Nama : Resa Novianti
Class : PBI_B
NIM :14121310343
Menjamurnya
Budaya Literasi Di Berbagai Negara
Budaya literasi merupakan hal yang sangat
penting untuk dimiliki manusia dalam memajukan peradaban hidup. Menjamurnya budaya literasi akan membuat masyarakat menjadi tuan rumah di negeri sendiri atau yang
terbiasa berpikir kritis dan melakukan kajian
ulang atas segala hal yang ada di sekitarnya. Berbicara mengenai bahasa, tentunya tidak
lepas dari pembicaraan mengenai budaya karena bahasa itu sendiri merupakan
bagian dari budaya. Sehingga, pendefinisian istilah literasi tentunya harus
mencakup unsur yang melingkupi bahasa itu sendiri, yakni unsur sosial budaya.
Diskursus Asia-Afrika yang menjadi poros kekuatan yang pernah dibayangkan
Presiden Soekarno bisa menjadi kekuatan
baru (new forces) untuk menghalau dominasi dua blok di dunia. Asia-afrika
adalah inisiatif jenius politik Soekarno yang melihat sisi persatuan Asia-Afrika
sebagai sebuah kekuatan progresif, bukan hanya bagi kelangsungan pembangunan
ekonomi dan tawaran posisi politik, tapi juga kemakmuran dalam bidang kebudayaan yang disebut juga
dalam berdaulat dibidang politik, berdikari di ekonomi maupun berkepribadian
bidang kebudayaan. Peristiwa Konperensi Asia-Afrika (KAA) yang dilangsungkan di
Bandung pada 18 April 1955 itu kemudian menjadi sumber mata air inspirasi bagi
penyelenggaraan serupa di beberapa bidang kebudayaan dan pers seperti
Konperensi wartawan Asia-Afrika, Konperensi Pengarang Asia-Afrika, Festival
Film Asia-Afrika,kemudian Konperensi Sastrawan Asia-Afrika yang digalang
terus-menerus dan menjadi momentum bagi berlangsungnya kontak kesetiakawanan
dan membangun relasi dunia untuk yang lebih spesifik. Salah satunya termasuk
dalam dunia sastra yang mengikrarkan bersama melawan kolonialisme dibidang
budaya untuk memajukan perdamaian dunia.
Pernyataan
di atas menjelaskan bahwa masyarakat kita masih belum terbiasa dengan budaya
literasi. Malah, kini ada budaya lisan baru yang bersifat audio visual, yang
ditampilkan oleh telivisi, yang nyatanya lebih disukai dibanding budaya
mengolah informasi dari sumber bacaan tertulis. Menurut Van Peursen (1989:141)
manusia dapat belajar, lebih banyak daripada makhluk hidup lain, dan hasil
pelajaran itu dapat dititipkan kepada bahasa, sehingga generasi yang akan datang
dapat menampung hasil pelajaran itu, kalau perlu dapat menghafalkannya, sehingga
tak ada sesuatu pun yang hilang. Dengan demikian apa yang dipelajari setiap generasi
dapat menambah kekayaan pengetahuan dari
generasi terdahulu, sehingga pengetahuan dan pengertian akan semakin
menggunung.
Sementara
itu perkembangan teknologi informasi, komunikasi, dan transformasi menyebabkan interaksi
manusia yang berasal dari berbagai belahan dunia dengan latar belakang
sosio-kultural yang beraneka ragam itu semakin tinggi. Kemampuan beradaptasi
secara cepat dengan berbagai situasi budaya yang ada merupakan persyaratan
mutlak untuk keberhasilan menjalin hubungan dengan orang-orang dari berbagai
latar belakang sosial budaya.
Secara
sederhana, literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan
menulis. Kita mengenalnya dengan melek aksara atau keberaksaraan. Namun
sekarang ini literasi memiliki arti luas, sehingga keberaksaraan bukan lagi
bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti (multi literacies). Ada
bermacam-macam keberaksaraan atau literasi, misalnya literasi komputer (computer
literacy), literasi media (media literacy), literasi teknologi (technology
literacy), literasi ekonomi (economy literacy), literasi informasi (information
literacy), bahkan ada literasi moral (moral literacy). Jadi, keberaksaraan atau
literasi dapat diartikan melek teknologi, melek informasi, berpikir kritis,
peka terhadap lingkungan, bahkan juga peka terhadap politik. Seorang dikatakan
literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat
dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut.
Menurut Kimbey (1975: 662) kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan secara
berulang-ulang tanpa adanya unsur paksaan. Kebiasaan bukanlah sesuatu yang
alamiah dalam diri manusia tetapi merupakan hasil proses belajar dan pengaruh
pengalaman dan keadaan lingkungan sekitar. Karena itu kebiasaan dapat dibina
dan ditumbuh kembangkan. Sedangkan membaca (Wijono 1981, 44 dan Nurhadi 1978:
24) merupakan suatu proses komunikasi ide antara pengarang dengan pembaca, di
mana dalam proses ini pembaca berusaha menginterpretasikan makna dari lambang-lambang
atau bahasa pengarang untuk menangkap dan memahami ide pengarang. Sehingga
kebiasaan membaca adalah kegiatan membaca yang dilakukan secara berulang-ulang
tanpa ada unsur paksaan. Kebiasaan membaca mencakup waktu untuk membaca, jenis
bahan bacaan, cara mendapatkan bahan bacaan, dan banyaknya buku/bahan bacaan
yang dibaca.
Kemampuan
membaca merupakan dasar bagi terciptanya kebiasaan membaca. Namun demikian
kemampuan membaca padadiri seseorang bukan jaminan bagi terciptanya kebiasaaan
membaca karena kebiasaan membaca juga dipengaruhi oleh faktor lainnya (Winoto,
1994: 151), seperti ketersediaan bahan bacaan. Sedangkan, Gould (1991: 27)
menyatakan bahwa dalam setiap proses belajar, kemampuan mendapatkan
ketrampilan-ketrampilan baru tergantung dari dua faktor, yaitu faktor internal
dalam hal ini kematangan individudan ekternal seperti stimulasi dari
lingkungan. Zurkowski, orang pertama yang menggunakan konsep literasi informasi
menyatakan bahwa orang yang terlatih untuk menggunakan sumber-sumber informasi
dalam menyelesaikan tugas mereka disebut orang yang melek informasi
(information literate). Mereka telah mempelajari teknik dan kemampuan
menggunakan alat-alat dan sumber utama informasi dalam pemecahan masalah mereka
(Behrens, 1994 : 310).
Menurut
Chomsky (1957) pendekatan kognitif dan transformatif sebagai implikasi dari
teori-teori syntactic structure,berfokus pada pembangkitan (generating) potensi
berbahasa siswa sesuai dengan potensi dan kebutuhan lingkungannya. Materi yang
diajarkan kepada siswa berorientasi ke sintaksis. Communicative competence yang
tokoh-tokohnya antara lain Hymes(1976) dan widdowson(1978) menyatakan bahwa tujuan
bahasa adalah mampu berkominikasi dalam bahasa target, mulai dari komunikasi
terbatas sampai dengan komunikasi spontan dan alami. Dalam komunikasi manusia
tidak sekedar memproduksi ungkapan yang
komunikatif dan bernalar. Komunikasi tulis (mengisi formulir) bukan kegiatan
netral, melainkan keputusan politk ekonomi. Pendekatan komunikatif juga
dianggap kurang eksplisit dalam upaya menjelaskan bentuk dan fungsi sehingga
lahir tata bahasa fungsional atau Systemic Functional Grammar (SFG) yang di
kembangkan oleh Halliday(1985); Martin (2000).
literasi melalui
pendekatan genre di samping sebagai implikasi dari studi wacana ,tujuan
pembelajarannya adalah menjadikan siswa
mampu menghasikan wacana yang sesuai dengan tuntutan konteks komunikasi yang
sangat menonjol dalam pendekatan ini adalah pengenalan berbagai genre wacana
lisan maupun tulisan untuk di kuasai oleh siswa.
Menurut The National lyteracy di Amerika Serikat, 1991.
Kemampuan individu untuk membaca, menulis dan berbicara dalam bahasa inggris
dan memperhitungkan dan mengatasi masalah pada level keahlian penting untuk
fungsi dalam pekerjaan dan lingkungan sosial, untuk mencapai satu tujuan dan
untuk mengambangkan pengetahuan dan potensial. Menurut A.chaedar literasi tetap
berurusan dengan penggunaan bahasa dan kini merupakan kajian lintas disiplin
yang memiliki 7 dimensi yang saling terkait yaitu : Dimensi Bidang (Pendidikan,
komunikasi,administrasihiburan, militer dsb), DimensiGeografis (lokal, nasinal, regionnal, internasional), Dimensi Fungsi (problem solving,
job, improve knowledge,improve skills), Dimensi Media (teks, cetak, visual,
digital), Dimensi jumlah (satu, dua, beberapa), Dimensi Keterampilan (membaca,
menulis, Dimensi Bahasa (etnis lokal, nasional, regional,internasional).
Selanjutnya literasi
merupakan cerminan kemajuan bangsa . Para
Antropolog bahasa, seperti Lucian Levy-Bruhl, Claude Levi-Strauss, Walter Ong,
dan Jack Goody memandang literasi (bahasa) sebagai titik pangkal pembeda
masyarakat primitif dari masyarakat “beradab” (Ma’mur, 4:2010). Dengan
demikian, untuk membuat pembaruan dalam negeri, para intelektual muda—yang
dalam hal ini adalah mahasiswa—dituntut untuk aktif menjadi opinion leader
melalui publikasi tulisan dan kemampuan berbahas asing.
Bahasa merupakan cermin
identitas sebuah bangsa. Bahasa meretas batas-batas geografis dengan
keanekaragaman budayanya. Tanpa bahasa, tak ada wacana yang bisa diangkat,
didiskusikan, dan dibumikan secara nyata. Di era globalisasi seperti saat ini,
sebuah bangsa dapat menjangkau peradaban dunia melalui gerbang bahasa, yaitu
kemampuan membaca dan menulis (budaya literasi).
Menurut Besnier (dikutip dalam
Duranti, 2001; Ma’mur, 2010) dalam Key Concepts in Language and Culture
sebagai “communication though visually decoded inscriptions, rather than though
auditory and gestured channels”, literasi adalah komunikasi melalui
inskripsi yang terbaca secara visual, bukan melalui saluran pendengaran dan
isyarat. Inskripsi visual di sini termasuk di dalamnya adalah bahasa tulisan
yang dimediasi dengan alfabet (aksara).
Salah satu tantangan terbesar
dalam pemberdayaan bangsa ini adalah meninggalkan tradisi lisan (orality)
untuk memasuki tradisi baca tulis (literacy) (Suroso, 11:2007).
Bagaimanapun, era informasi telah menciptakan ruang yang luas terhadap tumbuh
kembangnya media tulis. Data dari Association For the Educational
Achievement (IAEA), misalnya, mencatat bahwa pada 1992 Finlandia dan
Jepang sudah termasuk negara dengan tingkat membaca tertinggi di dunia.
Sementara itu, dari 30 negara, Indonesia masuk pada peringkat dua dari bawah.
Perbandingannya dengan saat ini barangkali tidak berbeda jauh jika melihat
indikator yang ada.
Selain itu, dalam menjawab
tantangan global, transfer IPTEK dapat berhasil jika masyarakat menguasai
kemampuan membaca dan menulis. Diperlukan kemampuan yang profesional untuk
mengasah daya kritis serta mengadopsi nilai-nilai positif dari bangsa maju.
Belajar dari sejarah peradaban besar, menggiatkan budaya literasi dapat
mendorong tumbuhnya inovasi baru dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Pada masa
Socrates, misalnya, para siswa di Yunani (kota lahirnya para filosof),
diperkenalkan dengan budaya membaca, bukan budaya mendengar. Begitu juga di
zaman peradaban Islam, budaya literasi semakin berkembang ketika Khalifah
al-Ma’mun membangun akademi terbesar di dunia bernama Bayt al-Hikmah,
yaitu pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai pusat studi, perpustakaan yang
lengkap dengan kegiatan keilmuan lainnya (Zarkasyi, 94:2009). Sehingga, banyak
penemuan baru dalam perkembangan sains dan disiplin ilmu lainnya.
Melihat dari sejarah, dalam
konteks perguruan tinggi, budaya literasi merupakan hal yang sangat penting
digiatkan. Semuninterestedness (ketanpapamrihan),
tidak berdasarkan tendensi politik sesaat, serta memberikan ruang terbuka untuk
menguji objektifitas kebenarannya. Oleh karena sifatnya yang masih idealis,
respon intelektual yang diciptakannya bersifat wajar dan murni (Berly, 69:
2000)
akin zaman berkembang, tentu saja tantangan yang ada semakin
menuntut mahasiswa untuk bisa menjembatani jurang realitas. Para intelektual
muda diharapkan mampu memberikan gagasan yang segar untuk perubahan bangsa.
Bagaimanapun, sebagai intelektual muda di perguruan tinggi, mahasiswa mendasari
gerakannya dengan karakterisitik keilmuan yang memiliki berbagai sifat, antara
lain; Pertama, universalisme (berlaku universal, tidak di satu tempat),
menyentuh dasar-dasar hati nurani dan akal sehat; Kedua,
Lebih jauh, Botomore menjelaskan
bahwa intelektual adalah kelompok kecil yang secara langsung memberikan
kontribusi kepada pengembangan, transmisi, dan kritik gagasan-gagasan (Azra,
33: 1998). Dengan demikian, tugas seorang mahasiswa sejatinya adalah
menyampaikan gagasan kritis tersebut dan menuangkannya menjadi sebuah tulisan.
Kemampuan menulis tentu saja harus didukung dengan budaya membaca. Jika budaya
literasi dapat digiatkan secara optimal, bukan tidak mungkin para mahasiswa
mampu menjadi opinion leader, baik di tingkat lokal, maupun tingkat
global.
Seperti
fakta sejarah Amerika yang diungkapkan oleh Howard Zinn, seorang sejarawan,
penulis, serta aktifis sosial asal
Amerika yang mampu mengubah fokus karya sejarah. Dalam bukunya berjudul A People's History
of the United States yang ditulis dalam artikelnya Speaking Truth to
Power with Books, yang mengagetkan seluruh warga dunia tentang bias sejarah
yang terjadi dalam sejarah benua Amerika. Keberanian Zinn mengungkap sisi gelap
benua Amerika, yang tak sedikit menuai protes tidak hanya dari rakyat Amerika
namun seluruh dunia. Tak tanggung-tanggung yang menjadi sasaran tembaknya
adalah Christoper Columbus. Ia mematahkan segala pemikiran orang-orang yang
beranggapan bahwa Christoper Columbus adalah seorang discover, bahkan seorang
pahlawan. Zinn
mengungkap Columbus yang selama ini diagung-agungkan sebagai penemu benua
Amerika bahkan ada peringatan tentang hari Columbus sedunia yang mereka (Bangsa
Amerika) sebut sebagai Columbus Day. Bangsa Amerika berpandangan bahwa Columbus
adalah seorang yang sangat berjasa yang telah merevolusi kehidupannya ke arah
yang lebih baik, Columbus adalah seorang pahlawan bagi mereka, penemu besar,
dan seorang yang taat beragama. Namun di
balik itu semua, Zinn mengungkapkan bahwa Columbus tidak semulia yang mereka
ketahui. Columbus adalah sosok yang
arogan, pembunuh, penyiksa, penculik, tamak terhadap harta khususnya emas,
memutilasi dan menggantung penduduk pribumi ketika ia sampai di benua Amerika
demi mencari dan mendapatkan emas Columbus membunuh penduduk pribumi benua
tersebut.
Kelemahan
Zinn dalam artikel tersebut dapat menguak tentang kebenaran sejarah Columbus
yaitu kurangnya bukti-bukti yang berkaitan dengan bantahannya terhadap
Columbus. Melalui literasi, Zinn memang
berhasil menguak fakta-fakta tentang Columbus bahwasanya Columbus bukanlah
seorang yang patut diteladani. Dituliskan dalam artikel tersebut Zinn
mengungkapkan bahwa melalui teks sejarah terbongkar bahwa Columbus adalah
seorang yang berwatak keras, pembunuh, penyiksa, penculik, mutilator, munafik,
orang yang tamak terhadap harta, dan sebagainya.
Untuk beberapa abad, Christopher Columbus diyakini sebagai
penemu benua Amerika. Tapi itu kemudian terbantahkan. Bahkan Columbus sempat
terkejut, dia menemukan masjid di benua itu. Columbus lahir pada 30 Oktober
1451 dan meninggal 20 Mei 1506 pada usia 54 tahun. Dia seorang penjelajah dan
pedagang yang menyeberangi Samudra Atlantik dan sampai ke benua Amerika pada
tanggal 12 Oktober 1492 di bawah bendera Castilian Spanyol.
Menurut
catatan Wikipedia, Colombus mengira pulau tersebut masih perawan, belum
berpenghuni sama sekali. Mereka berorintasi menjadikan pulau tersebut sebagai
perluasan wilayah Spanyol. Tetapi setelah menerobos masuk, Columbus ternyata
kaget menemukan bangunan yang persis pernah ia lihat sebelumnya ketika mendarat
di Afrika.
Bangunan megah itu adalah Masjid yang dipakai oleh Orang-orang Islam untuk beribadah. Semula Columbus disambut dengan ramah oleh suku Indian, tetapi setelah ketahuan niat buruknya datang di pulau itu, Colombus banyak mendapat resistensi dari penduduk setempat. Beberapa armada kapal milik rombongan Colombus ditenggelamkan oleh suku Indian sebab mereka merasa terganggu dan terancam oleh kedatangan Colombus.
Bangunan megah itu adalah Masjid yang dipakai oleh Orang-orang Islam untuk beribadah. Semula Columbus disambut dengan ramah oleh suku Indian, tetapi setelah ketahuan niat buruknya datang di pulau itu, Colombus banyak mendapat resistensi dari penduduk setempat. Beberapa armada kapal milik rombongan Colombus ditenggelamkan oleh suku Indian sebab mereka merasa terganggu dan terancam oleh kedatangan Colombus.
Namun
menurut Gavin Menzies pememu pertama Benua Amerika adalah Laksamana Zheng He
(kita mengenalnya dengan Ceng Ho). Tampil penuh percaya diri, Menzies
menjelaskan teorinya tentang pelayaran terkenal dari pelaut mahsyur asal Cina.
Bersama bukti-bukti yang ditemukan dari catatan sejarah, dia lantas
berkesimpulan bahwa pelaut serta navigator ulung dari masa dinasti Ming itu
adalah penemu awal benua Amerika, dan bukannya Columbus.
Bahkan
menurutnya, Zheng He ‘mengalahkan’ Columbus dengan rentang waktu sekitar
70 tahun. Apa yang dikemukakan Menzies tentu membuat kehebohan lantaran
masyarakat dunia selama ini mengetahui bahwa Columbus-lah si penemu benua
Amerika pada sekitar abad ke-15. Pernyataan Menzies ini dikuatkan dengan
sejumlah bukti sejarah. Adalah sebuah peta buatan masa sebelum Columbus memulai
ekspedisinya lengkap dengan gambar benua Amerika serta sebuah peta astronomi
milik Zheng He yang dosodorkannya sebagai barang bukti itu. Menzies menjadi
sangat yakin setelah meneliti akurasi benda-benda bersejarah itu.
”Laksamana
inilah yang semestinya dianugerahi gelar sebagai penemu pertama benua Amerika,”
ujarnya. Menzies melakukan kajian
selama lebih dari 14 tahun. Ini termasuk penelitian peta-peta kuno, bukti
artefak dan juga pengembangan dari teknologi astronomi modern seperti melalui
program software Starry Night.
"Kisah tradisional bahwa
Columbus menemukan 'dunia baru' adalah fantasi belaka," kata dia seperti
dimuat Daily Mail, 8 Oktober 2013.
Ia bahkan yakin, Columbus memiliki salinan peta Cheng Ho saat mengarungi samudera menuju Amerika.
Menzies juga mengatakan, armada megah kapal China yang dipimpin Cheng Ho berlayar di sekitar daratan Amerika Selatan, 100 tahun sebelum Ferdinand Megellan -- orang pertama yang berlayar dari Eropa ke Asia, orang Eropa pertama yang melayari Samudra Pasifik, dan orang pertama yang memimpin ekspedisi yang bertujuan mengelilingi bola dunia.
Lebih jauh lagi, Menzies mengklaim, pemukim pertama Belahan Bumi Barat tidak berasal dari 'Jembatan Selat Bering', tapi pelaut China yang pertama melintasi Samudera Pasifik sekitar 40 ribu tahun lalu.
Ia juga menulis, penanda DNA membuktikan Indian Amerika dan pribumi lainnya adalah keturunan para pemukim dari Asia.
Ia bahkan yakin, Columbus memiliki salinan peta Cheng Ho saat mengarungi samudera menuju Amerika.
Menzies juga mengatakan, armada megah kapal China yang dipimpin Cheng Ho berlayar di sekitar daratan Amerika Selatan, 100 tahun sebelum Ferdinand Megellan -- orang pertama yang berlayar dari Eropa ke Asia, orang Eropa pertama yang melayari Samudra Pasifik, dan orang pertama yang memimpin ekspedisi yang bertujuan mengelilingi bola dunia.
Lebih jauh lagi, Menzies mengklaim, pemukim pertama Belahan Bumi Barat tidak berasal dari 'Jembatan Selat Bering', tapi pelaut China yang pertama melintasi Samudera Pasifik sekitar 40 ribu tahun lalu.
Ia juga menulis, penanda DNA membuktikan Indian Amerika dan pribumi lainnya adalah keturunan para pemukim dari Asia.
Jadi
bisa di tarik bahwa Begitu hebatnya kekuatan
dari buku itu sehingga buku merupakan instrumen yang berdaya kuat, mencengkeram
erat, menggetarkan dan berkuasa mengubah arah peristiwa-peristiwa yang lalu,
sekarang ataupun yang akan terjadi dan yang bisa diarahkan untuk kebaikan
maupun keburukan bagi kemaslahatan suatu bangsa dan Negara.
Reverensi :
Howard,
Zinn. (1980). A People’s History of The United States. United States:
Harper & Row; HarperCollins
0 comments:
Post a Comment