Populernya
agama Islam hingga saat ini bukan karena nama besar nabi Muhammad semata,
melainkan hadirnya para sahabat dengan berbagai kejeniusan intelektualnya dalam
mensiasati jayanya agama islam. Berkat kreativitas dan semangat juang para
sahabat yang mengkodifikasi alqur’an, kemasyhuran islam dan keotentikan alqur’an
tetap lestari hingga sekarang, dan sifatnya pun relevan sepanjang masa.
Khalifah
Al-Makmun di Baghdad (Bani Abbasyiah) dalam merealisassikan nilai literasi,
beliau membangun sebuah perpustakaan yang dikenal dengan “Baitul
al Hikmah”. Pembangunan perpustakaan ini sejalan dengan pembangunan
Universitas Al Azhar di Kairo, Universitas Corodova di Spanyol yang menjadi
inspirasi pembangunan perpustakaan di Universitas-Universitas di Barat. Perpustakaan
“Baitul Hikmah” merupakan perpustakaaan terbesar di dunia Islam yang berisi
tulisan-tulisan, karya-karya atau simposium besar para ilmuan islam pada saat
itu. Sayangnya perpustakaan tersebut hancur-lebur setelah terjadinya tragedi
perang salib. Para laskar Crusader memporak-porandokan perpustakaan seluruhnya hingga
tetesan tinta-kertasnya tumpah menjadi lautan hitam yang kini disebut dengan
laut hitam ( Daerah Hadra Maut ).
Menimbang
dari hal di atas, realitanya bangsa yang maju tidak akan terbangun dengan hanya
mengandalkan kekayaan alam yang melimpah dan sistem menegerial yang bagus dalam
berkewarga-negaraan saja, melainkan diperoleh melalui pengelolaan, dan
pengolahan paradigma literasi dan eksistensi budaya tulisan yang menjadi
tradisi masyarakatnya, hingga terciptanya masyarakat madani ( civilization )
yakni masyarakat yang berpendidikan, berperadaban, dan
berliteratur, yakni dapat berkomunikasi baca - tulis (literacy).
Literasi merupakan suatu cara untuk melahirkan suatu masyarakat
yang berperadaban tinggi. Dalam hal ini, Literasi tidak hanya berkutat pada
kegiatan baca-tulis saja, melainkan memiliki makna luas dengan berbagai dimensi
yang meliputinya. Dimensi literasi tersebut melingkupi dimensi sosial, ekonomi,
politik, budaya, dan lain-lain. Dimensi-dimensi tersebutlah yang membentuk
predikat Civilization ( masyarakat
yang berperadaban ). Sedangkan ciri-ciri
dari civilization adalah eksistensinya sistem security yang tinggi, dan juga terciptanya
kondisi masyarakat yang harmoni dan sejahtera ( comfortable )
Lain dari hal itu, budaya literasi tidak hanya terlahir melalui bangunan intelektual,
di sini perlu adanya interpolasi moral, sosial dan spiritual supaya mampu menjadikan
masyarakatnya berkepribadian madani, yakni beradab,
berbudaya dan menjunjung tinggi nilai dan norma. Tidak bisa dikatakan literati
yaitu orang yang memiliki kapasitas keilmuan yang mapan namun tidak diimbangi
dengan perilaku baik atau Akhlakul
Karimah. Jadi Literasi harus memadukan antara intelektual, moral, sosial
dan juga spiritual. Jika ke 4 aspek tersebut menempel pada diri setiap masayarakat
atau warga Negara, insyaallah mereka bisa membangun peradaban bangsa yang lebih
maju.
Mutlaknya,
untuk membangun bangsa yang maju eksistensi literasi sangat dibutuhkan sekali. Namun
realitanya di Indonesia budaya orality lebih tendensius ( dengar-ucap ) dibandingkan
dengan budaya literacy ( baca-tulis ). Dalam wacana Masyarakat Madani, Prof
Chaedar Alwasilah menuturkan bahwa berjubelnya
lulusan–lulusan perguruan tinggi yang setengah literat dikarenakan para dosen
pengajar mata kuliah bahasa belum terlalu matang baik usia maupun ilmunya yang
mengakibatkan mereka terkesan asal-asalan dalam mengajar, sehingga, mayoritas
dari lulusan PT tidak mampu mengaktualisasikan ide–idenya ke dalam bentuk
tulisan.
Hal ini perlu adanya suatu
rekayasa literasi dalam bahasa itu sendiri. Seperti yang dituturkan oleh Prof
Chaedar bahwa ujung tombak pendidikan literasi adalah guru, maka untuk
membangun literasi bangsa, harus diawali dengan membangun guru yang
profesional, dan guru yang professional hanya dihasilkan melalui lembaga
pendidikan yang professional juga. Dimensi rekayasa literasi berkutat
pada : linguistik, kognitif, perkembangan dan sosiokultural.
Konsep rekayasa literasi bearti
suatu taktik atau strategi dalam upaya mengkonsep ulang hal-hal yang masih mentah
dalam menjalankan pendidikan literasi tersebut. Tujuannya untuk menjadikan manusia
terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Penguasaan
bahasa adalah pintu masuk menuju pendidikan dan pembudayaan. Literasi meliputi
ketrampilan membaca dan menulis. Dengan demikian, rekayasa literasi berarti
merekayasa, mengkonsep ulang dan mematangkan pengajaran membaca dan menulis
dalam empat dimensi
tersebut. Contoh ketika kita disuguhkan teks, maka yang kita lakukan
adalah membaca, merespon, menulis, dikomentari, dikiritisi,merevisi kembali
kemudian dipublikasikan ke media masa. Ketika membaca cerpen, kita memiliki
interpretasi yang berbeda-beda dalam merekayasa cerpen tersebut. Ada yang
memahaminya secara linear, mengikuti arus, dan ada juga yang paradoks atau
kontradiktif. Nah seperti itulah rekayasa literasi terbangun. Hal tersebut
tentunya dapat mematangkan daya berfikir kritis pelajar. Di samping itu ada
catatan besar bahwa Orang literat tidak sekedar berbaca-tulis
tapi juga terdidik dan MENGENAL SASTRA.
Sedangkan literasi
kaitannya dengan bahasa, ketika bahasa semakin banyak digunakan, maka tingkat
vitalitasnya semakin tinggi. Ketika kita memperbanyak tulisan-tulisan dalam
bahasa inggris, berati kita sedang meningkatkan vitalitas bahasa inggris itu
sendiri. Dalam hal yang demikian, kita ditempatkan menjadi bilingual writer,
yakni di samping cakap dalam beretorika dengan bahasa Indonesia, kita juga dituntut
untuk cakap beretorika dalam bahasa inggris. Tingkat penggunaa bahasalah yang
menentukan eksistensi bahasa itu.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletethats right !
Deletedunia sastra sekarang sedang terluka,kalau bukankita yg menyembuhkannya mau siapa lagi.