Saturday, March 1, 2014



Develop Conciousness Though of Reading-Writing



            Reading-writing memang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Walaupun critical reveiew kali ini tentang ‘Speaking Truth to Power With Books’, writing selalu menjadi bagian di dalamnya. Oleh karenanya, tidak aneh jika untuk membangun kesadaran seseorang harus melalui membaca dan menulis karena itu adalah proses ‘re-produce’ knowledge. Di sisi lain, jika kita kaitkan dengan dua tema besar disana ‘speaking truth’ dan ‘power of books’, lagi-lagi memberi gambaran bahwa reading-writing memang satu hal yang ‘crucial’ di dalam hidup ini.Sehingga, tujuan dari critical review ini adalah untuk mengungkap sisi lain atau memperkuatinformasi yang di sajikan oleh penulis artikel tersebut.Essayini berisi informasi tentang kekuatan buku yang mampu mengubah perfektif pikiran seseorang ketika mendapat pengetahuan atau informasi baru dari sebuah buku. Selain itu, mampu memutarbalikkan sejarah yang terlanjur beredar di masyarakat, dan manfaat buku yang dapat mengubah dunia seseorang yang membacanya. Semua itu tergantung pada si pembaca dalam menyikapi buku yang ia baca. Meskipun dalam buku tersebut menitikberatkan pada si pembaca agar ia dapat menyampaikan kebenaran atau fakta dari sebuah buku yang ia baca, secara tidak langsung buku ini (Speaking Truth to Power With Books) menuntut para penulis buku untuk memberikan informasi fakta pada si pembaca. Oleh karenanya, si pembaca mampu berfikir kritis dalam menyikapinya.
            Terdapat poin-poin penting dalam buku ‘Speaking Truth to Power With Books’ yang menarik bagi saya. Diantaranya, buku dapat mengubah dunia seseorang (the book changed life), dia dapat mengubah kesadaran seseorang (the book changed conciousness), hanya berikan fakta (just give fact), dan fakta atau pandangan lain tentang Colombus. Semua itu di tuliskan oleh Haward Zinn dengan menjadikan kejadian-kejadian atau fenomena yang ada di lingkungan kita. Melalui karyanya penulis ingin membangun kesadaran pembaca tentang hal-hal atau kejadian yang ada di lingkunganya. Sehingga si pembaca di tuntut untuk lebih ‘aware’ dan kritis. Hal tersebut terlihat dari informasi dan kalimat ajakan yang disajikan si penulis dalam karyanya. Dalam artikel tersebut, Howard Zinn begitu berani menggunakan contoh-contoh atau kalimat untuk menggambarkan maksud dari artikelnya. Semua itu ia lakukan agar pembaca mampu membuka pola fikirnya menjadi lebih kritis dan sadar akan apa yang ada di sekitarnya.
            Berdasarkan judulnya ‘Speaking Truth to Power With Books’terdapat dua subjek penting disana, yakni Speaking Truth dan Power of Books. Speaking Truth mempunyai bermacam-macam pengertian. Ada yang mengartikannya sebagai ‘kebenaran berucap atau bertutur’ (my own understunding), ‘berbicara kebenaran berkuasa atau Speaking Turth to Power’ (Quaker), berhubungan dengan reading dan writing, yakni bagaimana dia dapat menyampaikan informasi dengan benar kepada orang lain (reader-listener). Sedangkan power of books adalah kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh buku. Oleh karenanya, tidak berlebihan jika pembaca merasa menemukan dunia atau sesuatu yang baru setelah ia membaca suatu buku. Selain itu dengan membaca buku kita dapat mengenal dan menguasai pengetahuan baru, serta memasuki dunia baru dengan penguasaan ilmu yang telah didapat. (www.kompasiana.com). Hal tersebut membuktikan bahwa melalui membaca, seseorang dapat memnemukan kesadaran dalam pola fikir yang lain. Dapat dikatakan secara garis besar Speaking Truth to Power With Booksdapat digambarkan sebagai berbicara atau mengumandangkan suatu informasi haruslah beradasarkan fakta. Sehingga dalam kenyataannya informasi tersebut dapat di percaya. Walaupun sebenarnya urusan percaya atau tidaknya itu tergantung pada pembaca atau pendengar. Kelemahan pada poin ini terletak pada faktanya. Fakta di sini lebih kepada apa yang tertulis (the book). Oleh karenya, Haward Zinn menuntut penulis untuk lebih menekankan pada fakta yang ia sajikan dalam bukunya. Jangan memberikan ‘jugdements’ tentang apa yang penulis tulis. Menurutnya, biarkanlah pembaca yang menanggapi sepenuhnya buku tersebut. Mengkritisi hal tersebut, tidak semua fakta yang ada di sekitar atau dunia kita terwujud dalam tulisan atau buku. Namun, ada juga yang masih bersifat lisan. Selain itu, fakta yang terdapat di dalam buku belum tentu benar adanya. Seperti yang kita tahu, penulis menulis suatu buku bersifat subjective, yakni berdasarkan background knowledge atau experience yang ia miliki. Sehingga, dapat menghasilkan tulisan yang berbeda-beda, walaupun masih dalam tema yang sama. Seperti halnya, tugas Writing yang sedang saya dan teman-teman saya kerjakan. Kami mendapat tema yang sama, yaitu tentang artikel ‘Speaking Truth to Power With Books’, namun akan menghasilkan karya yang berbeda-beda. Contoh lain tentang Colombus. Dalam buku Haward Zinn, Colombus adalah penjajah. Namun menurut Wikypedia atau enslikopedia tentang Amerika, Colombus adalah penyebar agama Kristen atau Bible reader. Di sisi lain, bagaimana dengan fakta secara lisan di sertai bukti yang ada hanya berupa bangunan atau artefak? Tidak bolehkah kita mempercayainya? Seperti yang kita ketahui, banyak sekali kisah-kisah prasejarah dan sejarah yang ada di dunia khususnya di Indonesia. Memang untuk sejarah-sejarah besar, seperti perjuangan pahlawan dan bangunan bersejarah di Indonesia sudah terbukukan. Walaupun itu belum semuanya dan belum tentu kebenerannya karena ada banyak verse dalam penulisannya. Lalu bagaimana dengan sejarah-sejarah yang ada di desa-desa tempat tinggal kita? Yang di wariskan secara lisan pada anak cucunya. Kita harus tetap mempercayai dan menjaganya. Keadaan tersebut menjadi tantangan bagi kita sendiri untuk dapat membukukan sesuatu yang berisi informasi penting. Tentunya dengan tidak melihat dari sisi penulis. Bersikap objective dalam menghasilkan karya tulis, itu jauh lebih terhormat.
            Walaupun fakta yang ada di dalam buku belum tentu benar adanya. Tidak dapat di pungkiri kekuatan buku itu sendiri dalam dunia yang ada di sekitar kita. Seperti yang tertulis dalam artikel, bahwa buku mampu merubah dunia seseorang (reader), membuka kesadaran pembaca, dan mampu mengubah pandangan atau pola fikir seseorang. Kekuatan buku tersebut akan sangat berbahaya jika berada pada pembaca yang salah. Terlebih buku yang ia baca bersifat keras, seperti buku tentang teroris dan kejahatan lainnya. tidak heran jika dari buku tersebutlah, para teroris mampu melakukan pemboman dan kejahatan bunuh diri. Buku memang benar-benar mengubah pola fikir mereka. Akan tetapi, akan lebih baik jika buku yang kita baca memberikan inspirasi pisitif bagi dunia kita. Seperti buku tentang kewiraushaan dan lain-lain. Selain itu, buku juga dapat mengubah dunia pembaca karena berisi pengetahuan dan informasi yang tak terbatas. Teringat akan cerita dongeng tentang Abu Nawas. Ketika itu Raja Harun AL-Rasyid bertanya pada Abu Nawas tentang dimana batas dunia ini. Abu Nawas menjawabnya dengan penuh percaya diri, bahwa batas dunia ini ada dalam fikiran kita sendiri. Kenapa? Segala sesuatu atau informasi dan pengetahuan yang kita miliki adalah dunia kita. Jika pengetahuan itu luas, maka luaslah dunia kita. Namun, jika pengetahuan yang kita miliki sempit atau terbatas maka terbataslah dunia kita. Jawaban Abu Nawas yang sederhana, namun bermakna sangat dalam dan indah. Hal tersebut juga mengisyaratkan, bahwa membaca mampu memperluas wawasan dan dunia kita.
            Howard juga sangat menegaskan, bahwa buku dapat menimbulkan kesadaraan bagi pembacanya. Hal tersebut dicontohkannya dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, "…books can change consciousness. First, they can introduce an idea that the reader never thought of before. This is happened to many of us."Melalui buku, pembaca dapat menemukan sisi lain dari apa yang ia baca, bahkan menemukan pedapat yang berbeda dengan apa yang penulis tulis. Dalam bukunya, ia mencoba membangun kesadaran pembaca. Seperti dalam kutipan "We grow up being taught that we should obey the rules, obey our parrents, the teacher, right up to the President. But at the some point in our lives, especially if we read widely, we stop and say ‘Why we should and we do this? Why we should go along with this and why don’t we think for our selves?" Fikiran-fikiran tersebut hanya akan timbul pada pembaca yang kritis saja. Semakin banyak manusia membaca semakin banyak pula portanyaan yang timbul dalam benak mereka. Semantara jawaban-jawaban dari yang mereka pertanyakan tak tersedia. Selain melalui membaca buku, consciousness (kesadaran) juga dapat dibangun melalui tulisan (writing). Menurut Haward, "The long trajectory between writing and changing consciousness, between writing and activsm and then affecting public police can be tortuous and complicated. But this not mean we should desist from writing." Hal tersebut semakin menguatkan speaking truth (reading-writing) sangat erat kaintannya dengan writing. Bagaimana tidak? Sesuatu yang kita tulis harus berdasarkan fakta yang ada karena akan di publikasikan melalui khalayak ramai. Seperti para kritikus-kritikus hebat, yang berani menyuarkan apa yang sebenarnya terjadi. Walaupun harus berhadapan dengan sosok yang yang ia kritisi.
            Poin lain yang ingin saya kritisi, yaitu tentang pemberian ‘jugdements’ pada karya tulis. Menurut Haward, "…did not have to make judgments, she did not have to editorialize. She just had to say what was happening." Komentar tersebut ia berikan pada tulsan Rachel Carson’s The Sea around Us from 1951. Dia juga bermaksud untuk memberikan nasihat kapada kita dalam menulis. Menurutnya, "You do not have to editorialize about it. Sometimes just telling people about something that they do not know about is an immportant thing to do, because that alone may move them to a greater consciousness and even into action." Dalam kutipan tersebut terdapat kata ‘sometimes’. Pertanyaannya, kapan kah saatnya kita memberikan judgements dalam tulisan? Bukankah judgements selalu ada dalam tulisan baik secara eksplisit maupun implisit? Hal tersebut karena ketika menulis, si penulis juga sedang merepresentasikam emosi yang ada dalam dirinya. Dari kutipan Haward juga tergambarkan, bahwa kita harus memberikan fakta dalam buku karena itu akan berpengaruh pada kebenaran informasi yang ada dalam buku tersebut.
            Berbicara tentang fakta yang terdapat dalam buku, sangat menggelitik dalam kenyataanya. Banyak buku-buku yang tidak jelas faktanya karena terdapat banyak versi, tergantung pada siapa itu penulisnya (bersifat subjektif). Seperti sangat sulit untuk mengungkap fakta yang sebenarnya (bersifat objektif). Walaupun sudah terdapat fakta yang sangat meyakinkan, hal tersebut tidak berpengaruh apa-apa. Seperti kisah Colombus, yang ‘katanya’ penemu benua Amerika. Banyak penelitian yang mengatakan sebaliknya. Seperti yang di katakan Haward, "To read Colombus as a murderer, a torturer, a kidnaper, a mutilator of native people, a hypocrate, a greedy man looking for gold, willing to kill people and mutilate people-it was shocking." Bukan tanpa alasan Haward menulis tentang Colombus seperti itu. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa penduduk asli Benua Amerika adalah Suku Indian berkulis hitam. Christoper Colombus pun sudah mengakuinya. Awalnya ia mengira dataran tersebut tak berpenghuni, ternyata ia salah. Pertanyaannya, kenapa bukan Suku Indian yang di jadikan sebagai penemu Benua Amerika? Menurut Wikipedia, "Though Columbus was not the first European explorer to reach the Americas (having been preceded by the Norse expedition led by Leif Ericson in the 11th century)." (Christopher Colombus Bibliography). Hal tersebut membuktikan, bahwa sebagian orang-orang Amerika mengakui jika Colombus bukan penemu Benua Emerika. Namun, kenapa Colombus masih di anggap sebagai penemu Benua Amerika? Fakta lain yang tentang penemu Benua Amerika, bahwa seorang biarawan bernama Martin Waldseemueller (1507)membuat peta Amerika dan dalam dokumenya sudah ia beri nama Amerika (www.teclasap.com). Seperti yang di katakan oleh Perpustakaan di AS, "Ini juga dokumen pertama dalam bentuk apa pun yang memunculkan nama Amerika. (John Hebert, Kepala Divisi Peta dan Geografi di Perpustakaan Kongres AS). Dugaan lain muncul mengenai nama Benua Amerika, yakni kemungkinan besar Waldseemuller membuat peta berdasarkan informasi dan keterangan yang di dapat dari Amerigo Vespucci (salah satu asisten Columbus). Saat itu Columbus sudah meninggal dunia. Menurut Hebert, diperkirakan banyak pelayaraan antara tahun 1492 dan 1506. Masih pada sumber yang sama, menurut Jay Kislak dikatakan bahwa Amerigo Vespucci mempunyai relasi yang sangat kuat. Di tambah lagi ia pandai menulis, seorang navigasi yang handal, dan berasal dari kalangan atas. Tidak heran jika ia dapat membantu Waldseemuller untuk membuat peta Ammerika, sebaliknya Waldseemuller juga mengapresiasi kecerdasannya dengan memberi nama Amerika pada Benua tersebut. Menurut beberapa dokumen sejarah, Colombus bukan orang Eropa yang pertama tiba di daratan tersebut karena telah jadi hal yang valid dalam ilmu sejarah, bahwa bangsa Viking(pelaut) yang berasal dari Eropa Utara sebelumnya telah menginjakkan kakinya terlebih dahulu di Benua Amerika pada abad ke-11. (penemu-ilmuan.blogspot). pertanyaan yang sama, kenapa Colombus masih di jadikan sebagai penemu Benua Amerika.
            Fakta lain yang lebih mengejutkan tentang penemu Benua Amerika adalah dari golongan Muslim. Mengagetkan bukan? Menurut buku yang ditulis oleh seorang peneliti bernama Dr. Yousseef Mroueh dalam essainya yang berjudul Precolumbian Muslims in America. Dalam essainya ia banyak menyajikan fakta secara fisik dan manuskrip sejarah.Oleh sebab itu, belum ada yang mampu membantah essay tersebut. (Islam IsLogic.wordpress.com).Ia juga mengungkapkan bahwa jauh sebelum Colombus dan para awak kapalnya menginjakkan kaki di daratan Amerika, banyak pedagang Muslim yang datang bahkan menikahi perempuan dari suku di daratan tersebut. Ia juga menyebutkan, bahwa Laksamana Cheng Ho (Muslim) lebih dahulu datang ke Amerika 70 tahun sebelum Colombus menemukan Amerika. Sebelum Columbus menancapkan benderanya di daratan Amerika, Laksamana Zheng He sudah lebih dulu datang ke sana.(Indocropcircles.wordpress.com). Hal lain yang memperkuat menurut sejarawan (ahli kapal selam) Gavin Menzies dalam seminarnya yang diselenggarakan oleh Royal Geographical Society di London, Laksamana Zheng He (pelaut asal China) terlebih dahulu menapakkan kakinya di Amerika jauh sebelum Colombus datang. Dia menunjukkan bukti-bukti yang mampu memperkuat penelitiannya, seperti sebuah peta buatan masa sebelum Columbus memulai pelayarannya, gambar benua Amerika, serta sebuah peta astronomi milik Zheng He. Menzies melakukan penelitian tersebut selama lebih dari 14 tahun. Dia melibatkan penelitian tentang peta-peta kuno, bukti artefak, serta pengembangan dari teknologi astronomi modern (program software Starry Night). Sehingga menurutnya, Zheng He lebih pantas disebut sebagai penemu Benua Amerika bukan Columbus. Hal ini di dukung dengan rentang waktu sekitar 70 tahun. Sumber lain menyebutkan, bahwa ditemukanaksara Sequoyah pada batu pada abad ke-7. Aksara tersebut mirip sekali dengan tulisan Muhammad dalam Bahasa Arab. Selain itu, pada tahun 1787 di buat perjanjian antara Pemerintah Amerika Serikat dengan suku Cherokee (salah satu suku Indian), Kepala Suku Cherokee saat itu, bernama AbdeKhak dan Muhammad Ibnu Abdullah. Arsipnya terdapat di Perpustakaan Kongres (Library of Congress).
            Dari berbagai sisi sejarah yang menceritakan tentang Benua Amerika, kenapa hanya nama Colombus yang di sebut-sebut sebagai penemu Daratan tersebut. Sejarah Benua Amerika hanyalah contoh kecil dari manfaat kesadaran dan wawasan yang diperoleh melalui buku. Manusia bertambah cerdas dan kritis dalam menyikapi dan merespon apa yang dia dengar dan dia ketahui. Seorang pembaca kritis tidak akanbegitu saja menerima apa yang tersaji di depan matanya. Dia akan menemukan perfektif lain. Inilah yang akhirnya mendorong speaking truth. Lalu bagaimana jika sedari dini kita sudah di cocoki dengan sejarah-sejarah yang belum tentu kebenarannya? Apakah itu adalah contoh salah satu penyimpangan dari speaking truth atau ketidakkritisan si pembaca? Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah tantangan bagi kita sebagai calon orang tua dan guru dalam memeberikan fakta pada anak-anak kita.
            Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Speaking Truth terdiri dari reading dan writing. Keduanya harus mampu menyajikan data dan fakta yang menurut Haward terkandung dalam buku. Namun, tidak semua fakta tersaji dalam buku. Terdapat banyak fakta yang masih belum terungkap dan itu tidak ada dalam buku. Oleh karenanya menjadi tugas kita selanjutnya untuk mempublikasikan fakta-fakta tersebut. Untuk mencapai Speaking Truth, reader atau writer harus mampu bersikap objektive. Sehingga, ia dapat menghasilkan buku atau ujaran yang beralasan atau fakta kuat. Pengaruh dari fakta atau informasi yang tersaji bergantung pada reader atau listener merespon informasi tersebut. Kebenaran dari penyampaian informasi (speaking truth) juga di pengaruhi atau diperkuat oleh buku yang di jadikan referensi atau akan mempengaruhi buku yang akan di hasilkan. Pengaruh buku juga sangat besar untuk paradigma pembaca untuk membangun kesadaran dan mengenal pengetahuan baru. Tak aneh jika seseorang dapat menemukan dunia barunya melalui buku yang telah ia baca. Di sisi lain, kita harus pintar-pintar menyeleksi dan memilah isi dari buku yang kita baca. Apalagi jika buku yang kita baca itu bersifat keras. Salah-salah kita yang akan terbawa oleh buku tersebut. Bagaimanapun, reading-writing merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, apalagi jika untuk mengubah dan memunculkan kesadaran seseorang melalui buku (Speaking Truth to Power with Book).

Source
Ø  en.wikipedia.org
Ø  Indocropcircles.wordpress.com
Ø  penemu-ilmuan.blogspot
Ø  Islam IsLogic.wordpress.com

           
           

1 comments:

  1. generic structure ko ga dimunculkan secara eksplisit? terasa ada yang kurang dalam masakan ini: bumbu sejarah yang agak pedas; posisi teks sebagai artefak dan semiotik seeprti yang diutarakan Lehtonen kenapa ga diungkap ulang di sini?

    ReplyDelete