6th Class Review
Ilmu padi dan Literasi
Semakin mendalam dia mengetahui suatu ilmu, semakin ia mengetahui betapa
banyaknya sesuatu yang belum ia ketahui. Ilmu padi bukan hanya isapan jempol belaka, dari pertama
saya tahu istilah itu saya hanya menganggap bahwa itu hanya sekedar analogi,
saya setuju dengan itu karena memang orang yang baik dan berilmu itu tau etika
dan akhlak yang membuatnya semakin tawadhu (rendah hati) dan tidak conggah.
Dari kata nasihat yang ditampilkan dosen di kelas writing4 bisa ditarik
satu sisi terang tentang seseorang yang mengetahui sebuah teori, dikatakan di
situ. Kebanyakan orang menganggap dirinya adalah orang yang berpengetahuan
karena ia telah paham akan sebuah teori namun itu adalah kesalahan yang
seringkali tidak disadari, ia tidak tahu bahwa ada teori-teori lain yang belum
ia ketahui, sejauh yang saya ketahui ini seringkali terjadi kepada ia yang
terlalu cepat mengambil kesimpulan, ia anggap setelah dia ‘tahu’ maka di
situlah pengetahuan ada namun pada hakikatnya itu baru permulaan yang menuntut
banyak teori lain yang mesti ia pahami. Hendaknya kesalahan itu tidak terjadi
pada kita selaku orang yang sedang menelusuri jalan ilmu, kita harus sadar dan
paham bahwa masih ada langit di atas langit.
Kejadian selanjutnya berdasar kepada cara seseorang bergerak dalam
menyikapi sesuatu yang telah ia pahami, dari pengetahuannya yang ia dapat
seseorang itu akan melangkah dan berperan sebagai seorang peniru (emulate) yang
mana ia akan bersikap sebagai orang yang berpengetahuan dan tidak buta, dengan
langkah awal emulate tersebut. Dari sikap meniru seseorang itu akan melanjutkan
langkahnya dengan menginjak ke tahap kedua yaitu ‘menemukan’ (discover), di
tahap penemuan seseorang yang awalnya berperan sebagai emulator itu akan
menyandang gelar sebagai discoverer (penemu) di situ ia akan menemukan suatu
data baru sebagai tindak kritis emulator, kemudian setelah melewati tahap
emulator dan discoverer maka ia akan naik pangkat sebagai seorang creator dalam
konteks ilmu baru. Setelah itu maka seseorang itu bisa dikatakan sebagai orang
yang telah tercerahkan (Literat).
‘Writing is a metter of enlighting
ourselves’ keterkaitan istilah ini dengan uraian di atas adalah ketika kita
sedang berada pada tahap emulator dan discoverer menuju creator, pada waktu itu kita melangsungkan proses menulis sebagai
proses pencerahan. Pencerahan dalam konteks ini adalah ia yang memiliki banyak
pengetahuan dan tidak kudet (kurang update), sejauh mana kita menemukan data
dan menulis maka sedalam itulah kita telah mencoba mencerahkan diri.
Proses pencerahan seorang literat
akan bertemu dengan yang namanya menereoka yang berarti exploring yang
mana meneroka ini mencari suatu ceruk-ceruk baru dalam menulis yang mana dalam
Bahasa Inggris seorang penulis tidak cukup hanya memahami segi grammar dan
pronunciation akan tetapi seluruh aspek yang ada harus dikuasainya.
Kegiatan literasi adalah meditasi yang
pada hakikatnya lebih dari pada itu, ketika melihat pada dalil Alquran Surat
Al-Alaq ayat pertama yang menerangkan sebuah anjuran untuk membaca maka akan
mendapati sebuah kewajiban untuk membaca dengan sebenar-sebenar membaca, yaitu
membaca dengan nama Tuhan Mu sebagai mana arti dari ayat tersebut yaitu “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan”.
Kalimat itu menunjukkan bahwa membaca adalah sebuah ritual yang esensinya
kembali kepada keimanan sebagai umat manusia, dalam konteks ini membaca tidak
hanya terpaku pada teks akan tetapi maksud dari membaca ini yaitu membaca apa
yang ada di dunia ini sebagai makhluk (Kullu maa siwa Allah) segala sesuatu
kecuali Allah SWT. Sebagai umat manusia hendaknya bertafakur[1] terhadap makhluk (ciptaan)
Allah dan tidak bertafakur pada dzat Allah juga meyakini serta mengimaninya
bahwa itu adalah Kekuasaan Nya.
Bergerak pada pembahasan selanjutnya
mengenai tujuan menulis itu sendiri yang mana ditemukan sebuah tujuan tertentu
dan menjadi sebuah kewajiban penulis untuk tidak melenceng dari tujuan ini.
Tujuan itu adalah sebagai berikut, pertama seorang penulis harus bisa
‘Affordance’ yang artinya sanggup merubah dalam artian penulis itu bisa merubah
dunia melalui tulisannya, kedua ‘meaning potencial’ yang berarti penulis itu
tahu bagaimana ia harus menulis, bagaimana ia harus mengungkapkan maksud dari
apa yang ia pahami dan ingin ia ungkapkan, ketiga penulis itu harus memahami
‘other signs’ atau simbol-simbol lain yang ada pada aspek menulis, ini
berkaitan dengan apa yang telah dituliskan di atas di pargraf kelima.
Penulis ialah literat seorang
linguist yang tercerahkan, ia akan faham di mana seharusnya formasi sosial,
politik, ekonomi diletakkan ia pun tahu akan nilai-nilai dari kesemuanya itu.
Begitu juga dengan sejarawan, ia akan menulis sejarah dengan mengacu pada
hal-hal tersebut di atas akan ada satu sudut pandang yang ia ambil untuk
menjadikan landasan ia menulis dan satu fokus bahasan yang mengedepankan salah
satu dari nilai-nilai di atas berdasarkan kepentingannya. Inilah maksud dari
ungkapan Fowler yang tercantum di materi PPT pertemuan ke enam kelas writing4, Fowler
(1996: 10): “Like the historian critical linguist aims to understand the
values which underpin social, economic, and political formations, and
diachronically, changes in values and changes in formaitons.
Berbicara tentang values di sini
dimaknai sebagai nilai atau norma yang menyangkut aspek agama yaitu amanah yang
mana amanah sangatlah penting dalam hidup. Bisa juga value diartikan sebagai norma
atau hukum yang berlaku, yang mana norma tidak selamanya tetap (statis) akan
tetapi norma itu berjalan sesuai zaman “alhukmu yadullu ma’al illah” bisa jadi
yang dulu dilarang sekarang menjadi lumrah dan diperbolehkan.
Kutipan kedua masih dari Fowler (1996)
yang dapat diartikan sebagai berikut, seorang sejarawan tentu saja memiliki
ideologi dan sudah pasti ia menulis berdasar pada ideologinya dan oleh
karenanya maka tidak ada satu tulisan sejarah yang netral. Semua bukti sejarah
yang dibukukan oleh sejarawan itu dihadirkan oleh satu ideologi yang dimiliki
sejarawan itu sendiri. Ideologi juga selalu hadir di setiap teks yang ada, baik
itu teks tertulis, lisan, audio ataupun visual bahkan kombinasi dari kesemuanya
itu diciptakan bersama ideologi. Ditegaskan lagi oleh pernyataan Fairclough
1989; 1992; 1995; 2000; Lehtonen 2000 bahwa sebuah teks yang dihasilkan itu
tidak akan pernah netral, begitu pula apa yang diungkapakan Prof. Alwasilah
(2001; 2012) bahwa literasi tidak pernah netral.
Selanjutnya mengenai penulis yang
harus menghadirkan teks dalam bentuk persuasif yang tinggi di mana harus
menarik keyakinan pembaca untuk mempercayai tulisannya, untuk bisa memenuhi
syarat ini maka penulis harus banyak mengambil referensi yang jelas dan juga
dapat dipercaya kebenarannya juga tidak lupa retorika dan pengolahan bahasa
yang tepat dan sesuai yang kesemuanya berada pada ‘prima facie principle’ dan
sudah seharusnya hal itu disadari penulis dari awal dia bergerak dalam bidang
tulis menulis, karena kesan pertama adalah segalanya dan selanjutnya terserah
kepada pembaca apakah ia akan meneruskan membaca atau bagaimana, maka dari itu
‘prima facie principle’ selalu menjadi sorotan utama.
Persuasi yang dihadirkan adalah
untuk menarik keyakinan seseorang terhadap sudut pandang seorang penulis, sudut
pandang yang kita ambil untuk menghadirkan sebuah teks. Hal ini disebut sebagai
academic argument di mana di situ penulis mengungkap secara singkat tentang
topik yang akan dibahas dalam teks diikuti penjelasan sudut pandang yang ia
ambil dan biasanya ini terdapat dalam satu kalimat sebagai ringkasan dari apa
yang akan ia sampaikan.
Sebagai
penutup ‘thesis’ hadir dan merupakan hasil dari proses berpikir panjang, thesis
hadir pada sebuah teks yang mana telah melalui berbagai proses pengumpulan
data, pertimbangan hubungan antara data-data yang ditemukan dan sebuah teks
yang baik akan lolos dan terhindar dari pertanyaan ‘so what, how and why?’
pertanyaan tersebut menuntut kelengkapan sebuah penjelasan pada teks dan
menjadi ukuran baik/belum baik sebuah teks.
0 comments:
Post a Comment