24 Februari 2014
Sebuah hentaka telah terjadi pada pertemuan kali ini,
karena sebuah Critical Review pertama telah disajikan oleh kami dengan citarasa
yang beragam. 2500 kata merupakan point
penting atau syarat utama yang harus dikerjakan guna tersajinya sebuah hidangan
Critical Review 1. Kami mempunai waktu
satu minggu kurang untuk menyelesaikannya, karena Mr. Lala Bumela
menginstuksikan agar kami mempostingkan hasil tulisan kami kedalam blog kelas
agar beliau dapat mengkoreksi dahulu hasil tulisan kami sebelum permatakuliahan
berlangsung.
Pembahasan dari Critical Review 1 kami yaitu membahas
tentang Classroom Discourse dan Religious Harmoni, dari wacana “Classroom
Discourse to Foster Religious Harmony” yang ditulis oleh Prof. Chaedar
Alwasilah. Hasil Critical Review 1 saya
mendapat tanggapan dari Mr.Lala, yang menurutnya saya belum jelas menguraikan
esensi dari Classroom Discourse dan Religious Harmony. Sebaiknya kita harus mengetahui dahulu
Classroom Discourse (wacana kelas), sebelum mengembangkan pemahaman Religious
Harmony.
Classroom
Discourse atau wacana kelas. Dalam
kridalaksana (2011) dipaparkan bahwa wacana merupakan satuan bahasa
terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi
atau terbesar. Sementara menurut Louis
Marianne (2002) , Wacana merupakan proses bagaimana seseorang berbicara dan
mengerti apa yang dibicarakan dan didengarnya yang mencakup semua aspek kata
yang di ucapkan. Pengertian wacana
termasuk ke dalam tindak tutur yang menurut Abdul chaer
(2004) merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan
keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan berbahasa si penutur dalam situasi
tertentu. Jadi, secara garis besar
wacana merupakan proses dimana seseorang menyampaikan ujaran untuk dapat
dimengerti oleh orang lain yang tidak terlepas dari sistem dan kaidah bahasa
yang berlaku. Untuk mengkaji dan
memahami wacana maka digunakan analisis wacana atau discourse analis.
Selanjutnya
yaitu kelas.
Kelas bisa diartikan ke dalam dua
perspektif, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit kelas adalah ruangan yang
dibatasi oleh empat dinding ( persegi ), tempat dimana sejumlah siswa berkumpul
untuk mengikuti proses pembelajaran. Sementara dalam arti luas, kelas adalah suatu
masyarakat kecil yang merupakan bagian dari masyarakat sekolah, sebagai satu
kesatuan disorganisasi yang menjadi unit kerja yang dinamis, menyelenggarakan
kegiatan belajar mengajar yang kreatif untuk mencapai suatu tujuan yang
diharapkan.
Istilah
Classroom discourse selalu mengacu kepada penelitian atau analisis. Classroom
discourse atau wacana kelas umumnya merujuk pada bahasa yang guru dan siswa
gunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain di dalam kelas.
Berbicara, atau percakapan ( conversation ) merupakan suatu media di mana
sebagian besar pengajaran berlangsung.
Guru
sebagai penentu pergerakan kelas harus menciptakan interaksi yang efektif
apabila memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi seperti penjabaran
tujuan, motivasi kepada siswa, penggunaan model pembelajaran, dan mengenal
perbedaan individu.
Hal
tersebut dengan cepat menjadi jelas dari studi awal bahwa interaksi verbal
antara guru dan siswa memiliki struktur dasar yang sama di semua kelas, dan di
semua tingkatan kelas, di negara-negara berbahasa Inggris . Pada dasarnya, guru
mengajukan pertanyaan, kemudian satu atau dua siswa menjawab. Setelah itu guru
mengomentari jawaban siswa ( kadang-kadang meringkas apa yang telah dikatakan )
dan kemudian mengajukan pertanyaan lebih lanjut. Pola siklik ini berulang
dengan variasi yang menarik, sepanjang perjalanan pembelajaran.
Classroom
Discourse sangat berkaitan dengan Religion Harmony. Misalnya saja dalam satu kelas, pastinya banyak
perbedaan-perbedaan yang ada secara lahiriah seperti latar belakang mereka yang
berbeda, dalam satu kelas mereka asalnya tidak satu budaya bahkan ada yang
berbeda agama. Kemudian perbedaan
komunikasi, pada dasarnya bahasa Indonesia sebagai penghubung tetapi ada yang
membawa jati dirinya masing-masing sehingga terjadi perbedaan komunikasi. Perbedaan ketiga yaitu goal-given, tujuan dari
mengajar itu pada intinya terfokus pada aspek kognitif, afektif, dan
psikomotor. Perbedaan di kelas yang
terakhir ialah meaning making practices.
Siswa belajar bagaimana menginterpretasikan dan mengartikan prakteknya
itu agar didalam kelas terjadi kerukunan lintas agama yang dibangun sejak
kecil. Pak Chaedar saja mengungkapkan
kalau orang kuliah saja tidak rukun bagaimana dengan yang tidak kuliah. Nah, dengan adanya classroom discourse ini
bisa meminimalisir konflik antar umat beragama yang mana fokus pembelajaran di
kelas itu pada tension atau tensinya.
Dari
pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa, dengan adanya pembelajaran di
dalam kelas, kita dapat memahami situasi penyimpangan pemahaman yang dapat
menimbulkan konflik. Sebagai seorang
mahasiswa yang berpendidikan dan berwawasan luas, seharusnya kita dapat
memanfaatkan Classroom Discourse ini agar dapat meminimalisir konflik, terutama
konflik antar umat beragama.
0 comments:
Post a Comment