Untuk mendapatkan
cita rasa yang lezat dari sebuah makanan, diperlukan bahan serta bumbu yang
jika dikombinasikan akan menghasilkan masakan yang enak. Tidak lupa, cara
mengolahnya pun sangat berpengaruh.
Pembahasan kelas
seminggu lalu, memberikan bahan-bahan discourse yang terdiri dari text,
context, dan artikel Howard Zinn. Untuk mengolahnya menjadi sebuah disk yang
enak di lidah, itu cukup sulit. Sehingga Master Chef Lala Bumela M.Pd dalam hal
ini memberikan rujukan resep dari Lehtonen (2000) dan Hyland (2009) yang
membahas tentang discourse.
Text dan context
yang ada di dalam discourse, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Mereka
seperti sebuah resep atau perlengkapan perang untuk mencapai meaning (tujuan
pembaca dan penulis). Text terbagi dalam dua bentuk, yaitu physical beings
(fisik) dan semiotic beings (simbol). Keduanya menjadi satu paket karena text
hanya akan menjadi simbol jika dia mempunyai bentuk fisiknya. Dengan kata lain,
text juga berfungsi sebagai alat komunikasi atau sesuatu yang diproduksi
manusia. Sehingga, text dapat di tulis di berbagai benda, mulai dari kayu,
batu, besi, dan lainnya (Lehtonen, 2000:72).
Berdasarkan
pengertian text sebagai bentuk fisik dan simbol, dia dapat dijadikan sebgai
catatan dan sejarah dari penulis, atau sesuatu yang ingin penulis bagikan.
Dalam kasus kontroversial penemu Benua Amerika, salah satu situs di Internet
menunjukan bukti berupa artefak (abad ke-7). Artefak tersebut berupa batu yang
terukukir aksara Sequoyah yang mirip dengan Bahasa Arab (bertuliskan Muhammad).
Hal tersebut memberikan meaning, bahwa sebelum Colombus datang (1492) pemeluk
agama Islam sudah lebih dahulu datang kesana(Source:
Indocropcircles.wordpress.com). aksara
tersebut sebagai bentuk fisik dari teks, dan ia juga menjadi simbol dari bahasa
Arab dan salah satu suku di Amerika.
Teks sebagai
bentuk simbol yang jika disatukan sesama jenis mereka, akan membentuk simbol
lain. Lehtonen(2000:73) membaginya ke dalam 3 karakteristik, yaitu Matearility
(physical), formal relationship between the sign contained in the text, dan
meaningfulness (semantic meaning).
Text bersifat
matearility karena mereka memiliki materi yang selalu dapat di tulis, atau di
diproduksi selama kita berbicara. Dengan kata lain, ia dihasilkan oleh tangan
dan suara manusia yang berbentuk ujaran. Teks juga bersifat formal relationship
yang terdiri atas simbol-simbol (unit/huruf), yang diletakkan secara tersusun
dan bertahap. Mereka terorganisir dengan baik, sehingga dapat membentuk
tingakatan yang berbeda, antara lain letter, words, sentences, dan keseluruhan
dari teks tersebut. Disisi lain, teks bersifat meaningfulness karena ia
mengarah pada makna yang mereka miliki. Sehingga, mereka dapat berupa fenomena,
budaya, atau non-textual tergantung pada penulis yang merangkainya
(Lehtonen2000:73).
Teks disebut juga
sebagai objek yang dapat di analisis dan di artikan secara bebas berdasarkan
pada context, writer, dan reader. Dia memiliki struktur yang tersusun atas
kata, klausa, dan kalimat yang terikat oleh grammatical. Berdasarkan teks
sebagai objek, yang kemudian mempelajari komposisinya sebagai bahasa. Penulis
menggunakannya sebagai bentuk dari penunjukkan kesadaran terhadap sistem atau
peraturan untuk menciptakan teks (Hyland, 2009:8-9). Dengan kata lain, melalui
teks penulis dapat meluapkan dan membagikan apa yang ia tahu. Sehingga teks
tersebut menjadi objek dari bahasa si penulis.
Disisi lain, teks
tentu berperan dalam discourse karena ia merupakan cara yang digunakan bahasa
untuk berkomunikasi, dan mendapatkan tujuan (meaning) dalam situasi (konteks)
tertentu. Dalam hal ini, discourse mengarah pada language in action dan pada
tujuan serta fungsi linguistik yang disajikan
dalam bentuk komunikasi. Disini penulis haur mempunyai tujuan yang
pasti, hubungan yang baik dengan pembacanya, serta informasi yang akurat untuk
menyampaikannya, dengan menggunakan referensi untuk memproduksi tulisannya.
Faktor-faktor tersebut membuat analisis tentang teks ke dalam persfektif yang
lebih luas. sehingga teks ditempatkan pada tujuan dunia komunikasi dan social
action yang mengidentifikasi cara teks dalam bekerja sebagai ‘alat komunikasi’ (Hyland,
2009:12). Dapat dikatakan, bahwa teks merupakan alat komunikasi yang digunakan
oelh penulis untuk membagikan informasi yang ada disekitarnya. Informasi
tersebut ditunjang dengan referensi pendukung agar pembaca tidak ‘sangsi’.
Benar saja jika hal tersebut mmbuat dunia teks merambah kepada persfektif yang
semakin luas. Bagaimana tidak? Teks yang
biasanya kita anggap hanya sebatas ‘bacaan’, ternyata mampu menjadi alat
komunikasi yang sangat diperhitungkan.
Dalam kasus Hward
Zinn (on article Speaking Truth To Power With Books), terlihat jelas ia memposisikan
teks sebagai sesuatu yang sangat diistimewakan. Kenapa? Hal itu terbukti dari
bebrapa ungkapannya, seperti "…books can change consciousness."
Selain itu, secara eksplisit iamenganggap bahwa buku dapat merubah dunia
seseorang melalui pola fikirnya. Melalui teks (buku), orang –orang akan
menemukan fakta baru bagi apa yang telah mereka ketahui sebelumnya. Hal ini
membuktikan prinsip dari Hyland (2009:12) tentang teks sebagai alat komunikasi
dalam menyampaikan pandangan si penulis yang di dukung dengan bukti guna
meyakinkan si pembaca. Selain itu, tujuan dan informasi yang dia berikan
tersirat jelas. Sehingga, ia dapat menjalin hubungan baik dengan pembacanya.
Walaupun tidak semua pembaca menyetujuinya. Namun, respon pembaca itulah yang
menjadikan artikel Zinn mengacu pada teks menurut Hyland. Hal ini karena
kebebasan berfikir dan menganalisis teks menjadikan buku Zinn mengubah
kesadaran para pembacanya.
Komponen lain
dalam discourse adalah context. Setiap teks pasti memiliki konteks yang berada
disekelilingnya dan mampu menembusnya, baik secara waktu maupun tempat (mereka
selalu menjadi satu kesatuan). Sehingga, sangat mustahil bila penelitian
tentang meaning dari teks terlepas dari konteks. Apa lagi sejak teks di
tetapkan sebagai semiotic beings, dia tidak akan ada tanpa reader, intertext,
situation, dan fungsi yang setiap waktunya mereka saling terhubung. Context
juga disebut sebagai pemisah ‘backgrounds’ dari teks (di luar teks) yang
membantu menambahkan informasi untuk mencapai meaning. Oleh karenya, pembaca
harus memiliki pengetahuan (contextual knowledge) untuk memunculkannya. Konteks
memiliki beberapa faktor yang penulis dan pembaca masukkan ke dalam proses informasi
menuju meaning (Lehtonen, 2000:110 dan 114). Dengan kata lain, konteks terpisah
ari teks dan bersifat sebagai penunjang informasi. Namun, keberadaannya
sangatlah penting dan sulit. Kenapa? Konteks dapat disebut sebagai solusi yang
diciptakan writer dan reader untuk mencapai meaning. Menciptakannya diperlukan
pemahaman dan pengetahuan yang cukup memadai, agar apa yang ditulis mampu
menyampaikan informasi yang dikehendaki.
Versi lain tentang
konteks menyebutkan, bahwa konteks merupakan rangkaian di sekeliling bahasa
yang digunakan, sehingga ia bersifat konstitusi sosial. Bahkan, pendekatan
linguistik melihat konteks dari pengeetian yang berbeda. Dia berasal dari teks
dan jika dilihat dari situasi sosial, secara sistematis dikodekan (bagian)
dalam discourse. Pendapat tersebut juga meyakini pendapat Halliday (1985)
tentang context of culture, yaitu field, tenor, dan mode (Hyland, 2009:45-46).
Menurutnya tidak seperti konteks situasi, pengaruh konteks budaya pada
penggunaan bahasa lebih tersebar secara langsung dalam perjalanan ke arah level
yang lebih abstrak (Hyland, 2009:47). Sehingga, konteks bukan saja ada di
sekeliling teks, tapi di sekeliling bahasa juga. Hal ini karena di dalam teks
juga tedapat bahasa, mereka juga sama-sama berperan sebagai alat komunikasi.
Sedangkan konteks
yang digunakan oleh Haward Zinn dalam artikelnya, sangat kental dengan berbagai situasi dan kondisi, yang ia rasakan dan
tuangkan ke dalam bukunya. Hal tersebut seoerti konteks sosial, individual,
agama, dan politik. Dalam hal ini, ia mengacu pada konteks yang dimaksudkan
oleh Lehtonen (2000). Kenapa? Zinn banyak memasukkan faktor-faktor yang
menjadikan proses informasi menuju meaning semakin kaya dan bahkan mampu
menimbulkan pro-kontra. Artinya, ia telah berhasil membangunkan kesadaran pembaca
dengan respon pemberontakan dari pembaca. Itu merupakan bantuan atau informasi
tambahan yang dihasilkan konteks (situasi) yang penulis dan pembaca masukkan
dalam teks tersebut. Memang dalam mengungkapkan konteks, Lehtonen dan Hyland
merujuk pada ‘situasi’ di luar teks. Namun, tetap ada perbedaan di antara
keduanya.
Dapat disimpulkan,
bahwa Lehtonen mendeskripsikan discourse lebih mengacu pada Semantic (arti
kata) meaning, sedangkan Hyland lebih kepada Linguitic (bahasa). Keduanya
memang mengarah pada satu tujuan tentang teks (human produce) dan konteks
(situation arround of text). Pada dasarnya teks dan konteks merupakan satu
kesatuan yang tak terpeisahkan. Kenapa? Dalam teks selalu terdapat konteks yang
dalam pembuatannya (teks) penulis sudah menuangkan konteks di dalamnya,
kemudian di tambah lagi ketika reader membacanya. Mereka sangat menentukan
meaning melalui proses informasi yang mereka miliki.
0 comments:
Post a Comment