Written by Muhammad
Saefullah
Kisah
cinta yang dikemas dengan apik oleh
Al Malikul Mulk (Rajanya di raja
yaitu Allah swt). Kisah cinta umat manusia yang terekam dalam tarikan nafas
kehidupan dan menjadi penerang qalbu disaat hati ini
pilu, riang, dan bergembira. Inilah islam, sosok agama yang berliterat dan
menyimpan rapih tata cara kehidupan di sebuah tulisan yang sangat luar biasa
yaitu Al-Qur’an.
Sebuah
mahakarya sengaja dipersembahkan untuk sang kekasih-Nya yang tiada banding
dengan apapun. Literasi menjadi pengetahuan wajib untuk
membumikan islam sebagai rahmatallil’alamin, struktur bahasanya yang menawan
membuat pembaca dan pendengar terkesima dengan kalam-Nya
yang luar biasa. Beruntung kita menjadi orang Islam
yang sudah mengenal literasi itu dari zaman dahulu, bahkan aliran lainpun tidak
bisa meyaingi Al’Qur’an sebagai bukti literasi selamanya.
Symposium
yang diberikan para ulama salaf kita juga juga memberikan sumbangsih yang
sangat besar. Seperti
Imam Nawawi Al Bantani dan para iman lainnya memberikan masterpiece dalam dunia literasi,
khususnya di pendidikan Islam.
Karya
ilmiah kitab kuning ini sangat istimewa dibandingkan dengan karya ilmiah
sekarang. Struktur bahasanya yang disusun secara sistematis memberikan arti
bahwa Islam sudah mengenal peradaban yang lebih
maju, tulis menulis adalah hal yang sudah
biasa dilakukan. Penulisan
sumber yang ada di sastra atau tulisan zaman
sekarang hanya secercah
bahasa saja, tapi sumber yang ada di kitab kuning ditulis dengan
lengkap dan pemberian garis-garis kotak menambah poin keindahan kitab itu.
Bahkan, karya sastra yang dikarang oleh Iman kita hanyalah orang-orang tertentu
yang bisa menafsirkan tulisan kitab kuningnya. Perlu ilmu alat (Nahwu dan
Shorof) serta balagoh (tentang bahasa) untuk membolak-balikan kata agar bisa memahami.
Betapa hebatnya Islam
dengan karya sastranya. Sampai sekarang eksistensi Al-Qur’an tetap berada pada
tingkat upstairs, mahakarya dari sang
Khalik yang yang selalu menjadi pedoman hidup dan bisa mengikuti perkembangan
zaman. Didukung dengan kitab kuningnya yang bernuansa sastra tinggi menambah
kecintaan kita untuk sang Haqq dan keyakinan yang mendalam.
Sebagai seorang
akademisi kita juga harus belajar Suluk untuk memahami sastra Islam yang berbau
religious. Seperti halnya yang dilakukan pada akhir-akhir ini yaitu menganalisis
tentang Classroom Dicourse dengan Religion harmony.
Pada dasarnya Classroom
Discourse berhubungan dengan beberapa aspek, yaitu yang pertama Pedagogi. Pendidikan anak ini sangat
penting ditanamkan di tingkat dasar, kemudian dari pedagogi tersebut akan
terjadi Interaksi antara ta’lim
dengan muta’alim, ataupun sesame ta’lim. Anak-anak belajar bagaimana untuk
hidup di masyarakat yang membutuhkan interaksi social. Dalam Classroom
Discourse juga aka ada proses teaching
and learning, suatu proses penyampaian dan penerimaan materi pembelajaran
di kelas.
Representasi dari
Classroom Discourse menurut Wahyuniarti salah satu mahasiswa S2Universitas
Negeri Malang pada tesisnya menjelaskan tentang tindak elisitasi dalam wacana
kelas (Kajian Mikroetnografi Terhadap Bahasa Guru). Beliau menjabarkan bahwa
tindak elisitasi, guru, wacana kelas penggunaan bahasa dalam pembelajaran di
kelas merupakan realitas komunikasi yang berlangsung dalam interaksi kelas.
Dalam interaksi kelas guru selalu menggunakan bahasa untuk memperlancar proses
interaksi pembelajaran.
Untuk meningkatkan
keterampilan yang dimiliki oleh siswa dan pengembangan Iptek adalah dengan
menggunakan tindak bahasa dalam pembelajaran. Tindak elisitasi merupakan wujud
dari memancing siswa untuk lebih aktif dalam pembelajaran di kelas. Masalah
tindak elisitasi guru dalam kelas mengkaji bentuk tindak elisitasi guru dalam
wacana kelas, fungsi tindak elisitasi guru dalam wacana kelas, dan makna tindak
elisitasi guru dalam kelas.
Menurutnya, ada tiga
bentuk elisitasi, yaitu tindak interogatif yang meliputi bentuk interogatif
dengan kata apa, siapa, kapan, berapa, atau, kenapa, mengapa, bagaimana,
interogatif intonasi, dengan menghilangkan sebagian suku kata, dan bentuk
interogasi. Kemudian yang kedua deklaratif diwujudkan dalam bentuk pernyataan,
dan yang ketiga yaitu tindak imperative yang meliputi perintah, permintaan,
ajakan, desakan, larangan, dan saran.
Kemudian fungsi tindak
elisitasi meliputi menanyakan, menyatakan, dan memerintah.
1.
Menanyakan
(meminta jawaban atau keterangan, meminta alasan, dan meminta pendapat)
2.
Menyatakan
(menyatakan informasi dan menyatakan penjelasan)
3.
Memerintah
(menyuruh, mengajak, mendesak, melarang, dan menyarankan)
Elisitasi dalam wacana
kelas yang diwujudkan dalam makna bertanya, menyatakan, dan memerintah.
1.
Bertanya
(meminta jawaban atau keterangan seperti makna meminta keterangan sesuatu)
2.
Menyatakan
(menyatakan informasi dan penjelasan)
3.
Makna
memerintah (menyuruh, mengajak, mendesak, melarang, dan menyarankan)
Dari ketiga makna itu diharapkan bisa digunakan oleh
guru SD dalam memilih dan menggunakan tindak elisitasi yang meliputi bentuk,
fungsi , dan makna yang bervariasi sesuai dengan konteks pembelajaran. Dengan
demikian, perilaku guru terhadap siswa tampak sebagai upaya membangun komunikasi
yang sehat dan komunikatif, menghindari suasana yang membosankan serta
benar-benar menumbuhkan dan mengembangkan potensi siswa secara maksimal. Selain
itu, dapat memberikan masukan kepada kepala sekolah untuk memotivasi dan
meminta komitmen para guru agar senantiasa merencanakan, mengembangkan, dan
menerapkan aktifitas belajar mengajar dengan memanfaatkan potensi penggunaan
tindak elisitasi dalam pembelajaran di kelas.
Classroom Discourse sangat berkaitan
erat dengan Religion Harmony yang ada di kelas. Banyak perbedaan-perbedaan yang
ada secara lahiriah seperti latar belakang mereka yang berbeda, dalam satu
kelas mereka asalnya tidak satu budaya bahkan ada yang berbeda agama. Kemudian
perbedaan komunikasi, pada dasarnya bahasa Indonesia sebagai penghubung tetapi
ada yang membawa jati dirinya masing-masing sehingga terjadi perbedaan
komunikasi. Perbedaan ketiga yaitu goal-given,
tujuan dari mengajar itu pada intinya
terfokus pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Perbedaan di
kelas yang terakhir ialah meaning making
practices. Siswa belajar bagaimana menginterpretasikan dan mengartikan
prakteknya itu agar di dalam kelas kerukunan antar umat beragama bisa terjalin.
Di dalam kelas ada values ideologi yang datang dari masing-masing siswa. Ideologi
mereka berbeda-beda dan kepentinganpun beda, oleh karena itu classroom
discourse sangat dibutuhkan untuk mengakrabkan mereka. Lewat sosok guru adalah
kunci yang tepat, salah satunya dengan elisitasi ini agar di dalam kelas
terjadi kerukunan lintas agama yang dibangun sejak kecil.
Pak Chaedar mengungkapkan kalau orang
kuliah saja tidak rukun bagaimana dengan yang tidak kuliah. Dengan adanya
classroom discourse ini bisa meminimalisir konflik antar umat beragama yang
mana fokus pembelajaran di kelas itu pada tension atau tensinya.
Interaksi yang baik dalam pembelajaran
di kelas tidak bisa dihindari dari dua hal, yaitu talk dan background. Talk itu
akan dibangun dari identitas siapakah dirinya maka akan terjalin komunikasi
yang searah. Latar belakang seseorang juga berpengaruh dalam pembelajaran di
kelas saja, tapi lingkungan yang ada di sekitarnya mendukung untuk membangun
kerukunan.
Classroom discourse akan berpengaruh
pada kualitas membaca siswanya. Pada saat ini pembaca terjadi evolusi yang
signifikan. Pembaca yang biasa-biasa saja mempunyai karakteristik seperti
kurang kritis dama menanggapi bacaan, daya baca yang lambat, pemahaman
menangkap inti bacaan itu sulit. Namun, pembaca yang berkualitas justru
sebaliknya, mereka berpikir kritis dalam menanggapi teks, pemahamannya yang
cepat serta daya bacanya juga. Oleh karena itu pembaca yang biasa saja
berevolusi kepada pembaca yang berkualitas dengan cara sering membaca dan
menigkatkan bahan bacaannya, meminta pendapat kepada pembaca yang sudah
qualified, dan masih banyak cara lainnya.
Dari kupasan tuntas di atas, dapat
disimpulkan bahwa literasi yang ada pada umat Islam
itu sudah ada sejak Nabi Muhammad Saw. Al’Qur’an sebagai mahakarya dan
kitab-kitab kuning karangan para ulama sebagai symposium membuktikan bahwa Islam itu mempunyai kredibilitas yang sangat tinggi
termasuk dalam kerukunan antar umat beragama. Religious harmony terjadi pada
ta’lim muta’alim di kelas yang diarahkan oleh ta’lim sebagai sosok “uswah” yang
harus memberikan contoh yang baik, sehingga interaksi akan berjalan dengan lancar. Dengan begitu para siswa bisa saling berbagi
pengetahuannya lewat interaksi sosial sebagai seorang yang bisa berperan sebagai
pembaca hasil karya temannya.
0 comments:
Post a Comment