Tidaklah hebat seseorang yang
hanya menyantap nikmatnya makanan dari sudut isinya saja, tanpa ia mengetahui
bagaimana cara membuat masakan yang se-nikmat itu, kemudian apakah pembuatannya
layak serta tidak ada bahan-bahan pengawetnya ?, atau justru nikmatnya rasa
masakan tersebut karena disisipi oleh suatu bahan-bahan tertentu. Begitupun
dengan teks, tanpa dipahami konteksnya, ia akan hampa makna. Nah,
berangkat dari gambaran tersebut. dalam class review yang ke-5 ini saya kembali
akan mengulas ihwal discourse yang didalamnya melibatkan teks dan konteks. Hal
tersebut dilakukan karena sekali lagi saya kembali melakukan kesalahan yang
sangat mendasar, tidak membahas ihwal hubungan antara teks dengan konteksnya
secara eksplisit. Di sini juga akan diulas ihwal kekosongan ( gaps ) yang ada dalam artikel
howard zinn yang berjudul Speaking Truth to Power With Book. Pembahasan ini
akan bergerak dari area teks, konteks kemudian pengaplikasiannya ke dalam
artikel zinn.
Lehtonen ( 2000 ) dalam
menginterpretasi teks, ia melihatnya dari dua dimensi, yakni dimensi fisik ( teks as physical being ), dan
dimensi semiotik ( teks as semiotic
being ). Teks adalah bentuk fisik, tetapi mereka hadir dalam beberapa bentuk
untuk menjadi semiotik. Teks berupa fisik, hanya ketika mereka mempunyai
beberapa bentuk fisik yang jelas, seperti tinta, kertas, dan lain-lain. Teks
adalah artefak yang berbicara ( cummunicative artefact ). Sebagai artefak, teks
diproduksi melalui bantuan beberapa tekhnologi, seperti pesan E-mail, ia adalah teks yang
diproduksi oleh keyboard computer, monitor, display dan lain-lain.
Sementara secara semiotik, teks dapat
diinterpretasikan ke dalam bentuk tulisan (writing ), pidato ( speech ), picture,
music, dan symbol lainnya. Dari semua bentuk tersebut, teks dikarakteristikkan
ke dalam 3 feature, yakni materiality,
formal relation, dan meaningfulness. Secara material atau
fisik, teks diumpamakan seperti gelombang radio yang memancar selama kegiatan pembicaraan
berlangsung ( act of speech ). Dalam hubungan formalnya, teks diklasifikasikan
ke dalam hirarki-hirarki grammatikal,
seperti fonem, grapem silabel, kata, klausa, kalimat,
dan lain-lain. Sementara dalam makna semantic, teks merujuk pada suatu keadaan
yang ada di luar dirinya. Seperti piece
of pop music.
Teks biasanya selalu dibarengi
dengan konteksnya. Konteks adalah anggota teks yang selalu ada bersama-sama
dengan teks, sering juga diartikan sesuatu yang ada disekitar atau diluar teks.
Dalam terma tradisional, konteks dimaknai sebagai background dari teks yang berperan
sebagai tambahan informasi, karena konteks digunakan untuk membantu memahami
teks itu sendiri. Konteks tidak akan hadir sebelum hadirnya author (penulis)
atau teks, karena konteks hadir diluar teks.
Konteks melibatkan semua faktor yang penulis dan pembaca membawa ke dalam
proses pembentukan makna. Berikut 8 parameter konteks :
1. Substance
( pokok ), physical material which carries the text
2. Music and picture
3. Paralanguage, meaningfull behavior accompany language,
such us voice quality, gesture, facial expression, touch (in speed), and choice
of typeface and letter size (in writing)
4. Situation,
properties and relations of object and people in vicinity of text as perceived
by participant.
5. Co–text, text
which proceed or follow that under analysis and which participant judge to belong to
same discourse
6. Intertext, text
which participant perceive as belonging to other discourse, but which they
associate with the text under consideration which affect their interpretation.
7. Participant, their intention and interpretation,
knowledge and belief interpersonal attitude, affiliation and feeling.
8. Function, what
the text intended to do by senders and addressers, or
perceived to do by receivers and addressers.
Cutting (2002 : 3), menyebutkan
3 aspek utama dari penafsiran konteks, yaitu:
Ø Situational context : Apakah orang tahu
tentang mereka yang bisa melihat disekitar mereka
Ø Background knowledge
context : Apakah orang tahu tentang dunia, tentang aspek kehidupan dan tahu
tentang satu sama lainnya.
Ø Co-textual context : Apakah orang tahu
tentang apa yang mereka bicarakan.
Menurut halliday (1985) dimensi konteks ada 3, yaitu field, tenor, dan mode.
µ Field : merujuk pada subjek, topik dan peristiwa atau aktifitas.
µ
Tenor : merujuk pada orang yang terlibat (partisipan), jarak, status dan
hubungan partisipan.
µ Mode : merujuk pada kode bahasa baik lisan maupun tulisan, saluran
komunikasi.
Menulis ( Hyland : 2009 ) merupakan suatu ruang yang luas dalam memahami berbagai aspek.
Dalam pengaplikasiannya, sering terjadi keterlibatan dengan konteks, literasi,
kultur, tekhnologi, genre dan identitas.
¯
Konteks, kita mengetahui makna
teks melalui perantaraan interaksi antara penulis dan pembaca, karena merekalah
yang melakukan negosiasi makna. Konteks merupakan cara untuk mengetahui makna
teks itu sendiri.
¯
Literasi,
menulis dan membaca
merupakan tindakan literasi. Bagaimana kita menggunakan bahasa dalam kehidupan
sehari-hari. Literasi membantu kita untuk mengetahui bagaimana orang merasakan
kehidupannya melalui praktek rutin dari membaca dan menulis.
¯ Kultur
secara umum dipahami
sebagai sejarah yang ditularkan dan sistem jaringan makna yang mengizinkan kita
untuk memaknai, mengembangkan, serta menyampaikan pengetahuan dan perasan kita
kepada dunia.
¯ Tekhnologi
untuk menjadi orang
yang literat, kita dituntut untuk menguasai tekhnologi. Dewasa ini, tulisan
lebih banyak tersaji dalam bentuk media elektronik seperti artikel, e-book, dan
lain-lain ketimbang media tulis. Inovasi tekhnologi hadir untuk menantang
penulis. Mereka juga membuka identitas baru, genre dan komunitas kepada
penulis.
¯ Genre,
dikenal juga dengan tipe
aksi percakapan yang berpartisipasi dalam peristiwa sosial. Genre merupakan
salah satu yang paling penting dari konsep pembelajaran bahasa.
¯Identity
merupakan cara orang
menampilkan atau menunjukkan siapa mereka sebenarnya. Implikasinya, menulis
sedang membangun jati diri seseorang.
Menurut kridalaksana (1984), Konteks diartikan sebagai ciri-ciri alam di
luar bahasa yang menumbuhkan makna pada ujaran atau wacana. Secara fungsional,
konteks mempengaruhi makna kalimat atau ujaran. Konteks ada yang bersifat
linguistik dan non-linguistik (ekstra linguistik). Konteks linguistik menjadi
wilayah kajian semantik, sedangkan konteks non-linguistik (ekstra linguistik)
menjadi wilayah kajian pragmatik.
Dalam artikel howard zinn, Konteks
yang digunakan dalam penceriteraan Christoper Columbus merupakan konteks yang
bersifat non-linguistik, karena yang dikaji adalah peran dan entitas yang ada
di dibalik teksnya. Zinn menyebutnya dengan konteks
antropologi, didalamnya melibatkan agama, politik, sosial, sejarah, dan
lain-lain. Munculnya artikel zinn ini di samping berdasarkan pemenuhan kepentingannya
sebagai sejarahwan untuk mendukung kaum yang kalah, juga melibatkan pemenuhan
ideologisnya sebagai kritikus dan aktifis politik. Pemenuhan ideologis tersebut
adalah bahwa zinn menginterpretasikan columbus hanya dari sudut pandang tindakan negatifnya saja, dan mengabaikan jejak heroiknya sebagai
pahlawan. Hal mengenai pembuatan sejarah sangatlah terkait dengan praktek
literasi, pasalnya, hanya orang yang berliterasilah yang dapat membuat sejarah.
Artinya zinn disini adalah orang yang paham akan situasi dan kondisi bahkan fakta-fakta yang ada dalam sejarah
negrinya. Dengan dorongannya sebagai sejarahwan dan kritikus, zinn mampu mengubah
kesadaran satu generasi melalui tulisannya.
Howard Zinn,
seorang sejarawan radikal amerika dari universitas boston, dan aktivis politik
yang sejak awal telah menjadi oposisi terhadap keterlibatan amerika di Vietnam,
meninggal karena penyakit jantung pada 2010 silam, di usia 87 tahun. Sebelum
meninggal, Ia mempersembahkan sebuah buku legendaris yang ia tulis; A People’s History of the United States.
Yang menarik dalam buku tersebut tentu saja keberanian zinn untuk
mengungkap sisi gelap sejarah benua baru. Sasaran tembaknya Tak
tanggung-tanggung; Christoper Columbus dan para sejarawan yang menulis versi
lunak dari kedatangan para kolonis. Di dalamnya termasuk sejarahwan Harvard, Samuel Elliot Morison. Dalam
artikelnya, yang berjudul “Speaking Truth to Power With Book”, zinn
menggambarkan Christoper Columbus sebagai orang yang keji; pemerkosa, penindas,
penyiksa, orang yang serakah mencari emas, bahkan ia telah melakukan aksi
genosida pada ribuan penduduk Indian di Amerika.
Tulisan-tulisan zinn telah banyak
merubah kesadaran satu generasi penduduk amerika, dan membantu membuka jalan
baru dalam memahami serta memberikan makna yang penting bagi kehidpuan,
demikian menurut Noam Chomsky. Dalam
kata-kata Zinn, setiap penekanan tertentu dalam penulisan sejarah akan
mendukung sebuah kepentingan. Bisa kepentingan politik, ekonomi, dan lain-lain.
Inilah kritik pedas Zinn pada
Samuel Elliot Morrison, sang sejarahwan Harvard yang menulis buku seminal
Christoper Columbus, Mariner. Benar,
Morison tak sedikitpun berbohong soal kekejaman Columbus. Ia bahkan menyebut
sang pelaut telah melakukan genosida pada suku Indian. Namun, fakta yang
tertera di satu halaman ini kemudian ia kubur dalam ratusan halaman lain yang
mengagungkan kebesaran sang pelaut. Keputusan untuk lebih menceritakan sebuah aksi
heroisme dan abai pada penekanan fakta pembantaian masal yang terjadi pada suku
Indian ini adalah murni pilihan ideologis.
Morison seakan mengatakan dengan
kalem bahwa benar telah terjadi pembantaian pada suku Indian, namun fakta kecil
itu tak sebanding dengan jasa dan kepahlawanan Columbus bagi kita. Sense inilah yang kemudian
direproduksi di kelas pengajaran sejarah, dan buku pegangan para siswa.
Ada yang menarik ketika kita juga
sebenarnya bisa melempar kritik yang serupa pada Zinn. Bahwa ia juga sedang
mengambil sebuah pilihan ideologis
dalam menulis sejarah, bahwa ia menekankan fakta-fakta yang ia suka dan
melewatkan yang lain. Zinn sebenarnya tak lebih dari petinju dari sudut ring
yang berbeda. Interpetasinya mudah saja, jika morison memandang sejarah
columbus dari pihak yang menang sehingga membuatnya selalu mengagung-agungkan
kebesaran columbus, maka zinn memandangnya dari pihak yang kalah, bahwa
Columbus itu sebenarnya bukanlah sang hero melainkan pembunuh.
Tidak sedikit sejarah yang menyebutkan
bahwa orang yang pertama kali menemukan benua amerika adalah Christoper Columbus pada 12 Oktober
1492, namun kini fakta kebohongan mengenai Columbus itu sudah terkuak, bahkan
di banyak media pun arus pemberitaan ihwal kebohongan Columbus ini sangat deras,
sehingga eksisitensi fakta sejarah ini pudar. Justru Columbus dicap, dilabeli
dan divonis sebagai pendusta, orang yang telah memaniulasi sejarah. Sementara
itu, pada referensi lain menyebutkan bahwa kaum Muslimin dari Spanyol dan
Afrika Barat tiba di Amerika sekurang-kurangnya lima abad sebelum Columbus. Abul-Hassan
Ali Ibnu Al-Hussain Al-Masudi merupakan seorang pakar sejarah dan geografi yang
hidup dari tahun 871-957 M. Dalam karyanya yang berjudul “Muruj adh-dhahab wa maad aljawhar” (Hamparan Emas dan Tambang
Permata), Abu Hassan menulis bahwa pada waktu pemerintahan Khalifah Abdullah
Ibn Muhammad (888-912), penjelajah Muslim, Khasykhasy
Ibn Sa’ied Ibn Aswad dari Cordova-Spanyol, telah berlayar dari Delba
(Palos) pada 889 M, menyeberang Samudra yang gelap dan berkabut dan mencapai
sebuah negeri yang asing (al-ardh majhul) dan kembali dengan harta yang
mentakjubkan. Pada peta Al-Masudi terbentang luas negeri yang disebutnya dengan
Al-Ardh MajhuL atau negeri yang asing. [Al-Masudi: Muruj Adh-Dhahab, Vol. 1, P. 1385]. Namun hal ini juga masih samar,
seiring dengan pemaknaan Ardhil Majhul ( tanah asing ) yang diyakini sebagai benua
amerika, hanya sekedar anggapan.
Pada
sudut pandang sejarah lain juga disebutkan bahwa laksamana Ceng Ho, seorang pelayar yang berkebangsaan china lah,
yang pertama kali menemukan benua amerika, fakta ini diperkuat dengan bukti
peta ( Artefak ) yang ditemukan oleh Liu
Gang, seorang kolektor peta china
yang menemukan kopian peta kuno Ceng Ho yang disinyalir sebagai penemu pertama
benua Amerika sebelum columbus. Demikian
ditegaskan oleh sejumlah pakar sejarah, salah satunya Gavin Menzies dalam
buku 'Who Discovered America?'
Menzies bahkan meyakini Columbus bisa menemukan benua Amerika
dengan salinan peta buatan Laksamana Cheng Ho. Peta berusia 600 tahun yang
dimaksud oleh Menzies itu sendiri ditemukan di sebuah toko buku loak.
Menzies menyebutkan, armada megah kapal China yang
dipimpin Cheng Ho berlayar di sekitar daratan Amerika Selatan, 100 tahun
sebelum Ferdinand Megellan. Dari
peta yang didapatkannya, Menzies kemudian berkonsultasi dengan tim sejarawan
yang menganalisa tulisan yang tertera di sana. Lalu, ia menyimpulkan, peta itu
aslinya dibuat pada masa Dinasti Ming, yang memerintah China pada tahun
1368-1644. Berikut ini peta yang dimaksud oleh Menzies dan dicantumkannya dalam
buku 'Who Discovered America?'.
Versi
sejarah berikutnya menuturkan bahwa, justru yang pertama kali menemukan Amerika
adalah suku Indian itu sendiri.
Mereka lah yang pertama kali bermukim di Amerika Utara, yang datang dari Asia
lebih dari 20.000 tahun lalu. Karena mengikuti hewan buruan, mereka mengembara
melewati Selat Bering (dulu tanah genting, kini pemisah Asia dan Amerika
Utara). Lambat laun mereka menetap dan berkembang menjadi berbagai suku. Pada
abad ke-16 orang Eropa tiba di Amerika utara untuk pertama kali. Karena mengira
tiba di India ( Asia ), mereka secara keliru menyebut penduduk asli itu adalah orang
“Indian”. Sementara Columbus sendiri mengatakan bahwa dia menemukan penduduk
amerika, bangsa Indian. Dengan statemennya tersebut, hal itu mengimplikasikan
bahwa telah ada orang yang mendahuluinya, sehingga tentu saja membatalkannya
essensinya sebagai penemu.
Pasalnya, yang dikategorikan
penemu itu sebenarnya siapa ?. orang yang pertama kali menemukan daerah itu
ataukah orang yang pertama kali menginformasikan daerah tersebut ?. Karena bisa
juga dikatakan “penemunya adalah Columbus atau cheng ho sedangkan orang yang
bermukim disitu adalah suku Indian, penduduk asli amerika.
Meskipun howard zinn sudah
berhasil menguak kebohongan colombus bahwa sebenarnya dia bukanlah hero, penemu
benua merika, tetapi perlu diingat juga bahwa dalam artikelnya, zinn tidak
menyebutkan sedikitun siapa sebenarnya penemu pertama kali benua Amerika itu
sendiri.
Mengenai siapa yang pertama kali
menemukan benua Amerika ini, saya sendiri merasakan kegalauan sejarah seiring
dengan beragam data yang satu sama lain saling memvonis bahwa mereka lah data
yang paling cocok dan pas dengan pemberitaan sejarah. Berbagai penafsiran
mengenai sejarah ini sangat beragam sekali, sehingga membuat saya pesimis untuk
menyimpulkan siapa sebenarnya penemu pertama kali benua Amerika itu. Namun jika
dilihat dari banyaknya data dan bukti, maka label Penemu tersebut paling cocok
jika disematkan pada laksamana Ceng Ho,
pelayar china.
REFERENSI
- Miko Lehtonen (2000). The cultural Analysis of Text 85-115.
- Ken Hyland (2009). Teaching and Researching wreating, second edition 44-74.
- http://news.liputan6.com/read/715137/ini-bukti-laksamana-cheng-ho-penemu-amerika-bukan-columbus Diunduh pada 5 Maret 2014
- http://realunik.blogspot.com/2014/02/ini-bukti-bahwa-laksamana-cheng-ho.html Diunduh pada 5 Maret 2014
- http://gdepublications.wordpress.com/category/others/ Diunduh pada 6 Maret 2014
- http://dinasulaeman.wordpress.com/2009/10/13/perang-dan-hadiah-nobel-howard-zinn/ Diunduh pada 6 Maret 2014
- http://kuliahgratis.net/teori-dan-pengertian-konteks/ Diunduh pada 7 Maret 2014
0 comments:
Post a Comment