Kebenaran sejarah
haruslah terungkap sejelas-jelasnya tanpa adanya penyembunyian fakta sedikitpun
di dalamnya, sehingga data sejarah tersebut tidak mengimplikasikan sejarah yang
keliru, memihak, bahkan hanya merealisasikan kepentingan bagi si penulis sejarah.
Artinya, data sejarah haruslah benar-benar murni peritiwa sejarah yang selaras
dengan realitanya. Dengan melakukan telaah dan kajian ulang mengenai sejarah,
serta dilandasi dengan berbagai bukti fisik yang jelas dan valid, seperti
artefak sejarah dan dokumentasi yang lainnya, hal itu akan memungkinkan
terealisasinya data sejarah yang valid meskipun realitanya setiap penulisan
sejarah selalu tersisipkan motif ideologi si penulis sejarah.
Sejarah selalu
berkaitan dengan kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk sejarah selalu
melibatkan seluruh pengalamannya (segala aktifitas), ia berpartisipasi penuh
dalam menjalankan proses kehidupannya dari waktu ke waktu, yakni masa lalu,
sekarang, dan yang akan datang. Sejarah bisa dibagi kedalam dua siklus, siklus
individual dan siklus sosial. Secara individu, sejarah merupakan media untuk melakukan
instrospeksi diri, semantara secara sosial sejarah merupakan media untuk
melakukan reformasi. Itu lah mengapa manusia disebut sebagai makhluk sejarah,
ia bersifat dinamis, berubah dan selalu melakukan evolusi dari waktu ke waktu.
Teks pun seperti itu, dari waktu ke waktu ia akan terus dipoles dan dikonsep
ulang oleh si pembacanya, paling tidak melakukan sedikit pembaharuan atau
revitalisasi demi mempertahankan relevansi maknanya. Seperti halnya al-qur’an,
meskipun masa turunnya sudah habis sejak 15 abad yang lalu, namun eksistensi
maknanya tetap relevan hingga sekarang. Semua itu berkat kerja keras pembaca ( ahli
tafsir, ta’wil, mujtahid, dan lain-lain ) yang selalu berpartisipasi secara mutawatir
hingga sekarang, sehingga mereka mampu menjaga elastisitas atau kelenturtan
makna alqur’an tersebut. Implikasinya, Teks akan mati jika tidak ada pembaca. Teks
itu seperti alat, atau robot, ia akan berguna jika ada yang menjalankan atau
menggerakannyanya. Dalam hal ini, eksistensi reader merupakan suatu kewajiban
agar tidak terjadi kemandegan makna dalam teks. Itulah yang terjadi pada bibel
atau injil kaum nashroni, substansi maknanya banyak yang menyimpang dari
essensi ajaran tuhannya, yang disebabkan oleh ketidak-mutawatiran atau ketidak-konstanan
sang rahib ( biarawan ) dalam menyampaikan teks suci tuhannya, sehingga mereka
tidak dapat menjaga keotentikan kitabnya. Al-hasil, mereka akhirnya memanipulasi
firman tuhannya.
Writing
is a matter of lightening ourselves, bahwa menulis merupakan tindakan yang
dapat mencerahkan diri kita. Kita tidak akan bisa membawa perubahan terhadap
orang lain, jika diri kita sendiri belum mampu tercerahkan. Seseorang tidak
akan bisa menulis sebelum ia meniru terlebih dahulu ( emulate ), karena meniru merupakan bagian terpenting dari
menemukan, lalu menciptakan. So, Emulating
=> Discovering => Creating.
Penulisan
sejarah selalu berkaitan dengan pemenuhan ideologi (sense of belief). Pemahaman
mengenai sejarah dan literasi merupakan pemahaman
tentang value atau nilai dari peristiwa sejarah tersebut. Jadi pada setiap teks ( penulisan
apa saja ) syogyanya akan selalu terinterpolasi motif ideologi.
Tulisan sangat berpengaruh sekali terhadap cara berfikir dan cara
bertindak seseorang. Pemahaman dan pemaknaan mengenai teks sangatlah beraneka
ragam dengan berbagai style dan background pengetahuan yang dimiliki oleh
masing-masing pembaca. Dengan memahami teks, Seseorang bisa menjadi
radikal-fundamental (konservatif-konvensional), dan bisa juga menjadi liberal-plural.
Hal itu tergantung pada daya kritis dan
pemikiran bijak yang munculkan oleh si pembaca. Karena bagaimana pun juga si
pembaca akan merepresentasikan kembali hasil bacaannya melalui tulisan yang
dikonsep ulang hingga dapat mengcover kepentingannya.
Seperti interpretasi KH Husein Muhammad ( kiai NU Moderat dari
arjawinangun-Cirebon ) mengenai eksistensi Gusdur (alm), dalam bukunya yang
berjudul “Sang Zahid, Mengarungi Sufisme
Gusdur”. Di dalam buku tersebut, Buya husein selalu menyebut-nyebut,
mengeluh-eluhkan kehebatan Alm. Gusdur, dan mengagung-agungkan tokoh yang
disebut sebagai bapak pluralis tersebut, bahkan saat sang zahid meninggal, ia
bersedih dan terus merindukan kembali kehadirannya. Sekelumkit gambaran tersebut merupakan contoh mengapa dalam tulisan atau
teks selalu melibatkan pemenuhan ideologi penulis atau pembacanya, karena di
dalamnya selalu melibatkan kepentingannya, baik kepentingan sosial, politik,
ekonomi, agama dan lain-lain.
Bahasa merupakan media yang digunakan untuk menyampaikan
sejarah. Dalam penyampaiannya tersebut, sejarah tidak selalu merealisasikan keselarasan dengan
realitanya, hal itu disebabkan oleh hadirnya subjektifitas atau pemenuhan
ideologis sang penulis sejarah. Ideologi
merupakan pandangan tentang individu atau kelompok. Fowler (1996: 12)
mengatakan bahwa “Ideology is of course both a medium and an instrument of
historical processes. Jadi ideologi itu merupakan media dan juga intrumen dari proses sejarah itu.
Media disini realisasikan sebagai perantara, sementara instrumen direalisasikan sebagai sikap kita dalam menulis.
Jika dikaitkan
dengan apa yang dilakukan oleh Howard
Zinn ( sejarawan Boston )
dan Morison ( sejarawan Harvard ) mengenai
penceriteraan Christoper Columbus sebagai penemu benua amerika, mereka menulis sejarah mengenai hal tersebut tak lain karena berdasarkan pemenuhan
ideologisnya, motif dalam diri, desakan-desakan, memenuhi
permintaan seseorang atau sebagian mereka, sehingga meskipun benar akan tetapi tidak terlalu objektif.
Artinya, Sebagai sejarahwan yang memenuhi kepentingannya, mereka
hanya menekankan fakta-fakta yang mereka suka dan melewatkan yang lainnya. Morison memandang sejarah columbus dari pihak yang menang
sehingga membuatnya selalu mengagung-agungkan kebesaran columbus, sementara zinn memandangnya dari
pihak yang kalah, bahwa Columbus itu sebenarnya bukanlah sang hero melainkan
pembunuh. Jadi, hal itu merupakan
letak atau sisi pemilihan ideologis mereka dalam merepresentasikan ihwal
penceritaan columbus. Imbasnya, membaca merupakan suatu motivasi untuk
membangun ideologi.
Menurut Fowler (1996), Ideologi itu selalu hadir dalam setiap teks,
baik dalam ranah lisan, tulisan, audio, visual atau kombinasi dari mereka. Lehtonen
(2000), dan Fairclough (1989; 1992; 1995; 2000) menuturkan bahwa produksi teks
itu tidak pernah netral. Terlebih Prof Chaedar Al-wasilah, ia juga menuturkan
bahwa literasi itu tidak pernah netral, ia selalu memiliki cita rasa yang
berbeda.
Selain itu,
dituturkan pula bahwa “Writing in college
often takes the form of persuasion—convincing others that you have an
interesting, logical point of view on the subject you are studying”, jadi
impliaksinya bahwa menulis dalam Kampus
merupakan bentuk persuasif ( ajakan ) yang meyakinkan orang lain bahwa kita
punya minat terhadap apa yang sedang kita pelajari. Persuasi adalah skill yang
kita praktekkan secara regular dalam aktifitas kehidupan kita. Such as, in college, course assignments often ask us to make a persuasive case in writing.
Itulah eksistensi sejarah. Terkadang ia
dipahami secara subjektif, berat sebelah, memihak, dan hanya memenuhi
kepentingan ideologinya atau kaumnya. Ini dapat dilihat dalam tulisan howard
zinn atau juga tulisan morison mengenai penceriteraan columbus. Mereka satu
sama lain bertarung dalam pemenuhan ideologis atau kepentingannya, saling
beraksi dalam ruang yang kontradiktif, yakni jika zinn hanya menyorot kebejatan
columbus, maka morison mnyohor aksi heroiknya.
Eksistensi sejarah yang subjektif tentunya akan
mempengaruhi pemikiran atau cara berfikir seseorang ( pembaca ) mengenai
sejarah tersebut, seperti dari hal yang digambarkan secara elastis kemudian berubah
menjadi sinis, atau hal yang digambarkan secara sinis dan kemudian berubah
menjadi elastis.
0 comments:
Post a Comment