Class Review 3
17 Februari 2014
Menjadi manusia terdidik & berbudaya yang berliterasi
“Kita
bawa obor dan Pak Lala yang menyalakan,urusan obor itu apinya akan gede atau
tidak itu terserah kita.” Bukannya “bawa ember gede yang harus Pak Lala isi.”
Kalimat itulah yang memotivasi saya
agar lebih giat dan serius lagi dalam belajar. Sebuah perumpamaan dari Mr.Lala
Bumela yang bermakna dan mempunyai arti yang membuat kami (PBI.B) tercengang.
Hal tersebut dikarenakan Pak Lala ingin agar kita menangkap ilmu yang beliau
sampaikan dan kita bisa mengembangkan ilmu tersebut sebesar-besarnya. Bukannya
Pak Lala memberikan ilmu sebanyak-banyaknya,tetapi kita hanya menerima asupan
ilmu dari beliau saja tanpa mencari referensi lain untuk mengembangkan ilmu
tersebut. Kita semua sedang dibimbing oleh beliau untuk menjadi manusia
terdidik & berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal yang biasa kita
sebut Literasi.
Literasi merupakan suatu cara untuk
melahirkan suatu masyarakat yang berperadaban tinggi. Dalam hal ini,literasi
tidak hanya berkutat pada kegiatan baca tulis saja,melainkan memiliki makna
luas dengan berbagai dimensi yang meliputinya. Dimensi Literasi tersebut
melingkupi dimensi sosial,ekonomi,politik,budaya,dan lain-lain. Dimensi-dimensi
tersebutlah yang membentuk predikat civilization (masyarakat yang
berperadaban). Sedangkan ciri-ciri dari civilization adalah eksistensinya
system security yang tinggi,dan juga terciptanya kondisi masyarakat yang
harmoni dan sejahtera (comfortable).
Budaya literasi terlahir dengan
adanya interpolasi moral,sosial dan spiritual supaya mampu menjadikan
masyarakatnya berkepribadian yang beradab,berbudaya dan menjunjung tinggi nilai
dan norma. Tidak bisa dikatakan literasi bagi orang yang memiliki kapasitas
keilmuan yang mapan namun tidak diimbangi dengan perilaku baik atau akhlakul
karimah. Jadi literasi harus memadukan antara intelektual,moral,sosial,dan juga
spiritual. Jika ke 4 aspek tersebut menempel pada diri setiap masyarakat atau
warga negara,bukan tidak mungkin lagi mereka bisa membangun peradaban bangsa
yang lebih maju. Untuk membangun masyarakat yang itulah literasi sangat
dibutuhkan sekali. Namun nyatanya di Indonesia cenderung lebih mengembangakn
tradisi dengar-ucap dibandingkan dengan budaya literasi yaitu baca-tulis.
Dalam masyarakat Madari didalam
wacana Prof.Chaedar Alwasilah menuturkan bahwa berjubelnya lulusan-lulusan
perguruan tinggi yang setengah literasi dikarenakan para dosen pengajar mata
kuliah bahasa belum terlalu matang baik usia maupun ilmunya yang mengakibatkan
mereka terkesan asal-asalan dalam mengajar,sehingga mayoritas lulusan dari
perguruan tinggi tidak mampu mengaktualisasikan ide-idenya kedalam bentuk
tulisan.
Seperti yang dituturkan Prof.Chaedar
bahwa ujung tombak pendidikan Literasi adalah guru,maka untuk membangun literasi
bangsa harus diawali dengan memangun guru yang profesional,dan guru yang profesional
hanya dihasilakan melalui lembaga pendidikan yang profesional juga. Dimensi
rekayasa literasi berkutat pada linguistik,kognitif,perkembangan dan
sosiokultural.
Konsep rekayasa literasi berarti
suatu taktik atau strategi dalam upaya mengkonsep ulang hal-hal yang masih
mentah dalam menjalankan pendidikan literasi tersebut. Tujuannya untuk
menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara
optimal. Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju pendidikan dan pembudayaan
literasi meliputi keterampilan membaca dan menulis . Dengan demikian,rekayasa
literasi berarti merekayasa,mengkonsep ulang dan mematangkan pengajaran membaca
dan menulis dalam empat dimensi tersebut. Contoh ketika kita disuguhkan
teks,maka yang seharusnya kita lakukan adalah
membaca,merespon,menulis,dikomentari,dikritisi,merevisi kembali kemudian
dipublikasikan ke media masa. Tujuannya agar kita tidak hanya menjadi manusia
pembaca saja,melainkan dapat menghasilkan sebuah karya tulis yang akan membantu
orang lain untuk mendapatkan ilmu lewat karya tulis kita. Seperti itulah
rekayasa literasi terbangun. Hal tersebut tentunya dapat mematangkan daya
berfikir kritis pelajar. Disamping itu ada catatan bahwa orang literat tidak
sekedar berbaca-tulis tapi juga terdidik dan mengenal sastra.
Sedangakan literasi kontannya dengan
bahasa,ketika bahasa semakin banyak digunakan,maka tingkat vitalitasnya semakin
tinggi dan bagus. Ketika kita memperbanyak tulisan-tulisan dalam bahasa inggris
berarti kita sedang meningkatkan vitalitas dari bahasa inggris itu sendiri.
Dalam hal demikian,kita ditempatkan menjadi bilingual writer,yakni disamping
cakap dan beretorika dengan bahasa Indonesia,kita juga dituntut untuk cakap
beretorika dalam bahasa Inggris. Tingkat penggunaan bahasalah yang menentukan
eksistensi bahasa itu.
0 comments:
Post a Comment