Dalam
artikel Prof. chaedar yang berjudul “classroom discourse to foster religious
harmony”, terdapat suatu pokok masalah mengenai masalah sistem pendidikan di
Indonesia dan juga masalah ketidakharmonisan umat beragama di Indonesia. Faktor
awal terjadinya konflik antar umat beragama atau ketidakharmonisan beragama disebabkan
karena gagalnya lembaga pendidikan dasar di Indonesia dalam mengajarkan sikap
toleransi antar umat beragama. Seharusnya lembaga pendidikan dasar memberikan
kesempatan pada siswa untuk mendorong suatu pengalaman yang bermakna, seperti
interaksi dengan siswa-siswa lain dari agama yang berbeda etnis, dan dari
kelompok-kelompok sosial yang berbeda.
Negara
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki keberagaman agama, keberagaman
agama merupakan warisan dari para leluhur terdahulu. Keberagaman agama bukan dilakukan
untuk menunjukkan ketangkasan suatu agama masing-masing, melainkan untuk
menumbuhkan adanya saling tenggang rasa dan toleransi antar umat beragama. Dalam
suatu kerukunan nasional, agama selalu dijadikan sebagai suatu hak individu dan
bangsa. Sebagi suatu hal individu berarti meyakini agama sendiri, dan meyakini
bahwa orang lain memiliki kebenaran agama pilihannya. Sedangkan agama sebagai
suatu kerukunan bangsa, mengartikan bahwa kerukunan beragama di Indonesia
sebagai warisan sejarah. Kekayaan bangsa tersebut berarti semua agama yang ada
di Indonesia memiliki fungsi religious masing-masing, dan tidak monoton hanya
dengan menganut satu agama dalam suatu negara.
Perbedaan agama adalah suatu
anugerah, Pancasila sebagai symbol kekuatan bangsa yang memiliki kekuatan untuk
bebas mengembangkan teologi dan ajaran-ajarannya. Hubungan antar umat beragama
ini harus dikembangkan sebagai suatu penerapan untuk mengembangkan kedaulatan
rakyat yang demokratis. Sebagai negara yang berpegang teguh pada bhinneka
tunggal ika, maka keberagaman agama harus diterapkan sebagai penghormatan atau rasa
toleransi terhadap ajaran-ajaran teologi.
Beberapa waktu yang lalu Inter Religious
Council (IRC) mengadakan acara perdamaian antar umat beragama sedunia di Gedung
Nusantara IV MPR/DPR senayan Jakarta. Acara tersebut dihadiri oleh beberapa
tokoh agama sedunia yang mempunyai tujuan untuk kerukunan umat beragama, yang
difokuskan pada acara tersebut adalah kehidupan antar sesama umat beragama,
bukan bagaimana setiap agama beribadah, dan juga bukan bagaimana kepatuhannya
pada yang di sembahnya saja.
Masalah-masalah yang timbul karena agama
bukan hal yang baru, sebelum indonesia merdeka saja masalah tersebut sudah ada.
Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar Negara yang tidak bisa diganggu gugat,
nilai yang terkandung dalam kedua fondasi Negara Indonesia itu mempunyai nilai
yang kuat, jika pemahamannya hanya sebagian saja maka akan salah mengartikan.
Indonesia adalah Negara pancasila yang didalamnya mewajibkan warga negaranya untuk
memiliki tuhan, bermoral, bersatu, namun nilai-nilai lain yang terkandung
didalamnya itu sangat luas.
Konflik-konflikantar umat beragama di
Indonesia sungguh sangat memprihatinkan, munculnya korban jiwa hanya karena
konflik agama, dengan menganggap bahwa agama mereka sendiri yang paling benar,
sehingga membuat agama saling bercerai dan bahkan saling menjatuhkan satu sama
lain, maka terjadilah saling menyalahkan dan membenarkan sesuai agama
masing-masing.
Hal ini didasarkan pada berbagai
kasus diskriminasi di Indonesia, berdasarkan laporan dari SETARA institute,
terjadi peningkatan kasus diskriminasi dan kekerasan antar umat beragama di
Indonesia dari tahun 2007 sampai tahun 2012. Pada tahun 2007 saja sudah terjadi
135 peristiwa dan 185 tindakan, di pada tahun 2008 terjadi 265 peristiwa dan
367 tindakan, di tahun 2009 sudah terjadi 200 peristiwa dan 291 tindakan, di
tahun 2010 terjadi 216 peristiwa dan 286 tindakan, pada tahun 2011 terjadi 244
peristiwa dan 299 tindakan, sedangkan di tahun 2012 sudah terjadi 264 peristiwa
dan 317 tindakan.
Dalam hal ini, peristiwa diartikan
sebagai sesuatu yang terjadi secara nyata dengan kekerasan. Sedangkan tindakan
diartikan sebagai suatu aksi atau gerakan, biasanya dilakukan oleh individual
atau kelompok tertentu terhadap suatu agama, tindakan semacam ini adalah ‘act
of commision’ atau tindakan langsung.
Pada tahun 2012 SETARA institute
mencatat 264 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dengan 371 bentuk
tindakan, yang menyebar di 28 provinsi. Terdapat 5 provinsi dengan tingkat
pelanggaran paling tinggi yaitu, jawa barat (76) peristiwa, jawa timur (42)
peristiwa, Aceh (36) peristiwa, jawa tengah (30) peristiwa, dan sulawesi
selatan (17) peristiwa.
Dari 371 peristiwa bentuk
pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, terdapat 145 (39%) tindakan
yang dilakukan oleh Negara. Dari 145 jumlah tindakan Negara, 117 tindakan
diantaranya merupakan tindakan aktif dan 28 diantaranya merupakan tindakan
pembiaran. Tindakan aktif berupa pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh
pejabat public yang provokatif dan menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan.
Dari 371 bentuk tindakan pelanggaran
kebebasan beragama dan berkeyakinan, terdapat 226 (61%) tindakan yang dilakukan
oleh warga Negara, baik yang merupakan tindak pidana (169 tindakan) dan tindakan
intoleransi (42 tindakan). Pelaku tindakan tersebut dilakukan oleh individu
maupun kelompok yang tergabung dalam organisasi masyarakat.
Konflik-konflik maupun tindakan
tersebut terjadi karena perbedaan individu, perbedaan golongan etnis, perbedaan
latar belakang kebudayaan, dan suatu fanatisme beragama yang bisa mengikis
kesatuan umat, karena umat beragama seharusnya bisa menciptakan toleransi
dengan baik dalam suatu kelompok sendiri maupun umat beragama lain.
Lima belas tahun yang lalu, tepatnya
tahun 1999, semenjak era reformasi politik di Indonesia tahun 1998, keberagaman
agama di Indonesia mulai mendapat ujian yang serius. Banyak terjadi konflik,
sebagian besar konflik tersebut diikuti dengan tindakan kekerasan. Sebagai
contoh kasus kerusuhan ambon membara. Kejadian pada saat itu mengagetkan bangsa
Indonesia. Kerusuhan tersebut penyebabnya adalah konflik antar umat beragama. Sebuah
bangsa yang damai dan ramah bisa pecah perang terbuka yang kental dengan
sentiment perbedaan agama. Seakan-akan seperti perang palestina vs Israel yang
begitu dekat di sebrang pulau.
Kemudian, belum lagi kasus
pengeboman di Bali yang mengatasnamakan jihad membela agama Islam dari
orang-orang kafir, serta kasus-kasus bom bunuh diri di Temanggung yang
mengatasnamakan Negara Islam Indonesia. Semua kasus tersebut merupakan contoh
konkrit konflik antar umat beragama di Indonesia. Melihat semua kenyataan ada
maka perlu dipertanyakan, kemanakah perwujudan dari konsep Islam sebagai agama
yang rahmatan lil’alamin yang senantiasa membawa kedamaian untuk segenap
penganutnya dan umat beragama lainnya? Konflik tersebut sebenarnya terjadi
karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap budaya dan ajaran agama
khususnya ajaran agama islam bagi penganutnya.
Perhimpunan masyarakat yang
kebenciannya di awali dengan anggapan yang salah terhadap pemeluk agama lain.
Masyarakat Indonesia sendiri sudah terjebak dalam budaya intoleran, tidak mampu
menerima pluralitas tradisi, cara berkomunikasi, cara pandang terhadap
kehidupan dan tekanan terhadap tradisi.
Semua
tragedy tersebut membuat berita duka sekaligus menorehkan rasa toleransi antar
umat beragama di Indonesia. Kenapa semua tragedy tersebut bisa terjadi? dan
kenapa konflik antar umat beragama sekarang ini masih terjadi? semua
permasalahan tersebut bukan karena rasa toleransi dan tenggang rasa pada
masyarakat Indonesia kurang terjalin dengan baik, tetapi kurangnya masyarakat
Indonesia mengenai peer interaction yang harusnya sudah diterapkan pada lembaga
pendidikan dasar.
Dalam
hal ini artikel Prof. Chaedar menjelaskan bahwa kunci utama dalam menumbuhkan
rasa toleransi antar umat beragama adalah dengan dialog antar agama dan pemberdayaan
fungsi ketrampilan dasar, seperti meningkatkan rasa social, kognitif, menghargai
perbedaan etnis, berinteraksi dengan siswa lain yang dari agama yang berbeda,
dan juga dari kelompok social yang berbeda.
Fondasi
awal untuk mewujudkan keharmonisan umat beragama di Indonesia adalah perlunya
pendidikan dasar yang memberikan suatu ketrampilan dasar berupa peer
interaction. Sepanjang masa kanak-kanak dan remaja, berinteraksi dengan rekan
sebaya sangat penting untuk bahasa, kognitif, dan sosial. Ada aspek pembelajaran
yang terjadi dengan baik selama interaksi rekan, daripada interaksi dengan
orang dewasa.
Anak-anak
memperoleh bahasa dan kosa kata selama interaksi dengan orang lain. Mereka
belajar bagaimana untuk berdebat, bernegosiasi, dan membujuk. Mereka harus
belajar untuk mengatakan hal-hal tanpa menyakiti perasaan. Mereka harus
menyelesaikan konflik, meminta maaf, dan dukungan.
Interaksi
dengan rekan sebaya berfungsi sebagai landasan untuk banyak aspek penting dari
perkembangan emosional seperti pengembangan konsep diri, harga diri dan
identitas. Anak-anak belajar tentang diri mereka sendiri selama interaksi satu
sama lain dan menggunakan informasi ini untuk membentuk rasa diri mereka
sendiri-siapa mereka. Baca lebih lanjut tentang keterampilan ini pada bagian
Kognitif dan Pembangunan Sosial. Tepatnya, interaksi dengan rekan sebaya tidak
memilih selama masa kanak-kanak dan remaja. Kantor Pedoman Kebijakan Pendidikan
menjelaskan bahwa interaksi teman sebaya merupakan isu penting untuk dipertimbangkan
saat menentukan penempatan.
Di
Negara-negara maju, untuk mewujudkan kualitas bangsa terbentuk itu di pandang
dari praktek sistem pendidikannya, jika praktek sistem pendidikan di
Negara-negara maju kebanyakkan memakai sistem pendidikan liberal, yang dalam
perannya menumbuhkan rasa toleransi. Sedangkan di Indonesia praktek pendidikan
bisa diterapkan dalam pesantren, sistem endidikan asli dari indonesia yang
dalam prakteknya hampir sama dengan pendidikan liberal.
Ada
sejumlah karakteristik liberal arts college yang memiliki beberapa persamaan
dengan pesantren. Pertama, Liberal arts college merupakan fondasi awal
pendidikan di Amerika Serikat, bandingkan dengan Indonesia yang jauh hari
sebelum penjajah datang, sistem pendidikan Indonesia dalam berbentuk pesantren,
lalu lambat laun berkembang seiring dengan perkembangan agama islam di
Indonesia ini. Kedua, adalah pesantren memiliki ukuran kampusnya cenderung
kecil dengan jumlah mahasiswa yang sekitar dua ribu orang. Ketiga, pesantren di
Indonesia mayoritas milik swasta dan tergabung dalam lembaga keagamaan, ada pula
yang didirikan oleh masyarakat khusus. Tetapi, hampir semua pesantren di
Indonesia itu milik swasta. Keempat, jika dalam sistem pendidikan liberal
memberlakukan sistem berasrama (residential) untuk menanamkan konsep
“community”, seangkan konsep asrama/pondok hampir sama dengan konsep pendidikan
pesantren yang merupakan pendidikan tertua di Indonesia dan telah berkembang
jauh sebelum zaman sistem pendidikan eropa datang ke Negara Indonesia. Kelima,
misinya ditekankan pada konsep mendapatkan pekerjaan, dan menekankan pendidikan
sebagai pendidikan. Sebagai bandingan, pesantren yang tradisional yang mata
pelajarannya tidak ada yang kejuruan, dan lulusannya pun tidak berharap
mendapat pekerjaan setelah lulusannya. Keenam, focus pengajarannya, mahasiswa
dan dosen sering berkolaborasi dan saling belajar bersama. Begitu pula di
pesantren, kolaborasi dan hidup berdampingan antara guru dan siswa, juga antara
senior dan junior adalah ciri dari pendidikan pesantren di Indonesia. Di
pesantren pula hampir tidak ada tradisi penelitian, yang lebih dominannya
adalah pengajaran, yakni kajian-kajian teks kitab kuning juga pembentukkan
akhlak yang baik. Kemudian ketujuh, dalam pendidikan liberal meraka lazimnya
mewajibkan kepada para mahasiwany untuk mempelajari apa yang disebut dengan the
great book. Buku-buku tersebut biasanya disebut dengan buku-buku klasik.
Sedangkan di pesantren Indonesia, dalam pendidikan pesantren tradisionalnya pun
sudah lama dikenal dengan tradisi mempertahankan kitab klasik, yaitu kitab yang
biasa disebut dengan kitab kuning.
Secara umum, Indonesia sebenarnya
sudah memiliki sistem pendidikan yang sangat baik. Namun, lemah dalam
prakteknya, padahal sistem pendidikan pesantren di Indonesia baik dalam hal
pembentukkan akhlak siswa, kemudian berinteraksi antar sesama juga menumbuhkan
rasa social yang tinggi antar umat beragama. Pada sistem pendidikan liberal yang
dibentuk dari berbagai siswa yang berasal dari etnis, budaya, dan agama yang
berbeda-beda. Sistem pembelajaran ini lebih mengutamakan pada Peer Interaction, yaitu seperti menjaga
interaksi antar sama, walaupun memiliki
background, etnis, budaya, dan agama yang berbeda. Perbedaan antar kedua sistem
pendidikan tersebut hanya terletak ada
sistem asrama di Amerika Serikat lebih menampung semua siswa dari berbagai
kalangan, berbagai etnis, berbagai budaya, dan agama yang berbeda-beda.
Sedangkan Sistem pendidikan pesantren di Indonesia, antara siswa laki-laki dan
siswa perempuan itu dipisah, dan hanya menerapkan sistem asrama yang terfokus
pada satu agama meskipun memiliki perbedaan budaya, rasa, maupun etnis. Dalam
asrama Amerika Serikat, siswa ditempatkan menjadi dua, yang laki-laki dengan
laki-laki dan yang perempuan dengan perempuan. Sistem pendidikan Amerika
Serikat tersebut untuk membangun Peer
Interaction antar sesama siswa, juga mengikat keharmonisan antar pemeluk
beragama. Negara Amerika Serikat sudah menerapkan sistem pendidikan liberal ini
sejak dini.
Kemudian
salah satu cara untuk menumbuhkan rasa toleransi dan tenggang rasa antar umat
beragama di Indonesia adalah dengan dialog antar agama. Dalam hal ini, yang
sulit melaksanakan dialog antar agama justru seringkali agama dianggap sebagai
kekayaan individual yang mendominasi alam pikiran dan emosi orang, ketimbang
agama sebagai kekayaan masyarakat dan asset bangsa. Padahal orang yang paling
bisa menjaga keseimbangan antara dua kutub berbeda agama inilah yang paling
siap untuk bertenggang rasa dan merasa malu untuk memaksakan keyakinan sendiri
pada pemeluk agama lain. Pada diri manusia yang semacam ini maka akan tumbuh
the third belief perpectives, yaitu sudut pandang religious yang menghormati
antar umat beragama lain tanpa mengorbankan keyakinan dari agamanya sendiri.
Tetapi,
dialog antar agama ini bukanlah dialog “adu penalty” untuk menentukan kalah
atau menang. Pada hakikatnya, dialog antar-pemeluk agama adalah dialog dengan
nalar dan emosi perseorangan. Sehingga pada akhirnya, yang muncul adalah
perasaan sadar akan kekayaan rohaniah atau keberagaman agama di Indonesia yang
sifatnya diluar alam (tidak terjangkau). Metode dialog antar umat beragama ini
dimaksudkan sebagai forum tukar menukar pemahman dan pengalaman kognitif,
afektif, dan motorik. Tukar menukar gagasan dan pengalaman inilah yang
memperkaya khazanah keagamaan dan toleransi antar umat beragama. Namun, dialog
diskusi teologi ini adalah tugas bagi para ahli, pemikir, dan birokrat yang
mengatur kehidupan beragama. Para pemuka agama yang harus ekstra berhati-hati
dalam menggunakan ungkapan-ungkapan agama, terutama dalam hal yang menyangkut
pemeluk agama lain. Dialog antar agama dalam konteks dan era informasi sekarang
ini, jangan hanya disalah artikan sebagai interaksi verbal (ucapan) secara
fisik yang berhadapan dalam forum terbatas. Seperti dalam acara seminar yang
diselenggarakan DEMA-SEMA IAIN Syekh Nurjati Cirebon di gedung pascasarjana.
Seminar tersebut berjudul bedah buku jurnalisme keberagaman, yang dihadiri oleh
tokoh dari islam sekaligus dosen IAIN yaitu KH. DR. Slamet Firdaus, MA dan
tokoh dari agama Kristen yaitu DR. Pdt. Yohanes Muryadi.
Adaun
cara lain untuk menumbuhkan rasa toleransi dan tenggang rasa antar umat
beragama di Indonesia adalah menggunakan fungsi pers, karena salah satu forum
paling efektif untuk berdialog antar-agama. Media massa secara naluri religious
pasti memiliki kedekatan batiniah terhadap agama tertentu, tetai pers yang
bertanggung jawab akan seimbang dalam menyajikan berita-berita keagamaan.
Misalnya, pemuatan artikel beropini, tidak didasarkan pada agama atau
kepercayaan yang dianut oleh penulis artikel tersebut, tetapi terkai pada isi
dan materi tulisannya.
Pembaca
akan merasa tertarik terhadap editor media massa meskipun memiliki kedekatan
emosional terhadap salah satu tokoh agama X,
namun memuat tulisan seorang penulis dari pemeluk atau bahkan tokoh
agama Y. inilah salah satu pernyataan atau wujud dari dialog kehidupan dan
dialog social yang bernuansa keagamaan. Kemudian setiap penulis yang beropini
dalam surat kabar pasti memiliki latar belakang atau background religious tertentu,
melalui tulisan-tulisan yang bisa membuat silaturahmi dengan pembaca dari
berbagai lapisan masyarakat dan agama yang berbeda.
Dengan
demikian, para pembaca dan masyarakat secara keseluruhan akan terlibat dalam dialog
social, tanpa disadari bahwa pembaca melibatkan wacana dialog antar umat
beragama. Inilah kesadaran religious yang bersifat bersama-sama (kolektif)
untuk mempererat jalinan kebangsaan dan keharmonisan antar umat beragama di
Indonesia. (media Indonesia, 24 juni 1995).
Jadi,
bangsa Indonesia memiliki keberagaman agama yang harus saling bertoleransi dan
memiliki tenggang rasa terhadap antar umat beragama yang berbeda-beda. Peristiwa
maupun kejadian mengenai konflik antar umat beragama, biarlah berlalu sebagai
pembelajaran untuk menumbuhkan sika toleransi antar umat beragama. Bangsa
Indonesia perlu belajar kembali tentang bagaimana menumbuhkan rasa toleransi
antar umat beragama, dengan melihat semasa pemerintahan almarhum Gus Dur yang
disebut-sebut sebagai bapaknya pluralisme. Semasa pemerintahannya, almarhum Gus
Dur yang beranggapan bahwa “sikap membenarkan agama sendiri adalah sikap yang
benar. Tapi sikap yang menyalahkan agama lain adalah sikap yang salah. Besar
sekali jurang pemisah antara keduanya kalau tidak diambil sikap berhati-hati,
kita bisa saja masuk ke jurang itu. Berarti tidak lagi berada di tebing
kebenaran agama kita sendiri”, “tidak penting apapun agama dan sukumu kalau
kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, dan orang tidak pernah
tanya apa agamamu?”, kemudian “islam itu tidak perlu dikerek jadi bendera”, dan
“peace without justice is an illusion”. Bagi almarhum Gus Dur, semua manusia
adalah sama, tidak peduli dari mana asal usulnya, apa jenis kelamin mereka,
warna kulit mereka, suku mereka, ras, etnis yang berbeda, budaya yang berbeda,
dan kebangsaan mereka maupun agama mereka. Yang almarhum Gus Dur lihat adalah
bahwa mereka manusia seperti dirinya dan yang lain, yang almarhum Gus Dur lihat
adalah niat baik dan perbuatannya, seperti kata Nabi; “Tuhan tidak melihat
tubuh dan wajahmu, melainkan perilaku dan hatimu.” Almarhum Gus Dur memaknai
manusia itu berasal dari kata insan, adjektifnya anis (maskulin) dan anis
(feminim) yang artinya harmony, serasi, rukun. Almarhum Gus Dur juga menjaga
nilai-nilai dari hak asasi manusia. Jika dalam kehidupan sehari-hari manusia
selalu menuai konflik, maka makna dimanakah letak insani atil insaniah? yang
merupakan esensi dari karakter manusia itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah
Chaedar A. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung. PT. Kiblat Buku Utama
Alwasilah
Chaedar A. 2004. Politik Bahasa dan
Pendidikan. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya
Muhammad
Husein. 2012. Sang Zahid mengarungi sufisme Gus Dur. Yogyakarta. PT. LKis
Printing Cemerlang
https://www.facebook.com/gusdurian.cirebon?fref=ts
diunduh pada tanggal 22 februari 2014 pukul 13.32 WIB
http://sayapbarat.wordpress.com/2013/07/31/diskriminasi-kelompok-minoritas-di-indonesia/
diunduh pada tanggal 21 februari 2014 pukul 10.54 WIB
http://emyhajarabra.blogspot.com/2012/04/problematika-konflik-agama-di-indonesia.html
diunduh pada tanggal 21 februari 2014 pukul 10.56 WIB
Kamu kayanya mulai menemukan jati diri kamu sebagai penulis (pemula). Tesis di par pertama OK, didukung oleh serangkaian 'cerita' lain berdasarkan SETARA tapi sumbernya ko ga ditulis di artikel kamu ya? ceek lagi apakah kamu udah mengurai dua variabel besar: classroom discourse dan religious harmony
ReplyDelete