INGIN MENJADI
MANUSIA LITERAT
Manusia adalah mahluk social yang tidak
terlepas dari peran belajar. Belajar yang dimaksud adalah suatu proses dimana
individu mau berevolusi menuju perubahan. Dengan kata lain, dari semua proses
yang ada dalam kehidupan tidak akan terlepas dari kata literasi untuk menuju
kaum yang berliterat. Ada penjelasan singkat mengenai kaum yang berliterat,
yaitu:
“katanya,
tugas mereka yang tercurahkan-kaum literat-adalah meneroka ceruk-beruk ‘baru’
tempat pengetahuan dan keterampilan yang mereka pungut, kumpulan dan kuasai
dalam perjalanan hidupnya sebagai bagian sederhana dari cinta mereka pada
pengetahuan dan pemberi pengetahuan. Mereka yang hanya baru tahu teori ini dan
itu dari ‘dari suara-suara penuh kuasa’ dibidang yang mereka geluti, belumlah
dapat dikatakan yang tercerahkan—literatn mereka baru pada fase awal, peniru.”
“meniru
adalah bagian penting dari menemukan lalu menciptakan, dari memahami affordance
dari meaning dan potential tanda-tanda yang tewrserak, yang dibaca dengan teori
ini dan itu. Yang berbahaya adalah ketika kita sudah merasa mendesiminasi, pun
meneroka padang-padang baru tempat segala teori yang dipahami-digunakan,
padahal kita baru sampai pada tahap meniru. Lalu kita dengan ‘pongahnya’
mengatakan ‘ini salah itu tak benar’. Tanpa dasar yang tak bergetar pada mereka
yang berada dititik awal menjadi peniru. Kita merasa bahwa hapal saja teori ini
dan itu, telah membuat kita bagian dari “rejim kebenaran tak terbantahkan”. Begitu
banyak yang harus dipelajariu, dipahami, lalu dimaknai, lebih banyak dari alas
an menjadi sombong sebab apa yang baru sedikit kita ketahui”.
Dari pernyataan di
atas, dapat dipetik sedikit mengenai masyarakat yang benar-benar berliterat. Bagi
sebagian orang, apabila mereka telah mendapatkan informasi yang dirasa tidak
masuk akal, cepat sekali mengambil kesimpulan mengenai ini dan itu. Padahal dari
segi kebenarannya patut dipertimbangkan kembali berdasarkan
pernyataan-pernyataan para ahli dibidangnya. Banyak cara yang dapat dilakukan
agar menjadi manusia yang berliterat. Bermula dari membaca teks dan menulis
ulang apa yang telah dibaca akan tetapi lebih baiknya apabila dipahami terlebih
dahulu sebelum pada akhirnya kita meniru. Dan semuanya berawal dari baca-tulis.
The Literacy --> Writing is a matter of lighting our selves.
The Literacy -->
The love of knowledge.
Berliterasi merupakan
suatu aktivitas yang dimulai dari rasa cinta dan sukaterhadap baca-tulis yang
pada akhirnya akan mencerahkan diri kita karena berliterat itu tidak pernah
NETRAL dari dalam diri seseorang. Dari literasi
itulah akan melahirkan suatu ideology dalam kehidupan kita dimasyarakat.
“like the historian critical
linguist aims to understand the values which underpin social, economic, and
political formation, and diachronically, changes in values and changes in
formation.”
-Fowler (1996: 10)-
“Ideology is of course both a
medium and an instrument of historical processes.”
-Fowler (1996: 12)-
Ideology
disini merupakan suatu anugerahdari Tuhan yang ada pada setiap insane baik tertulis
maupun tidak, yang berupa (berbicara, menulis, mendengar, melihat) dan upaya
menggabungkan dari semua aspek tersebut. Yang pada akhirnyaakan dikembalikan kepada
individu masing-masing apakah mereka bersedia mengembangkannya atau tidak.
“Ideologi is omnipresent in every
single text”
-Fowler: 1996-
“ Text productions is never NEUTRAL”
-Fairclough: 1989; 1992; 1995; 2000;
Lehtonen 2000-
“Literacy is never NEUTRAL”
-Al-Wasilah 2011; 2012-
“Literacy
practices as ‘the general cultural ways of utilizing written language which
people drawn on in their lives.”
-Barton and Hamilton: 1998: 6;
Ken Hyland 2009: 49-
“…while these practices are ‘what
people do with literacy.’ they are rather abstract as they refer to not only
reading writing but also the values, feelings and cultural conceptions that
give meaning to these uses.”
-Street, 1995: 2; Ken Hyland 2009: 49-
Dari
berbagai pandangan ilmuwan di atas begitu eksplisit menjelaskan mengenai
literacy. Literasi tidak pernah lepas dari kehidupan sehari-hari, maka dari itu
disebut literacy practices. Peran reading-writing sangat diutamakan karena
keduanya merupakan pondasi dari literasi untuk menjadi manusia yang berliterat.
Masyarakat selalu berupaya untuk memahami dan memaknai tiap teks sehingga
muncullah ideology yang kemudian disebut sebagai “literacy events”.
“Literacy events are observable
eposides where literacy has a role usually there is a written texts, or text,
central to the activity and there may be talk around the text. Event are
observable episodes which arise from practices or are shaped by them. The notions
of events stresses the situated native of literacies. That it always exits in a
social context.”
-Barton and Hamilton (1998: 7)-
Teks
yang dihasilkan dan digunakan dalam perbedaan dalam setiap peristiwa adalah
suatu kunci aspek dalam pembelajaran literasiu. Banyaknya asumsi yang
menyatakan bahwa writing akan selalu berasosiasi dengan berbagai aspek dan ‘culturalactivity’
sehingga selalu membutuhkan cara baru untuk bias berliterasi.
“Investigating literacy as practice
involves investigating literacy as ‘concrete human activity’, not just what
people do with literacy, but also what they make of what they do, the values
they place on it and the ideologies that surround it”
-Baynham (1995: 1) ; Ken Hyland
:2009: 5)-
Kegiatan
baca-tulis tidak akan pernah lepas dari dunia pendidikan terutama perkuliahan,
maka dari itu hal ini menjadi salah satu instrument penting dalam pembangkitan
rasa literasi yang hamper tercurahkan. Setiap hari orang-orang melakukan
kegiatan literasi (literacy practices), bagaimana mereka berliterasi untuk
mengatur atau mengontrol dan merasa enjoy atau nyaman dengan tempat tempat
tinggal mereka atau keseharian mereka. Mengenai praktek literasi, baca
penegasan dari Barton et al di bawah ini:
“To draw open the richness and
complexity of people lives and social practices we used many tools common in
qualitative research. These included participant observation with detailed
field notes; in depth and repeated interviews, and both structured and
unstructured; case studies which focused on particular issues an detail and
over time; photography and video-recording people’s practices and working with
them to record their own; collecting images and documents, as well as examples
of free-writing, poems and rap. This enabled us to gather different types of
data and allowed us to see complexity, multiple values, different positions,
opposing perceptions, and different identities in different contexts.”
-Barton etal (2007: 39); Ken Hyland 2009: 203-
Dari
Barton et al juga menemukan perbedaan cara laki-laki dan perempuan berliterasi
berdasarkan usianya, dan terdapat tiga tujuan pendekatan (Ken Hyland; 2009:
204):
·
For
finding out and learning about things: semuanya berawal dari
hobi dan ketertarikan terhadap reading. (one participant followed-up her
reading by writing applications fro grants and voluntary work posts).
·
For
life porposes : mencakup keterampilan kegiatan terhadap
baca-tulis.
(one
created hand-made greetings cards, another kept a diary, wrote poems and found
it easier to communicate with peers through writing than speaking, and a third
catalogued his CD collection on computer).
·
For
literacy learning through everyday events. : melakukan
baca-tulis untuk mendapatkan sesuatu sesuai dengan apa yang telah dilakukan.
Reading-writing
merupakan salah satu kepntingan bagi individu untuk menjadi mahluk yang
berliterat dan juga sebagai wujud pengekspresian diri. Dan yang lebih penting
ialah sebagai modal awal berinteraksi dengan yang lain. Lapangan untuk belajar
berliterasi ialah dengan meliputi kegiatan writing ‘sebagai bentuk praktek social.
New Literacy Studies (NLS) menunjukkan bahwa menulis merupakan kegiatan manusia
yang kompleks dan tidak terikat oleh waktu dan tempat (Ken Hyland: 2009: 209).
Dapat
dipahami jika literate kadang diartikan sebagai educated (Al-Wasilah 2012:
159). Zaman sudah semakin edan dan pendidikan dasar tidak cukup mengandalkan
kemampuan baca dan tulis mereka.
Dari
berbagai penjelasan di atas, dapat ditarik kesimnpulan bahwa kita harus tetap
berevolusi dalam mewujudkan manusia yang berliterat. Literasi selama
bertahun-tahun selalu dianggap sekedar persoalan psikologis yang berkaitan
dengan kemampuanmental dan keterampilan baca-tulis (Al-Wasilah: 2012: 159)
padahal sudah jelas literasi sangat diperlukan dalam kehidupan kita sehari-hari
terutama bagi penerus bangsa.
Referensi
:
-
Hyland, K (2009). Teaching and
Researching Writing. PEARSON
-
Alwasilah, A.C (2012). Pokoknya Rekayasa
Literasi. Bandung: Kiblat Utama
0 comments:
Post a Comment