Ketika Sastra
Berbicara
“Orang yang
banyak membaca tapi tak pernah menulis, itu adalah orang yang sakit. Seperti
orang yang banyak makan, tapi tak buang air besar.” Habiburrahman al-Shirazy.
”Ilmu itu
bagaikan binatang buruan yang liar, dan tulisan adalah sebagai pengendalinya.
Maka kendalikanlah binatang buruan tadi dengan kendali yang kuat dan kokoh.” –
Imam Malik RA
Tulisan ini adalah critical review
dari artikel “Speaking Truth to Power with Books” yang ditulis oleh Howard Zinn
di dalam buku Anthropology off The Shelf.
Beliau adalah seorang ulama sejarawan, penulis naskah, dan aktivis. Beliau
pernah menulis ihwal sejarah rakyat klasik dari Amerika Serikat,. Sejarah brillian
beliau yang bergerak dari
rakyat Amerika dari sudut pandang mereka yang mana sebagian besar nasib telah dihilangkan dari sebagian besar sejarah.
Tak aneh, jika di dalam artikelnya ini
Howard Zinn menuturkan bagaimana
pentingnya kebenaran yang secara realita melalui buku-buku. Dalam artikelnya
juga Howard Zinn sedikit menguak tentang Christopher Columbus, bahwasannya
Christopher Columbus adalah seorang yang pembunuh, penculik, penganiaya, dll. Akan tetapi dalam sejarahnya, hampir semua orang mengenal bahwa Christopher
Columbus adalah penemu Benua Amerika.
Sebelum menguak
lebih spesifik ihwal artikel tersebut, akan lebih baik apabila membahas makna
terlebih dahulu dari judul itu sendiri. Ada perbedaan pendapat ihwal kajian makna “Speaking Truth to Power with Books”, di antaranya; Pendapat
pertama memaparkan bahwa kalimat tersebut merupakan sebuah idiom yang maknanya
adalah berbicara
kebenaran kepada kekuasaan. Sedangkan
pendapat kedua menjelaskan bahwa kata “to power” tersebut bisa tergolong kalimat
passive, yang berarti berbicara yang harus dikuatkan dengan referensi. Dalam
kedua pendapat tersebut, pada dasarnya memiliki inti yang sama ihwal “berbicara kebenaran.”
Sangat familiar apabila membicarakan ihwal ”kebenaran” yang tentunya harus sangatlah kuat dan valid, yaitu BUKU. Buku merupakan
sekumpulan kertas putih yang berisikan tinta, baik hitam dan berwarna seperti
pelangi, dimana di dalamnya berisikan ilmu atau pengetahuan sebagai pegangan
umatnya. Tidak ada yang lain, meskipun jurnalistik adalah yang meliput berbagai
informasi dalam pers ataupun lainnya. Karena apabila jurnalisme berbicara
dengan fakta, maka sastra akan berbicara dengan kebenarannya. Ketika Akademis
angkat tangan untuk berani berbicara kebenaran, maka sastra dipertaruhkan. Jika
akademisi lahir dari otak, maka sastra berbicara dengan hati dan nurani. Fakta
dan kebenaran disisipkan dalam buku sastra. Bahkan terkadang buku novel lebih
jujur dibanding buku-buku sejarah. Misalnya saja buku tetralogi Pulau Buru
karya Pramoedbeliau Ananta Toer yang berhasil menyajikan setting masa kolonbeliaulisme
Belanda dan novel Multatuli,
Max Havelar tentang nasib rakyat yang dijajah.
Dari selayang
pandang tersebutlah, setiap seseorang harus
memahami bahwa buku yang merupakan sumber ilmu juga memiliki kekuatan yang luar
bbeliausa. Alasan pertama adalah setiap sesuatu yang berada dalam buku itu sendiri bersifat tertulis. Dimana hal
yang berbentuk tertulis lah yang merupakan sumber valid bagi semua orang.
Contoh, perbedaan ketika seseorang mendengarkan berita melalui siaran televisi dan membaca secara langsung dalam sebuah wacana di dalam
koran. Kecenderungan perbedaannya adalah dari segi sisi data yang akurat lebih
ada di dalam suatu wacana dari pada siaran televisi yang mungkin didengar sesaat.
Alasan yang
kedua, apabila buku dikaitkan dengan hakikat suara dalam ilmu fonologi,
bahwasannya suara adalah rasa yang paling sulit untuk diperdebatkan. Ketika
suara itu sendiri diproduksi, maka akan hilang atau lenyap dengan sendirinya,
kecuali apabila suara itu direkam, kemudian barulah kita dapat mendengarkan rekaman ulangnya (Finch: 2003) on
Studying Soound. Dengan demikian, suara atau ucapan bersifat “ephemeral” yakni
sebentar saja. Oleh karenanya, dengan tulisan lah yang akan membantu
mempertahankan rangkaian isi sebagai
cadangannya.
Dalam ihwal ini,
ada hubungan besar apabila dikaitkan dengan sejarah pembukuan Al-Qur’an pada
masa sahabat Usman bin ‘Affan. Pada masa Rasulullah SAW, belbeliauu mendapatkan
wahyu dari malaikat jibril secara berangsur-angsur. Kemudbeliaun, belbeliauu
membacakan ayatnya serta mendiktenya kepada para sahabat. Dalam periode
pembukuannya, setiap ayat yang turun dari malaikat jibril kepada Rasulullah SAW
ditulis dalam pelepah kurma, kulit binatang, dan bahkan pada tulang belulang
hewan.
Singkat cerita
pada masa kepemimpinan Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq, belbeliauu memerintahkan
agar naskah yang tersimpan disalin dan disusun kembali. Ihwal ini dilakukan
setelah terjadinya perang Yamamah yang mengakibatkan 70 orang penghafal
Al-Qur’an meninggal dunia dan Musailamah Al-Kadzab sebagai nabi palsu
dihancurkan. Kemudian, Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq memerintahkan Zaid bin
Tsabit untuk mengumpulkan suhuf-suhuf Al-Qur’an baik dari plepah kurma, tulang
hewan serta penghafal Al-Qur’an yang masih hidup. Dengan demikian, umat muslim meyakini bahwa mushaf Abu Bakar lah mushaf yang paling
sahih. Lalu, timbul permasalahan pada masa Usman bin Affan karena islam sudah
semakin meluas dan banyak perbedaan pendapat tentang qiraat (bacaan) di
kalangan umat muslim bahwa setiap kabilah mengaku bacaannya adalah yang paling
baik dibanding bacaan kabilah yang lain.
Kemudian,
Hudzaifah mengusulkan kepada khalifah untuk mengambil kebijaksanaan dalam
permasalahan tersebut sebelum terjadi pertengkaran ihwal kitab suci Al-Qur’an
yang terjadi pada Yahudi dan Nasrani mengenai Taurat dan Injil. Usul itu segera
diterima oleh khalifah Usman bin Affan. Beliau dengan segera mengirim utusan untuk memperbanyak Al-Qur’an, yang dipimpin
oleh Zaid dengan anggotanya, Abdullah bin Zubair, Said Ibnu Ash, serta
Abdurrahman bin Harits. Setelah selesai memperbanyak mushaf, maka Usman menyerahkan kembali mushaf
yang asli kepada Hafsah. Kemudian, lima mushaf
lainnya dikirim kepada penguasa di Mekah, Kuffah, Basrah dan Surauh, dan salah
satunya dipegang oleh Khalifah Usman bin Affan sendiri. Sejak pembukuan
tersebut, maka dikenallah Mushaf Ustmany.
Selain kisah tersebut, ada pendapat
Imam Malik RA mengatakan “bahwa Ilmu
itu bagaikan binatang buruan yang liar, dan tulisan adalah sebagai
pengendalinya. Maka kendalikanlah binatang buruan tadi dengan kendali yang kuat
dan kokoh.” Ihwal ini sejalan dengan kisah saya, seorang guru bahasa Inggris lulusan
UPI yang selalu mengingatkan siswanya untuk menulis tentang apa yang beliau
terangkan yang terkait dengan pelajarannya. Meskipun beliau tidak pernah bisa
melihat dengan jelas catatan siswanya karena suatu hal, namun beliau selalu
peka ketika mendengar siswanya berbicara. Dan beliau memiliki ingatan dan
feeling yang kuat dalam mata pelajarannya, ataupun dalam ihwal lainnya. Dengan
ini, dapat disimpulkan bahwa beliau selalu mengajarkan siswanya untuk menulis.
Dengan demikian, bahwa buku memiliki sifat kekuatan yang tinggi. Namun, jangan disangka
bahwa sebagian kecil buku sejarah anak sekolah terdapat unsur-unsur kebohongan. Hal ini
dilakukan karena di dalam buku itu sendiri terdapat adanya suatu unsur politik
yang sangat melekat. Sehingga tanpa kita sadari, kita telah tertipu oleh
lezatnya citarasa yang langsung ditelan tanpa dikunyah terlebih dahulu. Seperti
kebohongan Negara Amerika yang selama ini masyarakat mengklaim bahwa Amerika
ditemukan oleh Christopher Columbus. Bahkan semua buku sejarah anak sekolah
Indonesia pun berisikan hal yang sama demikian.
Apabila kita teliti sejarah
Christopher Columbus yang katanya telah menginjakkan kakinya pertama kali di
benua Amerika, namun semuanya adalah kebohongan belaka. Yang pertama kali
menginjakkan kakinya di benua Amerika adalah Laksamana Cheng Ho, yang merupakan
kelahiran china. Beliau juga telah memetakan Belahan Bumi Barat (Western
Hemisphere) lebih dari 70 tahun sebelum Columbus. Sampai tahun 2002, masyarakat
masih mengklaim bahwa Columbus lah yang menemukan benua tersebut.
Ketika
sebuah buku karangan Gavin Menzies berjudul "1421: the Year China
Discovered America" diterbitkan. Dengan yakin, Menzies menyatakan bahwa
penemu benua Amerika sesungguhnya adalah Laksamana Cheng Ho, bukan Christopher
Columbus seperti yang diketahui selama ini. Hal ini tentu saja membuat
kegemparan, terutama di kalangan ahli sejarah. Dunia internasional pun mulai
bertanya-tanya tentang sosok Cheng Ho yang disebut-sebut sebagai pelaut ulung
asal Cina tersebut.
Cheng
Ho berasal dari provinsi Yunnan, beliau Barat Daya dan merupakan generasi dari
bangsa Hui yang merupakan salah satu bangsa minoritas Tionghoa. Beliau lahir di
lingkungan keluarga muslim Tionghoa yang taat sehingga beliau tumbuh menjadi
pemuda pemberani dan cerdas. Pada masa dinasti Ming menguasai Yunnan dari
dinasti Yuan ( Mongol ), banyak pemuda yang ditangkap dan dijadikan kasim di
Nanjing. Pada saat itu, Cheng Ho berumur 11 tahun dbeliaubdikan ke Raja Zhu.
Pada saat kaisar Cheung Tsu berkuasa, Cheng Ho diutus untuk memimpin armada
laut dan ekspedisi pertama ke laut selatan pada tahun 1405. Sampai tahun 1433,
Laksamana ini telah memimpin tujuh ekspedisi dengan armada besar. Beberapa
catatan menyebutkan bahwa armada yang dipimpinnya terdiri dari 300-an kapal
laut dari berbagai ukuran dengan awak kapal bisa mencapai sekitar 27.000 orang.
Sebuah armada yang pada masa itu sangat massif tentunya.
Permasalahannya
adalah kenapa orang Amerika lebih memilih Negara nya ditemukan oleh Columbus
dari pada Cheng Ho? Padahal mereka mengetahui bahwa Columbus adalah seorang
penjajah, pemerkosa, pencuri, perusak, orang munafik, tamak dalam ihwal emas,
dll. Hal ini disebabkan karena Cheng Ho merupakan colonbeliaul Inggris, sedangkan
pada zaman dahulu nya Amerika pernah ada suatu perselisihan dengan Inggris. Oleh
karenanya, mereka (orang Amerika) lebih memilih untuk Negara nya di temukan
oleh Christopher Columbus dari pada Cheng Ho.
Terkait
dengan bukti bahwa Christopher Columbus adalah seorang pemerkosa dan tamak akan
emas. Hal ini dibuktikan bahwa dalam catatan hariannya, bahwa Columbus mengakui
bahwa saat itu beliau telah menemukan India, bukan Amerika. Kemudian beliau
menyiksa penduduk pribumi dan menggantung mereka serta mencambuknya, hanya
untuk satu informasi penting “Dimana ada Emas?” Hellen Ellerbe, dalam “The
Dark Side of Christbeliaun History” (hal. 86-88), menggambarkan
keberingasan Columbus. Selain menyiksa, beliau juga sering memperkosa perempuan
pribumi, lalu mencambuk mereka demi kesenangan belaka. Koloni yang di bawa
Columbus pada pelayaran berikutnya (1496), di klaim bertanggung jawab atas
kematian 34 juta penduduk asli Amerika.
Terkait
dengan Columbus adalah seorang pembunuh. Ada beberapa bukti yang menguatkan,
salah satu di antaranya adalah ada dua orang peneliti dari Universitas California,
yaitu Sherbune dan Woodrow, pada tahun 1492 jumlah orang Arawak terdapat 8 juta
jiwa, pada tahun 1496 mendatangi penduduk tersebut. Kemudian, pada tahun
1508-1518 dari 8 juta orang Arawak, hanya tersisa 100.000 orang Arawak. Bahkan,
pada tahun 1514, hanya tersisa 22.000 orang Arawak dewasa. Peneliti lain juga
berpendapat yang sama, Cook dan Borah, menulis angka 27.800 pada tahun 1514. Kemudian
mereka mengatakan bahwa “Dalam jangka kurun waktu 20 tahun, Christopher
Columbus telah membantai 90% bangsa Arawak, yang pada awalnya berjumlah 8 juta,
kini hanya 28.000-an orang. Dalam buku yang berjudul “The conquest of Paradise:
Christopher Columbus and the Columbian Legacy” Kickpatrick Sale (1991)
menyatakan bahwasannya “ini lebih dari suatu pembantaian biasa, ini merupakan
suatu pembunuhan secara besar-besaran yang menghabisi lebih dari 90% penduduk,
dan pemusnahan satu generasi.”
Sekarang,
apakah masih pantas jika si Columbus ini disebut-sebut sebagai tokoh besar
penemu Amerika? Dan diperingati pula seluas dunia dengan “Columbus Day”?
Setelah mengetahui fakta kebohongan yang sangat mencengangkan atas kekejaman
luar biasa yang telah dirinya lakukan. Beliau adalah seorang pembunuh,
pemerkosa, dan seseorang yang secara aktif berpartisipasi dalam genosida yang
akhirnya menyebabkan kematian dari 20 juta masyarakat adat di Indian di
Haiti.
Seorang
Howard Zinn yang merupakan bukan penduduk asli Amerika tetapi mengetahui betul
bagaimana keadaan disana. Hal ini disebabkan karena pada zaman dahulu, beliau
juga seorang tentara. Singkat cerita, Beliau pernah membombardir pada perang ke
dunia ke II. Beliau menjatuhkan bom-bom di kota besar, kota dan penduduk. Akan tetapi,
beliau tidak mengetahui bahwa hal itu dapat menjadikannya manusia sesungguhnya.
Beliau telah menjatuhkan bom dari ketinggian 30.000 kaki, tetapi beliau tidak
melihat seseorang disana, beliau juga tidak mendengar adanya terbeliaukan, beliau
juga tidak melihat ada darah setetespun, bahkan beliau juga tidak melihat anak
kecil. Kemudian, beliau merasa bersalah telah melakukan hal yang tidak berdosa
bahkan beliau juga tidak mengerti apa yang telah beliau perbuat. Kemudian,
setelah perang tersebut berakhir, beliau membaca buku karangan John Hersey,
Hiroshima, kemudian beliau memahami apa yang telah beliau lakukan ketika
memborbardir orang-orang.
Pengalaman tersebut membantu untuk membentuk oposisinya terhadap perang dan
gairah untuk sejarah. Setelah menghadiri kulbeliauh di bawah GI Bill dan
mendapatkan gelar Ph.D. dalam sejarah dari Columbia, beliau mengajar di Spelman,
di mana beliau menjadi orang yang aktif dalam gerakan hak-hak sipil. Setelah
dipecat oleh Spelman untuk dukungannya terhadap demonstran. Kemudian,
beliau menjadi professor ilmu politik di Boston University. Beliau mengajar
sampai pensiun pada tahun 1988.
Setelah
menguak lebih lengkap tentang Christopher Columbus dan Howard Zinn, masih
ingatkah dengan pernyataan Howard Zinn, bahwasannya “This book changed my life?”
Namun apabila melihat bangsa kita yang masih diam, sepertinya keberadaan buku
bukannya semakin merubah hidup kita, namun semakin menelantarkan kita karena
buku hanya sebagai pajangan di perpustakaan dan cenderung kita beralih memilih
terlena dengan keindahan dunia yang sifatnya pembodohan. Masih ingatkah dengan
kisah sumpah pemuda pada tempo dulu?
Peristiwa sumpah pemuda pada tahun 1928
yang dipelopori oleh kaum muda dari beberapa pulau dan suku yang berbeda. Pengakuan
mereka yang tertuang dalam sumpah pemuda merupakan inspirasi yang berkaitan dan
berkesinambungan. Hal ini tampak dengan jelas akan semangat perjuangan mereka
untuk melepaskan diri dari belenggu penjajajahan. Tentunya janji sumpah pemuda
itu sudah mereka fikirkan dengan masak untuk menjadikan bangsa Indonesia bangsa
yang satu. Dengan keberanian kaum sastrawan, mereka berani secara
terang-terangan mengecam bahkan menentang kaum penjajah. Seperti roman yang
berjudul Salah Asuhan karya Abdul Muis yang dipublikasikan pada tahun
1928.
Penyusunan sejarah yang sejak dahulu
pejuang kita bermimpi agar Negara Indonesia menjadi Negara yang beradab, baik dalam ilmu ataupun akhlak. Lalu, bagaimana dengan masa sekarang? Bagaimana
pula buku dapat merubah kesadaran seseorang (people’s consciousness), jika kita
tidak membaca dan menuangkannya dalam kehidupan sehari-hari. Inilah perlu
adanya pembenahan yang harus dimulai dari diri kita untuk generasi penerus
bangsa. Seperti pepatah yang mengatakan “Ibda’ binnafsi.”
Sedikit
flashback pada cerita dahulu ihwal kisah dapat merubah hidup seseorang. Di pulau
terpencil Pitcairn, Pasifik Selatan, ada para pemberontak terkenal yang
menenggelamkan kapal Inggris “Bounty” yang
terdampar bersama wanita pribumi. Kelompok itu terdiri dari Sembilan pelaut Inggris.
Seorang dari pelaut tersebut menemukan cara untuk menyuling alkohol, dan segera
membuat seluruh penduduk di pulau tersebut mabuk-mabukan. Peselisihan antara
pria dan wanita itu bertumbuh menjadi kekerasan. Tak berapa lama kemudian hanya
satu dari orang yang mencapai pulau itu yang dapat bertahan. Tetapi orang
ini, Alexander Smith menemukan buku di sebuah peti yang dibawa dari kapal. Dia
mulai membaca buku itu dan mengajarkannya pada kepada yang lain. Begitu ia
melakukannya hidupnya berubah, dan akhirnya mengubah kehidupan di dalam pulau
itu. Para peduduk pulau terisolasi dari dunia luar sampai datangnya kapal dari
Amerika serikat "Topaz" di tahun 1808. Awak kapalnya menemukan
kemajuan dalam pulau ini, penduduknya makmur tanpa minuman keras, penjara
ataupun kriminalitas. BUku itu telah merubah pulau ini dari neraka di dunia
menjadi contoh sebuah tempat seperti yang Tuhan inginkan. Dan ini masih
bertahan hingga sekarang.
Kembali ke topic awal, bahwasannya
kebohongan yang sudah terjadi dalam sejarah masa lalu kita cukup memberikan
kesadaran bagi setiap orang untuk “will not take a text for a granted”. Setiap cerita
atau kebenaran yang kita dengar harus kita cerna terlebih dahulu dengan mencari
tahu informasi yang lebih akurat.
Masih berbicara kebenaran, tentunya
kita masih ingat tentang pentinya “Awareness”. Hal ini sejalan dengan buku
karangan Rachel Carson “The Sea around Us” pada tahun 1951. Dalam bukunya, ia
menuliskan tentang penilaian orang sederhananya tidak berfikir ihwal apa yang
terjadi di udara, air, dan lingkungan. Kemudian, Howard Zinn menanggapi bahwa
seharusnya kamu (Rachel carson) tidak perlu menuliskan judgement tentang
seseorang. Dengan bijak, zinn berkata ”cukup kamu ceritakan saja ihwal
kebenaran yang sesungguhnya. Dengan sendirinya, setiap orang akan memahami dan
menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi.”
Akan tetapi, jika setiap orang tidak ada
mengetahui kebenaran yang terjadi dan mencari informasi dengan buku. Lalu bagaimana
kita bisa memberi orang lain sebuah informasi. Oleh karenanya, yang merupakan
keasadaran seseorang akan membentuk kesadaran masyarakat “social consciousness.”
Baiklah, sekali lagi, ketika sastra
berbicara, ini dimaksudkan bahwa buku mampu mengungkap kebenaran kepada
kekuasaan. Hal ini dibuktikan dengan cerita di atas, dimana ketika seseorang
tidak mampu lagi untuk berkata benar maka sastra lah yang harus berbicara
dengan tulisannya. Mereka mampu menulis karena pandai membaca dan mampu
menuangkan tulisannya. Apabila hanya membaca saja atau menulis saja itu tidak baik, kedua nya harus seimbang. ibarat "Orang yang banyak membaca tapi tak pernah
menulis, itu adalah orang yang sakit. Seperti orang yang banyak makan, tapi tak
buang air besar.” Habiburrahman al-Shirazy.
DAFTAR
PUSTAKA
Finch, Geoffrey. 2003.
How to study Linguistics: A guide to understanding language. Palgrave
Macmillan. New York.
http://cataki.wordpress.com/
di akses pada tanggal 25 Februari 2014 pada jam 18.58 WIB
http://kompi12.wordpress.com/2012/10/11/sejarah-pembukuan-al-quran-review/
diakses pada tanggal 25 Februari 2014
pada jam 18.58 WIB
http://ksatriapena.wordpress.com/2012/10/16/mengungkap-kebiadaban-columbus/
diakses pada tanggal 28 Februari 2014 pada jam 18.35 WIB
http://tzusi.blogspot.com/2012/05/sejarah-lahirnya-sastra-indonesia.html
diakses pada tanggal 27 Februari 2014 pada jam 15.30 WIB
upaya kamu untuk merujuk pada Finch saya apresiasi deh. Tulisan ini kaya akan informasi, namun perspektif kamu sendiri harus diberi warna. Jangan terjebak pada rangkaian sejarah yang kamu ceritakan ulang di artikel ini
ReplyDelete