Hujan Pengetahuan dan Penemuan Fakta
disebabkan Membaca dan Menulis
Begitu sulit rasanya, ketika saya mencoba merangkai kata untuk
menyajikan sesuatu yang bagus bahkan luar biasa dalam membuat tulisan ini.
Namun tugas kami hanya taat pada proses, kami sedang belajar dan kami sedang
berusaha untuk menyajikan sebuah tulisan yang setidaknya enak dibaca dan
syukur-syukur luar biasa. Dari buku milik
Howard Zinn yang berjudul “Anthropology
Of The Shelf” Anthropologists on Writing Edited by Alisse Waterston dan Maria
D. Vesperi (2009 ) bab 2 dengan judul
“Speaking Truth to Power with Books1 “, disini membicarakan atau
mengumumkan kebenaran-kebenaran menurut buku ini. Pada intinya, buku ini
membahas mengenai kesadaran seorang reader (pembaca) atau reader conciousness.
Untuk mengawali critical review kedua ini ada baiknya kita menoleh
kebelakang mengenai sesuatu yang sudah terjadi. Masa lalu? Pengalaman?
Pentingkah? Biasa-biasa saja? Atau bahkkan tidak penting sama sekali? Jawaban
saya pribadi mengenai pertanyaan-pertanyaan diatas adalah “sangat penting”.
Kenapa? Yah, karena kita belajar dari pengalaman, ketika seseorang menjadikan
pengalaman itu sebagai bahan pelajaran, maka kita akan melangkah untuk lebih baik
dari pengalaman tersebut. Ini hanya sebagai pengingat diri saja, bagi siapapun yang
membaca tulisan ini, intinya dalam segala aspek kehidupan pengalaman itu
berperan penting, pengalaman bisa menjadikan kita sukses, bisa pula menjadikan
kita jatuh, tergantung kita menyikapi pengalaman tersebut seperti apa. Dan jika
dikaitkan dengan critical review pertama saya yang kemarin, saya mendapat
pengalaman, sedikit gambaran mengenai bagaimana cara mengkritisi sebuah hasil
karya orang lain, apalagi itu hasil karya seorang Profesor. And now, saya berharap
komentarnya lebih baik dari minggu lalu.
Dalam setiap critical review yang ditinjau itu pasti tak lepas dari
yang namanya kekutan/kelebihan dan kelemahan/kekurangan argumen penulis. Dari
buku ini saya dapat melihat penulis mengatakan bahwa “orang yang bisa membaca
dan menulis adalah orang yang bisa memutar balikan fakta”. Jika saya resapi
kalimat tersebut, sejauh ini saya dapat mengartikannya sebagai alat. Yah, dengan
membaca dan menulis kita akan bisa melakukan segala hal. Jangan jauh-jauh,
masih segar rasanya di ingatan kita mengenai literasi, orang yang bisa membaca
dan menulis itu berarti orang tersebut adalah orang literat, dan kita tahu
bahwa, orang-orang literat itu adalah orang-orang yang maju, orang-orang yang
hebat dan dengan literasi maka sebuah negara akan maju. Tak luput dari itu,
maka jelas membaca dan menulis adalah sebagai alat yang mampu memutar balikan
fakta. Kenapa demikian? Ketika seseorang telah mampu menguasai teks, maka dia
dapat memanipulasi atau memutarbalikan sejarah (dunia), karena dengan membaca
dan menulis dia mengetahui fakta dan kebenarannya, karena saya rasa orang yang
menulis juga tidak asal-asalan menulis, disana pasti memerlukan penelitian
terlebih dahulu dan orang yang membaca harus bisa menemukan paradigma baru.
Itulah mengapa orang yang mampu membaca dan menulis itu disebut bisa memutar
balikan fakta.
Dari buku ini juga, saya dapat melihat bahwa penulis mengungkapkan
dengan membaca buku kita dapat menemukan fakta-fakta lain bahwa mengapa kita
harus patuh pada perintah orang tua. Selain kita ketahui bahwa patuh dan taat
pada orang tua itu adalah kewajiban, jelas dalam buku ini penulis mengatakan
bahwa banyak fakta-fakta yang menunjukan mematuhi perintah orang tua itu sangat
berguna untuk anaknya. Ketika Howard Zinn mulai membaca Dickens, itu semua
memberi efek yang sangat kuat bagi pemikiran dia, dan ini juga berkaitan dengan
apa yang saya ungkapkan yaitu bahwa semuanya berdasarkan “pengalaman”. Howard
mengungkapkan demikian, jadi benar bahwa pengalaman sangat penting dalam segala
aspek kehidupan kita. Howard merasa bahwa dia mengetahui pentingnya sebuah
buku, itu tak lain dikarenakan dengan pengalamannya sendiri. Ini bisa
menegaskan pendapat saya tadi, bahwa “experience” itu memiliki peran penting
untuk kehidupan ini.
Dari artikel ini juga penulis mengungkapkan bahwa “Book can have a
powerful effect” menurutnya buku itu dapat memiliki efek yang kuat untuk
pembaca. Ada buku yang benar-benar serius mempengaruhi kita, penulis mengungkapkan
pengalamannya bahwa ada orang yang mengatakan kepadanya, “buku ini telah
merubah hidupku” pertama kali mendengar itu penulis juga terkejut, kok sampai
ada yang berkata demikian tentang buku? Segitu pentingnya kah peran buku untuk
kita? Ya saya rasa orang yang berkata demikian kepada penulis, telah merasakan
sebuah “Effect” yang besar dari sebuah buku. Buku itu memiliki cara bagaimana
dia menjadikan orang yang tadinya tidak tahu, menjadi tahu setelah membacanya,
tidak hanya itu, peran buku juga adalah dia bisa menghipnotis seseorang baik
secara langsung atau tidak untuk membuat seseorang merubah pemikirannya, bahkan
gaya hidupnya . Seperti yang kita ketahui buku adalah gudang ilmu, apapun buku
itu, didalamnya terdapat berbagai ilmu pengetahuan. Saya setuju dengan ungkapan
seseorang yang mengatakan buku itu dapat merubah hidup saya, karena setelah
buku itu dapat merubah hidup seseorang, maka pasti buku juga dapat merubah
dunia. Semakin banyak orang yang mengerti dengan hal tersebut, maka buku itu
benar-benar akan merubah dunia ini. Sayangnya, hanya minoritas saja dan
orang-orang tertentu saja yang mengetahui hal ini. Hampir semua orang mungkin
tahu bahwa buku ini sumber ilmu, tapi tidak banyak orang yang peduli bagaimana
cara untuk mendapatkan ilmu yang banyak dari buku tersebut, bahkan untuk
merubah dunia lewat buku tersebut.
Tetapi ada hal yang perlu diperhatikan juga bahwa kita harus
berhati-hati dalam memilih buku, artinya sekiranya buku itu memberi dampak
positif bagi kita maka bacalah, namun jika buku itu sekiranya akan memberi
dampak negatif untuk kita, maka saran saya jangan dibaca. Pandai-pandailah
memilih mana buku yang merubah hidup kita ke arah yang positif dan mana yang
mendorong kita ke arah yang negatif. Karena saya yakin, tidak semua buku itu
bernilai positif, pasti banyak pula buku yang didalamnya mengajarkan kita untuk
berkarakter tidak baik. Menurut saya, disini hal ini tidak disinggung oleh
penulis. Penulis tidak menyarankan kita harus pandai memilih buku yang baik
untuk kita, padahal menurut persfektif saya, ini sangat penting. Hanya saja
penulis mengungkapkan bahwa dia membaca buku-buku tertentu yang memberi efek
yang kuat pada dirinya tanpa menegaskan kepada pembaca agar kita pandai memilih
buku.
Disini penulis juga mengungkapkan buku itu
dapat merubah kesadaran pembaca (reader conciousness). Menurut pemahaman saya arti
kesadaran pembaca disini adalah bahwa setelah kita membaca, maka kita
representasikan ilmu yang kita dapat dari membaca lewat tulisan. Jadi langkah
awalnya adalah membaca, lalu kemudian kita pahami dan kita tuangkan dalam
sebuah tulisan, supaya ilmu itu terwujud
dalam bentuk tulisan sehingga tidak akan hilang.
Dengan membaca, seseorang dapat mengetahui bahkan menemukan realita
atau fenomena kehidupan. Membaca itu maknanya luas, membaca tidak hanya membaca
buku saja, tapi justru yang paling sulit itu adalah bagaimana cara kita membaca
fenomena kehidupan kita, membaca diri, membaca orang lain dan lingkungan kita.
Jika hanya membaca buku saja (asal baca saja), mungkin itu mudah, tapi
bagaimana cara kita merepresentasikannya itu yang sulit. Jadi selain membaca
buku secara langsung, kita juga perlu membaca realita kehidupan di alam ini. Membaca
buku tetap penting, karena tanpa membaca buku, kita juga tidak akan bisa
membaca diri kita, hanya saja tambahan dari saya disini adalah, bahwa selain
buku, juga ada banyak hal penting yang perlu kita baca, sehingga kita akan
menemukan realita-realita yang ada dalam kehidupan kita.
Kemudian, yang harus dikritisi dalam artikel ini yaitu mengenai seseorang
mengetahui sesuatu tidak hanya dari mendengar saja, melainkan harus mengetahui
kebenarannya dan mengetahui prakteknya, yakni kita bisa mengetahuinya dengan
cara membaca teks. Jadi dalam artikel ini membaca itu selalu jadi perioritas
utama dalam melakukan sesuatu. Kembali lagi ketadi, bahwa disini juga kita
harus melihat fakta, jika hanya asal dengar saja tanpa melihat faktanya,
berarti pengetahuan tersebut diragukan kebenarannya. Maksudnya begini, saya
kaitkan dengan contoh yang ada dalam artikel ini, yaitu mengenai cerita penulis
tentang pendeta yang mengikuti apa yang dia pikirkan adalah firman Tuhan dan
semua orang mengikutinya, dan Billy Budd seorang pria yang tidak bersalah harus
dihukum mati. Disini jelas terjadi kesalahan, orang yang tidak bersalah menjadi
korban dari pemahaman yang salah, dari persfektif sang pendeta yang salah.
Sehingga kesalahan itu nampak pada semua orang yang mendengar argumen (ceramah)
si pendeta. Nah, maksud bahwa pengetahuan atu ilmu itu tidak hanya dengan mendengar
saja, tapi harus dengan mengetahui faktanya disini, yaitu kita harus membaca
langsung. Misalnya jika orang muslim, ketika kita ingin mengetahui suatu
kebenaran tentang ceramah sang ustadz, maka kita langsung baca Al-Qur’annya,
atau hadits-hadits shahihnya, apakah benar ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits
sebagai sumber yang tidak diragukan lagi bagi umat Islam. Jadi segala sesuatu
itu harus ada sumbernya, orang yang berbicara/penceramah pun harus sesuai
dengan apa yang ada di buku atau sumber tertentu. Pada dasarnya, ketika orang
mengungkapkan sesuatu, ketika seseorang mengetahui sesuatu, maka itu harus
dikuatkan dengan buku.
Lalu penulis juga berargumen bahwa membaca dan menulis merupakan
suatu media yang dapat membuat perspektif atau pandangan seseorang terbuka.
Seperti yang sudah saya ungkapkan tadi,
bahwa orang yang menulis itu memang dituntut untuk membuka paradigma baru.
Orang yang menulis harus menumpahkan seluruh pengetahuannya dan tulisan itu
harus bisa memberi dampak yang membuat pikiran seseorang terbuka. Ketika hal
itu terjadi, maka tulisan tersebut bisa dikatakan tulisan yang bagus.
Kemudian alasan lain mengapa kita juga harus menulis bahwasannya
ketika suara diproduksi, maka pada saat itu juga suara akan lenyap. Suara itu
tidak berbekas, kecuali jika suara
tersebut direkam, ia akan bisa diperdengarkan kembali. Hal tersebut bisa
diimplikasikan pada sejarah. Sejarah jika hanya direpresentasikan melalui mulut
ke mulut tanpa ditulis, maka ia juga akan hilang. Sama halnya dengan ilmu, jika
tidak diikat dengan tulisan, jika kita tak menuangkannya dalam bentuk tulisan,
maka ia akan hilang. Jadi tulisan merupakan suatu media untuk mengikat
pengetahuan yang diperoleh baik melalui komunikasi verbal (Lisan) maupun
dokumental (tulisan). Bayangkan saja jika kita punya ilmu begitu banyaknya,
lalu kita membagikan ilmu kita hanya dalam bentuk lisan, sia-sia mungkin tidak,
tapi saya rasa akan banyak ilmu kita yang hilang begitu saja dari otak
pendengar. Kita sudah capek-capek berceramah, tapi banyak ilmu yang terbuang, hanya
sebagian saja yang hinggap di dalam otak listener. Karena memory otak itu
terbatas, apalagi jika kita memberikan banyak sekaligus, biasanya, banyak
sekali ilmu itu yang hanya hinggap sesaat di dalam otak kita. Ini juga salah
satu alasannya menurut pendapat saya.
Dari artikel ini saya juga dapat menangkap pendapat menurut penulis
(Howard zinn) beliau mengatakan bahwa “Christopher Colombus” itu bukanlah seorang pahlawan. Melainkan dia
adalah sesorang yang berfaham komunis. Dia juga bukan penemu benua Amerika,
tetapi dia adalah penjahat, orang yang serakah, orang yang tamak, pembunuh,
penindas kelompok ras hitam yang ada di benua Amerika. Nah, menurut saya disini
penulis memberikan penjelasan bahwasannya apa yang dia ungkapkan dalam buku ini
itu hanya ungkapan biasa. Kita sebagai pembaca dalam menanggapi ungkapan
tersebut, itu tidak harus percaya begitu saja. Jadi sebenarnya Howard Zinn ini
menyampaikan itu kepada kita sebagai pembaca buku miliknya ini. Ungkapan dia
tentang Columbus yang mengatakan begini-begini, itu bukan satu-satunya hal yang
harus kita imani. Menurut dia banyak orang itu percaya dengan apa yang ada
dibuku, tapi juga mudah percaya dengan hanya mendengar saja. Berarti jika
seperti ini kasusnya, apa yang saya ungkapkan diawal-awal, bahwa kita memang
harus berhati-hati dalam memilih buku, itu nyambung pula kesini, dari pesan
Howard Zinn kita dapat mengartikan tidak semua buku itu sesuai dengan
kenyataannya. Buktinya dia mengungkapkan seperti itu. Dan bukan berarti buku
Howard ini juga salah, tapi disini Howard hanya menyelipkan pesan kepada
pembaca mengenai ungkapannya tentang Columbus, dan itu bukan berarti kita harus
mempercayainya begitu saja. Solusi tepatnya adalah kita bisa mencari referensi
lain tentang sejarah Columbus, banyak cara untuk menemukan kebenarannya. Ini
memang rumit, dan sangat sulit memang ketika kita ingin mempercayai suatu
redaksi dari sebuah buku. Mungkin kita harus mengumpulkan banyak sumber, kita
baca, lalu kita bandingkan dan mungkin dengan banyak bertanya kepada ahli
sejarah. Intinya, kita tidak cukup percaya begitu saja pada satu buku ketika
kita ingin mengambil suatu ilmu.
Apa lagi bagi para kaum muslim, saya hanya mengungkapkan apa yang
saya ketahui mengenai suatu hal yang jauh lebih penting dari apapun itu, karena
ini kaitanya dengan urusan ukhrowi (akhirat). Sebagai kaum muslimin, kita harus
berhati-hati dalam berpedoman. Pedoman yang kuat, yang sudah di cap akan
menyelematkan kita di dunia dan akhirat adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah atau
Al-Hadits, tapi fenomena yang terlihat pada kaum muslimin zaman sekarang
kebanyakan mereka salah pemahaman. Mereka mengagung-agungkan AL-Qur’an dan
As-Sunnah, tapi mereka tidak berpegang teguh terhadapnya, sering kali mereka
mengambil suatu tindakan dalam praktek keagamaan yang tidak berdasarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka ambil dari sumber lain, misalnya dari suatu
kitab, mereka berpegang teguh pada suatu kitab yang jelas-jelas hasil karya
manusia biasa, dari pada mengikuti apa yang ada dalam aturan Al-Qur’an dan
Hadits. Mereka juga sangat mengagung-agungkan Nabi Muhammad SAW, tapi mereka
tidak mengikuti sunnah beliau. Mereka beribadah sesuka hati mereka, mereka
terkadang tidak sadar, kalo mereka telah melakukan perbuatan bid’ah (suatu
ibadah yang tidak ada contohnya dari Rosulullah SAW). Padahal dampaknya jika
demikain, maka orang-orang tersebut sekalipun mereka cinta kepada Rosulullah,
tapi karena ibadah mereka tidak sesuai dengan apa yang beliau ajarkan maka
sia-sialah apa yang mereka kerjakan. Mereka tidak akan diakui sebagai umat-Nya,
bahkan mereka akan celaka. Ini sebagai contoh saja, betapa pentingnya kita
berpegangan kepada suatu sumber (AL-kitab) yang benar. Sekali lagi ungkapkan,
membaca dan menulis adalah penting, namun memilih untuk mengamalkan buku
tersebut juga sangat penting agar kita tidak salah merubah hidup kita kearah
yang positif.
Selanjutnya dalam artikel ini dapat saya pahami ungkapan penulis
bahwa mayoritas orang lebih cenderung membenarkan apa yang hanya mereka dengar
dari kiai, pendeta atau petinggi ( pemerintah), padahal realitanya untuk
membuktikan fakta tersebut kita juga harus membaca. Tidak hanya langsung
melahap mentah-mentah konsep pembicaraan yang sudah terbangun tersebut, kita harus
mengkonsep ulang dengan cara mengkritisi serta harus mencari referensi lain (
fakta dan bukti ) mengenai hal yang sedang dibicarakan tersebut. Sebenarnya
mengenai ini sudah saya singgung diatas, tapi untuk menguatkan pembahasan tadi
saya kaji ulang hal tersebut. Benar sekali kesalahan terbesar manusia zaman
sekarang adalah mereka malas mencari referensi lain tentang ilmu yang sudah
mereka dapatkan. Yah itu tadi, mereka langsung percaya begitu saja dengan apa
yang petinggi-petinggi mereka katakan. Istilahnya mereka asal dengar saja tanpa
menggali lebih dalam lagi apa yang telah disampaikan. Padahal yang namanya
manusia biasa tidak luput dari kesalahan, bukan berarti kita harus tidak
percaya juga, tapi alangkah baiknya jika kita kuatkan dengan buku atau sumber-sumber
lain. Janagn sampai pemahamanseorang penceramah yang salah kita amalkan dalam
kehidupan kita sehari-hari, itu yang patal.
Kita ambil contoh, misalnya jika dalam istilah orang sunda, kerap
kali orang tua-orang tua mengatakan kata “Pamali”. Mereka sering mengatakan
larangan-larangan menggunakan kata tersebut, contohnya, “jangan mandi tengah
malam pamali”, nah, kalo kita orang yang literat, sebaiknya ungkapan-ungkapan
seperti itu jangan langsung kita percayai begitu saja, biasanya orang mudah
percaya tanpa mencari tahu apa alasannya, bahkan mencari tahu faktanya. Mereka
mengartikannya dengan hal-hal yang kadang diluar rasional, padahal jika kita
teliti, kita kaji, cari tahu lewat banyak membaca, terkadang jawaban-jawabannya
ada didalam buku. Seperti contoh tadi, orang tua melarang seperti itu karena
memang mandi tengah malam menurut kesehatan pun itu tidak baik untuk kita. Itu lah kesalahan kita
jika kita asal dengar saja tanpa mencari kebenarannya.
Nah, intinya dapat saya simpulkan bahwa untuk critical review yang
kedua ini saya merasa tersesat jauh
dalam mengartikan isi artikel ini. Tapi pemahaman saya tentang artikel ini
intinya adalah, pertama-tama saya berargumen bahwa pengalaman itu penting dalam
berbagai hal. Dan buku ini menceritakan tentang kesadaran pembaca atau (reader
conciousness) dan arti dari “Speaking Truth to Power with Books1” itu sendiri adalah membicarakan atau
mengumumkan kebenaran menurut buku (artikel) ini. Lalu artikel ini juga berbicara
kebenaran melalui buku sebagai bukti yang dapat dipertanggung jawabkan
keabsahannya atau valid (referensi yang jelas). Dengan membaca dan menulis orang
juga dapat memutarbalikan fakta. Seperti kasus yang terjadi pada penulis
tentang argumennya mengenai sejarah Colombus, penulis didisini dapat memutar
balikan fakta disebabkan karena dia mampu membaca dan menulis. Buku ini juga
mengoperasikan dalam banyak cara untuk mengubah kesadaran seseorang, dan dengan
membaca, seseorang dapat mengetahui bahkan menemukan realita atau fenomena
kehidupan. Seseorang juga mengetahui ilmu tidak hanya dari mendengar saja,
melainkan harus tahu fakta, yakni dengan cara membaca teks. Kemudian membaca
dan menulis juga merupakan suatu media yang dapat membuat perspektif atau
pandangan seseorang terbuka. Jangan malas untuk mencari referensi lain tentang
ilmu pengetahuan yang sudah kita dapatkan. Karena kebenaran atau fakta adalah
sesuatu yang harus kita ungkap di dunia ini.
tulisan ini terlalu personal tpai tidak menunjukkan banget posisi kamu sebagai kritikus. Masih terlihat rona-rona meragu untuk mengkritik Howard Zinn
ReplyDelete