dengan munculnya kalimat
yang ideal dari peserta didik sebagai kalimat konteks. Kekhasan berikutnya
dapat dilihat pada kesejajaran siswa-guru pada satu sisi karena berada dalam
konteks ilmiah, tetapi pada satu sisi lain tetap dipengaruhi oleh status
berbeda.
Selain itu perbedaan goal
driver antar pendidik dan peserta didik pun bisa menjadi konflik. Oleh karena
itu sikap saling menghormati satu sama lain baik antar sesama pelajar maupun
dengan guru harus diciptakan sebaik mungkin, agar menciptakan suatu harmony dan
keselarasan.
Pada intinya, classroom
discoure adalah suatu proyek guna menciptakan pendidikan yang efektif. Bukan menciptakan
pendidikan yang hanya menekankan pada intelektualitas saja melainkan juga pada
sikap dan attitude setiap pelajar, yang didalamnya mengandung pola interaksi
yang sangat kompleks, dengan melibatkan latar belakang siswa yang berbeda-beda
dan komunikasi yang variatif guna menciptakan sebuah tujuan, yakni
keharmonisan.
0 comments:
Post a Comment