Semakin
bergesernya zaman ke arah yang lebih modern, kegiatan membaca dan menulis akan semakin
dibutuhkan dan akan berlangsung naik. Seperti
pendapat Michael Barber yang intinya pada abad ke 21, setiap orang akan menuntut
literasi yang tinggi, menguasai
penghitungan, berpengetahuan
baik, mampu belajar secara konstan, dan percaya diri serta mampu memainkan peran sebagai warga negara
yang demokratis. Sejalan dengan itu, ada kesamaan dengan pendapat Artes Liberal
yang mengatakan bahwa pikiran manusia tidak dapat membangun suatu perbandingan kecuali mereka
dapat mempelajari bahasa, matematika, sosial, dan ilmu alam dengan jalan
menggabungkanya.
Para ahli bahasa mengelompokkan periodisasi penggunaan
metode dan pendekatan dalam pengajaran bahasa asing dalam lima kelompok, yaitu
:
·
Pendekatan grammar translation methods (populer sampai
dengan perang dunia ke 2) yang fokus pembelajarannya pada penggunaan bahasa
tulis dan tata bahasa. Namun, pendekatan ini tidak menjamin siswa mampu
menganalisis persoalan sosial.
·
Pendekatan audiolingual atau dengar ucap
(1940-1960) yang terfokus pada latihan dialog-dialog pendek. Namun, pendekatan
ini kurang memberi ruang terhadap variasi ujaran untuk berbagai fungsi dan
pendekatan ini mengabaikan penguasaan bahasa tulis.
·
Pendekatan kognitif dan transformatif sebagai
implikasi dari teori-teori syntatic structure (Chomsky, 1957). Terfokus
pada pembangkitan (generating) potensi berbahasa siswa sesuai kebutuhan
lingkungannya. Meteri pengajarannya berorintasi ke sintaksis tapi secara
sosiolinguistik ini tidak fungsional.
·
Pendekatan communucative competence yang tujuannya
menjadikan siswa mampu berkomunikasi mulai dari komunikasi terbatas sampai
spontan atau alami. Tidak hanya komunikatif tapi juga harus bernalar diketahui
maknanya. Pendekatan ini kurang eksplisit dalam menjelaskan bentuk dan fungsi. Sehingga
lahir tata bahasa fungsional atau systemic fungsional grammar (SFG) oleh
Halliday (1985), dan lain-lain.
·
Pendekatan literasi atau genre-based sebagai
implikasi dari studi wacana. Dalam pembelajaranya dilakukan empat tahapan,
yaitu membangun pengetahuan, menyusun model teks, menyusun teks bareng-bareng, menciptakan sendiri teks.
Berdasarkan definisi lama literasi adalah kemampuan
membaca dan menulis. Istilah literasi jarang dipakai, yang digunakan yaitu
pengajaran bahasa atau pembelajaran bahasa. Pada masa silam, membaca dan
menulis dianggap cukup sebagai pendidikan dasar untuk membekali kehidupan
manusia. Padahal literasi adalah praktik kultural yang berkaitan dengan
persoalan sosial dan politik.
Freebody & Luke menawarkan model literasi untuk
memahami kode dalam teks, terlibat dalam memaknai teks, menggunakan teks secara
fungsional, dan melakukan analisis serta mentransformasi teks secara kritis.
Intinya literasi berkaitan dengan memahami, melibati, menggunakan,
menganalisis, dan mentransformasi teks. Itulah hakikat ber-litersi secara
kritis dalam masyarakat demokratis.
Makna dan rujukan litersi terus berevolusi, dan kini
maknanya semakin luas dan kompleks. Literasi tetap berurusan dengan penggunaan
bahasa dan merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang saling
terkait:
·
Dimensi geografis (lokal, nasional, regional, dan
internasional). Dimensi ini bergantung pada tingkat pendidikan dan
vokasionalnya.
·
Dimensi bidang (pendidikan,
komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dll). Literasi tampak disemua
bidang, seperti militer bergantung pada kecanggihan teknologi komunikasi dan
persenjataan yang digunakan.
·
Dimensi keterampilan (membaca, menulis, menghitung, dan
berbicara). Literasi berada pada semua aspek, seperti seorang sarjana pasti
mampu membaca tapi belum tentu mampu menulis dan memiliki keteramppilan
menghitung.
·
Dimensi fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan
pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengatahuan, mengembangkan potensi
diri). Orang yang literat mempunyai kemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan
yang baik.
·
Dimensi media (teks, cetak, visual, digital). Menjadi
orang yang literat pada zaman sekarang tidak hanya kemampuan membaca dan
menulis teks, melainkan harus mengauasai IT (information technology)
·
Dimensi jumlah (satu, dua berapa). Jumlah dapat merujuk
pada banyak hal, misalnya bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu,
media, dan sebagainya.
·
Dimensi bahasa (etnis, lokal, nasional, regional,
internasional). Hal ini beranalogi ke dimensi monolingual, bilingual, dan
multilingual. Namun, dalam hal ini bahsa pertama tetap menjadi sorotan utama.
Pendidikan bahasa berbasis litersi seyogianya
dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip sebagai berikut :
·
Literasi adalah kecakapan hidup (life skill) yang
memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
·
Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam
upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan.
·
Literasi adalah kemampuan memecahkan maslah.
·
Lietrasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
·
Literasi adalah kegiatan refleksi (diri).
·
Literasi adalah hasil kolaborasi
·
Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi.
Sejak 1999 indonesia ikut dalan proyek penelitian dunia
yang dikenal dengan PIRLS (progress in international reading literacy study),
PISA (program for international student assasment), dan TIMSS (the
third international mathenatics adan science study) untuk mengukur literasi
membaca, matematika dan ilmu pengetahuan alam. Tujuan membaca meliputi literary
purposes dan imformational purposes. Sedangkan proses membaca meliputi
interpreting, integrating, dan evaluating.
Dapat ditarik sejumlah pelajaran dari hasil dari
penelitian tersebut yaitu tingkat literasi siswa indonesia masih jauh
tertinggal oleh siswa negara-negara lain. Artinya, pendidikan nasional kita
belum berhasil menciptakan warga negara literat yang siap bersaing dengan sejawatnya dari negara lain.
Dapat diprediksi bahwa prestasi menulis pun sangat bergantung pada kemampuan
membaca. Tanpa kegiatan membaca (banyak), orang sulit menjadi penulis. Namun,
banyak membaca tidak menjamin orang akan rajin menulis.
Dalam konteks pembelajaran literasi disekolah, penguasaan
tentang literasi dan pedagogi pengajaran literasi mesti dikuasai oleh guru.
Penelitian Setiadi (2010) menemukan bahwa dalam pembelajaran membaca para guru
sangat mengandalkan kurikulum nasional dan buku paket untuk materi ajar dan
metodologi mengajarnya, pemodelan dalam kegiatan membaca dan menulis tidak
lazim dilakukan oleh para guru, mereka tidak mendapatkan pelatihan yang memadai
dalam kegiatan mengelola kelas. Dengan kata lain, membangun literasi bangsa
harus diawali dengan membangun guru yang profesional, dan guru profesional
hanya dihasilkan oleh lembaga pendidikan guru yang profesional juga.
Orang yang literat adalah orang yang terdidik dan berbudaya.
Rekayasa literasi tertuju upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan
manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa sacera optimal.
Perbaikan rekayasa literasi senantiasa menyangkut empat dimensi yaitu lingustik
atau fokus teks, kognitif atau fokus minda, sosiokultural atau fokus kelompok,
dan perkembangan atau fokus pertumbuhan (Kucer, 2005: 293-4).
Sementara itu, kurukulum pengajaran bahasa asing pada
tingkat dasar cendnerung bersifat text-centric, buka reader centric dan writer
centric, dan cenderung terfokus pada ketepatan (correctness), dan konvensi
bahasa dalam bentuk tata bahasa, ejaan, mekanik, pemakaian bahasa, dan tulisan
yang diperkenalkan lazimnya pesan singkat. Bagaimanapun, pendekatan literasi
terhadap pengajaran bahasa (asing) melihat bahasa secara fungsional dan
membantu kita membangun kurukulum pada setaiap tahap pendidikan secara komprehensif
dan integral.
Literasi pada intinya menjadikan manusia yang secara
fungsional mampu berbaca-tulis, terdidik, cerdas, dan menunjukan apresiasi
terhadap sastra. Selama ini, pendidikan di indonesia relatif berhasil
memproduksi manusia terdidik tapi pada umumnya kurang memiliki apresiasi
terhadap sastra dan humaniora. Meluruskan rekayasa litersi seyogianya diawali
dengan pemahaman atas berbagai paradigma apengajaran literasi. Secara garis
besar, ada tiga paradigma pembelajaran literasi, yaitu decoding, skills, dan
whole language (kucer: 2000).
Pertama, paradigma decoding menyatakan bahwa grafofonem
berfungsi sebagai pintu masuk literasi dan belajar bahsa dimulai dengan
menguasai bagian-bagian bahasa. dengan kata lain, siswa membangun literasi
dengan diajari trelebih dahulu tentang literasi, yakni bagaimana memakai kode
bahasa (disebut decoding). Dengan proses ini, pembelajar diharapkan mampu
berliterasi secara mandiri.
Kedua, paradigma keterampilan bahwa penguasaan morfem dan
kosakata adalah dasar untuk membaca. Siswa membangun literasi dengan diajari
terlebih dahulu dalam pengetahuan tentang literasi, yakni dengan cara memakai
bentuk-bentuk bahasa seperti morfem dan kosa kata. Dengan prosesini, pembelajar
diharapkan mampu berliterasi secrara mandiri.
Ketiga, paradigma bahasa secara utuh menolak pembelajaran
yang meletakkan fokus pada bagian atas serpihan bahasa. pengajaran bahasa mesti
terfokus pada pembelajaran makna, yaitu kegiatan mengajarkan makna secara utuh,
tidak parsial.proses merespon berbagai bentuk morfemik dan morfofonemik
melibatkan pproses kognitif seperti sampling, pedicting, integrating dan
sebagainya. Menurut paradigma ini, pembelajar mengumpulkan data, membuat
hopotesis, menguju hipotesis dan mengubah hipotesis terus-menerus. Dengan sendirinya
siswa menemukan keteraturan bahasa.
Perubahan sudut pandang membawa sejumlah konsekuensi pada
metode dan teknik pengajaran yang kasat mata dan hasilnya dapat diukur. Guru
bahasa akan melakukan hal seperti tidak melihat apa atau berapa banyak tulisan
yang dihasilkan oleh siswa melainkan proses pembuatan suatu tulisan dari A
sampai Z dan tidak menentukan target yang sama karena kemampuan setiap siswa
berbeda-beda. Akan lebih baik jika mendorong siswa menulis sesuai hobi dan
keperluannya secara bebas, yang penting berekspresi tulis.
Bila literasi di negara ini rendah, bisa jadi penyebabnya
karena metode dan pengajaran literasi selama ini kurang mencerdaskan. Dengan
demikian, perlu adanya perubahan mengenai pandangan dalam pengajaran literasi
di jajaran pengambil kebijakan. Jadi, pengembangan literasi bukan hanya
melibatkan satu pihak melainkan keseluruhan yang ada di dalamnya.
0 comments:
Post a Comment