Written by Muhammad Saefullah
Begitu pintarnya jemari manusia
untuk membuat pengaruh hipnotis. Rangkaian kata-kata yang tersusun hingga
mencapai ribuan kata bisa dihasilkan untuk membolak-balikan hati dan pikiran
manusia. Tak perlu diragukan lagi kekuatannya, banyak sejarah yang telah dihasilkan
oleh perlengkapan pelajar ini (pulpen). Mereka terhipnotis dengan mantra-mantra yang
berbau tipu muslihat, cahaya penerang, bahkan lubang hitam yang bisa
menyesatkan kaum yang tak berdosa.
Satu detik itu adalah sejarah, bagi penulis kata-kata itu sangat tepat
untuk menyadarkan manusia. Jangan sampai pengaruh tulisan-tulisan dari Jhon
Titor terus mempengaruhi alam bawah sadar kita untuk kembali ke satu detik itu
dengan mesin waktunya. Kita tidak mungkin untuk mengulang masa lalu yang sudah
menjadi sejarah, hanya bukti tertulislah yang akan mendampingi umat manusia
untuk berimajinasi dengan masa lalu.
Sebagai seorang yang mendalami jurusan bahasa, kita wajib mengungkap
sejarah lewat tulisan-tulisan yang ada. Diskursus hubungan sastra dan sejarah
nampaknya salah satu kunci untuk mengawali imajinasi kita kali ini. Sejarah
punya banyak keterkaitan dengan konsep-konsep ilmu lain.
Masih melekat dalam otak kita sosok seorang Howard Zinn yang sudah
menyadarkan pengaruh hipnotis Columbus. Tipu daya yang selama ini meracuni masyarakat
dunia mulai terungkap perlahan. Melihat sejarah Amerika yang ada, perlu adanya
diskursus yang dititik beratkan pada sastra. Menurut Carr (1982:30) berpendapat
bahwa “history is a continuous
process of interaction between the historian and his facts, and unending
dialogue between the present and the past”. Dari pendapat Carr ini jelas
bahwa sejarah itu proses yang berlanjut dan sesuai dengan kenyataan antara
zaman sekarang dengan masa lalu.
Sejarah sebagai ilmu atau wawasan susunan pengetahuan tentang peristiwa
dan ceritera yang terjadi dalam masyarakat manusia pada masa lampau yang
disusun secara sistematis dan metodolotis berdasarkan asas-asas, prosedur, dan
metode serta teknik ilmiah yang diakui oleh pakar sejarah. Orang yang pandai
menulis pasti akan menguasai sejarah, jika sejarah yang belum diketahui oleh
manusia itu diangkat dalam tulisan, maka akan punya pengaruh yang sangat besar.
Bagi penulis, seorang Howard Zinn itu punya ambisi untuk mengungkap kekeliruan
yang ada di Amerika. Sosoknya yang ambisius membuat catatan yang ditulisnya menggemparkan warga
Amerika dan umat sedunia.
Pengaruh positivisme dalam sejarah tidak bisa dihindarkan. Salah satu
tokoh pencetus aliran modern dalam sejarah adalah Leopold Von Ranke
(1795-1886). Ranke menulis sebuah buku yang berjudul “A Critique of Modern
Historical Writers”, dalam bukunya ini beliau menjelaskan kritiknya dalam
sejarah dan penulis pada saat sekarang. Ranke dianggap sebagai penumbuh
histografi modern yang menganjurkan sejarawan menulis apa yang sebenarnya
terjadi atau wie es eigentlich gewesen ist (Supardan, 2008) yang dikenal
dengan sejarah kritis.
Tak diragukan lagi bahwa history yang ada pada zaman dahulu mempunyai
banyak aspek. Sejarah di satu sisi berperan sebagai humaniora, perlu adanya kemampuan
dalam berbahasa. Retorika yang digunakan oleh para penulis mendekatkan sejarah
dengan sastra sejarawan akan menggunakan imajnasi bukan fantasi dalam
merekonstruksi masa lalu.
Menurut Hayden White dan Munslow (Sjamsuddin, 2007) menjelaskan pada
salah satu poin bahasannya tentang adanya sejarah. Historis mempunyai
nilai-nilai yang meliputi keseluruhan, totalitasm atau latar belakang, atau
masa lalu itu sendiri. Konteks dari sejarah tersebut berfungsi untuk membuat
masa lalu itu menjadi masuk akal, berari, signifikan, dan berarti. Dengan
begitu sejarah akan dapat diterima kebenarannya.
Pemikiran Howard Zinn untuk mengupas Amerika lewat tulisan ini memang
sudah benar. Hal ini didukung oleh White (Shuterland: 2008, 48) yang mengatakan
bahwa sejarah itu sebuah narasi yang dikuasai oleh konvensi-konvensi estetika
dan lebih dekat kepada sastra daripada ke ilmu pengetahuan. Jadi, untuk
mengungkap sebuah cerita masa lalu lebih jelas ditulis oleh orang sastra karena
cara berfikirnya yang kritis.
Sosok Columbus dalam tulisan dan literatur yang ada di Amerika itu banyak
hal yang ditutupi, penuh dengan kiasan-kiasan dan bumbu-bumbu pentedap dalam
penulisannya. Seperti yang dikatakan White (Sjamsuddin, 2007) bahwa “Sejarah
disebut metahistory karena sejarah tidak bisa menolak masuknya kiasan-kiasan
dalam penulisan sejarah”. Metahistory merupakan karya-karya sejarah yang
tujuannya bukan untuk membuat informasi yang ada, mendiskusikan interpretasi
yang sudah adam dan kemungkinan mengomentari asumsi-asumsi yang telah membuat
interpretasi.
Tulisan-tulisan yang dihasilkan seperti Howard Zinn ini merupakan salah
satu sastra. Hal ini telah membuktikan bahwa tulisan sebagai ilmu yang bukan
hanya berbicara persoalan kreativitas dan rentetan imajinasi, tetapi dapat pula
berfungsi sebagai dokumen sejarah (Susur, 2008). Zainuddin Fannanie
berpendapat, dengan keluarnnya sastra dari krativitas imajiner ke wilayah
sejarah, maka sastra secara tidak
langsung bisa diletakkan sebagia dokumen sejarah atau dokumen social yang kaya
dengan visi dan tata nilai mayarakat.
Diteropong dari linguistik turn bahasa dalam bentuk budaya dan
intelektual merupakan media pertukaran bagi hubungan antar kekuatan dan
konstitutor terakhir dari kebenaran dalam penulisan dan pemahaman masa lalu
(Purwanto, 2006: 3). Sejarawan akan lebih setuju terhadap pendapat yang
menyatakan bahwa linguistik membedakan struktur masyarakat dan perbedaan sosial
menstrukturkan bahasa sebagai salah satu fakta dalam sejarah umat manusia
daripada pendapat yang menyatakan bahwa realitas sejarah tidak pernah ada, dan
yang ada hanya bahasa yang berbentuk naratif sebagai representasi masa lalu.
Pengungkapan sejarah yang terbilang apresiatif melalui data empiris dan
tulisan (narasi) tidak berbeda jauh dari pengungkapan karya sastra. Hanya saja
dikhawatirkan jika sejarah terlalu dekat dengan seni maka sejarah akan
kehilangan keakuratan dan keobjektivitasnya (Surur, 2008). Seperti yang terjadi
pada saat ini nilai-nilai yang terkandung dan mempunyai historis sedikit
berkurang karena sudah tercampur dengan unsur-unsur lain.
Seorang sejarawan seperti Howard Zinn dan penulis mempunyai cara pandang
tentang tulisan sejarah dan tujuan yang berbedam akan tetapi keduanya setuju
bahwa dalam menulis sejarah tidak boleh mengaburkan dan memanipulasi fakta
sejarah untuk membuat tulisannya lebih menyenangkan dan laku terjual.
Menulis sebauh karya nampaknya perlu memperhatikan berbagai aspek. Howard
Zinn sukses mendulang masa keemasan di bukunya ini karena paham tentang
menulis. Paa bukunya Hyland dijelaskan bahwa key issues dalam memahami writing
itu ada enam, yaitu context, literacy, culture, technology, genre, dan
identity.
Hal yang akan dikupas pertama ialah Writing and Context. Context akan
selalu diperhatikan oleh seorang penulis dalam memulai perjuangannya, arti yang
ada dalam teks dibagian dalam interaksi antara seorang penulis dan pembaca
untuk membangun perasaan yang berbeda-beda. Faktor kontekstual sangat luas
dalam melihat sebagai objektif variabel statis yang mengepung penggunaan
bahasa, kita harus melihat context tulisan yang ditujukan untuk siapa. Ada 3
aspek dari context sendiri, yaitu:
1.
Situasional Context: Sesuatu yang
diketahui oleh semua orang tentang apa yang mereka lihat di sekitarnya.
2.
The Background Knowledge Context:
orang-orang tahu mengenai dunia, apa yang mereka tahu tentang aspek dan yang
lainnya.
3.
The Co-textual Context: orang-orang
tahu apa yang sudah mereka katakan.
Penawaran prinsip sebagai salah satu jalan untuk memahami bagaimana arti
itu diproduksi dalam sebuah interaksi. Hal ini bisa dilihat dari waktu dan
tempat yang umum seperti konteksnya di rumah, sekolah, tempat kerja, ataupun
universitas. Secara linguistkik orientasi dari konteks ini berbeda dan
memulainya dengan texts, dan gambaran umum dari systematic discourse.
Context yang diungkapkan oleh Halliday sebagai ahli lingustik itu ada
tiga, yaitu field yang membahas apa yang sedang terjadi, kemudian tenor kembali
kepada siapa yang terlibat dalam teks tersebut, dan mode yang mengatur
penggunaan bahasa dalam menuliskan teks tersebut. Halliday juga mengungkapkan
context dari situasi ada dalam sebuah wider dan konteks yang lebih abstrak
menyebutnya sebagagai Context of Culture.
Kedua ialah Literacy and Expertise: Scribner dan Cole (1981: 236)
menempatkan literacy itu tidak sederhana pengetahuannya bagaimana membaca dan
menulis scrip yang umum tetapi menerapkan pengetahuan yang lebih spesifik dalam
penggunaan context. Literacy sebagai psychological dan textual, sesuatu yang
bisa diukur dan dinilai. Literacy dinilai dan dilihat sesbagai kumpulan dari
sesuatu yang mempunyai cirri-ciri sendiri, nilai yang bebas kemampuan teknik
termasuk kemampuan memecahkan kode (decoding
and encoding), peralatan manipulasi menulis dan yang lainnya. Menulis dan
membaca berarti menghubungkan orang-orang dengan yang lainnya di jalan yang
membawa sosial meanings yang umum.
Barton dan Hamilton (1998: 6) mendefinisikan literacy practices sebagai
budaya umum yang ditulis bahasanya dan orang-orang menggambarkan dalam hidup
mereka. Arti yang dominan literacy practice dibangun dalam konteks yang sudah
dipertimbangkan kekuatan perkumpulan kita seperti pendidikan dan hukum.
Kemampuan menulis sekarang ditandai sebagai sebuah tanda keahlian di wide range
aktifitas professional yang kembali ke orientasi penulis untuk jenis yang lebih
spesifik.
Ketiga ialah ihwal Writing and
Culture: budaya secara umum dipahami sebagai sebuah sejarah yang
ditransmisikan dan jaringan sistematik meaning yang mengijinkan kita untuk
memahaminya, perkembangan dan komunikasi pengetahuan kita dan keyakinan tentang
dunia (Lantof, 1999). Walhasil, belajar dan bahasa itu berhubungan budaya yang
dibawa oleh individu, karena suatu budaya itu bisa direpresentasikan dengan
bahasa.
Sudah menjadi rahasia umum, mother tongue tidak bisa dipisahkan dari budaya
seseorang. Bahasa ibu/L1 akan terus dibawa ketika kita berbicara dengan
menggunakan L2, hal ini karena mother tongue sudah mendarah daging dan
dipelajari sejak dini. Mother tongue tidak bisa dilupakan, karena dari hal
inilah akan lahir budaya-budaya dalam L2 yang mempunyai accent unik dibawa
olehnya. Seperti yang disebutkan oleh Connor dalam quotenya bahwa strategi
retorika agar sukses di L2 maka langkah pertama harus bisa menguasai L1
terlebih dahulu.
Berawal dari budaya kita bisa lebih mudah untuk menulis permulaan pada
sebuah artikel. Di samping itu gambaran umum yang akan ditulis juga bisa lebih
tersusun bersama, budaya seseorang bisa dilihat dari hasil text yang sudah
ditulisnya. Bagaimanapun, pelajar itu mempaunyai identitas masing-masing yang
tidak bisa lepas darinya yaitu bahasa dan budaya yang berbeda. Hal ini
merupakan metode untuk mempersatukan mereka lewat sosialisasi di kelas mengenai
norma, dan praktek sosial, dari hal kecil inilah akan tumbuh rasa memiliki
bahasa ibu dan mereka bisa menerima perbedaan yang ada di dalam kelasnya.
Bagaimanapun, retorika antara native speaker dengan pelajar itu sangat
dominan perbedaannya. Untuk bisa memahami second language kita bisa mengadopsi
retorika yang digunakan oleh native speaker. Perbandingan sudut pandang juga
membantu kita untuk melihat tulisan yang berasal dari sejarah dan faktor
budaya. Dari perbandingan sudut pandang tersebut pelajar bisa mengambil poin
penting yang digunakan oleh native speaker.
Skill issues yang kelima ialah Writing and Genre: hingga saat ini
genre merupakan hal yang sangat penting dalam berpartisipasi maupun
bersosialisasi dengan orang lain. Genre merupakan salah satu aksi komunikasi
yang nyata, seseorang harus kenal dengan aliran genre yang ada. Menurut buku
yang ditulis Ken Hyland ada tiga genre ((Hyon, 1996: Johns, 2002):
1.
Tradisi bekerja orang Australia pada
systemic functional linguistic.
2.
Pengajaran bahasa Inggris untuk
tujuan yang rinci.
3.
Belajar retorika baru dalam
mengembangkan kompetensi context.
Systemic Functional Views: model genre ini terlihat seperti
sebuah staged, tujuannya berorientasi pada proses (Martin, 1992: 505).
Penekanan maksud dan urutan kejadian arakter dari genre yang berbeda dan
direfleksikan dengan teorinya Halliday dalam konteks sistematis. Genre ini menganut
system proses social karena anggota dari kelompok budaya berinteraksi untuk
mencapai tujuannya. Meanings dibuat dalam beberapa cara dan biasanya diambil
oleh penulis lebih dari satu cara untuk mencapai tujuannya. Ketika texts
mempunyai maksud yang sama, umumnya akan sama pula strukturnya, oleh karena itu
keduanya ini mempunyai genre yang sama.
English for Spesific Purpose (ESP): orientasinya mengikuti
SFL yang menekankan pada pemberian kondisi yang formal dan genre yang bermaksud
agar komunikatif, tapi di sini mengadopsi banyak konsep genre. Maksudnya ialah
agar genre ini rasional dan membantu memprtajam jalan dari struktur genre dan
pemilihan context dan gaya yang ada. Genre ini memandang bahasa termotivasi
oleh aplikasi pedagogi dan deskripsi dari berbeda genre yang sudah digunakan
sebagai metode di universitas dan yang lainnya (e.g Hylland, 2003; Johns, 1997;
Swales and Feak, 2004).
The ‘New Rethoric’: penekanan yang diberikan lebih besar dari jalan genre
jenis lainnya. Henre ini mempunyai peranan penting dalam pemahaman konsep
(Freedman and Medway, 1994). Retorika baru lebih rendah fokusnya dari genre
yang bersifat tindakan, hubungan text dengan context lebih dikembangkan
kualitatif daripada mendeskripsikan retorika (Miller, 1984). Dalam konteks classroom
pelajar harus diberikan kesempatan untuk mengobservasi genre dalam situasi
actual yang digunakan oleh mereka. Siswa akan mengidentifikasi mereka dengan
cara “mini-ethnographies”.
Penekanan yang diberikan kesadaran jenis tekstual dari genre dan kelompok
yang digunakannya (Bazerman, 1988: 323). Genre pengetahuan dari social contexts
lebih penting daripada formal patterns. Genre itu didukung dengan sangat kuat
keterekaitannya dan mengganti secara pelan, dan mengembangkan individu, umumnya
pelajar, yang bias memanipulasi pembangunan yang terbatas. Itulah secercah
seluk-beluk yang diambil dari buku Ken Hyland tentang writing and genre.
Dalam buku lehtonen, John Fiske menjelaskan genre sebagai sebuah cultural
practice yang terstruktur darinya ke dalam jangkauan text yang sangat luas dan
sirkulasi budaya dari produser dan audience. Genre biasanya merujuk pada
spesies atau jenis teks, text itu diklasifikasikan sebagai poem, film horror,
dan beberapa jenis lainnya. Genre sendiri berasal dari bahasa latin yaitu genus
(descent, family, class species, group).
Skill issues yang terakhir ialah Writing and Identity: penekanan
yang dekat dengan sebuah penulisan terletak pada hubungan antara writing dengan
identitas pengarang. Identitas kembali lagi ke jalan yang ditunjukkan oleh
banyak orang pada hal yang lainnya (Benwell and Stokoe, 2006: 6). Kita
menampilkan identitas (identity work) lewat pembangunan diri kita sebagai
anggota yang credible pada kelompok social. Jadi, identitas itu sesuatu yang kita lakukan, bukan sesuatu yang
kita miliki.
Ivanic memandang identitas itu ada tiga sudut pandang, pertama ialah the
ao\utobiographycal self. Ide, opini, keyakinan, dan komitmen membangun
sejarah jati diri penulis seperti contohnay kata-kata mutiara yang ditulis
dalam textnya. Kedua ialah the discourse self: contohnya seperti penulis
bergabung dengan komunitas atau yang sejenisnya, kemudian mengadopsi untuk
mengklaim anggotanya. Ketiga yaitu the authorial self: kepemilikan
tntang sebuaha artikel, bila kita mengambil beberapa kata maka harus
mencantumkan nama pengarangnya sebagai bukti kepemilikan.
Bagaimanapun, text itu tidak bias lepa dari keenam key issues tersebut.
Text merupakan semiotic yang tidak pernah ada tanpa pembaca, interetexts,
situasi, dan fungsi, semaua itu terhubung dengan text. Bacaan yang ada menurut
Lehtonen tidak semaunya jenis puzzle, satu teks punya berbagai pengertian
tergantung dengan sudut pandang seseorang . konteks dari text harus melewati
evaluasi ulang sebelumnya, karena konteks itu tidak pernah ada sebelum pengaram
atau text.
Sebagai sajian penutup, delapan parameter context yang harus
diingat memperindah class review yang kelima ini, parameter tersebut ialah:
1.
Subtence: materi fisik yang
membawa (relay text).
2.
Music and pictures.
3.
Paralanguage: sikap yang ada
dalam bahasa seperti kualitas suara gestures, ekspresi muka dan sentuhan, dan
pemilihan typeface dan ukuran huruf (in writing).
4.
Situation: hubungan objek dengan
text yang ada di sekitar.
5.
Co-text: text yang mendahului
atau mengikuti di bawah analisis, dan participant yang menjadi penentu dalam
discourse yang sama.
6.
Intertext: text yang mana
perasaan participant mengikuti discourse yang lain, tapi berkumpul dalam satu
text yang terfokus.
7.
Partisipasi: niat dan
interpretasi mereka, pengetahuan dan keyakinan, sikap seseorang, affiliasi dan
feelings.
8.
Function: text yang ada karena
pengirim dan alamatnya, atau perasaan untuk melakukan dengan penerima dan
alamatnya.
Lengkap sudah pembahasan class review kali ini. Akhirul kalam,
sebagai penulis merangkum semua pembahasan bahwa sebuah text itu banyak
unsur-unsur yang membangun seperti yang sudah disebutkan, ada context, literacy
dan expertise, budaya, technology, genre, dan identitas. Malahan, artikelnya
Howard Zinn tentang Columbus menjadi salah satu tulisan fenomenal karena issue
tentang Columbus bisa diungkap lewat keenam unsur yang mendalam.
0 comments:
Post a Comment