5th Class Review
Tanpa terasa Mata Kuliah
Writing and Composition 4 telah melewati bulan pertama, maka materi yang kita dapatkan pun akan
semakin jauh, tak terlepas dari hal itu Mr. Lala Bumela akan terus-menerus
mengontrol mahasiswanya untuk menulis. Namun jika kita melihat perkembangan
tulisan-tulisan kita, seakan memang banyak sekali kekurangannya. Hal tersebut
terkait dengan penuturan beliau dalam power pointnya The biggest weakness of
your first critical review, diantaranya yaitu terjebak dalam hal-hal
sepele, tidak akrab dengan kata kunci classroom discourse, menceritakan
fakta-fakta tentang konflik agama tanpa menunjukkan titik perusahaan pandang,
struktur generik tidak dibangun dengan baik, dan pola referensi yang hilang.
Semua kelemahan tersebut terdapat pada critical review yang pertama, dan
mungkin kelemahan dalam critical review yang kedua juga hampir sama. Namun
beliau juga mengatakan ada banyak ruang untuk perbaikan.
Pada critical review kedua kemarin ternyata
mengaitkan antara sejarah dengan literasi, karena dikatakan bahwa sejarah itu
selalu terkait dengan praktik literasi dan hanya orang-orang yang berliterasi
yang mampu membuat sejarah. Namun dalam hal tersebut sekali lagi kita telah
gagal menyinggung ke arah literasi, kebanyakan yang disinggung hanyalah
sejarahnya saja. Maka tak heran jika Mr. Lala Bumela pun mengatakan “discourse
bukan hanya menyuguhkan teks, tetapi juga menyuguhkan konteks”. Memang kita
selalu kesulitan dalam area konteks, dan beliau pun menuturkan bahwa penulis
pemula selalu gagal pada area konteks tesebut. Padahal pencangkupan konteks itu
luas, ia bisa saja merujuk pada sudut pandang histori, politik, religious,
ataupun yang lainnya. Hal tersebut seperti contoh dalam artikel Speaking
Truth to Power with Books karya Howard Zinn yang mengaitkan sejarah dengan
perspektif antropologi, namun bisa saja itu juga merupakan perspektif politik
yang dibuat oleh Howard Zinn.
Dalam buku Lehtonen, konteks mencangkup semua
hal yang penulis dan pembaca bawa ke dalam proses pembentukan makna. Dibawah
ini merupakan 8 parameter konteks:
1. Subtance (pokok)
Materi fisik yang membawa atau relay teks
2. Music and picture
3. Paralanguage
Perilaku yang berarti bahasa yang menyertainya, seperti
kualitas suara, gerak tubuh, ekspresi wajah dan sentuhan (dalam kecepatan), dan
pilihan dari jenis huruf dan ukuran huruf (secara tertulis).
4. Situation
Sifat dan hubungan objek dan orang-orang disekitarnya
teks, seperti yang dirasakan oleh para peserta.
5. Co-text
Teks yang mendahului atau mengikuti yang di bawah
analisis, dan yang peserta menilai milik wacana yang sama.
6. Intertext
Teks yang peserta anggap sebagai milik wacana lain,
tetapi yang mereka persekutukan dengan teks di bawah pertimbangan dan yang
mempengaruhi interpretasi mereka.
7. Participant
Niat dan interpretasi mereka, pengetahuan dan keyakinan,
sikap interpersonal, afiliasi dan perasaan.
8. Function
Apa teks dimaksudkan untuk melakukan oleh pengirim dan
addressers, atau dianggap dilakukan oleh penerima dan addressers.
Cutting (2002: 3) menyebutkan 3 aspek utama dalam penafsiran
konteks, yakni sebagai berikut:
a. The situational
context: what people ‘know about what they can see around
them’;
b. The background
knowledge context: what people ‘know about the world, what
they know about aspects of life, and what they know about each
other’;
c. The co-textual
context: what people ‘know about what they have been
saying’.
These aspects
of interpretation have come to be rolled into the idea of community.
Halliday developed an analysis of
context based on the idea that any text is the result of the writer’s
language choices in a particular context of
situation (Malinowski, 1949). That
is, language varies according to the situation in which it is used, so that if we
examine a
text we can make guesses about the situation, or if we are in a particular situation
we make certain linguistic choices based on that situation. The
context of situation, or register, is the immediate situation in
which language use occurs and language varies in such contexts varies
with the configuration of field, tenor and mode.
Halliday’s dimensions of context:
·
Field: menunjuk pada subjek topik dan peristiwa atau aktifitas.
·
Tenor: merujuk pada orang yang terlibat (partisipan), jarak, status dan hubungan
partisipan.
·
Mode: merujuk pada kode bahasa baik lisan maupun tulisan, saluran komunikasi.
Key Issues in Writing Research and Teaching (Hyland 2002; 2009)
Ø
Kontext
Dalam membangun suatu makna diciptakan dari konteks dalam
interaksi antara penulis dan pembaca, karena tentu mereka akan memahami teks
tersebut dengan cara yang berbeda, masing-masing berusaha menebak niat lainnya.
Akibatnya, analisis dan guru sekarang mencoba untuk memperhitungkan
faktor-faktor personal, institusional, dan sosial yang mempengaruhi tindakan
menulis. Hal tersebut juga akan menimbulkan negosiasi makna antara penulis dan
pembaca.
Ø
Literacy
Menulis dan membaca adalah tindakan literasi. Bagaimana
kita benar-benar menggunakan bahasa dalam kehidupan kita sehari-hari. Konsep
literasi modern mendorong kita untuk melihat tulisan sebagai praktik sosial,
bukan sebagai keterampilan abstrak, dipisahkan dari orang-orang dan
tempat-tempat dimana mereka menggunakan teks. Sekolah tradisional menganggap
literasi sebagai kemampuan belajar yang memfasilitasi pemikiran logis, akses
informasi, dan pertisipasi dalam masyarakat modern.
Ø Culture
Budaya secara umum dipahami sebagai jaringan historis
yang ditransmisikan dan makna sistematis yang memungkinkan kita untuk memahami,
mengembangkan dan mengkomunikasikan pengetahuan dan keyakinan kita tentang
dunia (Lantolf, 1999). Akibatnya, bahasa dan pembelajaran terikat dengan budaya
(Kramsch, 1993). Hal ini sebagian karena nilai-nilai budaya kita tercermin
dalam dan dilakukan melalui bahasa.
Ø Technology
Untuk menjadi orang yang berliterasi, dalam era modern
ini kita dituntut untuk memiliki pengetahuan atas berbagai media cetak dan
elektronik. Teknologi elektronik, pada kenyataannya mempercepat preferensi yang
berkembang untuk gambar di atas teks dalam banyak domain dan bahkan
menghasilkan teks multimodal sebagai praktik literasi di pendidikan ilmiah, bisnis,
media, dan setting lainnya. Banyak tulisan-tulisan yang tersaji dalam bentuk
media elektronik, seperti artikel, e-book, dan lain sebagainya.
Ø Genre
Genre merupakan salah satu materi yang paling penting
dari konsep pembelajaran bahasa. Genre dikenal dengan tipe aksi percakapan yang
berpartisipasi dalam peristiwa sosial.
Ø Identity
Penelitian terbaru telah menekankan hubungan dekat antara
menulis dan identitas seorang penulis. Dalam arti luas, identitas mengacu pada
“cara-cara orang menampilkan siapa mereka satu sama lain”. Dalam hal ini
menulis pada dasarnya sedang membangun sebuah identitas jati diri seseorang.
Dalam artikel yang berjudul Speaking Truth
to Power with Books karya Howard Zinn ini menyebutkan bahwa ia menggunakan
konteks antropologi, yang mana di dalamnya melibatkan sejarah, sosial, politik,
agama, dan lain sebagainya. Zinn menuliskan artikel tersebut untuk mendukung
kaum yang kalah, karena ada sebuah ujaran yang menyatakan bahwa sejarah selalu
ditulis oleh para pemenang. Howard Zinn mencoba untuk patahkan. Ia menuliskan
bahwa Christopher Columbus itu bukanlah seorang pahlawan. Dia adalah orang yang
berfaham komunis. Dia juga bukan penemu benua Amerika. Dia adalah penjahat,
orang yang serakah, pembunuh, dan penindas kelompok ras hitam yang ada di benua
Amerika. Pernyataan Zinn dalam memandang Christopher Columbus itu hanyalah dari
sudut pandang negatifnya saja, Zinn malah mengabaikan jejak heroik Columbus
sebagai pahlawan.
Seperti
yang telah dituliskan di awal paragraf bahwa hanya orang-orang yang berliterasi
yang mampu membuat sejarah dan memutar balikkan sejarah, maka dalam hal
tersebut sangat cocok jika kita kaitkan dengan seorang aktifis yang berasal
dari negara Amerika Serikat, yakni Howard Zinn. Howard Zinn ini adalah seorang
aktifis dan sejarawan asal Amerika, tetapi kenapa ia malah menyerang negaranya
sendiri dengan mengubah sejarah penemu benua Amerika. Artinya dalam hal ini
Zinn sangat paham akan situasi dan kondisi bahkan fakta-fakta yang ada dalam
sejarah negerinya. Zinn telah mampu mengubah kesadaran satu generasi melalui
tulisannya.
Dalam
sebuah buku legendarisnya yang ia tulis berjudul A people’s History of the
United States telah mampu membius perspektif segenap pembacanya. Yang
menarik dari buku Zinn tentu saja adalah keberaniannya untuk mengungkap sisi
gelap sejarah benua baru. Sasaran tembaknya tak tanggung-tanggung yakni
Christopher Columbus dan para sejarawan yang menulis versi lugu dari kedatangan
para kolonis. Di dalamnya termasuk sejarawan Harvard, Samuel Elliot Morison.
Meskipun
Howard Zinn telah berhasil menguak kebohongan seorang Columbus, bahwa dia
bukanlah penemu benua Amerika, melainkan ia adalah seorang yang suka melakukan
genocide. Namun perlu diingat juga bahwa Zinn mempunyai kelemahan dalam sebuah
artikelnya, Zinn lupa atau bahkan sengaja menutup-nutupi sejarah penemu benua
Amerika itu sendiri. Zinn tidak menyebutkan sedikitpun siapa sebenarnya penemu
pertama kali benua Amerika.
Terlepas dari pro dan kontra pengkajian sejarah
menggunakan teori-teori ilmu sosial, namun patut direnungkan bahwa perkembangan
ilmu pengetahuan dewasa ini hampir sudah sulit dibedakan antara satu disiplin
ilmu dengan disiplin ilmu lainnya. Pendekatan
interdisipliner kini sangat dominan mewarnai wacana perkembangan ilmu
pengetahuan. Sejarah sebagai salah satu bidang ilmu tidak seharusnya menarik
diri dari fenomena itu, melainkan harus mampu bermain ditengahnya, sehingga
tidak dianggap himpunan pengetahuan masa lalu semata, tanpa bisa memberikan kontribusi
bagi pembangunan kehidupan manusia, sebagaimana visi sebuah ilmu pengetahuan.
Hal tersebut menjadi bukti bahwa lierasi
sangat penting untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari kita. Berbagai
fenomena-fenomena sejarah yang kini banyak yang dimanipulasi, maka menuntut
kita agar lebih jeli dalam memandang sejarah tersebut dengan cara memperluas
pengetahuan. Bahkan sampai sekarang pun saya belum menemukan kejelasan dari
siapa yang sesungguhnya merupakan penemu benua Ameriaka tersebut.
Dari pernyataan di atas kita dapat
menyimpulkan betapa rumitnya kajian sejarah jika kita ambil dari berbagai
perspektif. Namun dalam hal ini pula literasi tidak akan pernah ketinggalan
dalam mewarnai perspektif-perspektif yang ada. Literasi selalu menjadi dominan
dan mengikuti semua kajian ilmu, karena literasi yang ada pada saat sekarang
ini adalah literasi yang mencangkup semua bidang pengetahuan. Berliterasi dapat
memutar balikkan sejarah, berliterasi juga dapat meneliti sejarah, dan masih
banyak lagi manfaat dari literasi bagi kehidupan kita dan bangsa.
Referensi
Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta:
Bentang Pustaka
Ken Hyland
(2009). Teaching and Researching Writing, second edition.
Miko Lehtonen
(2000). The Cultural Analysis of Text.
0 comments:
Post a Comment