Pada pertemuan kempat ini, membicarakan mengenai ‘clasroom
discourse to foster religious harmony’. Sebelum
membahas itu, akan diceritakan atau berangkat dari warming up dulu
perihal proses pembuatan critical review. Proses perubahan yang besar dikatakan
akan dimulai setelah membuat critical review, apa sajakah perubahan tersebut ? Dilihat
berdasarkan tingkat kegiatannya, yang pastinya akan sering bangun sampai larut
malam untuk mendapatkan 2500 kata, banyak bergelut dengan internet atau buku
untuk mencari informasi, dan sebagainya. Apalagi sudah melewati bulan pertama
perkuliahan sebagai pertanda bahwa tantangannya akan semakin meningkat dengan
menumpuknya tugas-tugas dari dosen lainnya.
Disamping perubahan diatas, perubahan yang sesungguhnya
yaitu become smarter than before. Bisa dibilang itu hanya sekedar efek samping
karena yang terpenting disini adalah prosesnya. Didalam proses inilah tantangan
terbesar muncul seperti suatu masalah yang harus diatasi. Kemampuan dalam
menyelesaikan tugas tersebut dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan
dalam menghadapi tantangan tetapi tidak sepenuhnya.
Melihat hasil dari critical review kemarin, ternyata
masih banyak terdapat kekeliruan. Menurut Mr. Lala kesalahan tersebut terjadi
karena kita memasuki gerbang yang salah pada saat menulis. Diantara beberapa
kesalahan yang terjadi seperti penguraian materi atau pokok pembahasan yang tidak mendetail karena tidak mencantumkan
definisi diawal pembahasan. Selain itu, penguraian materi pembahasan yang tidak
sesuai aturan. Dalam kata lain, relasi pembahasan yang saling terputus sehingga
tulisan nampak membingungkan.
Memulai pembahasan mengenai clasroom discourse to foster
religious harmony yang ditulis oleh prof. Chaedar alwasilah intinya terletak
pada clasroom discourse yang dikaitkan dengan religious harmony. Menurut Betsy Rymes (2008:12) dalam
mengartikan discourse adalah sebagai ‘language-in-use’. Sangat sederhana
namun cukup sulit untuk dapat mengartikannya. Menurutnya classroom discourse,
yaitu "as aninvestigation into how discourse (language-in-use) and
context affect each other, our framework comprises three ever-present
dimensions of Language-in-Use.
Definisi clasroom atau kelas bisa dirtikan
kedalam dua perspektif yaitu dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti
sempit, kelas adalah ruangan yang dibatasi oleh empat dinding, dimana sejumlah
siswa mengikuti kegiatan pembelajaran. Sedangkan dalam arti luas, kelas adalah
suatu masyarakat kecil yang merupakan bagian dari masyarakat sekolah sebagai
satu kesatuan yang menjadi unit kerja yang dinamis dan menyelenggarakan
kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Ada beberapa hal yang membuat kelas menjadi rumit.
Background atau latar belakang siswa membentuk
kepribadian yang berbeda dan dapat mempengaruhi terjadinya perbedaan strategi
dalam komunikasi. Dengan kata lain, setiap siswa mempunyai pandangan yang tidak
selalu sama dengan siswa yang lainnya. Pola interaksinya pun akan berbeda–beda.
Ada yang memiliki kemampuan interaksi yang baik didalam kelas, ada juga yang
lebih condong ketika berada di luar kelas, ada juga yang kedua-duanya atau
bahkan tidak sama sekali. Interaksi yang dilakukan tersebut tidak selamanya
mengimplementasikan keharmonisan.
Menurut
Betsy Rymes (2008:7), "By targeting specific differences in discourse
patterns, this research into cross-cultural communication in classroom contexts
has been able to enhance teachers and students’ mutual
understanding—reconceptualizing deficits as differences, and differences as resources
for learning.". Didalam kelas dikelilingi oleh ideologi dan nilai-nilai
yang dibawa oleh setiap individu. Maka tidak heran jika didalamnya terdapat
perbedaan. Tension atau tegangan dalam kelas ditimbulkan karena adanya
perbedaan tersebut. Namun, perbedaan tersebut harus tetap dihargai sebagai
wujud dari local differences untuk menciptakan mutual understanding.
Salah satu alasan adanya praktik clasroom discourse
analysis adalah untuk memahami penyebab yang tidak dapat diduga saat terjadinya
interaksi di kelas. Caranya bisa dilakukan dengan merekam, mengamati, menulis
penjelasan dan menganalisis contoh interaksi di kelas. Guru mulai melihat
langkah dalam berbicara dan merespon yang tepat sebagai bagian dari aktivitas sosialisasi
pada anak-anak dengan bahasa baik dirumah maupun lingkungan lain.
Menurut
Betsy Rymes (2008:7), "teachers began to see these ways of talking and
responding to classroom prompts as part of the way these children had been
socialized to use language at home and in their non-school communities. As a
result, teachers were then able to use their knowledge of these different
language practices as a resource to build mutual, collaborative understandings
of the ways stories can be told, questions can be responded to, and problems
can be solved." Guru mempunyai peran penting sebagai pemersatu pergerakan yang ada dikelas
harus menciptakan interaksi yang efektif. Seperti memperhatikan faktor-faktor
yang mempengaruhinya baik dengan memberikan motivasi, penggunaan model pembelajaran maupun mengenal
perbedaan berbagai individu.
Dalam membangun permulaan pada Classroom Discourse Analysis, ada tiga perbandingan atau dimensi dalam penggunaan
bahasa yaitu :
1) Social context – faktor sosial yang
ada diluar dengan serta merta mempengaruhi fungsi kata-kata dalam interaksi (
contoh, bagaimana pengaruh konteks sosial ketika para siswa menggunakan kata ‘dude’
? apa efek yang ditimbulkan ?)
2) Interactional context – percontohan atau pola percakapan pada interaksi yang
mempengaruhi apa yang bisa dikatakan atau tidak dan bagaimana menerjemahkannya
dalam wacana kelas. ( contoh, dalam interaksi apa menggunakan kata ‘dude’ ?
sebuah salam ? sebuah pujian ?)
3) Individual agency – mempengruhi individu agar dapat menggunakan kata-kata
untuk diinterpretasikan dalam interaksi. ( contoh, kapan dan mengapa seseorang
menggunakan kata ‘dude’ dan untuk apa tujuannya ? berapa banyak individu yang
mengendalikan pengaruh itu ? (2008:31-32).
Clasroom menjadi situs yang paling suci karena ada ritual
yang panjang sebelum memasukinya. Seperti halnya guru yang akan memasuki kelas
akan berpikir mau mengajar apa dikelas ? bagaimana caranya ? dan beberapa hal
lainnya termasuk juga ketika awal masuk pada pengurusan amdinistrasi yang
begitu panjang. Itu semua tidak hanya terjadi pada guru, tapi sama halnya juga
pada siswa.
Dari penjelasan diatas, dapat diambil keismpulan bahwa
untuk melakukan suatu wacana kelas yang baik dibangun melalui interaksi atau
percakapan antara guru dan siswa maupun siswa dengan siswa. Dari percakapan
itu, akan timbul rasa keharmonisan dalam menjalin hubungan termasuk
keharmonisan beragama. Jika sudah tercipta saling berinteraksi dengan baik,
maka dengan sendirinya akan muncul rasa saling memahami satu sama lain ( mutual
understanding ). Sehingga terciptalah sikap toleransi pada setiap perbedaan
yang ada.
0 comments:
Post a Comment