Saturday, March 1, 2014



Ketika Sastra Berbicara
 


“Orang yang banyak membaca tapi tak pernah menulis, itu adalah orang yang sakit. Seperti orang yang banyak makan, tapi tak buang air besar.” Habiburrahman al-Shirazy.

”Ilmu itu bagaikan binatang buruan yang liar, dan tulisan adalah sebagai pengendalinya. Maka kendalikanlah binatang buruan tadi dengan kendali yang kuat dan kokoh.” – Imam Malik RA


Tulisan ini adalah critical review dari artikel “Speaking Truth to Power with Books” yang ditulis oleh Howard Zinn di dalam buku Anthropology off The Shelf.  Beliau adalah seorang ulama sejarawan, penulis naskah, dan aktivis. Beliau pernah menulis ihwal sejarah rakyat klasik dari Amerika Serikat,. Sejarah brillian beliau yang bergerak dari rakyat Amerika dari sudut pandang mereka yang mana sebagian besar nasib telah dihilangkan dari sebagian besar sejarah.  
Tak aneh, jika di dalam artikelnya ini Howard Zinn menuturkan bagaimana pentingnya kebenaran yang secara realita melalui buku-buku. Dalam artikelnya juga Howard Zinn sedikit menguak tentang Christopher Columbus, bahwasannya Christopher Columbus adalah seorang yang pembunuh, penculik, penganiaya, dll. Akan tetapi dalam sejarahnya, hampir semua orang mengenal bahwa Christopher Columbus adalah penemu Benua Amerika.
Sebelum menguak lebih spesifik ihwal artikel tersebut, akan lebih baik apabila membahas makna terlebih dahulu dari judul itu sendiri. Ada perbedaan pendapat ihwal kajian makna “Speaking Truth to Power with Books”, di antaranya; Pendapat pertama memaparkan bahwa kalimat tersebut merupakan sebuah idiom yang maknanya adalah berbicara kebenaran kepada kekuasaan. Sedangkan pendapat kedua menjelaskan bahwa kata “to power” tersebut bisa tergolong kalimat passive, yang berarti berbicara yang harus dikuatkan dengan referensi. Dalam kedua pendapat tersebut, pada dasarnya memiliki inti yang sama ihwal “berbicara kebenaran.”
Sangat familiar apabila membicarakan ihwalkebenaran” yang tentunya harus sangatlah kuat dan valid, yaitu BUKU. Buku merupakan sekumpulan kertas putih yang berisikan tinta, baik hitam dan berwarna seperti pelangi, dimana di dalamnya berisikan ilmu atau pengetahuan sebagai pegangan umatnya. Tidak ada yang lain, meskipun jurnalistik adalah yang meliput berbagai informasi dalam pers ataupun lainnya. Karena apabila jurnalisme berbicara dengan fakta, maka sastra akan berbicara dengan kebenarannya. Ketika Akademis angkat tangan untuk berani berbicara kebenaran, maka sastra dipertaruhkan. Jika akademisi lahir dari otak, maka sastra berbicara dengan hati dan nurani. Fakta dan kebenaran disisipkan dalam buku sastra. Bahkan terkadang buku novel lebih jujur dibanding buku-buku sejarah. Misalnya saja buku tetralogi Pulau Buru karya Pramoedbeliau Ananta Toer yang berhasil menyajikan setting masa kolonbeliaulisme Belanda dan novel Multatuli, Max Havelar tentang nasib rakyat yang dijajah.
Dari selayang pandang tersebutlah, setiap seseorang harus memahami bahwa buku yang merupakan sumber ilmu juga memiliki kekuatan yang luar bbeliausa. Alasan pertama adalah setiap sesuatu yang berada dalam buku itu sendiri bersifat tertulis. Dimana hal yang berbentuk tertulis lah yang merupakan sumber valid bagi semua orang. Contoh, perbedaan ketika seseorang mendengarkan berita melalui siaran televisi dan membaca secara langsung dalam sebuah wacana di dalam koran. Kecenderungan perbedaannya adalah dari segi sisi data yang akurat lebih ada di dalam suatu wacana dari pada siaran televisi yang mungkin didengar sesaat.
Alasan yang kedua, apabila buku dikaitkan dengan hakikat suara dalam ilmu fonologi, bahwasannya suara adalah rasa yang paling sulit untuk diperdebatkan. Ketika suara itu sendiri diproduksi, maka akan hilang atau lenyap dengan sendirinya, kecuali apabila suara itu direkam, kemudian barulah kita dapat mendengarkan rekaman ulangnya (Finch: 2003) on Studying Soound. Dengan demikian, suara atau ucapan bersifat “ephemeral” yakni sebentar saja. Oleh karenanya, dengan tulisan lah yang akan membantu mempertahankan rangkaian isi sebagai cadangannya.
Dalam ihwal ini, ada hubungan besar apabila dikaitkan dengan sejarah pembukuan Al-Qur’an pada masa sahabat Usman bin ‘Affan. Pada masa Rasulullah SAW, belbeliauu mendapatkan wahyu dari malaikat jibril secara berangsur-angsur. Kemudbeliaun, belbeliauu membacakan ayatnya serta mendiktenya kepada para sahabat. Dalam periode pembukuannya, setiap ayat yang turun dari malaikat jibril kepada Rasulullah SAW ditulis dalam pelepah kurma, kulit binatang, dan bahkan pada tulang belulang hewan.
Singkat cerita pada masa kepemimpinan Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq, belbeliauu memerintahkan agar naskah yang tersimpan disalin dan disusun kembali. Ihwal ini dilakukan setelah terjadinya perang Yamamah yang mengakibatkan 70 orang penghafal Al-Qur’an meninggal dunia dan Musailamah Al-Kadzab sebagai nabi palsu dihancurkan. Kemudian, Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan suhuf-suhuf Al-Qur’an baik dari plepah kurma, tulang hewan serta penghafal Al-Qur’an yang masih hidup. Dengan demikian, umat muslim meyakini bahwa mushaf Abu Bakar lah mushaf yang paling sahih. Lalu, timbul permasalahan pada masa Usman bin Affan karena islam sudah semakin meluas dan banyak perbedaan pendapat tentang qiraat (bacaan) di kalangan umat muslim bahwa setiap kabilah mengaku bacaannya adalah yang paling baik dibanding bacaan kabilah yang lain.
Kemudian, Hudzaifah mengusulkan kepada khalifah untuk mengambil kebijaksanaan dalam permasalahan tersebut sebelum terjadi pertengkaran ihwal kitab suci Al-Qur’an yang terjadi pada Yahudi dan Nasrani mengenai Taurat dan Injil. Usul itu segera diterima oleh khalifah Usman bin Affan. Beliau dengan segera mengirim utusan untuk memperbanyak Al-Qur’an, yang dipimpin oleh Zaid dengan anggotanya, Abdullah bin Zubair, Said Ibnu Ash, serta Abdurrahman bin Harits. Setelah selesai memperbanyak mushaf, maka Usman menyerahkan kembali mushaf yang asli kepada Hafsah. Kemudian, lima mushaf lainnya dikirim kepada penguasa di Mekah, Kuffah, Basrah dan Surauh, dan salah satunya dipegang oleh Khalifah Usman bin Affan sendiri. Sejak pembukuan tersebut, maka dikenallah Mushaf Ustmany.
Selain kisah tersebut, ada pendapat Imam Malik RA mengatakan “bahwa Ilmu itu bagaikan binatang buruan yang liar, dan tulisan adalah sebagai pengendalinya. Maka kendalikanlah binatang buruan tadi dengan kendali yang kuat dan kokoh.” Ihwal ini sejalan dengan kisah saya, seorang guru bahasa Inggris lulusan UPI yang selalu mengingatkan siswanya untuk menulis tentang apa yang beliau terangkan yang terkait dengan pelajarannya. Meskipun beliau tidak pernah bisa melihat dengan jelas catatan siswanya karena suatu hal, namun beliau selalu peka ketika mendengar siswanya berbicara. Dan beliau memiliki ingatan dan feeling yang kuat dalam mata pelajarannya, ataupun dalam ihwal lainnya. Dengan ini, dapat disimpulkan bahwa beliau selalu mengajarkan siswanya untuk menulis.
Dengan demikian, bahwa buku memiliki sifat kekuatan yang tinggi. Namun, jangan disangka bahwa sebagian kecil buku sejarah anak sekolah terdapat unsur-unsur kebohongan. Hal ini dilakukan karena di dalam buku itu sendiri terdapat adanya suatu unsur politik yang sangat melekat. Sehingga tanpa kita sadari, kita telah tertipu oleh lezatnya citarasa yang langsung ditelan tanpa dikunyah terlebih dahulu. Seperti kebohongan Negara Amerika yang selama ini masyarakat mengklaim bahwa Amerika ditemukan oleh Christopher Columbus. Bahkan semua buku sejarah anak sekolah Indonesia pun berisikan hal yang sama demikian.
Apabila kita teliti sejarah Christopher Columbus yang katanya telah menginjakkan kakinya pertama kali di benua Amerika, namun semuanya adalah kebohongan belaka. Yang pertama kali menginjakkan kakinya di benua Amerika adalah Laksamana Cheng Ho, yang merupakan kelahiran china. Beliau juga telah memetakan Belahan Bumi Barat (Western Hemisphere) lebih dari 70 tahun sebelum Columbus. Sampai tahun 2002, masyarakat masih mengklaim bahwa Columbus lah yang menemukan benua tersebut.
Ketika sebuah buku karangan Gavin Menzies berjudul "1421: the Year China Discovered America" diterbitkan. Dengan yakin, Menzies menyatakan bahwa penemu benua Amerika sesungguhnya adalah Laksamana Cheng Ho, bukan Christopher Columbus seperti yang diketahui selama ini. Hal ini tentu saja membuat kegemparan, terutama di kalangan ahli sejarah. Dunia internasional pun mulai bertanya-tanya tentang sosok Cheng Ho yang disebut-sebut sebagai pelaut ulung asal Cina tersebut.
Cheng Ho berasal dari provinsi Yunnan, beliau Barat Daya dan merupakan generasi dari bangsa Hui yang merupakan salah satu bangsa minoritas Tionghoa. Beliau lahir di lingkungan keluarga muslim Tionghoa yang taat sehingga beliau tumbuh menjadi pemuda pemberani dan cerdas. Pada masa dinasti Ming menguasai Yunnan dari dinasti Yuan ( Mongol ), banyak pemuda yang ditangkap dan dijadikan kasim di Nanjing. Pada saat itu, Cheng Ho berumur 11 tahun dbeliaubdikan ke Raja Zhu. Pada saat kaisar Cheung Tsu berkuasa, Cheng Ho diutus untuk memimpin armada laut dan ekspedisi pertama ke laut selatan pada tahun 1405. Sampai tahun 1433, Laksamana ini telah memimpin tujuh ekspedisi dengan armada besar. Beberapa catatan menyebutkan bahwa armada yang dipimpinnya terdiri dari 300-an kapal laut dari berbagai ukuran dengan awak kapal bisa mencapai sekitar 27.000 orang. Sebuah armada yang pada masa itu sangat massif tentunya.
Permasalahannya adalah kenapa orang Amerika lebih memilih Negara nya ditemukan oleh Columbus dari pada Cheng Ho? Padahal mereka mengetahui bahwa Columbus adalah seorang penjajah, pemerkosa, pencuri, perusak, orang munafik, tamak dalam ihwal emas, dll. Hal ini disebabkan karena Cheng Ho merupakan colonbeliaul Inggris, sedangkan pada zaman dahulu nya Amerika pernah ada suatu perselisihan dengan Inggris. Oleh karenanya, mereka (orang Amerika) lebih memilih untuk Negara nya di temukan oleh Christopher Columbus dari pada Cheng Ho.
Terkait dengan bukti bahwa Christopher Columbus adalah seorang pemerkosa dan tamak akan emas. Hal ini dibuktikan bahwa dalam catatan hariannya, bahwa Columbus mengakui bahwa saat itu beliau telah menemukan India, bukan Amerika. Kemudian beliau menyiksa penduduk pribumi dan menggantung mereka serta mencambuknya, hanya untuk satu informasi penting “Dimana ada Emas?” Hellen Ellerbe, dalam “The Dark Side of Christbeliaun History” (hal. 86-88), menggambarkan keberingasan Columbus. Selain menyiksa, beliau juga sering memperkosa perempuan pribumi, lalu mencambuk mereka demi kesenangan belaka. Koloni yang di bawa Columbus pada pelayaran berikutnya (1496), di klaim bertanggung jawab atas kematian 34 juta penduduk asli Amerika.
Terkait dengan Columbus adalah seorang pembunuh. Ada beberapa bukti yang menguatkan, salah satu di antaranya adalah ada dua orang peneliti dari Universitas California, yaitu Sherbune dan Woodrow, pada tahun 1492 jumlah orang Arawak terdapat 8 juta jiwa, pada tahun 1496 mendatangi penduduk tersebut. Kemudian, pada tahun 1508-1518 dari 8 juta orang Arawak, hanya tersisa 100.000 orang Arawak. Bahkan, pada tahun 1514, hanya tersisa 22.000 orang Arawak dewasa. Peneliti lain juga berpendapat yang sama, Cook dan Borah, menulis angka 27.800 pada tahun 1514. Kemudian mereka mengatakan bahwa “Dalam jangka kurun waktu 20 tahun, Christopher Columbus telah membantai 90% bangsa Arawak, yang pada awalnya berjumlah 8 juta, kini hanya 28.000-an orang. Dalam buku yang berjudul “The conquest of Paradise: Christopher Columbus and the Columbian Legacy” Kickpatrick Sale (1991) menyatakan bahwasannya “ini lebih dari suatu pembantaian biasa, ini merupakan suatu pembunuhan secara besar-besaran yang menghabisi lebih dari 90% penduduk, dan pemusnahan satu generasi.”
Sekarang, apakah masih pantas jika si Columbus ini disebut-sebut sebagai tokoh besar penemu Amerika? Dan diperingati pula seluas dunia dengan “Columbus Day”? Setelah mengetahui fakta kebohongan yang sangat mencengangkan atas kekejaman luar biasa yang telah dirinya lakukan. Beliau adalah seorang pembunuh, pemerkosa, dan seseorang yang secara aktif berpartisipasi dalam genosida yang akhirnya menyebabkan kematian dari 20 juta masyarakat adat di Indian di Haiti.
Seorang Howard Zinn yang merupakan bukan penduduk asli Amerika tetapi mengetahui betul bagaimana keadaan disana. Hal ini disebabkan karena pada zaman dahulu, beliau juga seorang tentara. Singkat cerita, Beliau pernah membombardir pada perang ke dunia ke II. Beliau menjatuhkan bom-bom di kota besar, kota dan penduduk. Akan tetapi, beliau tidak mengetahui bahwa hal itu dapat menjadikannya manusia sesungguhnya. Beliau telah menjatuhkan bom dari ketinggian 30.000 kaki, tetapi beliau tidak melihat seseorang disana, beliau juga tidak mendengar adanya terbeliaukan, beliau juga tidak melihat ada darah setetespun, bahkan beliau juga tidak melihat anak kecil. Kemudian, beliau merasa bersalah telah melakukan hal yang tidak berdosa bahkan beliau juga tidak mengerti apa yang telah beliau perbuat. Kemudian, setelah perang tersebut berakhir, beliau membaca buku karangan John Hersey, Hiroshima, kemudian beliau memahami apa yang telah beliau lakukan ketika memborbardir orang-orang.
Pengalaman tersebut membantu untuk membentuk oposisinya terhadap perang dan gairah untuk sejarah. Setelah menghadiri kulbeliauh di bawah GI Bill dan mendapatkan gelar Ph.D. dalam sejarah dari Columbia, beliau mengajar di Spelman, di mana beliau menjadi orang yang aktif dalam gerakan hak-hak sipil. Setelah dipecat oleh Spelman untuk dukungannya terhadap demonstran. Kemudian, beliau menjadi professor ilmu politik di Boston University. Beliau mengajar sampai pensiun pada tahun 1988.
Setelah menguak lebih lengkap tentang Christopher Columbus dan Howard Zinn, masih ingatkah dengan pernyataan Howard Zinn, bahwasannya “This book changed my life?” Namun apabila melihat bangsa kita yang masih diam, sepertinya keberadaan buku bukannya semakin merubah hidup kita, namun semakin menelantarkan kita karena buku hanya sebagai pajangan di perpustakaan dan cenderung kita beralih memilih terlena dengan keindahan dunia yang sifatnya pembodohan. Masih ingatkah dengan kisah sumpah pemuda pada tempo dulu?
                                


Peristiwa sumpah pemuda pada tahun 1928 yang dipelopori oleh kaum muda dari beberapa pulau dan suku yang berbeda. Pengakuan mereka yang tertuang dalam sumpah pemuda merupakan inspirasi yang berkaitan dan berkesinambungan. Hal ini tampak dengan jelas akan semangat perjuangan mereka untuk melepaskan diri dari belenggu penjajajahan. Tentunya janji sumpah pemuda itu sudah mereka fikirkan dengan masak untuk menjadikan bangsa Indonesia bangsa yang satu. Dengan keberanian kaum sastrawan, mereka berani secara terang-terangan mengecam bahkan menentang kaum penjajah. Seperti roman yang berjudul Salah Asuhan karya Abdul Muis yang dipublikasikan pada tahun 1928.
Penyusunan sejarah yang sejak dahulu pejuang kita bermimpi agar Negara Indonesia menjadi Negara yang  beradab, baik dalam ilmu ataupun akhlak.  Lalu, bagaimana dengan masa sekarang? Bagaimana pula buku dapat merubah kesadaran seseorang (people’s consciousness), jika kita tidak membaca dan menuangkannya dalam kehidupan sehari-hari. Inilah perlu adanya pembenahan yang harus dimulai dari diri kita untuk generasi penerus bangsa. Seperti pepatah yang mengatakan “Ibda’ binnafsi.”
Sedikit flashback pada cerita dahulu ihwal kisah dapat merubah hidup seseorang. Di pulau terpencil Pitcairn, Pasifik Selatan, ada para pemberontak terkenal yang menenggelamkan  kapal Inggris “Bounty” yang terdampar bersama wanita pribumi. Kelompok itu terdiri dari Sembilan pelaut Inggris. Seorang dari pelaut tersebut menemukan cara untuk menyuling alkohol, dan segera membuat seluruh penduduk di pulau tersebut mabuk-mabukan. Peselisihan antara pria dan wanita itu bertumbuh menjadi kekerasan. Tak berapa lama kemudian hanya satu dari orang yang mencapai pulau itu yang dapat bertahan.  Tetapi orang ini, Alexander Smith menemukan buku di sebuah peti yang dibawa dari kapal. Dia mulai membaca buku itu dan mengajarkannya pada kepada yang lain. Begitu ia melakukannya hidupnya berubah, dan akhirnya mengubah kehidupan di dalam pulau itu. Para peduduk pulau terisolasi dari dunia luar sampai datangnya kapal dari Amerika serikat "Topaz" di tahun 1808. Awak kapalnya menemukan kemajuan dalam pulau ini, penduduknya makmur tanpa minuman keras, penjara ataupun kriminalitas. BUku itu telah merubah pulau ini dari neraka di dunia menjadi contoh sebuah tempat seperti yang Tuhan inginkan. Dan ini masih bertahan hingga sekarang.
Kembali ke topic awal, bahwasannya kebohongan yang sudah terjadi dalam sejarah masa lalu kita cukup memberikan kesadaran bagi setiap orang untuk “will not take a text for a granted”. Setiap cerita atau kebenaran yang kita dengar harus kita cerna terlebih dahulu dengan mencari tahu informasi yang lebih akurat.
Masih berbicara kebenaran, tentunya kita masih ingat tentang pentinya “Awareness”. Hal ini sejalan dengan buku karangan Rachel Carson “The Sea around Us” pada tahun 1951. Dalam bukunya, ia menuliskan tentang penilaian orang sederhananya tidak berfikir ihwal apa yang terjadi di udara, air, dan lingkungan. Kemudian, Howard Zinn menanggapi bahwa seharusnya kamu (Rachel carson) tidak perlu menuliskan judgement tentang seseorang. Dengan bijak, zinn berkata ”cukup kamu ceritakan saja ihwal kebenaran yang sesungguhnya. Dengan sendirinya, setiap orang akan memahami dan menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi.”
Akan tetapi, jika setiap orang tidak ada mengetahui kebenaran yang terjadi dan mencari informasi dengan buku. Lalu bagaimana kita bisa memberi orang lain sebuah informasi. Oleh karenanya, yang merupakan keasadaran seseorang akan membentuk kesadaran masyarakat “social consciousness.”
Baiklah, sekali lagi, ketika sastra berbicara, ini dimaksudkan bahwa buku mampu mengungkap kebenaran kepada kekuasaan. Hal ini dibuktikan dengan cerita di atas, dimana ketika seseorang tidak mampu lagi untuk berkata benar maka sastra lah yang harus berbicara dengan tulisannya. Mereka mampu menulis karena pandai membaca dan mampu menuangkan tulisannya. Apabila hanya membaca saja atau menulis saja itu tidak baik, kedua nya harus seimbang. ibarat "Orang yang banyak membaca tapi tak pernah menulis, itu adalah orang yang sakit. Seperti orang yang banyak makan, tapi tak buang air besar.” Habiburrahman al-Shirazy.

  
DAFTAR PUSTAKA

Finch, Geoffrey. 2003. How to study Linguistics: A guide to understanding language. Palgrave Macmillan. New York.
http://cataki.wordpress.com/ di akses pada tanggal 25 Februari 2014 pada jam 18.58 WIB
http://kompi12.wordpress.com/2012/10/11/sejarah-pembukuan-al-quran-review/ diakses pada tanggal 25 Februari 2014 pada jam 18.58 WIB

http://ksatriapena.wordpress.com/2012/10/16/mengungkap-kebiadaban-columbus/ diakses pada tanggal 28 Februari 2014 pada jam 18.35 WIB
http://tzusi.blogspot.com/2012/05/sejarah-lahirnya-sastra-indonesia.html diakses pada tanggal 27 Februari 2014 pada jam 15.30 WIB


1 comments:

  1. upaya kamu untuk merujuk pada Finch saya apresiasi deh. Tulisan ini kaya akan informasi, namun perspektif kamu sendiri harus diberi warna. Jangan terjebak pada rangkaian sejarah yang kamu ceritakan ulang di artikel ini

    ReplyDelete