Develop Conciousness Though of Reading-Writing
Reading-writing
memang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Walaupun critical reveiew kali
ini tentang ‘Speaking Truth to Power With Books’, writing selalu menjadi bagian
di dalamnya. Oleh karenanya, tidak aneh jika untuk membangun kesadaran
seseorang harus melalui membaca dan menulis karena itu adalah proses
‘re-produce’ knowledge. Di sisi lain, jika kita kaitkan dengan dua tema besar
disana ‘speaking truth’ dan ‘power of books’, lagi-lagi memberi gambaran bahwa
reading-writing memang satu hal yang ‘crucial’ di dalam hidup ini.Sehingga,
tujuan dari critical review ini adalah untuk mengungkap sisi lain atau
memperkuatinformasi yang di sajikan oleh penulis artikel tersebut.Essayini
berisi informasi tentang kekuatan buku yang mampu mengubah perfektif pikiran
seseorang ketika mendapat pengetahuan atau informasi baru dari sebuah buku. Selain
itu, mampu memutarbalikkan sejarah yang terlanjur beredar di masyarakat, dan
manfaat buku yang dapat mengubah dunia seseorang yang membacanya. Semua itu
tergantung pada si pembaca dalam menyikapi buku yang ia baca. Meskipun dalam
buku tersebut menitikberatkan pada si pembaca agar ia dapat menyampaikan
kebenaran atau fakta dari sebuah buku yang ia baca, secara tidak langsung buku
ini (Speaking Truth to Power With Books) menuntut para penulis buku untuk
memberikan informasi fakta pada si pembaca. Oleh karenanya, si pembaca mampu
berfikir kritis dalam menyikapinya.
Terdapat poin-poin
penting dalam buku ‘Speaking Truth to Power With Books’ yang menarik bagi saya.
Diantaranya, buku dapat mengubah dunia seseorang (the book changed life), dia
dapat mengubah kesadaran seseorang (the book changed conciousness), hanya
berikan fakta (just give fact), dan fakta atau pandangan lain tentang Colombus.
Semua itu di tuliskan oleh Haward Zinn dengan menjadikan kejadian-kejadian atau
fenomena yang ada di lingkungan kita. Melalui karyanya penulis ingin membangun
kesadaran pembaca tentang hal-hal atau kejadian yang ada di lingkunganya.
Sehingga si pembaca di tuntut untuk lebih ‘aware’ dan kritis. Hal tersebut
terlihat dari informasi dan kalimat ajakan yang disajikan si penulis dalam
karyanya. Dalam artikel tersebut, Howard Zinn begitu berani menggunakan
contoh-contoh atau kalimat untuk menggambarkan maksud dari artikelnya. Semua
itu ia lakukan agar pembaca mampu membuka pola fikirnya menjadi lebih kritis
dan sadar akan apa yang ada di sekitarnya.
Berdasarkan
judulnya ‘Speaking Truth to Power With Books’terdapat dua subjek penting
disana, yakni Speaking Truth dan Power of Books. Speaking Truth mempunyai
bermacam-macam pengertian. Ada yang mengartikannya sebagai ‘kebenaran berucap
atau bertutur’ (my own understunding), ‘berbicara kebenaran berkuasa atau
Speaking Turth to Power’ (Quaker), berhubungan dengan reading dan writing,
yakni bagaimana dia dapat menyampaikan informasi dengan benar kepada orang lain
(reader-listener). Sedangkan
power of books adalah kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh buku. Oleh
karenanya, tidak berlebihan jika pembaca merasa menemukan dunia atau sesuatu
yang baru setelah ia membaca suatu buku. Selain itu dengan membaca buku kita
dapat mengenal dan menguasai pengetahuan baru, serta memasuki dunia baru dengan
penguasaan ilmu yang telah didapat. (www.kompasiana.com). Hal tersebut membuktikan bahwa melalui membaca, seseorang dapat
memnemukan kesadaran dalam pola fikir yang lain. Dapat dikatakan secara garis
besar Speaking Truth to Power With Booksdapat digambarkan sebagai berbicara
atau mengumandangkan suatu informasi haruslah beradasarkan fakta. Sehingga
dalam kenyataannya informasi tersebut dapat di percaya. Walaupun sebenarnya
urusan percaya atau tidaknya itu tergantung pada pembaca atau pendengar. Kelemahan
pada poin ini terletak pada faktanya. Fakta di sini lebih kepada apa yang
tertulis (the book). Oleh karenya, Haward Zinn menuntut penulis untuk lebih
menekankan pada fakta yang ia sajikan dalam bukunya. Jangan memberikan
‘jugdements’ tentang apa yang penulis tulis. Menurutnya, biarkanlah pembaca
yang menanggapi sepenuhnya buku tersebut. Mengkritisi hal tersebut, tidak semua
fakta yang ada di sekitar atau dunia kita terwujud dalam tulisan atau buku.
Namun, ada juga yang masih bersifat lisan. Selain itu, fakta yang terdapat di
dalam buku belum tentu benar adanya. Seperti yang kita tahu, penulis menulis
suatu buku bersifat subjective, yakni berdasarkan background knowledge atau
experience yang ia miliki. Sehingga, dapat menghasilkan tulisan yang
berbeda-beda, walaupun masih dalam tema yang sama. Seperti halnya, tugas
Writing yang sedang saya dan teman-teman saya kerjakan. Kami mendapat tema yang
sama, yaitu tentang artikel ‘Speaking Truth to Power With Books’, namun akan
menghasilkan karya yang berbeda-beda. Contoh lain tentang Colombus. Dalam buku
Haward Zinn, Colombus adalah penjajah. Namun menurut Wikypedia atau
enslikopedia tentang Amerika, Colombus adalah penyebar agama Kristen atau Bible
reader. Di sisi lain, bagaimana dengan fakta secara lisan di sertai bukti yang
ada hanya berupa bangunan atau artefak? Tidak bolehkah kita mempercayainya?
Seperti yang kita ketahui, banyak sekali kisah-kisah prasejarah dan sejarah
yang ada di dunia khususnya di Indonesia. Memang untuk sejarah-sejarah besar,
seperti perjuangan pahlawan dan bangunan bersejarah di Indonesia sudah
terbukukan. Walaupun itu belum semuanya dan belum tentu kebenerannya karena ada
banyak verse dalam penulisannya. Lalu bagaimana dengan sejarah-sejarah yang ada
di desa-desa tempat tinggal kita? Yang di wariskan secara lisan pada anak
cucunya. Kita harus tetap mempercayai dan menjaganya. Keadaan tersebut menjadi
tantangan bagi kita sendiri untuk dapat membukukan sesuatu yang berisi
informasi penting. Tentunya dengan tidak melihat dari sisi penulis. Bersikap
objective dalam menghasilkan karya tulis, itu jauh lebih terhormat.
Walaupun fakta
yang ada di dalam buku belum tentu benar adanya. Tidak dapat di pungkiri
kekuatan buku itu sendiri dalam dunia yang ada di sekitar kita. Seperti yang
tertulis dalam artikel, bahwa buku mampu merubah dunia seseorang (reader),
membuka kesadaran pembaca, dan mampu mengubah pandangan atau pola fikir
seseorang. Kekuatan buku tersebut akan sangat berbahaya jika berada pada
pembaca yang salah. Terlebih buku yang ia baca bersifat keras, seperti buku
tentang teroris dan kejahatan lainnya. tidak heran jika dari buku tersebutlah,
para teroris mampu melakukan pemboman dan kejahatan bunuh diri. Buku memang
benar-benar mengubah pola fikir mereka. Akan tetapi, akan lebih baik jika buku
yang kita baca memberikan inspirasi pisitif bagi dunia kita. Seperti buku
tentang kewiraushaan dan lain-lain. Selain itu, buku juga dapat mengubah dunia
pembaca karena berisi pengetahuan dan informasi yang tak terbatas. Teringat
akan cerita dongeng tentang Abu Nawas. Ketika itu Raja Harun AL-Rasyid bertanya
pada Abu Nawas tentang dimana batas dunia ini. Abu Nawas menjawabnya dengan
penuh percaya diri, bahwa batas dunia ini ada dalam fikiran kita sendiri.
Kenapa? Segala sesuatu atau informasi dan pengetahuan yang kita miliki adalah
dunia kita. Jika pengetahuan itu luas, maka luaslah dunia kita. Namun, jika
pengetahuan yang kita miliki sempit atau terbatas maka terbataslah dunia kita.
Jawaban Abu Nawas yang sederhana, namun bermakna sangat dalam dan indah. Hal
tersebut juga mengisyaratkan, bahwa membaca mampu memperluas wawasan dan dunia
kita.
Howard juga sangat
menegaskan, bahwa buku dapat menimbulkan kesadaraan bagi pembacanya. Hal
tersebut dicontohkannya dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, "…books
can change consciousness. First, they can introduce an idea that the reader
never thought of before. This is happened to many of us."Melalui buku,
pembaca dapat menemukan sisi lain dari apa yang ia baca, bahkan menemukan
pedapat yang berbeda dengan apa yang penulis tulis. Dalam bukunya, ia mencoba
membangun kesadaran pembaca. Seperti dalam kutipan "We grow up being
taught that we should obey the rules, obey our parrents, the teacher, right up
to the President. But at the some point in our lives, especially if we read
widely, we stop and say ‘Why we should and we do this? Why we should go along
with this and why don’t we think for our selves?" Fikiran-fikiran
tersebut hanya akan timbul pada pembaca yang kritis saja. Semakin banyak
manusia membaca semakin banyak pula portanyaan yang timbul dalam benak mereka.
Semantara jawaban-jawaban dari yang mereka pertanyakan tak tersedia. Selain
melalui membaca buku, consciousness (kesadaran) juga dapat dibangun melalui
tulisan (writing). Menurut Haward, "The long trajectory between writing
and changing consciousness, between writing and activsm and then affecting
public police can be tortuous and complicated. But this not mean we should
desist from writing." Hal tersebut semakin menguatkan speaking truth
(reading-writing) sangat erat kaintannya dengan writing. Bagaimana tidak?
Sesuatu yang kita tulis harus berdasarkan fakta yang ada karena akan di
publikasikan melalui khalayak ramai. Seperti para kritikus-kritikus hebat, yang
berani menyuarkan apa yang sebenarnya terjadi. Walaupun harus berhadapan dengan
sosok yang yang ia kritisi.
Poin lain yang
ingin saya kritisi, yaitu tentang pemberian ‘jugdements’ pada karya tulis.
Menurut Haward, "…did not have to make judgments, she did not have to
editorialize. She just had to say what was happening." Komentar
tersebut ia berikan pada tulsan Rachel Carson’s The Sea around Us from 1951.
Dia juga bermaksud untuk memberikan nasihat kapada kita dalam menulis.
Menurutnya, "You do not have to editorialize about it. Sometimes just
telling people about something that they do not know about is an immportant
thing to do, because that alone may move them to a greater consciousness and
even into action." Dalam kutipan tersebut terdapat kata ‘sometimes’.
Pertanyaannya, kapan kah saatnya kita memberikan judgements dalam tulisan?
Bukankah judgements selalu ada dalam tulisan baik secara eksplisit maupun
implisit? Hal tersebut karena ketika menulis, si penulis juga sedang
merepresentasikam emosi yang ada dalam dirinya. Dari kutipan Haward juga
tergambarkan, bahwa kita harus memberikan fakta dalam buku karena itu akan
berpengaruh pada kebenaran informasi yang ada dalam buku tersebut.
Berbicara tentang fakta yang
terdapat dalam buku, sangat menggelitik dalam kenyataanya. Banyak buku-buku
yang tidak jelas faktanya karena terdapat banyak versi, tergantung pada siapa
itu penulisnya (bersifat subjektif). Seperti sangat sulit untuk mengungkap
fakta yang sebenarnya (bersifat objektif). Walaupun sudah terdapat fakta yang
sangat meyakinkan, hal tersebut tidak berpengaruh apa-apa. Seperti kisah
Colombus, yang ‘katanya’ penemu benua Amerika. Banyak penelitian yang
mengatakan sebaliknya. Seperti yang di katakan Haward, "To read
Colombus as a murderer, a torturer, a kidnaper, a mutilator of native people, a
hypocrate, a greedy man looking for gold, willing to kill people and mutilate
people-it was shocking." Bukan tanpa alasan Haward menulis tentang
Colombus seperti itu. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa penduduk asli Benua
Amerika adalah Suku Indian berkulis hitam. Christoper Colombus pun sudah
mengakuinya. Awalnya ia mengira dataran tersebut tak berpenghuni, ternyata ia
salah. Pertanyaannya, kenapa bukan Suku Indian yang di jadikan sebagai penemu
Benua Amerika? Menurut Wikipedia, "Though Columbus was not the first European explorer to reach the Americas (having been preceded by the Norse expedition led by Leif Ericson in the 11th
century)." (Christopher Colombus Bibliography). Hal tersebut membuktikan, bahwa
sebagian orang-orang Amerika mengakui jika Colombus bukan penemu Benua Emerika.
Namun, kenapa Colombus masih di anggap sebagai penemu Benua Amerika? Fakta lain
yang tentang penemu Benua Amerika, bahwa seorang biarawan bernama Martin Waldseemueller (1507)membuat peta Amerika dan dalam
dokumenya sudah ia beri nama Amerika (www.teclasap.com). Seperti
yang di katakan oleh Perpustakaan di AS, "Ini juga dokumen pertama dalam bentuk apa pun yang memunculkan nama Amerika.” (John Hebert, Kepala Divisi Peta dan Geografi di Perpustakaan Kongres AS). Dugaan
lain muncul mengenai nama Benua Amerika, yakni kemungkinan besar Waldseemuller membuat peta berdasarkan informasi dan keterangan yang di dapat
dari Amerigo Vespucci (salah satu asisten Columbus). Saat itu
Columbus sudah meninggal dunia. Menurut Hebert, diperkirakan banyak pelayaraan antara
tahun 1492 dan 1506. Masih pada sumber yang sama, menurut Jay Kislak dikatakan bahwa Amerigo Vespucci mempunyai relasi yang sangat kuat. Di
tambah lagi ia pandai menulis, seorang navigasi yang handal, dan berasal dari
kalangan atas. Tidak heran jika ia dapat membantu Waldseemuller untuk membuat peta Ammerika, sebaliknya Waldseemuller juga mengapresiasi kecerdasannya dengan memberi nama
Amerika pada Benua tersebut. Menurut
beberapa dokumen sejarah, Colombus bukan orang Eropa yang pertama tiba di
daratan tersebut karena telah jadi hal yang valid dalam
ilmu sejarah, bahwa bangsa Viking(pelaut) yang berasal dari Eropa Utara sebelumnya telah menginjakkan kakinya terlebih dahulu di Benua
Amerika pada abad ke-11.
(penemu-ilmuan.blogspot). pertanyaan yang sama, kenapa Colombus masih di
jadikan sebagai penemu Benua Amerika.
Fakta lain yang lebih mengejutkan
tentang penemu Benua Amerika adalah dari golongan Muslim. Mengagetkan bukan? Menurut
buku yang ditulis oleh seorang peneliti bernama Dr. Yousseef Mroueh dalam essainya yang berjudul Precolumbian Muslims in America. Dalam
essainya ia banyak menyajikan fakta secara fisik dan manuskrip sejarah.Oleh sebab itu, belum ada yang mampu membantah essay tersebut. (Islam IsLogic.wordpress.com).Ia juga
mengungkapkan bahwa jauh sebelum Colombus dan para awak kapalnya menginjakkan
kaki di daratan Amerika, banyak pedagang Muslim yang datang bahkan menikahi
perempuan dari suku di daratan tersebut. Ia juga menyebutkan, bahwa Laksamana
Cheng Ho (Muslim) lebih dahulu datang ke Amerika 70 tahun sebelum Colombus
menemukan Amerika. Sebelum Columbus
menancapkan benderanya di daratan Amerika, Laksamana Zheng He sudah lebih dulu
datang ke sana.(Indocropcircles.wordpress.com). Hal lain yang
memperkuat menurut sejarawan (ahli kapal selam) Gavin Menzies dalam seminarnya yang diselenggarakan oleh Royal Geographical Society di London, Laksamana Zheng
He (pelaut asal China) terlebih dahulu menapakkan kakinya di Amerika jauh
sebelum Colombus datang. Dia menunjukkan bukti-bukti yang mampu memperkuat
penelitiannya, seperti sebuah peta buatan masa sebelum
Columbus memulai pelayarannya, gambar benua
Amerika, serta sebuah peta astronomi milik Zheng He. Menzies melakukan penelitian tersebut selama lebih dari 14 tahun. Dia melibatkan penelitian tentang peta-peta
kuno, bukti artefak, serta pengembangan
dari teknologi astronomi modern (program software Starry Night). Sehingga menurutnya, Zheng He lebih pantas disebut sebagai penemu Benua Amerika
bukan Columbus. Hal ini di dukung dengan rentang waktu sekitar 70 tahun. Sumber lain menyebutkan, bahwa ditemukanaksara
Sequoyah pada batu pada abad ke-7. Aksara tersebut mirip sekali dengan
tulisan Muhammad dalam Bahasa Arab. Selain itu, pada tahun 1787 di buat
perjanjian antara Pemerintah Amerika Serikat dengan suku Cherokee (salah satu
suku Indian), Kepala Suku Cherokee saat itu,
bernama AbdeKhak dan Muhammad Ibnu Abdullah. Arsipnya terdapat di Perpustakaan Kongres (Library of Congress).
Dari
berbagai sisi sejarah yang menceritakan tentang Benua Amerika, kenapa hanya
nama Colombus yang di sebut-sebut sebagai penemu Daratan tersebut. Sejarah
Benua Amerika hanyalah contoh kecil dari manfaat kesadaran dan wawasan yang
diperoleh melalui buku. Manusia bertambah cerdas dan kritis dalam menyikapi dan
merespon apa yang dia dengar dan dia ketahui. Seorang pembaca kritis tidak akanbegitu
saja menerima apa yang tersaji di depan matanya. Dia akan menemukan perfektif
lain. Inilah yang akhirnya mendorong speaking truth. Lalu bagaimana jika sedari
dini kita sudah di cocoki dengan sejarah-sejarah yang belum tentu kebenarannya?
Apakah itu adalah contoh salah satu penyimpangan dari speaking truth atau
ketidakkritisan si pembaca? Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah tantangan
bagi kita sebagai calon orang tua dan guru dalam memeberikan fakta pada
anak-anak kita.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa Speaking Truth terdiri dari reading dan
writing. Keduanya harus mampu menyajikan data dan fakta yang menurut Haward
terkandung dalam buku. Namun, tidak semua fakta tersaji dalam buku. Terdapat banyak
fakta yang masih belum terungkap dan itu tidak ada dalam buku. Oleh karenanya
menjadi tugas kita selanjutnya untuk mempublikasikan fakta-fakta tersebut.
Untuk mencapai Speaking Truth, reader atau writer harus mampu bersikap
objektive. Sehingga, ia dapat menghasilkan buku atau ujaran yang beralasan atau
fakta kuat. Pengaruh dari fakta atau informasi yang tersaji bergantung pada
reader atau listener merespon informasi tersebut. Kebenaran dari penyampaian
informasi (speaking truth) juga di pengaruhi atau diperkuat oleh buku yang di
jadikan referensi atau akan mempengaruhi buku yang akan di hasilkan. Pengaruh
buku juga sangat besar untuk paradigma pembaca untuk membangun kesadaran dan
mengenal pengetahuan baru. Tak aneh jika seseorang dapat menemukan dunia
barunya melalui buku yang telah ia baca. Di sisi lain, kita harus pintar-pintar
menyeleksi dan memilah isi dari buku yang kita baca. Apalagi jika buku yang kita
baca itu bersifat keras. Salah-salah kita yang akan terbawa oleh buku tersebut.
Bagaimanapun, reading-writing merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan,
apalagi jika untuk mengubah dan memunculkan kesadaran seseorang melalui buku
(Speaking Truth to Power with Book).
Source
Ø en.wikipedia.org
Ø Indocropcircles.wordpress.com
Ø penemu-ilmuan.blogspot
Ø Islam IsLogic.wordpress.com
generic structure ko ga dimunculkan secara eksplisit? terasa ada yang kurang dalam masakan ini: bumbu sejarah yang agak pedas; posisi teks sebagai artefak dan semiotik seeprti yang diutarakan Lehtonen kenapa ga diungkap ulang di sini?
ReplyDelete