Dalam tulisan “ Anthropology off the shelf : speaking truth to power with
books “ oleh Howard Zinn membicarakan mengenai kebenaran suatu ucapan yang
dikuatkan oleh adanya buku. Howard Zinn (
24 Agustus 1922 - 27 Januari 2010) adalah seorang sejarawan , penulis naskah ,
dan aktivis . Dia menulis banyak buku Sejarah yang termasuk salah satu bukunya yaitu A People's History of the United States. Sejarah brilian yang bergerak dari sudut pandang rakyat Amerika
yang sebagian besar nasibnya telah dihilangkan dari
sebagian besar sejarah.
Buku memang sebuah media penyambung ilmu yang efektif untuk menyalurkan
ilmu kepada pembacanya. Banyak sekali manfaat yang terkandung jika membaca
buku, selain menambah pengetahuan juga memberikan kesenangan atau manfaat
tersendiri bagi pembacanya.
Buku mengoperasikan banyak hal untuk mengubah kesadaran seseorang. banyak orang yang sudah membaca buku-buku
tertentu dan menganggap buku tersebut
membawa perubahan dalam hidupnya. Tapi, jika sebuah buku dapat mengubah
hidup seseorang dengan mengubah kesadaran seseorang, tentulah akan membawa
pengaruh bagi dunia. Hal pertama mengenai buku yang dapat merubah kesadaran
seseorang yaitu ketika buku dapat memperkenalkan sebuah ide atau gagasan yang
belum pernah diketahui oleh pembaca sebelumnya.
Sebuah
buku yang hanya terdiri dari kumpulan kertas dan tulisan itu mampu membawa
perubahan yang besar bagi kelangsungan sebuah bangsa. Dengan membaca buku, seseorang dapat
mengetahui bahkan menemukan realita atau fenomena kehidupan. Kita dapat mengetahui kedahsyatan dan pengaruh
sebuah buku dalam segala hal bidang kehidupan. Sebut saja, buku “Prinsipia
Mathematic” yang ditulis Isaac Newton. Buku ini berisi pandangan dan sebuah
pemikiran kritis bahwa kebenaran akal harus dibuktikan dengan
eksperimen-eksperimen yang tertuang dalan buku.
Berbicara kebenaran melalui buku sebagai bukti yang dapat dipertanggung
jawabkan keabsahannya atau valid ( referensi yang jelas ). Berbicara untuk
menguatkan kebenaran salah satunya dapat membawa perubahan mendasar dalam cara
kita untuk berpikir tentang kehebatan dan bagaimana untuk menolak yang tidak
benar. Berbicara dalam menguatkan kebenaran berkomitmen untuk perdamaian yang
harus memanifestasikan dalam segala sesuatu yang kita lakukan.
Pengetahuan yang didapatkan oleh pembaca dari buku akan membawa pengaruh
yang kuat mengenai pandangannya terhadap sesuatu hal. Seperti kepala sekolah Gradgrind
yang memberikan nasehat pada guru muda bahwa yang perlu diingat adalah hanya
berikan fakta, bukan hal lain tatapi fakta. Dari sini dapat diketahui bahwa
tidak ada hal – hal lain seperti fakta murni yang tidak dihiasi oleh
pengadilan. Pengadilan yang dimaksudkan mengenai fakta-fakta tertentu yang
penting diketahui oleh seseorang dan fakta yang tidak diberitahukan kepada
orang lain karena tidak penting untuk diketahui.
Seseorang mengetahui sesuatu hal tidak hanya cukup dari mendengar saja,
melainkan harus mengetahui fakta, yakni dengan cara membaca teks. Mayoritas
orang lebih cenderung membenarkan apa yang hanya mereka dengar dari kiai,
pendeta atau petinggi ( pemerintah), padahal realitanya untuk membuktikan fakta
tersebut kita juga harus membaca. Tidak hanya langsung melahap mentah-mentah
konsep pembicaraan yang sudah terbangun tersebut, kita harus mengkonsep ulang
dengan cara mengkritisi serta harus mencari referensi lain ( fakta dan bukti )
mengenai hal yang sedang dibicarakan tersebut.
Buku mengoperasikan dalam banyak cara untuk mengubah kesadaran seseorang.
Menulis dan membaca merupakan suatu media yang dapat membuat pserspektif atau
pandagan seseorang terbuka. Ketika suara diproduksi maka akan langsung hilang
pada saat itu juga kecuali jika suara tersebut direkam, informasi yang dibangun
secara lisan tersebut akan bisa diperdengarkan kembali. Hal itu bisa diimplikasikan seperti pada sejarah.
Sejarah jika hanya direpresentasikan melalui mulut ke mulut tanpa dituangkan
dalam bentuk tulisan, sejarah tersebut akan hilang. Ilmu pun jika tidak
direpresentasikan dengan tulisan, ia akan hilang, Jadi tulisan merupakan suatu
media untuk mengikat pengetahuan yang diperoleh baik melalui komunikasi verbal
( Lisan ) maupun dokumental ( tulisan ).
Diketahui bahwa pandangan seseorang dapat dipengauhi oleh buku. Tetapi
tidak sedikit buku yang membawa pandangan pribadi penulisnya. Dalam hal ini,
penulis buku terkadang menulis berdasarkan pandangan yang sebenarnya dan
selebihnya tidak. Sudah sepatutnya seorang penulis harus menulis sesuai dengan
fakta yang sebenarnya tanpa harus merubah atau hanya memberitahu sesuatu yang
perlu diketahui saja.
Menguasai teks dapat memanipulasi atau memutar-balikkan sejarah ( dunia ). Dalam
hal ini, buku bisa dikatakan sebagai salah satu bagian dari tulisan yang dapat
memutar-balikkan sejarah. Salah
satu yang paling hangat dibicarakan adalah Benua Amerika. Benua yang satu ini
menyimpan banyak misteri yang seolah tak bisa dipecahkan hingga saat ini. Salah
satu misteri tersebut terkait dengan sejarah penemu benua Amerika itu sendiri.
Dunia mengenal Colombus sebagai orang pertama yang menjejakkan kaki di daratan
Benua Amerika.
Namun
di kemudian hari, fakta sejarah berkata lain. Menurut Howard zinn bahwa christopher Colombus
itu bukanlah pahlawan. Dia adalah orang yang berfaham komunis. Dia juga bukan
penemu Benua Amerika. Dia adalah penjahat, orang yang serakah, pembunuh,
penindas kelompok ras hitam yang ada di Benua Amerika. Pertentangan mengenai
penemu Benua Amerika
dikaitkan dengan namanya yang bukan bernama benua columbia tetapi berasal dari
nama Amerigo Vespucci, yang hanya salah satu asisten dari Columbus, bukan
meniru nama penemunya.
Jay
Kislak seorang banker yang memberikan sebagian koleksi peta Benua Amerika menduga
nama Amerika yang muncul karena kelincahan dan relasi Vespucci yang kian luas. “Vespucci
jelas punya kontak yang lebih baik dengan media dari pada Columbus. Dia punya
kemampuan relasi yang lebih baik. Dia juga bisa menulis lebih baik. “Itu
sebabnya, kita mengenal Amerika, dan bukan Columbia. Inilah kekuatan dari
media,” ujar Kislak. Amerigo Vespucci juga lebih pandai menulis.
Dengan
kata lain, ada banyak kemungkinan bahwasanya telah dilakukannya manipulasi sejarah
melalui tulisan. Dari beberapa hal yang sudah disebutkan diatas dapat diketahui
bahwa pemberian nama Benua Amerika berasal dari nama Amerigo Vespucci karena
dia yang lebih pandai menulis. Maka tampak ada ketidak-jujuran dalam menuliskan
fakta sejarah tentang penemuan benua Amerika.
Disamping itu, Para
peneliti sejarah telah menunjukkan banyak bukti yang mengukuhkan teori bahwa
Colombus bukan penemu benua Amerika yang pertama kali. Sebab, ada banyak bukti
fisik seperti prasasti yang membuktikan bahwa jauh sebelum Colombus tiba di
Benua Amerika, telah ada seorang tokoh bernama Cheng Ho atau Zheng He yang tiba
70 tahun sebelum Colombus. Bahkan beberapa sejarawan juga berargumen bahwa
berabad-abad sebelum Cheng Ho, para saudagar sekaligus pelaut-pelaut muslim
sudah menjejakkan kaki di Benua Amerika dan membuat perkampungan di sana.
Pendapat ini secara terang-terangan dituliskan seorang peneliti bernama Dr.
Yousseef Mroueh di dalam essainya yang cukup populer berjudul
"Precolumbian Muslims in America".
Selain itu, ada peristiwa lainnya juga yang ada kaitannya dengan buku. Sebuah buku, A Memoir
of The Holocaust Years. Buku ini ditulis oleh Misha Defonseca, kini
71 tahun, berkebangsaan Belgia. Buku itu segera saja menjadi best seller, bahkan bertahun-tahun lamanya.
Misha menceritakan bagaimana perlakukan Nazi Jerman kepada kedua orang tua
Yahudinya, dan ia sendiri ketika itu masih bocah kecil. Misha, menceritakan
dirinya sendiri, berkelana dari satu negara Eropa ke negara Eropa lainnya,
karena kemudian ia kehilangan kedua orang tuanya. Ia mengaku ia tersesat di
Warsawa dan kemudian diasuh oleh kawanan srigala.
Tapi kini,
secara terang-terangan Misha mengakui bahwa buku itu hanya merupakan rekaannya
belaka—tidak berdasarkan pada kejadian sebenarnya. “Saya minta maaf pada semua
orang yang merasa dibohongi,” ujar wanita yang kini menetap di Massachussetts,
AS.
Adanya
ketidakjujuran dalam menuliskan fakta sejarah ataupun lainnya, membuktikan
bahwa penulisan buku yang bisa dibilang fungsi keakuratannya lebih tepat
ternyata kadang tidak sesuai dengan faktanya. Dalam kata lain masih ada
manupulasi tulisan dari penulis untuk memberikan informasi yang terkadang
dipengaruhi oleh kepentingan pribadi. Buku
yang tertulis saja belum tentu benar, apalagi ucapan yang memang akan langsung
hilang tanpa bekas. Itu akan terasa lebih susah dalan menyampaikan kebenaran.
Bila dilihat berdasarkan aspek sejarah, buku
memang mempunyai peran yang sangat penting karena pengetahuan mengenai sejarah
tidak mungkin dapat disampaikan hanya dengan melalui lisan atau ucapan saja.
Diperlukan adanya bukti otentik yang dapat menguatkan untuk menjaga keutuhan
sejarah sampai masa yang akan datang.
Dengan demikian pula bahwa dalam buku yang
menuliskan perjalanan sejarah perlu dikaji lebih dalam mengenai keakuratan dan
validasi sumbernya. Buku yang berisi sejarah sebagai sesuatu karya, tidak boleh
dipengaruhi oleh subyektivitas sejarawan. Sebagai contoh, tentang biografi
Diponegoro. Jika ditulis oleh sejarawan Belanda yang pro pemerintah kolonial,
maka Diponegoro dalam pikiran dan pendapat sejarawan tersebut dipandang sebagai
“pemberontak” bahkan mungkin “penghianat”.
Sebaliknya jika biografi itu ditulis oleh seorang
sejarawan yang pro-perjuangan bangsa Indonesia, sudah dapat diduga bahwa
Diponegoro adalah “pahlawan” bangsa Indonesia. Di sinilah letak penulisan buku sejarah
sebagai buku yang bersifat subyektif. Artinya memuat unsur-unsur dari subyek,
si penulis / sejarawan sebagai subyek turut serta mempengaruhi atau memberi
“warna”, atau “rasa” sesuai dengan “kacamata” atau selera subyek (Kartodirdjo,
1992: 62).
Oleh karena itu, tidak aneh jika tidak semua bacaan tentang sejarah itu benar,
maka penting bagi kita bersikap selektif dalam membaca buku-buku sejarah.
Seorang sejarawan pernah berujar seperti ini “Sejarah itu adalah versi atau
sudut pandang orang yang membuatnya. Versi ini sangat tergantung dengan niat
atau motivasi si pembuatnya.”. Kita sebut penulis yang seperti itu sebagai
upaya ”Rekayasa Sejarah”. seperti sejarah-sejarah yang selama ini kita baca
pada buku-buku sekolah misalnya, tak sepenuhnya benar, banyak sekali sejarah
yang ditulis sesuai dengan keinginan politisi penguasa, rekayasa sejarah sebagai
ajang pencitraan.
Jika sejarah serba subyektif, sejarah akan dapat
disimpulkan sebagai hasil rekonstruksi intelektual dan imajinatif sejarawan
tentang apa yang telah dipikirkan, dirasakan, atau telah diperbuat oleh
manusia, baik sebagai individu maupun kelompok berdasarkan atas rekaman-rekaman
lisan, tertulis atau peninggalan sebagai pertanda kehadirannya di suatu tempat
tertentu.
Sebagian
besar tulisan sejarah menunjukkan hal tersebut seperti penggambaran rekayasa
sejarah politik selama ini. Oleh sebab
itu, dikatakan bahwa ilmu sejarah paling besar muatan politiknya bahkan
digunakan sebagai wadah untuk memperkuat kekuasaan dari penguasa. Subjektivitas
dalam sejarah merupakan sesuatu yang tidak dapat di pisahkan juga, karena
penulis sejarah tidak mungkin bisa lepas dari nilai yang di yakini oleh
seorang penulis sejarah tersebut. Mereka tidak bisa lepas dari nilai politik
dan etnis dimana penulis sejarah tersebut berada.
Ada banyak ide yang terjadi pada orang yang sudah membaca buku. Mungkin
setelah mereka membaca buku, khususnya jika mereka membaca buku yang tidak
lazim atau menyimpang. Bisa saja terjadi hal yang tidak diinginkan karena tidak semua orang mempunyai pemahaman
yang sama terhadap buku. Tidak hanya melalui ucapan saja untuk mempengaruhi
pikiran, dengan buku pun bida mempengaruhi pikiran seseorang.
Buku memang memang sebuah media penyambung ilmu yang efektif untuk
menyalurkan ilmu. Tapi tidak
semua buku mengandung pesan baik. Ada beberapa buku yang bisa membuat
pembacanya sempit wawasan, tidak toleran, dan bahkan menjadi teroris. Tidak
sedikit pula kita akan menemukan buku-buku yang berisi anjuran untuk memerangi
perbedaan. Orang bisa dengan mudah menyesat-sesatkan orang lain hanya dengan membaca
buku-buku semacam itu.
Tetapi
bukan berarti setiap buku tidak penting untuk dibaca. Dari sisi penulisnya,
bisa saja buku semacam ini dianggap sebagai buku hebat yang padat argumentasi
kuat dengan tujuan memperkuat keyakinan para pembacanya. Tetapi pengaruhnya
bagi masyarakat luas ternyata tidak jarang justru bisa berpotensi merusak. Dari
sisi pembacanya, buku semacam ini bisa memprovokasi pembaca agar mengikuti
anjuran penulis. Dapat juga pengaruhnya diimbangi dengan cara membaca buku lain
yang memungkinkan pembacanya memiliki sisi pandang baik dan berwawasan luas.
Buku
harus dibaca dengan kritis agar pembaca tidak terjebak pada apa yang semula
tidak mereka sadari. Buku diharapkan dapat mempengaruhi kesadaran seseorang
dalam hal yang positif. Namun buku apapun tetap harus dibaca dengan kritis juga
sehingga pembaca berpeluang untuk mengembangkannya serta tidak sekedar
mengikuti pada apa maunya penulis. Dari sini seorang pembaca tidak saja
diutungkan dari segi bertambahnya pengetahuan.
Pada prinsipnya, setiap buku pasti memiliki
kelebihan dan kekurangan sehingga tidak dapat memuaskan semua pembacanya.
Penyajian informasi pada sebuah buku diharapkan dapat memenuhi sebanyak mungkin
aspek kegiatan proses penyebaran ilmu
pengetahuan
dan dapat dibaca oleh semua orang untuk memperoleh pengetahuan.
Begitu banyak buku yang
dapat digunakan sebagai bahan bacaan dan secara umum semua buku tampak semarak dengan ragam jenis mulai dari
fiksi realistik (termasuk seri lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati, seri
budi pekerti, seri anak beriman), biografi, petualangan, bacaan bergambar, buku
bacaan dwi-bahasa, hingga cerita misteri dalam bahasa asing.
Penyebaran ilmu dan pengetahuan telah dilakukan oleh berbagai bangsa dalam
berbagai budaya, melalui simbol gambar, ikon, lukisan, prasasti termasuk
kemudian buku. Sebuah sejarah dan
beberapa kejadian yang terjadi di waktu lampau bahkan dapat kita temukan di
dalam buku. Berbagai ide, pemikiran dan pencerahan bahkan dituliskan di
beberapa helai kertas dan disusun menjadi sebuah buku.
Namun sangat disayangkan beberapa buku-buku yang berisikan hal penting
beberpa hilang, rusak baik secara disengaja maupun tidak disengaja. Faktor-faktor
yang menghambat seseorang dalam membaca, faktor yang paling besar adalah
berasal dari dalam diri orang itu sendiri yang ditunjukan dengan kebiasaan atau
kegemaran membaca yang sangat rendah. Sesuatu
yang digemari pasti diminati, jika seseorang memiliki kegemaran membaca bisa
diasumsikan bahwa dia memiliki minat yang tinggi untuk membaca. Membaca bukan
sesuatu yang menjadi kebiasaan atau gaya hidup bagi setiap orang
Dengan demikian, dapat diambil beberapa poin dari beberapa penjelasan diatas.
Buku adalah sebuah alat perubahan sejati yang tak
lekang oleh usia dan waktu. Begitu banyak perubahan dan peristiwa yang terjadi
hanya karena sebuah buku. Buku memiliki kekuatan rahasia yang tersembunyi di
setiap kata-katanya. Sayangnya, masih banyak orang
yang berpikir buku itu benda yang tidak berguna dan menghabis-habiskan waktu.
Jika diberikan opsi antara berselancar di dunia maya, shopping di mall,
dan membaca, mungkin membacalah yang akan menjadi pilihan terakhir bagi
beberapa orang tertentu, khususnya anak muda. Tak heran jika kadar
intelektualitas masyarakat Indonesia dinilai kurang karena kurangnya aktivitas
membaca.
Sebuah
perubahan datang dari buku. Jika ingin hidup kita berubah, maka mulailah
membaca dan memahami sebuah buku. Mungkin filosofi itulah yang harus kita
tanamkan dalam diri kita masing-masing untuk memahami pentingnya membaca bagi
kelangsungan hidup kita. Buku memang sebuah benda mati yang tidak bernilai.
Namun setiap lembar dari buku adalah intrepretasi dari pemikiran dan ide seseorang
yang nilainya sangat berharga. Kita dapat memetik begitu banyak pelajaran,
pengalaman, dan pemikiran serta dapat menimbulkan keinginan menulis juga. Buku
membuat otak kita kaya akan pengetahuan untuk menghadapi kehidupan. Tentu
kita pun harus memilih buku yang tepat untuk mendapatkan perubahan yang optimal
ke arah yang lebih baik.
Pada
akhirnya, membaca adalah sebuah aktivitas yang wajib dilakukan masyarakat
Indonesia untuk maju. Tentu jangan salahkan pemerintah dan aparat lainnya jika
masyarakat Indonesia tidak maju-maju. Pemerintah hanyalah abdi rakyat, namun
yang berkuasa untuk membawa perubahan adalah diri kita masing-masing. Dengan
buku sebagai bahan bakar perubahan, mari kita menjadi agen perubahan bangsa
yang menciptakan sejarah dengan langkah tepat yang kita ambil.
Referensi
A transcription of remarks presented in “ anthropology of the shelf :
speaking truth to power with books”. December 2005.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah
coba tunjukkan di artikel ini posisi kamu sebagai kritikus, bukan sebagai storyteller?
ReplyDelete