The 4th Class Review
On the first critical review evaluated
A Call
for Youth
100
menit 6000 detik, waktu yang sangat singkat tetapi terassa lebih lama di
benakku. Detik demi detik silih berganti, namun masih tetap dalam kajian
literasi. Tak pernah bosan kami mendengar karena demi kebutuhan di masa
mendatang. Dan tak kenal lelah kami belajar membaca dan menulis, higga
mengkritisi untuk latih mental dan cara berfikir kami ke depan. Menulis
merupakan salah satu cara yang efektif dalam memproduksi ilmu, membaca pun
serupa halnya dengan menyerap informasi yang ada di dalam teks. Dengan jalan
mengkritisilah, otak kami terus dilatih dan dilatih kemudian dituangkan dalam
tulisan.
Menulis
merupakan aktivitas mengambil sikap dan menerima kritik evaluasi. Kenapa harus
menulis? Dengan membaca pun kita memahami sebuah pengetahuan. Inilah hal
penting bagi kita, pada masa beberapa tahun yang akan datang, kita akan
dihadapkan dengan problema rawan yang kritik akan segala sikap kita yang akan
membawa konsekuensi pada sejumlah orang, sehingga kita harus berhati-hati dalam
bersikap. Hal ini pun bisa terasah dengan menulis, melatih berfikir dan
berkomentar dengan adanya bukti. Lalu, kapan saja waktu untuk kita menulis?
Hampir seluruh orang meluangkan waktunya untuk menulis. Hal ini dikarenakan
suasana yang sepi dan sunyi yang sangat mendukung prose side terbentuk. Hal ini
sejalan dengan puisi yang dikumandangkan oleh Budi Hermawan tentang menulis.
Berkariblah dengan sepi,
sebab dalam sepi ada [momen] penemuan dari apa yang dalam
riuh gelisah dicari.
Dalam sepi ada berhenti dari menerima ramainya stimulus
yang memborbardir indera kita.
Stimulus yang harus dipilah dan dipilih satu satu untuk
ditafakuri, lalu dimaknai, dan dijadikan berguna bagi kita.
Bila tidak mereka hanya dengungan yang bising di kepala
saja tak mengendap menjadi sesuatu yang mengizinkan kita memahami dunia di
sekitar kita [sedikit] lebih baik.
Berkariblah dengan sepi,
Berkariblah dengan sepi,
sejak dalam sepi kita menemukan diri yang luput dari
penglihatan dan kesadaran ketika beredar dalam ramai;
dalam sepi kita
dapat melihat pendaran diri yang diserakkan gaduh, mendekat, lalu merapat,
membentuk bayang jelas untuk dilihat tanpa harus
memuaskan keinginan yang lain.
Berkariblah dengan sepi karena dalam sepi berlalu lalang inspirasi yang tak kita mengerti,
atau tak dapat kita tangkapi ketika kita sibuk berjalan
dalam hingar yang pekak.
Berkariblah dalam sepi
sebab dalam sepi suara hati lebih nyaring terdengar
jernih. (Budi Hermawan)
Terkait
dengan critical review yang telah kami buat, bahwasannya banyak sekali
kekurangan yang harus kami benahi, terutama dalam classroom analysis
discourse. Hampir dari member kelas kami bahkan semua cenderung berfokus
pada religious harmony. Hal ini disebabkan karena kami bingung bagaimana
cara untuk memulai sebuah tulisan dari classroom discourse. Mungkin karena hal
tersebut baru saja kami dengar, dan sedikit membaca, inilah hasilnya, tak
memuaskan.
Dalam buku karya Besty Rymes (2008) yang bejudul
“Classroom discourse analysis: a tool for critical reflection”, mengucapkan
bahwa “Those of us who presume to
“teach” must not imagine that we know how each student begins to learn.” Hal ini
berarti bahwa kebanyakan dari kita sebagai pengajar tidak membayangkan
bagaimana setiap siswanya memulai untuk belajar.
Kemudian dilanjutkan pada chapter pertamanya, bahwasannya sebelum
kami membaca bab ibi, fikirkan tentang dirimu, sebagai seorang guru, bisa
memperoleh dari pengujian seperti percakapan di dalam kelas. Fikirkan kembali
pada interaksi di dalam kelasmu sendiri, baik sebagai seorang guru ataupun
murid, dan panggilan moment yang membuatmu tidak nyaman dan menunjukkan
beberapa hal yang membuatmu marah. Apa yang kamu fikirkan dari alasan tidak
nyaman dan marah tersebut?
Setelah pernyataan tersebut, Besty Rymes uga menjelaskan bahwa
tujuan dari penulisan bukunya adalah melengkapi guru-guru dengan peralatannya
untuk menganalisis percakapan di dalam kelas. Mengapa hal ini sungguh
terbebabni, dibayar kurang, dan sebagainya. Dalam hal ini, ada 4 alasan yang
melatarbelakanginya.
Pertama, perolehan wawasan dari classroom discourse analysis pada
20 tahun yang lalu memiliki mutual understanding yang tinggi antara guru dan
muridnya. Hal ini disebabkan karena kedekatan komunikasi mampu menampakkan pola
komunikasi antara kelompok dalam sisi perbedaannya. Pola dimana guru dan
muridnya harus bericara dalam satu ranah, pengenalan topic, menggunakan variasi
bahasa atau menceritakan cerita dengan cara yang berbeda namun mampu dalam
mengilustrasikan kesalahpahaman antara perbedaan kelompok social dalam
perkembangan classroom dan bagaimana murid dan guru dapat mengatasinya. Dari sinilah,
betapa pentingnya mutual understanding dalam classroom.
Dalam ihwal point kedua, tentang analisis pembelajaran di kelas,
seorang guru harus mampu untuk memahami perbedaan local dalam suatu pembicaraan
di dalam kelas. Dalam kasus ini, berbelit-belit permasalahan yang muncul dan
pertanyaan yang timbul dari benak kita. Menghadapi permasalahan terrsebut,
terdapat suatu alas an kenapa harus mampu untuk memahami baik guru ataupun
muridnya. Karena dengan adanya analisis pembelajaran kelas, kita dapat
mengurangi hal atau moment-moment yang tak terduga yang timbul dari kelas itu
sendiri. Mungkin, dengan jembatan merekam, melihat, menulis catatan dan
menganalisis, maka penelitian ini telah menunjukkan bagaimana perbedaan cara
berkomunikasi yang menyeleweng yang diinterpretasikan oleh guru itu sendiri,
serta mekanisme dalam pengaturan => lambang kurangnya pengetahuan, penggerak
atau kemampuan. Contoh :
§ Seorang anak amerika afrika tradisional bercerita sebuah cerita
yang polanya diinterpretasikan oleh remaja amerika afrika. Meskipun sedikit
agak menjelimet dan ditempa baik, tetapi gurunya tidak terfokus oleh cerita
tersebut. (Michaels,1981; Michaels and Chazden)
Dengan perbedaan pola seperti ini, maka hal ini termasuk dalam cross-cultural
communication dalam konteks kelas untuk meningkatkan mutual understanding
antara guru dan murid. Sebagai seorang guru, ia harus mampu menggunakan
pengetahuannya mereka dalam praktik membangun mtutual (kebersamaan), serta berkolaborasi
untuk memahami jalan cerita yang diucapkan, pertanyaan yang harus direspon, dan
masalah yang harus diselesaikan.
Point ketiga, “when techers analiyze discourse in their own
classroom, academic achievements improves. Terkait dengan point kedua, dimana
manfaat classroom discourse adalah untuk memahami, maka dalam ihwal ini adalah
bagaimana pembelajaran di kelas tersebut dapat melengkapi dengan analisis
metodenya. Dalam bahasan ini, guru adalah situasi yang baik untuk belajar membatasi
atau menyetempatkan dan merubah pola percakapan di kelas mereka. Inilah alasannya
pembelajaran di kelas menghabiskan waktu tetapi memberikan hasil. Ketika seorang
guru memahami bentuk percakapan atau komunikasi di dalam kelas, maka prestasi
di sekolahnya akan meningkat. Contoh :
§
Ketika seorang guru menemukan bahwa
siswanya adalah Native Amerika yang belajar pertama kali dengan saudara
kandungnya beserta kawan sebaya did lam rumah, disanalah mereka mampu menemukan
rancangan grup yang bekerja lebih dari pada instruksi tatap muka gurunya yang
memfasilitasi kesuksesan sekolah. (Philips, 1993)
§
Dalam mereview siswanya, Cazden
menemukan bahwa kami mempertimbangkan aspek interaksi pembelajaran sperti topic,
tugas, siapa yang menanyakan pertanyaan, dan bagaimana mereka menyusunnya. Dalam
hal ini, siswa lebih baik untuk menambah atau memperbesar realisasi makna.
(Cazden, 1972)
Dalam hal ini, pembelajaran interksi
di dalam kelas dan mngatur atau menyusun pembicaraan dapat menuju ke ranah yang
lebih produktif dan termasuk interaksi untuk membangun kesuksesan siswa.
National Board Teacher, level tertinggi guru yang profesioanal, juga
menghubungkan baik pemahaman pola di dalam kelas dan prestasi siswa yang
tinggi. Untuk menjadi National Board yang berijazah atau menjamin, guru harus
mampu “berfikir sistematis tentang praktek dan pembelajaran mereka dari
pengalaman.” (Core Proposition #4, National Board for Teaching Standards, www.nbpts.org) untuk mengilustrasikan bagaimana
cara berfikir yang sistematis, National Board menggunakan penilaian individual
guru, termasuk penjelasan, analisis, dan refleksi pada “Interaksi Rekaman Video
anatara Guru dan Muridnya” dalam kata lain ialah Classroom Discourse Analysis.
Berbicara mengenai point ketiga, lalu
bagaimana siswa menjadi siswa yang berperikemanusiaan? Meskipun kebijakan menyatakan tujuan yang
tinggi adalah baik untuk siswa, lalu bagaimana dengan siswa yang terbelakang. Dalam
hal ini, guru harus melakukan pendekatan pada siswa, memahami apa yang perlu
dimotivasi untuk mereka dan bagaimana mengubungkan bahasa untuk pembelajaran
yang merupakan setiap harinya berada di dalam kelas, menghabiskan waktu sehari-harinya
berkomunikasi dengan sebayanya yang mereka sayang, canda tawa, berfikir dan
bertumbuh dalam jalan yang unik dan fantastic.
Dengan demikian, classroom discourse
memiliki efek positif dalam lingkunag kelas, pembelajaran siswa, rasa kemanusiaan
dan rasa cinta guru untuk bekerja. Dimana kita akan mengahadapi hal demikian
pada aspek sfesifik ini semoga bermanfaat untuk kita, calon guru dan generasi
muda. =)
Di dalam 4 alasan tersebut, classroom
discourse dapat dijadikan mind mapping sebagai berikut:
Dikarenakan critical review 1 banyak
sekali kekurangan, dan saya sendiri cenderung menuliskannya pada Religious
Harmony, maka penjelasan tadi telah melengkapi sebagian dari critical review. Dan
sekarang, memulai masuk ke dunia pertanyaan pak Lala yang akan sedikit dikuak
oleh saya. Dimana salah satu pertanyaan menariknya adalah “sebenarnya Cut Nyak
Dien itu berkerudung atau tidak?” Sebelum membahas lebih dalam tentang Cut Nyak
Dien, sebaiknya kita berkenalan terlebih dahulu dengan beliau.
#Selayang Pandang Cut Nyak
Dien#
Siapa yang tak kenal gambar foto disamping, Cut Nyak Dien, seorang
Ratu Aceh. Beliau dilahirkan di dalam keluarga yang taat dan patuh beribadah. Beliau
adalah seorang penghafal Al-Qur’an (hafidzah).
Sekarang ini, Ratu
Aceh sedang menjadi buah bibir di masyarakatnya tersendiri. Mengapa demikian? Hal
ini disebabkan karena beliau tidak berjilbab, dan pada dasarnya kita mengetahui
bahwa beliau adalah Ratu yang bekonde. Hal tersebut tersebar bukan hanya di
kalangan masyarakat, tetapi juga social media pun menjadi buah bibir antara
akun yang satu dengan yang lainnya. Memulai naik daunnya berita ini, ketika ada
seorang finalis yang dilahirkan dari kota Aceh namun ia tidak memakai kerudung
bahkan tampil dengan pakaian terbuka. “kenapa masalah banget ama jilbab? Cut
Nyak Dien juga tidak berjilbab.” Sahutnya. Kalimat tersebut seakan-akan menjadi
pembenaran jika Ratu Aceh tidak berjilbab, sehingga sah-sah saja pada era
modern seperti sekarang ini.
Kenapa harus jilbab
yang dijadikan sebuah pertanyaan kepada Cut Nyak Dien? Setahu saya, itu
bukanlah sebuah permasalahan yang harus kita ungkit dan dibesar-besarkan karena
itu adalah urusan pribadi beliau.
Terkait dengan masalah
jilbab atau menutup aurat, ketika saya belajar Metode Studi Islam dengan pak
Ilman pada semester 2 silam, sedikitnya pernah menyinggung hal tersebut.
Memakai kerudung merupakan sebuah
budaya yang kini ngetrend di Indonesia. Dahulu kala, Negara kita merupakan umat
islam yang sebagian besar penduduknya belum berjilbab dan menutup aurat. Awal mulanya,
budaya berjilbab dan menutup aurat adalah budaya orang Turki, yang berkerudung
hitam. Namun, karena penduduk Indonesia mayoritas berkulit hitam, jadi mereka
membuat kerudung dengan warna yang berbeda. Jadi, masalah jilbab, tek perlu
diungkit, yang perlu diungkit adalah bagaimana kita membentuk cermin yang baik
untuk diri kita sendiri, juga masyrakat.
# kesimpulan #
Jadi dapat disimpulkan bahwa definisi Classroom discourse
analisis, definisi discourse berarti language in use. Dan discourse analisis
adalah mempelajari bagaimana bahasa yang digunakan yang dipengaruhi oleh
konteks itu sendiri. Di dalam kelas, konteks bisa tersusun dari berbicara
menuju sejarah pendidikan yang diterima di sekolahnya. Discourse analisis
berarti di dalam kelas menjadi critical classroom discourse analisis ketika
penelitian kelasnya mengambil efek dari beberapa konteks yang dipertimbangkan
dalam analisis mereka, dimana hal tersebut akan membentuk Religious Harmony di
antara mereka.
0 comments:
Post a Comment