Pembentuk Konteks
Pada class review kelima ini, berbagai pembahasan akan dibahas
disini. Pembahasan diawali mengenai ke
issues yang berpengaruh dalam memahami writing. Dalam buku Teaching and
Researching Writing oleh Ken Hyland (2002;2009), terdapat key issues yang mana
berpengaruh dalam memahami writing, yaitu context, literacy, culture,
technology, genre dan identity.
·
Context
Menurut Van Dijk (2008:viii), context bukan situasi sosial yang
berpengaruh pada discourse, tetapi cara partisipan mendefinisikan situasi.
Sehingga, menurutnya context merupakan konsepsi/gagasan partisipan.
Konteks dipandang sebagai tandan yang berubah secara statis yang
mengelilingi bahasa yang digunakan, juga dipandang sebagai sesuatu yang
didasari oleh ssial, interaktif secara terus menerus dan batas waktu (Duranti
dan Goodwin, 1992).
Cutting (2002:3), berpendapat bahwa terdapat 3 aspek utama dalam
menafsirkan konteks:
1. Situational context, yaitu apa yang orang ketahui tentang apa
yang mereka dapat ihat disekeliling mereka.
2. Background knowledge context, yaitu apa yang orang ketahui
tentang dunia, apa yang merekka ketahui tentang dunia, apa yang mereka ketahui
tentang aspek hidup dan apa yang mereka ketahui satu sama lain.
3. Co-textual context, yaitu apa yang orang ketahui tentang apa
yang mereka telah katakan.
Untuk memahami
konteks itu dimulai dengan teks. Systemic Functional Linguistic mencoba
menunjukan bagaimana konteks berangkat yang diusut dalam pola language use.
Halliday mengembangkan analisis konteks berdasarkan gagasan/ide beberapa teks
sebagai hasil dari pilihan bahasa penulis dalam context of situation
(Malinowski, 1949).
Menurut Halliday
(1985), terdapat 3 dimensi konteks, yaitu field, tenor dan mode.
1. Field, yaitu menunjukkan apa yang terjadi, mdel tindakan sosial,
atau apa yang teks maksud.
2. Tenor, yaitu menunjukkan siapa yang menjadi bagian, peranan dan
hubungan partisipan.
3. Mode, yaitu menunjukkan atas bagian apa bahasa digunakan, apa
yang partisipan harapkan untuk dilakukan untuk mereka.
Dengan kata lain,
bahasa yang kita gunakan membutuhkan kecocokan dengan situasi yang mana kita
gunakan, dan mengkharakteristikan bentuk tulisan yang penuis buat akan membuat
situasi. Context of situation dijalankan dalam konteks yang ebih luas dan lebih
abstrak. Yang mana Halliday menyebutnya sebagai context of culture. Halliday
memandang context of culture sebagai pengungkapan yang lebih spesifik atas
context of situation, sehingga kita gambarkan situasi sosial sebagai bagian
yang lebih luas yaitu culture.
Fairclough (1992),
memandang discourse sebagai link antara context of situation dengan context of
culture. Hal ini karena dalam discourse, urutan discourse dijalankan untuk
menegakan adanya hubungan antara power dan authority.
Dalam buku
Cultural Analysis of Texts (Mikko Lehtonen, hal. 114), Guy Cook menyebutkan 8
parameter konteks, yaitu:
1.
Subtance,
yaitu materi fisik yang membawa teks.
2.
Music dan Picture
3.
Paralanguage,
yaitu perilaku yang berarti bahasa yang menyertainya, seperti kualitas suara,
gerak tubuh, ekspresi wajah, dan sentuhan (dalam kecepatan), dan pilihan dari
jenis huruf dan ukuran huruf (secara tertulis).
4.
Situation,
yaitu sifat dan hubungan objek dan orang-orang disekitar teks, seperti yang
dirasakan oleh partisipan.
5.
Co-text,
yaitu teks yang mendahului atau mengikuti di bawah analisis dan yang mana
partisipan menilai discourse yang sama.
6.
Intertext,
yaitu teks yang partisipan anggap sebagai milik discourse lain, tetapi mereka
mengasosiasikan teks di bawah pertimbangan yang mana berpengaruh pada
interpretasi mereka.
7.
Participant,
yaitu niat dan interpretasi mereka, pengetahuan dan keyakinan, sikap
interpersonal, afiliasi dan perasaan.
8.
Function,
yaitu apa yang text maksud untuk dilakukan oleh pengirim dan addressers, atau
dianggap dilakukan oleh penerima dan adressess.
·
Literacy
Writing dan reading merupakan aksi dari literasi, yang mana
literasi itu merupakan bagaimana kita biasanya menggunakan bahasa dalam
kehidupan sehari-hari. Seperti Scribner dan Cole (1981:235) berkata, bahwa literasi
tidak sesederhana hanya mengetahui bagaimana membaca dan mennulis, tetapi
tentang menerapkan pengetahuan yang lebih ke tujuan khusus dalam konteks khusus
yang digunakan.
Dalam pandangan sekolah
tradisional, menganggap literasi sebagai kemampuan belajar yang mana difalisitasi
dengan berfikir logis, mengakses informasi, dan berpartisipasi dalam peranan di
masyarakat modern. Sehingga, pandangan ini melihat literasi sebagai psikologis
dan textual, sesuatu yang mana dapat dipertimbangkan dan ditaksir.
Barton (2007:34-35),
menyebutkan beberapa pandangan sosial mengenai literasi, diantaranya:
-
Literasi
merupakan aktivitas sosial dan dilukiskan dalam istilah people’s literacy
practices.
-
Orang-orang
memiliki perbedaan literasi yang mana diasosiasikan dengan perbedaan wewenang
hidup.
-
Orang
yang praktek literasi disituasikan dalam hubungan sosial yang lebih luas,
dengan menggambarkan keadaan dari peristiwa literasi.
-
Literasi
berdasarkan sistem simbol sebagai cara untuk mempresentasikan dunia kepada
orang lain dan kepada diri kita sendiri.
-
Sejarah
hidup kita berisi kejadian literasi yang mana kita belajar dan besar sekarang.
-
Peristiwa
literasi juga mempunyai sejarah sosial yang membantu menciptakan arus praktek.
Barton dan Hamilton (1998:6), mendefinisikan praktek literasi
sebagai cara umum kebudayaan dalam memanfaatkan bahasa tulisan yang mana
orang-orang lukis pada hidup mereka. Praktek literasi tidak hanya berkenaan
mengenai reading dan writing, tetapi juga hasil, perasaan dan konsepsi cultural/
kebudayaan yang memberi makna atas penggunaanya (Street, 1995:2). Dengan kata
lain, literasi termasuk membagi pemahaman, ideologi dan identitas sosial maupun
peraturan sosial yang mengatur akses dan distribusi teks. Lebih nyatanya,
praktek tersebut adalah kelompok atas apa yang Heath (1983) sebut sebagai
Literacy Events.
Literasi events merupakan peristiwa yang tampak di mana literasi
mempunyai peranan. Biasanya terdapat teks sebagai pusat aktivitas, dan disana
semakin berbicara disekitar teks. Event merupakan peristiwa yang tampak muncul
dari praktek atau dibentuk oleh mereka. Gagasan dari penekanan peristiwa
disituasikan literasi pada dasarnya, itu selalu hidup dalam knteks sosial
(Barton dan Hamilton, 1998:2).
Menurut Baynham (1995:1) dalam penelitian literasi melibatkan human
activity, tidak hanya apa yang orang lakukan dengan literasi, tetapi juga apa
yang mereka buat atas apa yang mereka lakukan, hasil dari mereka ditempatkan di
dalamnya dan ideologi yang berada disekitarnya. Sehingga praktek literasi
merupakan peristiwa dalam kehidupan orang sehari-hari.
·
Culture
Culture secara umum dimengerti sebagai sejarah yang dipanjarkan dan
jaringan sistematis dari makna yang mana mengharuskan kita untuk memahami,
mengembangkan dan mengkomunikasikan pengetahuan kita dan kepercayaan tentang
dunia (Lantolf, 1999). Sebagai hasilnya, bahasa dan belajar tak bisa lepas dari
batasan culture (Kramsch, 1993). Hal ini karena nilai kebudayaan kita
dicerminkan dan dibawa melalui bahasa, tetapi juga karena culture yang ada di
kita diterima selalu benar sebagai cara mengorganisir persepsi dan dugaan kita,
termasuk apa yang kita gunakan untuk belajar dan berkomunikasi di dalam
writing. Dalam penelitian dan pengajaran writing, ini merupakan daerah dari
contrastive rhetoric.
Menurut Connor, (1996:5), contractive rhetoric merupakan area
penelitian dalam kemahiran second language yang mengidentifikasi masalah dalam
komposisi ditemui dengan penulis second language dan dengan menunjuk ke
strategi retoris pada first language, penjelasan untuk menjelaskan kepada
mereka.... contrastive rhetoric menegaskan bahwa bahasa dan tulisan adalah
fenomena kebudayaan. Secara langsung, setiap bahasa memiliki kaidah retorikal
khusus. Praktek tulisan kita merupakan produk dari faktor sejarah dan
kebudayaan daripada sebagai norma dari pola lain yang hanya sekedar
penyimpangan.
·
Technology
Menurut Hyland (2002;2009), efek-efek teknologi elektronik dalam
menulis diantaranya:
-
Mengubah
penciptaan, pengeditan, pengkoreksian cetakan dan memformat proses.
-
Mengkombinasikan
tulisan teks dengan visual dan media audio lebih mudah.
-
Menentang
gagasan tradisional dan kepengarangan (authorship, autority, dan sifat
intelektual.
-
Mengijinkan
penulis mengakses informasi lebih dan menghubungkan informasi tersebut dengan
cara yang baru.
-
Memperluas
jarak genre dan peluang jangkauan audience lebih luas.
-
Mengaburkan
oral tradisi dan menyatakan saluran tulisan.
-
Memperkenalkan
berbagai kemungkinan untuk membangun dan mengulur identitas sosial yang baru.
Menulis saat ini merupakan pemasangan teks dan gambardalam bentuk
visual yang baru dan penulis seringkali butuh untuk mengerti cara khusus dalam
mengatur dunia yang mana berbeda cara yang diusulkan. Menurut Kress (2003),
perbedaan cara mempunyai perbedaan potensi dan pembatasan meaning.
Teknologi inovasi saat ini menjadi tantangan seorang penulis,
mereka juga membuka identitas baru, genre dan komunitas. Komunitas dan
popularitas yang tinggi di blogs, chatrooms dan list serves secara radikal
mengubah praktek tekstual dengan mendukung tiruan bersifat gaya percakapan
dalam menulis.
·
Genre
Genre dikenal sebagai model tindakan komunikatif, yang mana
maksudnya untuk berpartisipasi dalam beberapa peristiwa sosial, individual
harus dikenal dengan genre yang mereka hadapi. Oleh karena itu, genre merupakan
salah satu konsep penting dalam pendidikan bahasa.
Terdapat 3 pendekatan genre (Hyon, 1996; Johns, 2002), yaitu:
a.
Pendekatan
dengan tradisi Systemic Functional Linguistics
Genre dilihat sebagai stage tujuan orientasi dan proses sosial
(Martin, 1992:505), menekankan dengan maksud tertentu dan pencontohan karakter
pada perbedaan genre dan mencerminkan perhatian Halliday dengan cara bahasa
secara sistematis berhubungan dengan konteks.
§ Genre sebagai proses sosial karena member dari interaksi budaya
yang mereka jangkau.
§ Genre sebagai goal-oriented karena mereka telah meningkatkan
sesuatu yang dijangkau.
§ Genre sebagai stages karena makna dibuat dalam tindakan dan itu
biasanya diambil penulis lebih dari satu langkah untuk menjangkau tujuan
mereka.
Ketika seperangkat teks dibagikan dengan tujuan yang sama, mereka
akan sering membagi struktur yang sama dan genre yang sama. Tulisan yang sukses
menuntut kesadaran struktur retorikal dan menguasai grammar. Grammar bukan
merupakan nyawa tulisan sebagai objek pendekatan, tetapi satu jangkauan untuk
tujuan khusus dari genre (Hyland, 2004b).
b.
English
for Spesifik Purpose (ESP)
Orientasi ini mengikuti SFL dalam penekanan yang diberikan untuk
properti formal dan tujuan komunikatif dari genre, tetapi itu berbeda dalam
mengadopsi pembatasan konsep dari genre.
c.
The
New Rhetoric
Pendekatan ini berbeda dengan pandangan genre sebelumnya. Menurut
Miller (1984), new rhetoric kurang fokus pada bentuk genre daripada tindakan
akan bentuk yang digunakan untuk menyempurnakan dan begitu cenderung untuk
mengutamakan alat penelitian qualitatif yang mana mengeksplor koneksi antara
text dan context daripada menjelaskan ketentuan retorical mereka.
·
Identity
Identity menunjukkan cara orang mempertunjukkan siapa mereka satu
sama lain (Benwell dan Stokoe, 2006:6). Menurut Cherry (1988:269), identity
terletak pada publik, secara institusional didefinisikan peranan orang
dicipptakan dalam tulisan sebagai member komunitas, termasuk representasi
mereka pada audience, bahan persoalan, dan elemen lain dari konteks.
Ivanic (1998), berpendapat bahwa identitas penulis adalah yang
dibangun secara sosial dengan bentuk dasar dalam berbagai kemungkinan untuk
kepribadian yang ada dalam kontek menulis. Menurut Ivanic (1998); Ivanic and
Weldon (1999), terdapat identity penulis.
1.
The
autobiographical self
Diri yang mana penulis bawa ke tindakan menulis, pembatas sosial
dan membangun sejarah hidup penulis. Termasuk ideas, opinions, belief dan
commitments.
2.
The
discursal self
Jejak penulis dengan sadar atau tidak sadar menyampaikan diri
mereka sendiri dalam teks.
3.
The
authorial self
Menunjukkan diri itu sendiri dalam tingkat wewenang dengan tulisan
yang penulis tulis.
Dalam model
interaktif sosial, makna diciptakan melalui configurationdan interaction antara
reader dan writer dalam teks (Nystrand et al., 1993:299). Gagasan Bakhtin
(1986) memandang bahasa sebagai dialog: percakapan antara writer dan reader
dalam aktivitas yang terus menerus. Hyland (2002) menyebutkan bahwa menulis
digambarkan jejak dari kegunaan sosial karena itu dihubungkan dan dibariskan
dengan teks lain yang mana dibangun dan diantisipasi.
Tulisan genre
dipandang sebagai bagian dari pengulangan dan lambang situasi sosial, lebih
dari bentuk khusus, dengan penulis berlatih mempertimbangkan dan kreatifitas
dalam merespon kesamaan keadaan (Hyland, 2002). Salah satu metode utama
mengenai hubungan antara teks dan konteks yaitu teori intelektuality. Dalam
teori ini ditekankan bahwa setiap teks harus dibaca sehubungan dengan teks.
Penulis selalu membaca teks pertama sebelum mereka memproduksi teks.
Pengetahuan intelektual mengarahkan pembaca untuk menggunakan teks tertentu,
untuk membaca beberapa makna. Semua penggunaan bahasa dianggap pasti interteks
karena beberapa alasan, yaitu individu tidak menciptakan bahasa, dan makna
tidak bisa ada tanpa bentuk yang sudah ada sebelumnya, konvensi dan codes. Oleh
karena itu, konsep intelektuality dapat dilihat sebagai pengacu bagaimana
hubungan antara teks diatur dalam membaca teks dalam keadaan tertentu.
Kemudian, saya
akan mengulas kembali sebuah artikel yang berjujdul “Speaking Truth to Power
with Book” oleh Howard Zinn. Howard Zinn merupakan seorang sejarawan radikal
amerikayang mana berani mencetuskan bahwa Cristoper Columbus, buka seorang
hero. Melainkan, columbus merupakan seorang pembunuh dan maniak genosida yang
mungkin menjadi kasus terburuk genosida yang dilakukan satu bangsa dan terhadap
bangsa lain.
Howard Zinn
sebenarnya mengambil pilihan ideologis dalam menulis sejarah. Sehingga, ia
menekankan fakta-fakta yang ia sukai dan melewatkan yang lain. Dalam artikelnya
pun, Zinn hanya menyatakan kebusukan Columbus tanpa memberikan penjelasan yang
kuat mengenai Columbus.
Jika dilihat dari
artikel Howard Zinn, itu memunculkan keterkaitan antara literasi dan sejarah.
Ketika berbicara mengenai Zinn pasti berbicara tentang hystori. Literasi itu
sebagai sosial praktik. Purwanto (2006:3-4) menjelaskan bahwa sejarah sebagai
sebuah pengetahuan sangat bergantung pada wacana dan bentuk representasi antar
teks pada konteks sosial dan institusional yang lebih luas di dalam atau
melalui bahasa, karena realitas objek masa lalu telah berjarak dengan sejarah
sebagai ilmu.
Persinggungan
antara sastra dan sejarah memang tidak bisa dielak karena memiliki medan yang
sama. Sehingga, literasi dan sejarah saling berkaitan satu sama lain, karena
hanya orang-orang yang berkiterasi lah yang dapat membuat sejarah. Hal ini
karena sejarah tidak luput dari sastra dan mereka berada pada tataran yang
sama.
Jadi, Key issues
yang erpengaruh dalam memahami writing yaitu context, literasi, culture,
technology, genre dan identity. Konteks muncul disekitar teks yang mana konteks
merupakan konsepsi/gagasan partisipan/ pembaca ketika membaca. Kemudian
hubungan antara sejarah dan literasi yaitu sejarah tidak luput dari kegiatan
literasi yang mana sastra dan sejarah tidak bisa dielak karena memiliki medan
yang sama. Hanya orang literasi lah yang dapat membuat sejarah.
0 comments:
Post a Comment