Saturday, March 1, 2014

10:06 PM
Written by Muhammad Saefullah

            Kisah cinta yang dikemas dengan apik oleh Al Malikul Mulk (Rajanya di raja yaitu Allah swt). Kisah cinta umat manusia yang terekam dalam tarikan nafas kehidupan dan menjadi penerang qalbu disaat hati ini pilu, riang, dan bergembira. Inilah islam, sosok agama yang berliterat dan menyimpan rapih tata cara kehidupan di sebuah tulisan yang sangat luar biasa yaitu Al-Qur’an.

            Sebuah mahakarya sengaja dipersembahkan untuk sang kekasih-Nya yang tiada banding dengan apapun. Literasi menjadi pengetahuan wajib untuk membumikan islam sebagai rahmatallil’alamin, struktur bahasanya yang menawan membuat pembaca dan pendengar terkesima dengan kalam-Nya yang luar biasa. Beruntung kita menjadi orang Islam yang sudah mengenal literasi itu dari zaman dahulu, bahkan aliran lainpun tidak bisa meyaingi Al’Qur’an sebagai bukti literasi selamanya.
            Symposium yang diberikan para ulama salaf kita juga juga memberikan sumbangsih yang sangat besar. Seperti Imam Nawawi Al Bantani dan para iman lainnya memberikan masterpiece dalam dunia literasi, khususnya di pendidikan Islam.
            Karya ilmiah kitab kuning ini sangat istimewa dibandingkan dengan karya ilmiah sekarang. Struktur bahasanya yang disusun secara sistematis memberikan arti bahwa Islam sudah mengenal peradaban yang lebih maju, tulis menulis adalah hal yang sudah biasa dilakukan. Penulisan sumber yang ada di sastra atau tulisan zaman sekarang hanya secercah bahasa saja, tapi sumber yang ada di kitab kuning ditulis dengan lengkap dan pemberian garis-garis kotak menambah poin keindahan kitab itu. Bahkan, karya sastra yang dikarang oleh Iman kita hanyalah orang-orang tertentu yang bisa menafsirkan tulisan kitab kuningnya. Perlu ilmu alat (Nahwu dan Shorof) serta balagoh (tentang bahasa) untuk membolak-balikan kata agar bisa memahami.
Betapa hebatnya Islam dengan karya sastranya. Sampai sekarang eksistensi Al-Qur’an tetap berada pada tingkat upstairs, mahakarya dari sang Khalik yang yang selalu menjadi pedoman hidup dan bisa mengikuti perkembangan zaman. Didukung dengan kitab kuningnya yang bernuansa sastra tinggi menambah kecintaan kita untuk sang Haqq dan keyakinan yang mendalam.
Sebagai seorang akademisi kita juga harus belajar Suluk untuk memahami sastra Islam yang berbau religious. Seperti halnya yang dilakukan pada akhir-akhir ini yaitu menganalisis tentang Classroom Dicourse dengan Religion harmony.

Pada dasarnya Classroom Discourse berhubungan dengan beberapa aspek, yaitu yang pertama Pedagogi. Pendidikan anak ini sangat penting ditanamkan di tingkat dasar, kemudian dari pedagogi tersebut akan terjadi Interaksi antara ta’lim dengan muta’alim, ataupun sesame ta’lim. Anak-anak belajar bagaimana untuk hidup di masyarakat yang membutuhkan interaksi social. Dalam Classroom Discourse juga aka ada proses teaching and learning, suatu proses penyampaian dan penerimaan materi pembelajaran di kelas.
Representasi dari Classroom Discourse menurut Wahyuniarti salah satu mahasiswa S2Universitas Negeri Malang pada tesisnya menjelaskan tentang tindak elisitasi dalam wacana kelas (Kajian Mikroetnografi Terhadap Bahasa Guru). Beliau menjabarkan bahwa tindak elisitasi, guru, wacana kelas penggunaan bahasa dalam pembelajaran di kelas merupakan realitas komunikasi yang berlangsung dalam interaksi kelas. Dalam interaksi kelas guru selalu menggunakan bahasa untuk memperlancar proses interaksi pembelajaran.
Untuk meningkatkan keterampilan yang dimiliki oleh siswa dan pengembangan Iptek adalah dengan menggunakan tindak bahasa dalam pembelajaran. Tindak elisitasi merupakan wujud dari memancing siswa untuk lebih aktif dalam pembelajaran di kelas. Masalah tindak elisitasi guru dalam kelas mengkaji bentuk tindak elisitasi guru dalam wacana kelas, fungsi tindak elisitasi guru dalam wacana kelas, dan makna tindak elisitasi guru dalam kelas.
Menurutnya, ada tiga bentuk elisitasi, yaitu tindak interogatif yang meliputi bentuk interogatif dengan kata apa, siapa, kapan, berapa, atau, kenapa, mengapa, bagaimana, interogatif intonasi, dengan menghilangkan sebagian suku kata, dan bentuk interogasi. Kemudian yang kedua deklaratif diwujudkan dalam bentuk pernyataan, dan yang ketiga yaitu tindak imperative yang meliputi perintah, permintaan, ajakan, desakan, larangan, dan saran.
Kemudian fungsi tindak elisitasi meliputi menanyakan, menyatakan, dan memerintah.
1.      Menanyakan (meminta jawaban atau keterangan, meminta alasan, dan meminta pendapat)
2.      Menyatakan (menyatakan informasi dan menyatakan penjelasan)
3.      Memerintah (menyuruh, mengajak, mendesak, melarang, dan menyarankan)
Elisitasi dalam wacana kelas yang diwujudkan dalam makna bertanya, menyatakan, dan memerintah.
1.      Bertanya (meminta jawaban atau keterangan seperti makna meminta keterangan sesuatu)
2.      Menyatakan (menyatakan informasi dan penjelasan)
3.      Makna memerintah (menyuruh, mengajak, mendesak, melarang, dan menyarankan)
Dari ketiga makna itu diharapkan bisa digunakan oleh guru SD dalam memilih dan menggunakan tindak elisitasi yang meliputi bentuk, fungsi , dan makna yang bervariasi sesuai dengan konteks pembelajaran. Dengan demikian, perilaku guru terhadap siswa tampak sebagai upaya membangun komunikasi yang sehat dan komunikatif, menghindari suasana yang membosankan serta benar-benar menumbuhkan dan mengembangkan potensi siswa secara maksimal. Selain itu, dapat memberikan masukan kepada kepala sekolah untuk memotivasi dan meminta komitmen para guru agar senantiasa merencanakan, mengembangkan, dan menerapkan aktifitas belajar mengajar dengan memanfaatkan potensi penggunaan tindak elisitasi dalam pembelajaran di kelas.
Classroom Discourse sangat berkaitan erat dengan Religion Harmony yang ada di kelas. Banyak perbedaan-perbedaan yang ada secara lahiriah seperti latar belakang mereka yang berbeda, dalam satu kelas mereka asalnya tidak satu budaya bahkan ada yang berbeda agama. Kemudian perbedaan komunikasi, pada dasarnya bahasa Indonesia sebagai penghubung tetapi ada yang membawa jati dirinya masing-masing sehingga terjadi perbedaan komunikasi. Perbedaan ketiga yaitu goal-given, tujuan dari mengajar itu pada intinya  terfokus pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Perbedaan di kelas yang terakhir ialah meaning making practices. Siswa belajar bagaimana menginterpretasikan dan mengartikan prakteknya itu agar di dalam kelas kerukunan antar umat beragama bisa terjalin.
Di dalam kelas ada values ideologi yang datang dari masing-masing siswa. Ideologi mereka berbeda-beda dan kepentinganpun beda, oleh karena itu classroom discourse sangat dibutuhkan untuk mengakrabkan mereka. Lewat sosok guru adalah kunci yang tepat, salah satunya dengan elisitasi ini agar di dalam kelas terjadi kerukunan lintas agama yang dibangun sejak kecil.
Pak Chaedar mengungkapkan kalau orang kuliah saja tidak rukun bagaimana dengan yang tidak kuliah. Dengan adanya classroom discourse ini bisa meminimalisir konflik antar umat beragama yang mana fokus pembelajaran di kelas itu pada tension atau tensinya.
Interaksi yang baik dalam pembelajaran di kelas tidak bisa dihindari dari dua hal, yaitu talk dan background. Talk itu akan dibangun dari identitas siapakah dirinya maka akan terjalin komunikasi yang searah. Latar belakang seseorang juga berpengaruh dalam pembelajaran di kelas saja, tapi lingkungan yang ada di sekitarnya mendukung untuk membangun kerukunan.
Classroom discourse akan berpengaruh pada kualitas membaca siswanya. Pada saat ini pembaca terjadi evolusi yang signifikan. Pembaca yang biasa-biasa saja mempunyai karakteristik seperti kurang kritis dama menanggapi bacaan, daya baca yang lambat, pemahaman menangkap inti bacaan itu sulit. Namun, pembaca yang berkualitas justru sebaliknya, mereka berpikir kritis dalam menanggapi teks, pemahamannya yang cepat serta daya bacanya juga. Oleh karena itu pembaca yang biasa saja berevolusi kepada pembaca yang berkualitas dengan cara sering membaca dan menigkatkan bahan bacaannya, meminta pendapat kepada pembaca yang sudah qualified, dan masih banyak cara lainnya.

Dari kupasan tuntas di atas, dapat disimpulkan bahwa literasi yang ada pada umat Islam itu sudah ada sejak Nabi Muhammad Saw. Al’Qur’an sebagai mahakarya dan kitab-kitab kuning karangan para ulama sebagai symposium membuktikan bahwa Islam itu mempunyai kredibilitas yang sangat tinggi termasuk dalam kerukunan antar umat beragama. Religious harmony terjadi pada ta’lim muta’alim di kelas yang diarahkan oleh ta’lim sebagai sosok “uswah” yang harus memberikan contoh yang baik, sehingga interaksi akan berjalan dengan lancar. Dengan begitu para siswa bisa saling berbagi pengetahuannya lewat interaksi sosial sebagai seorang yang bisa berperan sebagai pembaca hasil karya temannya.

0 comments:

Post a Comment