Buku merupakan jendela dunia yang dapat
mengubah bumi tempat kita berpijak ini, tidak ada seorang pun yang
memungkirinya. Setiap lembarnya mengalir berjuta
cahaya, karena setiap aksara membuka jendela dunia. Sesaat sebelum membacanya, terkadang kita hanya memandang buku sebagai suatu tumpukan kertas tak berjiwa yang penuh oleh teori-teori, cerita-cerita, curahan hati sang penulisnya dan jauh dari kenyataan hidup sehari-hari. Namun siapa sangka, dibalik sebuah buku dapat tersimpan suatu kekuatan hebat. Sebegitu hebatnya kekuatan dari buku, sehingga ia merupakan instrumen yang berdaya kuat, mencengkeram erat, menggetarkan dan berkuasa mengubah arah peristiwa-peristiwa yang sedang atau akan terjadi. Yang bisa diarahkan untuk kebaikan maupun keburukan. Bagi kemaslahatan maupun bencana.
cahaya, karena setiap aksara membuka jendela dunia. Sesaat sebelum membacanya, terkadang kita hanya memandang buku sebagai suatu tumpukan kertas tak berjiwa yang penuh oleh teori-teori, cerita-cerita, curahan hati sang penulisnya dan jauh dari kenyataan hidup sehari-hari. Namun siapa sangka, dibalik sebuah buku dapat tersimpan suatu kekuatan hebat. Sebegitu hebatnya kekuatan dari buku, sehingga ia merupakan instrumen yang berdaya kuat, mencengkeram erat, menggetarkan dan berkuasa mengubah arah peristiwa-peristiwa yang sedang atau akan terjadi. Yang bisa diarahkan untuk kebaikan maupun keburukan. Bagi kemaslahatan maupun bencana.
Membaca memang
memiliki efek yang sangat kuat. Seperti halnya sebuah article yang berjudul “
Speaking Truth to Power with Books” oleh Howard Zinn yang mana mengutarakan
bahwa kekuatan kebenaran berbicara itu lewat buku. Kebenaran adalah Sesuatu yang satu atau uniq, tidak berawal dan berakhir
tidak memiliki ruang dan waktu. Buku dijadikan bahan pertimbangan atas isu yang
muncul yang hanya dari mulut ke mulut dan tidak terbukti kebenarannya. Pada
kenyataannya, banyak para pendengar percaya begitu saja atas apa yang mereka
dengar, tanpa mencari lebih tahu kebenarannya. Sehingga, kita jangan mudah
percaya atas apa yang kita dengar, tetapi harus dibuktikan dengan cara membaca.
Kebenaran berbicara dapat dibuktikan dengan kebenaran dalam buku. Menulis dan membaca merupakan suatu media yang dapat membuat
pserspektif atau pandagan seseorang terbuka.
“Membacalah yang mampu
membuat seseorang keluar dari tempurung pengetahuan yang kerdil. Lewat membaca,
seseorang mampu menjelajah selaksa wilayah luas tak bertepi” (Ngainun Naim)
Menurut Howard
Zinn, lintasan panjang antara menulis dan mengubah kesadaran, antara menulis
dan aktivisme, dan mempengaruhi kebijakan publik, bisa berliku-liku dan rumit.
Tetapi bukan berarti kita harus berhenti menulis. Menurut Howard Zinn, buku
memiliki efek yang kuat pada pemikirannya. Buku itu mempengaruhinya. Adapun
seseorang yang berkata kepadanya, “This book changed my life”. Kemudian, Howard
pun bertanya kepada seorang siswi bernama Alice Warker mengenai buku. Dia pun
menjawabnya dengan perkataan yang sama, “This book changed my life”. Sehingga,
menurut Howard, memang buku dapat melakukan itu. Mengubah hidup seseorang
dengan mengubah kesadaran seseorang. Memiliki efek pada dunia, dengan satu atau
cara lain, cepat atau lambat, dengan cara yang mungkin tidak bisa kita lacak. Buku mengoperasikan dalam banyak cara untuk mengubah kesadaran
seseorang.
Howard Zinn,
sang sejarahwan radikal Amerika, mangkat karena serangan jantung yang
menyerangnya selagi berenang. Ia meninggalkan seorang istri dan nama besar dari
sebuah buku legendaris yang ia tulis; A People’s History of the United States. Yang
menarik dari buku Zinn tentu saja adalah keberaniannya untuk mengungkap sisi
gelap sejarah benua baru dan komitmen pada kaum subaltern dalam definisi
Spivak: mereka yang terpinggirkan dalam politik menarasikan sejarah. Sasaran
tembaknya tak tanggung tanggung: Christoper Colombus dan para sejarahwan
yang menulis versi lugu dari kedatangan para kolonis. Di dalamnya termasuk
sejarahwan Harvard, Samuel Elliot Morison.
Inilah kritik
pedas Zinn pada Samuel Elliot Morrison sang sejarahwan Harvard yang menulis
buku seminal Christoper Columbus, Mariner. Benar,
Morison tak sedikitpun berbohong soal kekejaman Columbus. Ia bahkan menyebut
sang pelaut telah melakukan genosida pada Indian Arawaks. Namun, tulis Zinn,
fakta yang tertera di satu halaman ini kemudian ia kubur dalam ratusan halaman
lain yang mengagungkan kebesaran sang pelaut. Keputusan untuk lebih
menceritakan sebuah heroisme dan abai pada penekanan fakta pembantaian massal
yang terjadi pada suku Indian Arawaks bukanlah sebuah kebutuhan teknis ala
pembuat peta, namun murni pilihan ideologis. Sebuah pilihan ideologis untuk
menjustifikasi apa yang telah terjadi, pungkas Zinn.
Seandainya
Morison adalah seorang politisi dan bukan sarjana, pilihan ideologis ini tak
akan jadi begitu serius. Namun justru karena fakta ini diceritakan oleh seorang
intelektual, maka implikasinya jadi begitu mematikan. Kita seakan diajarkan
sebuah imperatif moral bahwa pengorbanan, meski begitu tak manusiawi, itu perlu
untuk sebuah kemajuan. Morison seakan mengatakan dengan kalem bahwa benar telah
terjadi pembantaian pada suku Arawaks, namun fakta kecil itu tak sebanding
dengan jasa dan kepahlawanan Columbus bagi kita. Sense inilah yang kemudian
direproduksi di kelas pengajaran sejarah, dan buku pegangan para siswa.
Berangkat
dari ketidaksetujuannya tersebut kemudian Zinn menulis versi sejarah yang
berbeda; sejarah dari sudut pandang orang-orang kalah, alias sang pecundang.
Jadilah ia bercerita tentang penemuan benua Amerika dari kacamata suku Indian
Arawaks, tentang Civil War sebagaimana dialami oleh kaum Irlandia
di New York, tentang perang Dunia pertama dilihat dari pihak kaum Sosialis, dan
tentang penaklukan Filipina menurut tentara kulit hitam di Luzon.
Ada yang
menarik ketika kita sebenarnya juga bisa melempar kritik yang serupa pada Zinn.
Bahwa ia juga sedang mengambil sebuah pilihan ideologis dalam menulis sejarah,
bahwa ia menekankan fakta fakta yang ia suka dan melewatkan yang lain. Lalu apa
bedanya ia dengan Morison? Zinn sebenarnya tak lebih dari petinju dari sudut
ring yang berbeda. Jika Morison menulis dari kacamata sang pemenang, Zinn lah
corong sang pecundang. Jawaban pada kritik inilah yang menunjukkan kebesaran
seorang Howard Zinn.
Pertama,
ia jujur dalam mengungkap keberpihakannya. Zinn jelas tidak senaif mereka yang
berbicara soal objektifitas dalam narasi. Ia berpihak, dan sedari awal
memperingatkan pembaca tentang posisinya. Bab pertama bukunya sangat confessional, dan di halaman 11
dari 729 halaman the
People’s History ia
menulis:
If history is to be creative, to anticipate a
possible future without denying the past, it should, I believe, emphasize new
possibilities by disclosing those hidden episodes of the past when, even if in
brief flashes, people showed their ability to resist, to join together,
occasionally to win. I am supposing, or perhaps only hoping, that our future
may be found in the past’s fugitive moments of compassion rather than in its
solid centuries of warfare.That, being as blunt as I can, is my approach to the
history of the United States. The reader may as well know that before going on.
Ini
membuat Zinn tidak berlagak pilon dalam bercerita, ia bias dan sadar bahwa
pembaca butuh tahu. Lalu apa pembelaannya atas posisinya tersebut? Ini hal
kedua yang perlu dicatat dari seorang Howard Zinn: ia menolak konsekuensi
empatik definisi nasion Andersonian! Bangsa bukan dan memang tak sekalipun
pernah jadi sebuah komunitas, tungkasnya tajam.
“Sejarah setiap negeri yang selalu ditulis
sebagai sebuah sejarah keluarga menyembunyikan konflik kepentingan yang kronis
antara penakluk dan pecundang, tuan dan budak, kapitalis dan buruh, serta
dominator dan yang terdominasi. Dan dalam dunia yang penuh konflik tersebut,
dunia para korban dan eksekutor, adalah tugas mereka yang berpikir, sebagaimana
Albert Camus sarankan, untuk tidak berpihak di sisi kaum eksekutor!” Ini kata
kata Zinn yang diterjemahkan dari halaman 10 bukunya untuk menjelaskan
sudut pandang penulisan sejarahnya yang berbeda
Selama
ribuan tahun, selalu dipersepsikan bahwa penemu Benua Amerika adalah
Christopher Colombus pada 12 Oktober 1492. Hari
kedatangannya di "benua baru" masih dirayakan hingga saat ini di
Amerika Serikat. Columbus Day. Namun, tidak semua hal berlebihan tentang
Columbus adalah benar. Menurut versi tersebut, ketika pertama kali
menginjakkkan kakinya di daratan, dia menyangka mendarat di semenanjung Hindia,
sehingga penduduk aslinya disebut ”Indian”. Tapi menurut versi lain, penelitian
ulang yang dilakukan oleh beberapa peneliti Barat, atau penelitian dari
sumber-sumber tertulis dari kalangan Muslim, ilmuan Muslim, ditemukan data-data
baru bahwa Benua Amerika telah ditemukan oleh penjelajah Muslim 603 tahun
sebelum Colombus menginjakkan kakinya di benua Amerika.
Literatur yang
menerangkan bahwa penjelajah Muslim sudah datang ke Amerika sebelum Colombus,
antara lain pakar sejarah dan geografer Abul Hassan Ali Ibnu al-Hussain
al-Masudi (871-957M). Dalam bukunya Muruj Adh-Dhahabwa Maad al-Jawhar (The
Meadows of Gold and Quarries of Jewels / Hamparan Emas dan tambang Permata),
al-Masudi telah menuliskan bahwa Khaskhas Ibnu Sa’ied Ibn Aswad, seorang
penjelajah Muslim dari Cordova, Spanyol, berhasil mencapai benua Amerika pada
889M.
Terdapat sumber-sumber
dan Perspektif Barat yang menyatakan bahwa yang menemukan Amerika adalah islam
:
Pertama, dalam bukunya Saga America (New York, 1980), Dr. Barry Fell, arkeolog dan
ahli bahasa berkebangsaan Selandia Baru jebolan Harvard University menunjukan
bukti-bukti detail bahwa berabad-abad sebelum Colombus, telah bermukim kaum
Muslimin dari Afrika Utara dan Barat di benua Amerika. Tak heran jika bahasa
masyarakat Indian Pima dan Algonquain memiliki beberapa kosakata yang berasal
dari bahasa Arab.
Kedua, dalam bukunya Africa and the Discovery of America (1920), pakar sejarah
dari Harvard University, Loe Weiner, menulis bahwa Colombus sendiri sebenarnya
juga mengetahui kehadiran orang-orang Islam yang tersebar di Karibia, Amerika
Utara, Tengah dan Selatan, termasuk Canada. Tapi tak seperti Colombus yang
ingin menguasai dan memperbudak penduduk asli Amerika, umat Islam datang untuk
berdagang, berasimilasi dan melakukan perkawinan dengan orang-orang India suku
Iroquis dan Algonquin. Colombus juga mengakui, dalam pelayaran antara gibara
dan Pantai Kuba, 21 Oktober 1492, ia melihat masjid berdiri diatas bukit dengan
indahnya. Saat ini, reruntuhan masjid-masjid itu telah ditemukan di Kuba,
Mexico, Texas dan Nevada.
Ketiga, John Boyd Thacher dalam, bukunya Christopher Colombus yang terbit di New
York, 1950, menunjukkan bahwa Colombus telah menulis bahwa pada hari Senin, 21
Oktober 1492, ketika sedang berlayar di dekat Cibara, bahagian tenggara pantai
Cuba, ia menyaksikan mesjid di atas puncak bukit yang indah. Sementara itu ,
dalam rangkaian penelitian antropologis, para antropolog dan arkeolog memang
menemukan reruntuhan beberapa masjid dan menaranya serta ayat-ayat al-Qur’an di
Cuba, Mexico, Texas dan Nevada.
Keempat, Clyde Ahmad Winters dalam bukunya Islam in Early North and South America,
yang diterbitkan penerbit Al-Ittihad, Juli 1977, halaman 60 menyebutkan, para
antropo0log yang melakukan penelitian telah menemukan prasasti dalam bahasa
Arab di lembah Mississipi dan Arizona. Psasasti itu menerangkan bahwa imigran
Muslim pertama tersebut juga membawa gajah dari Afrika.
Sedangkan Ivan Van
Sertima, yang dikenal karena karyanya They Came Before Colombus, menemukan
kemiripan arsitrektur bangunan penduduk asli Amerika dengan kaum Muslim Afrika.
Sedang dalam bukunya yang lain African Presence in Early America, juga
menegaskan tentang telah adanya pemukiman Muslim Africa sebelum kehadiran
Colombus di Amerika.
Kelima, ahli sejarah Jerman, Alexander Von Wuthenan juga memberikan bukti bahwa
orang-orang Islam sudah berada di Amerika tahun 300-900 M. Artinya, umat Islam
sudah ada di Amertika, paling tidak setengah abad sebelum Colombus lahir. Bukti
berupa ukiran kayu berbentuk kepala manusia yang mirip dengan orang Arab
diperkirakan dipahat tahun 300 dan 900 M. Beberapa ukiran kayu lainnya diambil
gambarnya dan diteliti, ternyata memiliki kemiripan dengan orang Mesir.
Keenam, salah satu buku karya Gavin Menzies, seorang bekas pelaut yang
menerbitkan hasil penelusurannya, menemukan peta empat pulau di Karibia yang
dibuat pada tahun 1424 dan ditandatangani oleh Zuanne Pissigano, kartografer
dari Venezia, yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Peta ini berarti
dibuat 68 tahun sebelum Colombus mendarat di Amerika. Dua pulau pada peta ini
kemudian diidentifikasi sebagai Puertorico dan Guadalupe.
Henry Ford dalam
bukunya The Complete International Jew, terdapat cuplikan yang menjelaskan
bagaimana kondisi riil Umat Islam pada akhir kekuasaan Islam di Spanyol, yang
mengalami penyiksaan yang sangat luar biasa, dan bagaimana dari penyiksaan
tersebut akhirnya ada yang melarikan diri bersama rombongan Colombus ke Amerika.
Menurut Dr. Youssef
Mroueh, hari ini di Amerika Utara terdapat 565 nama tempat, baik nergara
bagian, kota, sungai, gunung, danau dan desa yang diambil dari nama Islam atau
nama dengan akar kata dari bahasa Arab. Selebihnya, sebanyak 484 nama terdapat
di Amerika Serikat dan 81 di Kanada. Nama-nama ini diberikan oleh penduduk asli
yang telah ada sebelum Colombus menginjakkan kakinya di Amerika.
Ketika Colombus
mendarat di kepulauan Bahama, 12 Oktober 1492, pulau itu sudah diberi nama
Guanahani oleh penduduknya. Guanahani berasal dari kata Arab ikhwana (saudara),
kemudian dibawa ke bahasa Mandika (kerajaan Islam di barat Afrika) yang berarti
”tempat keluarga Hani bersaudara”. Tapi kemudian Colombus secara ”seenaknya”
memberinya nama San Salvador, dan merampas pulau ini dari pemilik awalnya.
Sumber-sumber tersebut cukup
dijadikan bukti bahwa memang bukan
Columbus lah yang menemukan benua Amerika. Kemudian, terdapat fakta-fakta orang
seperti apa Columbus itu.
Christopher Columbus
dikenal sebagai penemu benua Amerika dan dipandang sebagai pahlawan eksplorasi
abad pertengahan oleh banyak sejarawan masa kini. Namun banyak buku teks gagal
mengungkapkan berbagai fakta bahwa ia adalah seorang maniak genosida yang mencetuskan
apa yang mungkin menjadi kasus terburuk genosida yang dilakukan satu bangsa
manusia terhadap bangsa yang lain.
Terobsesi menemukan rute perjalanan laut ke Asia dan Timur Jauh, Columbus dengan kapal 'Enterprise Hindia' pada tahun 1492 berlayar ke laut lepas, dengan dukungan keuangan dari Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dari Spanyol. Namun, bukannya menemukan daerah perdagangan kaya di Timur, Columbus dan krunya menemukan Dunia Baru yaitu Amerika, dan segera mulai menundukkan dan membunuh penduduk setempat dan menghapus kekayaan besar dari tanah tersebut.
Sebuah koloni kecil segera didirikan di Hispaniola yang terdiri dari tiga puluh sembilan krunya, sisanya kembali ke Spanyol dengan Columbus bersama dengan emas, rempah-rempah dan penduduk asli diambil sebagai budak untuk diberikan sebagai hadiah bagi pelanggan kerajaan. Tahun berikutnya, ia memimpin ekspedisi kedua terdiri dari tujuh belas kapal besar dan berisi satu setengah ribu pendatang baru, yang tiba di Amerika sebulan kemudian. Pada saat ia kembali ke Hispaniola, anak buahnya sudah banyak yang dibunuh oleh penduduk setempat dan koloni kedua kemudian didirikan.
Columbus menghukum suku
setempat, yang dikenal sebagai Taino, dengan kejam. Dia memperbudak banyak
penduduk lokal dan membantai lebih banyak lagi, menurut Ward Churchill, mantan
profesor studi etnis di University of Colorado, sampai tahun 1496, populasi
telah berkurang dari sebanyak delapan juta menjadi sekitar tiga juta.
Pada ekspedisi yang ketiga, ia menjelajahi daerah tersebut sebelum kembali ke Hispaniola pada tahun 1498 di mana ia meninggalkan saudara-saudaranya, Diego dan Bartholomew untuk memegang kendali kekuasaan disana. Kondisi semakin menurun sehingga ia mengadakan kampanye teror melawan Taino, memerintah dengan tangan besi hingga menyebabkan banyak yg menentangnya termasuk pendatang baru (bangsa eropa sendiri) dan kepala daerah setempat. Keluhan kebrutalan sampai ke telinga penguasa Spanyol dan pada tahun 1500 mereka mengirim Hakim Ketua untuk membawa Columbus dan saudara-saudaranya kembali ke Spanyol dengan dirantai.
Pada ekspedisi yang ketiga, ia menjelajahi daerah tersebut sebelum kembali ke Hispaniola pada tahun 1498 di mana ia meninggalkan saudara-saudaranya, Diego dan Bartholomew untuk memegang kendali kekuasaan disana. Kondisi semakin menurun sehingga ia mengadakan kampanye teror melawan Taino, memerintah dengan tangan besi hingga menyebabkan banyak yg menentangnya termasuk pendatang baru (bangsa eropa sendiri) dan kepala daerah setempat. Keluhan kebrutalan sampai ke telinga penguasa Spanyol dan pada tahun 1500 mereka mengirim Hakim Ketua untuk membawa Columbus dan saudara-saudaranya kembali ke Spanyol dengan dirantai.
Namun segera setibanya di Spanyol mereka dilepaskan dan diizinkan melakukan ekspedisi keempat dan terakhir, yang dilakukan dengan kebrutalan yang sama seperti yang sebelumnya. Pada saat ia akhirnya meninggalkan Amerika di tahun 1504, bangsa Taino telah menurun menjadi sekitar 100.000 orang arguably membuat Columbus penjahat perang menurut standar sekarang dan bersalah melakukan beberapa kekejaman terburuk terhadap ras lain dalam sejarah. Beberapa dibunuh langsung ditempat sebagai hukuman 'atas kejahatan' untuk seperti tidak membayar upeti kepada penjajah. Banyak yang tidak bisa atau tidak mau membayar kemudian tangan mereka dipotong dan dibiarkan berdarah sampai mati. Columbus dan anak buahnya didokumentasikan oleh sejarah Las Casas, dikenal sebagai Brev'sima-n relaci, yang melakukan penggantungan manusia secara massal, orang dipanggang di pantai, pembakaran dipertaruhkan dan bahkan memenggal kepala anak-anak dan memberikannya sebagai makanan anjing sebagai hukuman untuk tindak kejahatan yang paling kecil.
Para master Spanyol membantai penduduk pribumi, kadang-kadang ratusan hanya sebagai bentuk olahraga, membuat taruhan tentang siapa yang bisa membelah seorang pria menjadi dua, atau memotong kepala hingga putus dalam satu pukulan, kadang pula mereka memancung kaki anak-anak kecil hingga putus hanya untuk menguji ketajaman pedang mereka.
Hanya dalam waktu sekitar lima puluh tahun Colombus dan
para pengikutnya mendapatkan segalanya tetapi mengeliminasi populasi sekitar
lima belas juta orang. Proses ini hanya merupakan awal dari pembantaian massal
sekitar 100 juta orang oleh bangsa Eropa yang disebut sebagai 'peradaban' di
Belahan Barat membuat awal penemuan Dunia Baru(benua Amerika) menjadi kasus
genosida massal terburuk dalam sejarah manusia.
Tambahan Fakta2 yg kemudian terungkap berdasarkan dokumen2 dan jurnal2 yg ditulis oleh saksi mata dan oleh Columbus sendiri :
Tambahan Fakta2 yg kemudian terungkap berdasarkan dokumen2 dan jurnal2 yg ditulis oleh saksi mata dan oleh Columbus sendiri :
·
Ketika bangsa Spanyol
baru mendarat di benua Amerika, para orang-orang Indian menyambutnya dengan
gegap gempita dan rasa ingin tahu, mereka menyuguhi bangsa Spanyol dengan
berbagai makanan dan minuman serta memberikan berbagai macam hadiah, Columbus
menuliskan hal tsb di buku hariannya:
"Mereka membawakan kita beo dan bola kapas dan tombak dan banyak hal
lainnya, yang mereka ingin pertukarkan dgn manik-manik kaca dan lonceng elang
'. Mereka rela menyerahkan segala yang mereka miliki. Mereka tegap, dengan
tubuh yang baik dan wajah tampan. Mereka tidak memanggul senjata, dan tidak
mengenal senjata, karena aku menunjukkan kepada mereka pedang, mereka memegang
bagian yg tajam dan melukai tangan mereka sendiri akibat ketidaktahuannya itu.
Mereka tidak mengenal besi/iron. tombak mereka dibuat dari tebu. Mereka akan
menjadi budak yg baik. Dengan hanya lima puluh orang, kita bisa menundukkan
mereka semua dan membuat mereka melakukan apapun yang kita inginkan."
·
Columbus dan anak
buahnya juga menggunakan Taino sebagai budak seks. Hal yg biasa bagi Columbus
menghadiahi anak buahnya dengan wanita lokal untuk diperkosa. Saat ia mulai
mengekspor Taino sebagai budak ke berbagai belahan dunia, perdagangan
seks-budak menjadi bagian penting dari bisnis, seperti Columbus menulis kepada
seorang teman pada tahun 1500: "Dengan seratus castellanoes (koin Spanyol)
sangat mudah memperoleh wanita seperti halnya untuk pertanian, dan sangat umum
dan ada banyak dealer yang bersedia mencari anak perempuan mereka 9-10 (tahun)
yang sekarang sedang diminati."
·
Akibat kekejaman
pemerintahan bangsa Eropa terhadap suku asli, ribuan Indian melakukan bunuh
diri massal dengan meminum racun yang terbuat dari singkong (cassava). Banyak
orang tua membunuh bayi-bayi mereka untuk melepaskan mereka dari penderitaan hidup
di bawah kekuasaan Spanyol.
·
Salah seorang anak buah
Columbus, Bartolome De Las Casas, merasa sangat bersalah atas kekejaman brutal
Columbus terhadap penduduk asli, ia berhenti bekerja untuk Columbus dan menjadi
seorang imam Katolik. Ia menggambarkan bagaimana orang-orang Spanyol di bawah
komando Columbus memotong kaki anak-anak yang lari dari mereka, untuk menguji
ketajaman pisau mereka. Menurut De Las Casas, para pria membuat taruhan siapa
yang bisa memotong seseorang menjadi dua dengan sapuan pedang. Dia mengatakan
bahwa anak buah Columbus menuangkan air sabun mendidih di atas orang-orang.
Dalam satu hari, De Las Casas pernah menjadi saksi mata tentara Spanyol
memotong-motong, memenggal, atau memperkosa 3000 orang asli. "Inhumanities
tersebut dan barbarisms itu dilakukan di depan mataku seperti umur tidak bisa
paralel," tulis De Las Casas. "Mataku telah melihat tindakan ini
begitu asing terhadap sifat manusia yang sekarang, saya gemetar saat aku
menulis."
·
Sepulang dari amerika,
Columbus dan anak buahnya menyebarkan penyakit sipilis ke eropa, sebaliknya
orang eropa menyebarkan penyakit smallpox ke orang2 indian.
Berbicara kebenaran melalui buku sebagai bukti yang dapat
dipertanggung jawabkan keabsahannya atau valid ( referensi yang jelas ). Buku
memang dapat dijadikan sebuah bukti dan kekuatan atas isu yang terkubur dalam
dunia ini, seperti yang terkuak di atas. Mayoritas orang lebih cenderung
membenarkan apa yang hanya mereka dengar dari kiai, pendeta atau petinggi (
pemerintah), padahal realitanya untuk membuktikan fakta tersebut kita juga
harus membaca. Tidak hanya langsung melahap mentah-mentah konsep pembicaraan
yang sudah terbangun tersebut, kita harus mengkonsep ulang dengan cara
mengkritisi serta harus mencari referensi lain ( fakta dan bukti ) mengenai hal
yang sedang dibicarakan tersebut.
Kita mulai
dengan mengambil contoh buku Common Sense dan Mein Kampf,
ternyata kekuatan sebuah buku yang dapat mengubah sejarah dunia bukan dilihat
dari tebal tipisnya jumlah halaman. Common Sense, buku tipis
hanya 47 halaman, tidak lebih dari sebuah pamflet. Sementara Mein Kampf,
cukup tebal dengan lebih dari 700 halaman.
Di mana rahasia
kekuatan sebuah buku? Dalam konteks tulisan di atas, inilah hukum besi yang
berlaku di mana-mana: tiada lain lantaran tuntutan zaman telah siap buat para
penulis bersangkutan. Rakyat Amerika kala itu tengah bersitegang dengan Inggris
hingga melahirkan perang kemerdekaan. Sumbu-sumbu pendek dinamit yang siap
terbakar dan meledak, mendapatkan percikan api lebih cepat dari pamflet Common
Sense Thomas Paine.
Demikian pula
Jerman di masa Hitler hidup. Dipermalukan sebagai bangsa melalui Perjanjian
Versailles pada 1919 oleh Sekutu karena kalah dalam Perang Dunia I, ekonomi
Jerman kalang kabut dan terhempas di titik nadir. Kehidupan dan masa depan
tidak menentu. Kondisi psikologi publik semacam itu melahirkan perlunya suatu
kambing hitam. Lantas, ras Yahudi di Eropa dipersalahkan sebagai penyebab
kekacauan tersebut dan sasaran utamanya. Terbitnya Mein Kampf
karya Adolf Hitler dinilai sebagai jawaban atas situasi kacau itu. Dan ia
dianggap membawa pesan-pesan yang acapkali emosional sifatnya.
Dua buah buku
semacam dikupas sekilas di atas, harus diakui memiliki kekuatan-kekuatan.
Kekuatan dimaksud bisa menimbulkan pengaruh baik maupun buruk. Lebih daripada
itu, keduanya menorehkan rekor dari segi besarnya jumlah eksemplar yang
diterbitkan. Pula tingkat keterbacaan tinggi.
Sejatinya dalam
konteks tulisan bertajuk buku si pembuka cakrawala dunia, kekuatan buku berpengaruh sebagai
sejarah dunia. Buku bukanlah untuk mengukur nilai-nilai
moral, akan tetapi untuk menunjukkan bahwa buku adalah
suatu instrumen belaka. Yang dapat menjadi senjata-senjata dinamis dan hebat,
tergantung sejauhmana kita meresapi dan mendalami kandungan isinya.
Referensi
saya aga kelelahan dalam mencari fokus artikel kamu. Coba tandai dengan jelas mana par yang menandai posisi kamu sebagai kritikus
ReplyDelete