Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang
sempurna dibandingkan dengan makhluk lainnya. Kesempurnaan tersebut dikarenakan
manusia dianggap sebagai makhluk unik yang diberi akal. Tentu mengenai akal
manusia ini, setiap orang memiliki akal atau pola pikir yang berbeda-beda.
Manusia cenderung mempunyai pemikiran masing-masing atau sendiri-sendiri atas
apa yang ditemuinya atau yang telah dialaminya. Setiap orang memang mempunyai
sudut pandang dalam menterjemahkan suatu hal atau peristiwa. Itu semua
merupakan hak semua orang untuk menilai segala sesuatunya, entah itu dari sudut
pandang yang positif ataupun dari sudut pandang yang negatif.
Seperti itulah keberagaman pola pikir manusia
yang juga dianggap unik. Namun pemikiran manusia yang berbeda-beda tersebut
tidak terbentuk begitu saja, karena banyak faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pola pikir manusia tersebut diantaranya yaitu
faktor lingkungan, keluarga, kerabat, kehidupan sehari-hari, dan lain
sebagainya. Dari faktor-faktor tersebut ternyata buku juga dapat mempengaruhi
pola pikir manusia dan dikatakan bahwa buku dapat mengubah hidup seseorang. Buku
mengoperasikan dalam banyak cara untuk mengubah kesadaran seseorang, mungkin
hal tersebut yang menjadikan salah satu alasan kenapa buku dapat mengubah hidup
seseorang atau mengubah dunia seseorang.
Buku adalah kumpulan kertas atau bahan lainnya
yang dijilid menjadi satu pada salah satu ujungnya dan berisi tulisan atau
gambar. Setiap sisi dari lembaran kertas pada buku disebut sebuah halaman.
Seiring dengan perkembangan dalam bidang dunia informatika, kini dikenal pula
istilah e-book (buku elektronik), yang mengandalkan perangkat seperti komputer,
laptop, tablet pc, ponsel, dan lainnya, serta menggunakan software tertentu
untuk membacanya.
Buku merupakan sumber ilmu yang tak pernah
kering sepanjang masa. Dari waktu ke waktu manusia haus akan ilmu, karena itu
mereka membacanya untuk memuaskan rasa keingintahuannya terhadap lingkungan
disekitarnya. Bahkan orang-orang menyebutnya sebagai jendela dunia, karena
seluruh informasi-informasi di dunia terangkum menjadi satu didalam sebuah buku
yang dapat kita baca kapanpun dan dimanapun kita berada.
Disinilah peran buku sangat penting untuk
memajukan bangsa, karena dengan membaca buku-buku yang bermanfaat dapat
meningkatkan kecerdasan, kreativitas, dan tanggap akan keadaan yang terjadi
disekitarnya. Dengan membaca, seseorang dapat mengetahui bahkan menemukan
realita atau fenomena kehidupan. Seseorang tahu atau memperoleh suatu ilmu tidak
hanya dari mendengar saja, melainkan harus tahu fakta yakni dengan cara membaca
teks. Oleh karena itu, kita diharapkan agar senantiasa membaca buku-buku atau
bacaan-bacaan apapun yang bermutu sedini mungkin, untuk membangun karakter kita
terhadap lingkungan sekitar. Apalagi dalam era modern ini kita dituntut untuk
pandai berliterasi. Namun agaknya kasus ini masih belum tersosialisasikan
dengan baik di kalangan masyarakat Indonesia.
Abu Bakar AI-Qaffal berkata:
Bukuku adalah sahabatku yang akan selalu menyertaiku,
Walaupun hartaku sedikit dan ketampananku sirna,
Bukuku adalah ayah dan ibuku tercinta,
Keduanya terwakili olehnya,
Walaupun ayah dan ibuku tiada.
Bukuku adalah teman duduk terbaikku yang tiada pernah bosan,
Pemandu kebenaran yang tak pernah jemu,
Pemberi berita masa lalu yang telah berjalan berabad-abad lamanya,
Seakan-akan aku melihat masa-masa itu masih ada.
Bukuku bagaikan laut yang tiada pernah habis memberi,
Yang selalu memberi harta jika hartaku tiada.
Bukuku adalah bukti atas baiknya tujuan,
Darinya aku mendapatkan bukti dan petunjuk,
Jika aku tersesat dari tujuan dia meluruskanku,
Jika akalku tersesat dia mengembalikkanku dari kesesatan.
Berbicara mengenai buku, tentu juga
berhubungan dengan penulisnya. Karena dalam catatan saya kali ini membahas
mengenai wacana Speaking Truth to Power with Books, yang ditulis
oleh Howard Zinn. Howard Zinn dikenali sebagai antara orang terawal yang menentang
perang Vietnam. Dia seorang sejarawan yang senantiasa mencabar status quo. Ia
juga merupakan aktivis politik dan kritikus terkemuka terhadap Rektor
Universitas Boston. Dikatakan bahwa seseorang yang Menguasai teks dapat
memanipulasi atau memutar-balikkan sejarah (dunia). Hal tersebutlah yang telah
dilakukan oleh Howard Zinn, sampai-sampai ia berani menuliskan sebuah buku yang
berjudul A people history of United States of America melihat sejarah
A.S dari sudut kiri. Zinn menganggap Christopher Columbus dan gerombolannya itu
telah melakukan genocide (pembunuhan yang telah melenyapkan suatu bangsa atau
kaum).
Speaking Truth to Power with Books, merupakan salah satu content dari sebuah buku
Anthropology off the Shelf, yang dikarang oleh Allise Waterston and Maria D.
Vesperi (2009). Speaking Truth to Power with Books ini menceritakan
sebuah fakta atau kebenaran sejarah pada masa silam. Dalam buku tersebut
diceritakan mengenai kisah seorang penemu benua Amerika yaitu Christopher Columbus.
Kisah dari seorang Christopher Colombus ini yang menuai banyak sekali versi. Menurut
Howard zinn, menuliskan bahwa Christopher Colombus itu bukanlah seorang pahlawan.
Dia adalah orang yang berfaham komunis. Dia juga bukan penemu benua Amerika.
Dia adalah penjahat, orang yang serakah, pembunuh, dan penindas kelompok ras
hitam yang ada di benua Amerika. Untuk itu Howard Zinn mengisyaratkan terhadap
kita semua agar menjadi seorang pembaca yang tidak gampang dalam menerima
sebuah informasi yang tidak jelas realitanya atau tidak valid keabsahannya. Howard
Zinn menuturkan begitu pentingnya kebenaran yang secara realita tertulis
melalui buku-buku.
Howard Zinn juga mengungkapkan mengenai kisah-kisah lainnya yang
berhubungan dengan sejarah yang ditutup-tutupi kebenarannya. Howard Zinn
menuliskan mengenai kisah Herman Melville, Billy Budd, dan Howad Zinn juga pernah
membaca mengenai Kurt Vennegut Cat Cradle yang telah menciptakan istilah “gran
– falloon“, untuk menggambarkan “a proud and meaningless association of human
beings”, tapi kemudian Zinn mengatakan “but it is different book that, when I
was young man, first led me to consider that we are not one great family in
this country, that the idea of
ourselves as a nation cleverly conceals the struggle of clashing
interests for fear we might then
enter that struggle knowing clearly who our friends are and who are our enemies”.
Setelah membaca tulisan mengenai Speaking Truth to Power with Books,
secara garis besar menurut saya semua itu berhubungan dengan kesadaran kita
ketika membaca atau ketika memperoleh sebuah informasi yang masih belum jelas
keabsahannya. Dalam hal ini, kita dituntut agar tidak menelan mentah-mentah
tentang informasi yang kita dapatkan. Tulisan-tulisannya mengajarkan kita akan
suatu kebenaran, bahkan menurut Noam Chomsky,
aktivis sayap-kiri dan dosen di MIT mengungkapkan “Tulisan-tulisannya telah
merubah kesadaran satu generasi, dan membantu membuka jalan baru dalam memahami
serta memberikan makna yang penting bagi hidup kita”.
Lantas bagaimana menjadi powerful reader? Dan bagaimana mengoprasikan
kesadaran kita? Atau bagaimana menjadi reader consciousness? Serta bagaimana
menjadi pendengar yang tidak menelan mentah-mentah sebuah informasi? Sudah
jelas sekali dalam wacana tersebut dijelaskan bahwa buku dapat mengubah hidup
seseorang, maka dalam hal ini buku sangatlah berperan penting atas sebuah
informasi atau pengetahuan yang akan kita dapatkan, dan tentunya akan mengubah
hidup kita atau pola pikir kita. Dengan buku, kita akan memperoleh suatu fakta
atau kevalidan informasi, karena buku merupakan gudang ilmu pengetahuan, dan
tentu semua orang mengetahui akan hal tersebut. Maka saya dapat menyimpulkan
dari point-point tersebut yaitu kita jangan percaya terhadap segala sesuatunya
hanya dengan berbicara, tapi harus dicari terlebih dahulu kebenarannya lewat
sebuah buku-buku, karena jika kita membaca buku-buku yang lain, kita akan
menemukan perspektif lain.
Menurut Pandu Aji Wirawan, penulis blog dalam kompasiana mengatakan bahwa
buku merupakan sebuah proses paling cepat dalam membentuk sebuah pola pikir
manusia. Pandu Aji juga memberikan sebuah contoh dalam sebuah buku yang
berjudul Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, otobiografi Bung Karno yang
dituliskan oleh Cindy Adams. Setelah membaca buku tersebut dikatakan bahwa
banyak terjadi pro dan kontra. Munculnya
pro dan kontra yang terjadi di masyarakat dikarenakan oleh pola pikir manusia
yang tidak selamanya akan dapat berjalan beriringan, pola pikir manusia
terkadang saling bertentangan. Dari situlah timbul keunikan sebuah perbedaan. Dari
pernyataan di atas dapat tergambarkan bahwa pola pikir atau mindset seseorang
dapat langsung berubah meniru beberapa mindset Bung Karno yang cocok untuk
diterapkan pada dirinya sendiri, namun tidak menutup kemungkinan juga dapat
merubah sebagian mindset seseorang untuk berusaha meniru semua pola pikir yang
tertera dalam buku tersebut.
Ada
sebuah ujaran yang menyatakan bahwa sejarah selalu ditulis oleh para pemenang.
Howard Zinn mencoba untuk patahkan. Ia menuliskan bahwa Christopher Columbus
itu bukanlah seorang pahlawan. Dia adalah orang yang berfaham komunis. Dia juga
bukan penemu benua Amerika. Dia adalah penjahat, orang yang serakah, pembunuh, dan
penindas kelompok ras hitam yang ada di benua Amerika. Dari pernyataan Howard
Zinn tersebut cukup membuat saya tercengang dan ingin lebih meneliti lagi
mengenai fakta-faktanya, dan dari sejumlah referensi yang saya temukan hasilnya
yaitu bahwa Christopher Columbus bukanlah seorang penemu benua Amerika pertama
kali. Maka dalam hal ini saya setuju dengan pernyataan yang dikemukakan oleh
Howard Zinn.
Selama ini kita dipersepsikan bahwa penemu benua
Amerika ialah Chistopher Columbus pada 12 Oktober 1492 dan hampir setiap
pelajaran sekolah pun mengajarkan demikian. Ketika pelajaran sejarah, para guru
kita di SMP atau SMA lebih sering menjelaskan bahwa Christopher Columbus
merupakan seorang yang berjasa menemukan benua Amerika. Bahkan dalam buku-buku modul
sejarah sewaktu di sekolah pun menuliskan hal tersebut. Kita seakan-akan telah
dicuci otaknya akan hal tersebut. Coba bayangkan ketika kita disuguhkan sebuah
soal pilihan ganda yang tertuliskan sebuah pertanyaan “siapakah penemu benua
Amerika?” Dalam pilihan ganda tersebut tercantumkan nama Christoper Columbus,
maka tentu kita akan memilihnya sebagai jawaban yang dianggap benar. Begitulah
kisah tragis pendidkan ini yang salah mempersepsikan tentang sejarah yang
dianggap benar. Lantas kenapa isu tersebut muncul? Dan kenapa sejarah
seakan-akan ditutup-tutupi? Dalam hal ini saya perlu berbagai referensi buku atau
informasi untuk mengungkapkan fakta-fakta mengenai sejarah Christopher Columbus.
Berikut ini adalah fakta-fakta yang saya temukan melalui jejaring sosial, internet.
Sejarah
resmi selama ini mengatakan bahwa Christopher Columbus merupakan penemu daratan
luas yang kemudian disebut Amerika. hal tersebut ternyata tidaklah benar,
kerena dalam sebuah informasi yang saya dapat, 70 tahun sebelum Colombus
menancapkan benderanya di daratan Amerika, Laksamana muslim dari China bernama
Ceng Ho (Zheng He) sudah lebih dahulu datang kesana. Bahkan seorang ahli kapal
selam dan sejarawan bernama Gavin Menzies dengan penuh percaya diri memaparkan
teorinya tentang pelayaran terkenal dari pelaut masyhur asal China yaitu Zheng
He, bersama bukti-bukti yang ditemukan dari catatan sejarah, ia menyimpulkan
bahwa pelaut serta navigator ulung dari dinasti Ming itu adalah penemu awal benua
Amerika, dan bukannya Columbus. Pengakuan tersebut ia jelaskan ketika
penyelenggaraan seminar oleh Royal Geographical Society di London.
Literatur
yang menerangkan bahwa penjelajah Muslim sudah datang ke Amerika sebelum Columbus,
antara lain pakar sejarah dan geografer Abul Hassan Ali Ibnu al-Hussain
al-Masudi (871-957M). Dalam bukunya Adh-Dhahabwa Maad al-Jauhar (The Meadows of
Gold and Quarries of Jewels / Hamparan Emas dan Tambang Permata), al-Masudi
telah menuliskan bahwa Khaskhas Ibnu Sa’ied Ibn Aswad, seorang penjelajah
Muslim dari Cordova, Spanyol, berhasil mencapai benua Amerika pada 889M.
AL-Masudi
menjelaskan, semasa pemerintahan Khalifah Abdullah Ibn Muhammad (888-912M) di
Andalusia, Khaskhas berlayar dari Pelabuhan Delta (Palos) pada 889, menyebrangi
lautan Atlantik hingga mencapai sebuah negeri yang asing (al-ardh majhul).
Sekembalinya dari benua asing tersebut, dia membawa pulang barang-barang yang
menakjubkan, yang diduga berasal dari benua baru yang kemudian bernama Amerika.
Sejak itulah pelayaran menembus Samudera Atlantik yang saat itu dikenal sebagai
“lautan yang gelap dan berkabut”, semakin sering dilakukan oleh pedagang dan
penjelajah Muslim.
Literatur
yang paling populer adalah essay Dr.Yossef Mroueh dalam Prepatory Committe for
International Festivals to Cellebrate the Milleniumof the Muslims Arrival to
the America tahun 1996. Dalam essay berjudul Precolumbian Muslims in America
(Muslim di Amerika Pra Colombus), Dr. Mroueh menunjukkan sejumlah fakta bahwa
Muslimin dari Andalusia dan Afrika barat tiba di Amerika sekurang-kurangnya 5
abad sebelum Colombus. Pelaut-pelaut Muslim dari Spanyol dan Afrika Barat telah
membuat kampung-kampung di Amerika dan berasimilasi secara damai dengan peduduk
lokal disana. Mereka menikah dengan penduduk lokal, orang-orang Indian,
sehingga menjadi bagian dari local-genius Amerika.
Ada
kaum Muslimin yang tinggal bermukim di negeri baru itu, dan mereka itulah
disebut kaum imigran Muslim gelombang pertama di Amerika. pada pertengahan abad
ke 16 terjadilah pemaksaan besar-besaran secara kejam terhadap orang-orang
Yahudi dan Muslimin untuk menganut agama Katholik, yang terkenal dalam sejarah
sebagai Spanish Inquisition. Pada masa itu keadaan orang-orang Yahudi dan
orang-orang Islam sangat menyedihkan, karena penganiayaan dari pihak Gereja
Katholik Roma yang dilaksanakan oleh inkuisisi tersebut. Ada tiga macam sikap
orang-orang Yahudi dan orang-orang Islam dalam menghadapi Inquisisi itu,
diantaranya:
1. Yang tidak mau beralih agama. Akibatnya mereka disiksa, kemudian dieksekusi
dengan dibakar atau dipancangkan di kayu salib.
2. Beralih agama menjadi Katholik Roma. Mereka itu diawasi pula apakah memng
berganti agama secara serius atau tidak. Kelompok orang Islam yang beralih
agama itu disebut kelompok Morisko, sedangkan kelompok yang berasal dari agama
Yahudi disebut kelompok Marrano.
3. Melarikan diri atau hijrah menyebrang Laut Atlantik yang dahulunya
dinamakan Samudera Gelap dan Berkabut. Inilah kelompok imigran kedua di negeri
baru itu.
Maka
dari beberapa fakta-fakta tersebut di atas, saya meyakini bahwa pernyataan
tersebut adalah benar, karena dari sejumlah informasi yang saya dapatkan
semuanya mengarah bukan pada Colombus yang merupakan penemu benua Amerika. dan
tidak kita sangkal lagi bahwa penulis sejarah adalah kelompok pemenang.
Sejarah-sejarah peradaban Islam banyak ditulis di masa Dinasti Abbasiyah
sebagai pemenang periode pertengahan sejarah peradaban Islam. Namun di era
modern ini sejarah ditulis oleh Barat sebagai pihak pemenang dan menguasai berbagai
media Informasi. Namun sejarawan di masa Abbasiyah sangat jauh berbeda dengan
sejarawan Barat di era modern ini. Di masa Abbasiyah sisi objektivitas dan
keotentikan sejarah lebih di kedepankan dari pada sejarawan Barat. Barat yang
menguasai hegemoni abad modern nyaris menutupi kelemahan mereka di abad
pertengahan dan tingginya peradaban Islam di masa tersebut.
Ada
yang salah ketika para sejarawan menganggap profesi mereka sama dengan para
kartografer, ujar Zinn. Pembuat peta dengan sengaja menyederhanakan realitas,
menunjukkan bagian yang perlu, dan membuang bagian yang tidak penting terlihat.
Itu yang membuat peta Indonesia, kepulauan kita jadi datar dan tak perlu ada
gambar benua Amerika disana. Namun menulis sejarah adalah hal yang
sungguh-sungguh berbeda.
Ketika
distorsi atau bias para kartografer bersifat teknis, maka para sejarahwan
biasnya tiada lain adalah bias ideologis. Dalam kata-kata Zinn, setiap
penekanan tertentu dalam penulisan sejarah akan mendukung sebuah kepentingan.
Bisa kepentingan politik, ekonomi, rasial, ataupun nasional. Namun sayangnya
dalam penuturan historis, bias ini tidak seterang sebagaimana dalam penulisan
peta. Sejarahwan menulis seakan setiap pembaca mempunyai sebuah kepentingan
bersama yang tunggal. Para penulis tertentu seakan lupa bahwa produksi
pengetahuan adalah alat tempur dalam antagonisme antar kelas sosial, ras,
ataupun bangsa-bangsa.
Inilah
kritik pedas Zinn pada Samuel Elliot Morrison sang sejarahwan Harvard yang
menulis buku seminal Christoper Columbus, Mariner. Memang, Morrison tak sedikit
pun berbohong soal kekejaman Columbus. Ia bahkan menyebutkan sang pelaut telah
melakukan genosida pada Indian Arawaks. Namun, tulis Zinn, fakta yang tertera
di satu halaman ini kemudian ia kubur dalam ratusan halaman lain yang
mengagungkan kebesaran sang pelaut. Keputusan untuk lebih menceritakan sebuah
heroisme fakta pembantaian masal yang terjadi pada suku Indian Arawaks bukanlah
sebuah kebutuhan teknis ala pembuat peta, namun murni pilihan ideologis. Sebuah
pilihan ideologis untuk menjustifikasi apa yang telah terjadi, pungkas Zinn.
Dari
semua pernyataan di atas, maka dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa
meneliti sejarah awal masuknya Islam ke Amerika tersebut sudah pasti membuat
kita semua tecengang. Ternyata Amerika yang selama ini diidentikkan sebagai
pusat kekafiran, justru lebih mengenal Islam sebelum para penyebar agama lain
dari Eropa menguasai negeri itu. Melalui sebuah wacana yang dituliskan oleh
Howard Zinn ini seakan membuat kita sadar akan pentingnya sebuah fakta sejarah.
Dalam hal ini disinggung bahwa menulis dan membaca merupakan suatu media yang
dapat membuat pserspektif atau pandagan seseorang terbuka. Maka ketika kita
ingin mencari sebuah fakta, haruslah dikuatkan dengan buku-buku atau bacaan-bacaan
yang bermutu. Dikatakan pula bahwa ketika suara diproduksi maka akan langsung
hilang pada saat itu juga kecuali jika suara tersebut direkam, ia akan bisa
diperdengarkan kembali. Hal tersebut bisa diimplikasikan pada Sejarah. Sejarah
jika hanya direpresentasikan melalui mulut ke mulut tanpa ditulis, ia akan
hilang. Ilmu pun jika tidak diikat dengan tulisan, ia akan hilang, jadi tulisan
merupakan suatu media untuk mengikat pengetahuan yang diperoleh baik melalui
komunikasi verbal ( lisan ) maupun dokumental ( tulisan ).
Referensi:
saya kan lebih tertarik kalau kamu menguraikan keterhubungan antara sejarah dan literasi sebagai praktik sosial politik yang ideologis dan selalu bias dalam konteks tertentu. Fokus mengenai topik besar, Columbus, harus dipasang sejak dari awal
ReplyDelete