#4th Class Review
Pada pertemuan keempat ini, anak-anak pbi-b
diminta untuk berangkat pagi-pagi sekali yakni pukul 07.00 harus sudah ada di
kelas. Kedisiplinan memang sangat penting untuk diterapkan pada setiap
hari-hari kita. Kebiasaan orang Indonesia memang terkenal dengan
kebiasaan ngaret atau mengulur-ulurkan waktu. Mungkin hal teresbut pula
lah yang menjadi suatu pertimbangan kenapa Mr. Lala Bumela meminta kita agar
datang tepat waktu. Sebenarnya ini bukan suatu hal yang baru atau yang pertama
kalinya, karna sebelumnya beliau pun pernah meminta mahasiswanya untuk masuk
kuliah pukul 06.00 pagi. Menerapkan kedisiplinan itu memang terkadang berat,
perlu adanya niat yang tulus dalam hati. Namun dalam hal ini paksaan pun juga
penting demi menciptakan suatu kedisiplinan.
Materi pada pertemuan keempat ini sebenarnya
lebih membahas kepada tugas critical review kemarin, yakni Classroom Discourse
to Foster Religious Harmony yang merupakan karya Prof. A. Chaedar Alwasilah.
Dalam critical review tersebut ternyata masih banyak yang keliru dalam menuliskan
makna yang terkandung dalam wacana tersebut, karena kita tidak mengaitkannya
dengan Classroom Discourse itu sendiri. Bahkan kebanyakan dari kita salah
gerbong pemasukan dan salah pada pemetaan inti. Begitu banyak kritikan tertuliskan
dalam blog kelas kita.
Dalam pembuatan critical review mengenai
Classrooom Discourse to Foster Religious Harmony ini pastinya mempunyai banyak sekali kendala, karna sebelum memulai menulis,
kita sudah terbayangkan oleh 2500 kata. Kita bingung akan menulis apa? Mungkin
hal tersebut akan terasa pada saat memulai menulis di awal paragraf. Belum lagi
kita harus bergelut dengan internet dan buku-buku sebagai tambahan informasi.
Mr. Lala Bumela mengatakan bahwa guru atau dosen hanya menyediakan lahan,
urusan pintar atau tidaknya tergantung pribadi masing-masing. Maka dalam hal
ini yang diutamakan adalah sebuah prosesnya, ketika kita akan pintar atau tidak
itu tergantung pada proses itu sendiri. Dan dalam hal ini proses pembuatan
critical review juga sangat menunjang demi keberhasilan mahasiswa itu sendiri.
Sebenarnya apa maksud dari critical review
yang bertemakan Classroom Discourse to Foster Religious Harmony? Dikatakan
bahwa pada dasarnya wacana Classroom Discourse to Foster Religious Harmony
menangkap dua fokus pembahasan yaitu Classroom Discoure dengan Religious
Harmony. Namun sebelumnya dikatakan bahwa masih banyak yang keliru dalam hal
ini. Classroom Discourse merupakan pengajaran yang terjadi di dalam kelas.
Tentunya pengajaran di kelas banyak dipengaruhi oleh berbagai macam background dan kendala-kendala lainnya. Classroom Discourse ini
merupakan jalan atau media untuk membangun sekaligus mengembagkan pemahaman
dalam Religious Harmony. Memang kebanyakan dari perspektif kami terlalu
mengarah pada Religious Harmonynya saja. Padahal sebelum jauh melangkah pada
religious harmony, kita harus tahu terlebih dahulu tentang apa itu classroom
discourse.
Berikut ini adalah buku yang akan menjadi
bahan dalam class review kali ini, yaitu buku classroom discourse analysis karya Besty Rymes (2008). Tujuan Besty Rymes menuliskan buku tersebut adalah untuk
menyediakan atau melengkapi guru-guru dengan peralatannya untuk menganalisis
percakapan siswanya di kelas. Mengapa hal ini sungguh terbebani, padahal bergaji
rendah, serta harus disibukkan dengan menganalisis pembicaraan. Dalam hal ini
Besty Rymes menjelaskan setidaknya ada empat alasan untuk melakukan hal
tersebut. Empat alasan tersebut diantaranya:
1. Wawasan yang diperoleh dari analisis wacana
kelas telah meningkatkan saling pemahaman antara guru dan siswa. Wawasan yang
diperoleh dari analisis wacana kelas selama 20 tahun terakhir telah
meningkatkan saling pengertian antara guru dan siswa. Hal ini karena mencermati
pembicaraan dapat mengungkapkan pola umum perbedaan komunikasi antara kelompok orang
yang berbeda. Pola dimana guru dan muridnya harus berbicara dalam satu ranah,
pengenalan topik, menggunakan variasi bahasa atau bercerita dengan cara yang
berbeda dapat menggambarkan bagaimana kesalahpahaman antara kelompok sosial
yang berbeda dalam kelas dan bagaimana guru dan murid mengatasinya. Maka dari
hal tersebut kita berfikir betapa pentingnya mutual understanding dalam
classroom.
2. Dengan menganalisis wacana kelas, guru telah
mampu memahami perbedaan lokal dalam suatu pembicaraan di dalam kelas, akan
melampaui stereotip atau generalisasi budaya lain. berlatih menganalisis wacana
kelas adalah untuk dapat memahami apa yang menyebabkan moment-moment yang
tak terduga terjadi atau timbul dari kelas itu sendiri dan mungkin
mengesampingkan siswa tertentu. Dengan merekam, melihat, menyalin dan
menganalisis contoh bicara di kelas, peneliti classroom discourse telah
menunjukkan bagaimana perbedaan dalam gaya komunikasi yang mengarah pada
penyimpangan seperti itu sering ditafsirkan untuk guru dan mekanis pengujian
sebagai defisit atau lambang kurangnya kecerdasan, drive, atau kemampuan.
3. Ketika para guru menganalisis wacana di kelas,
akademik prestasi meningkat. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa manfaat
classroom discourse adalah untuk memahami. Maka dalam hal ini bertujuan
bagaimana pembelajaran di kelas tersebut dapat melengkapi dengan analisis
metodenya. Dalam hal ini guru adalah situasi yang baik untuk belajar membatasi,
menyetempatkan dan merubah pola percakapan dikelas mereka, dan ketika seorang
guru memahami bentuk percakapan atau komunikasi di kelas, maka prestasi di
sekolahnya juga akan meningkat.
4. Proses melakukan analisis dapat menumbuhkan
intrinsik dan cinta seumur hidup untuk praktek mengajar dan umumnya akan meneguhkan
hidupnya berpotensi. Besty Rymes menjelaskan bahwa untuk mempelajari teknik
wacana kelas adalah bahwa berlatih wacana kelas di kelas Anda dapat
meningkatkan pengalaman keseluruhan mengajar, dan membuat Anda terlibat secara
intrinsik dalam kegiatan profesional Anda sebagai seorang guru. Cerita dan
penelitian dari para guru yang melakukan analisis wacana di kelas mereka
sendiri menunjukkan bahwa analisis wacana kelas dapat menumbuhkan kecintaan
seumur hidup mengajar. Guru / peneliti seperti Vivian Paley dan Karen Gallas biasa
menganalisis wacana kelas, tinggal terus-menerus menyesuaikan diri dengan
nuansa pembicaraan dalam kelas mereka. Analisis mereka beresonansi dengan antusiasme
mereka untuk mengajar dan pada gilirannya membuat buku-buku mereka khususnya
resonansi untuk guru. Mengumpulkan wacana kelas cara Paley dan Gallas lakukan
juga menyediakan guru dengan media kolaboratif, hands-on, pemecahan masalah
profesional. Dalam collaboratives penyelidikan guru yang berpusat pada data yang
dikumpulkan di ruang kelas, rasa komunitas profesional dan dukungan dapat
membuat pengajaran lebih mengisolasi dan mengajarkan kebiasaan yang secara
eksponensial yang lebih bermanfaat.
Definisi paling sederhana dari wacana adalah language-in-use. Bahasa selalu digunakan, jadi mengapa tidak hanya
menyebutnya "language"? Karena,
fitur "discourse" mendefinisikan (in-use) adalah fitur yang sebagian orang percaya adalah bukan komponen penting dari bahasa. Sebaliknya, beberapa ahli bahasa berpendapat bahwa fitur bahasa mendefinisikan kemampuannya untuk de-contextualized. Sebagai contoh kata "pohon" tidak perlu "pohon" sekitar untuk dipahami . Seorang siswa akan memberitahu Anda ia melihat "pohon" hari ini dan Anda akan tahu apa yang dia maksud. Dia tidak perlu menunjuk pohon atau menggambar untuk Anda. Dalam hal ini, bahasa adalah de-contextualizable dan hal ini dapat menjadi fitur yang membuat unik bahasa manusia.
fitur "discourse" mendefinisikan (in-use) adalah fitur yang sebagian orang percaya adalah bukan komponen penting dari bahasa. Sebaliknya, beberapa ahli bahasa berpendapat bahwa fitur bahasa mendefinisikan kemampuannya untuk de-contextualized. Sebagai contoh kata "pohon" tidak perlu "pohon" sekitar untuk dipahami . Seorang siswa akan memberitahu Anda ia melihat "pohon" hari ini dan Anda akan tahu apa yang dia maksud. Dia tidak perlu menunjuk pohon atau menggambar untuk Anda. Dalam hal ini, bahasa adalah de-contextualizable dan hal ini dapat menjadi fitur yang membuat unik bahasa manusia.
Dalam membangun permulaan pada classroom discourse analysis, terdapat tiga dimensi dalam penggunaan
bahasa, diantaranya:
a. Social context – faktor sosial yang ada dengan serta merta
mempengaruhi fungsi kata-kata dalam interaksi (contoh bagaimana pengaruh
konteks sosial ketika para siswa menggunakan kata “dude”? apa efek yang
ditimbulkan?)
b. Interactional context – percontohan atau pola percakapan pada
interaksi yang mempengaruhi apa yang bisa dikatakan atau tidak dan bagaimana
menerjemahkannya dalam wacana kelas. (contoh, dalam interaksi apa menggunakan
kata “dude”? sebuah salam? Sebuah pijian?)
c. Individual agency – mempengaruhi individu agar dapat
menggunakan kata-kata untuk diinterpretasikan dalam interaksi. (contoh, kapan
dan mengapa seseorang menggunakan kata “dude”? dan untuk apa tujuannya? Berapa
individu yang mengendalikan pengaruh itu?). (2008:31-32)
Setelah mengetahui penjabaran di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa memahami wacana kelas selalu berkaitan dengan teks dan
konteks. Hubungan antara guru dan murid itu cukup complicated, dikarenakan
beberapa faktor yaitu perbedaan background, komunikasi, goal-driven, dan
meaning-making. Suatu perbedaan di dalam kelas yang dipengaruhi oleh berbagai
value dan berbagai macam ideologi ini diharapkan mampu membangun perbedaan
tersebut melalui Religious Harmony, serta mutual understanding yang terjadi
dalam classroom discourse ini diharapkan dapat melahirkan toleransi.
Referensi:
Ø Rymes, B. (in press, 2008). Classroom Discourse Analysis: A Tool
for Critical Reflection. Cresskill, NJ: Hampton Press.
0 comments:
Post a Comment