Critical
Review
Pendidikan Multikulturalisme Jembatan
Persatuan Bangsa
Salah
satu tujuan dari pendidikan dasar adalah untuk memberikan siswa dengan
keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu,
anggota masyarakat, dan warga negara. Keterampilan dasar ini juga merupakan
dasar untuk pendidikan lebih lanjut. Begitulah penggalan kalimat yang di
tuliskan penulis dalam artikelnya yang berjudul Wacana kelas untuk mendorong kerukunan beragama. Dari judul yang
diberikan penulis saya mengidentifikasikan bahwasanya kerukunan atau toleransi
kepada sesama manusia hendaknya diterapkan sejak dini yaitu pada tingkat dasar dengan
pendidikan multikultural karena masalah sosial kerap kali terjadi seperti
tawuran pelajar, bentrokan pemuda, dan bentuk lain dari radikalisme di seluruh
Indonesia adalah indikasi dari penyakit sosial. Oleh karena itu peran pendidik
sangat penting untuk menciptakan generasi berikutnya yang lebih baik dan
demokratis.
Ada
beberapa masalah sosial yang sangat disoroti dalam wacana ini, seperti
kesenjangan sosial dan ketidakharmonisan agama, seperti konflik antar etnis dan
agama besar yang terjadi di daerah Sambas (2008), Ambon (2009), Papua (2010),
dan singkawang (2010). Penulis bertujuan dengan adanya wacana kelas untuk
mendorong kerukunan atau toleransi diharapkan dapat efektif untuk mengatasi
masalah sosial yang terjadi di dalam tubuh Indonesia.
Banyaknya
konflik yang terjadi di Indonesia, yaitu kurangnya semata-mata kepekaan dan
rasa hormat terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda. Oleh karena itu
banyak timbul konflik-konflik yang dilatar belakangi oleh perbedaan budaya,
bahkan menyerempet ke hal yang sensitif yaitu persoalan SARA. Seperti yang di
tulis dalam buku Kebudayaan dan
Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasioanl. yang terjadi pada konflik (sambas).
Kalimantan barat adalah daerah yang kerap mengalami konflik antar etnis.
Konflik-konflik ini terjadi sejak puluhan tahun lalu. Konflik-konflik ini dapat
terbagi dua yakni konflik yang murni konflik etnis (horizontal) dan konflik
yang sebenarnya konflik vertikal tapi di desain menjadi konflik horizontal.
Salah
satu konflik yang murni konflik etnis adalah konflik antara Melayu sambas dan
Madura pada tahun 1999. Peristiwa ini dipicu oleh peristiwa pada tanggal 17
januari 1999. Menurut versi etnis melayu konflik yang berawal dengan
tertangkapnya seorang etnis madura yang diduga hendak mencuri di ruamah seorang
warga. Kemudian pelaku dipukuli oleh warga. Sementara versi menurut etnis
madura tidak ada orang madura yang mau mencuri. Yang terjadi adalah 3 orang madura
yang dalam keadaan mabuk berat kemudian diturunkan oleh tukang ojek di Parit
Setia. Kemudian menggedor pintu rumah warga dan berbicara kasar kepada pemilik
rumah. Pada waktu itu mereka mengeluarkan clurit dan sontak saja membuat warga
ketakutan dan langsung berteriak maling.
Mereka
saling melempar opini yang menurut mereka sendiri paling benar. Bagaimanapun
versi kejadian aslinya. Pada tanggal 19 januari 1999, pecah konflik antara
etnis Melayu sambas dan etnis Madura. Saat itu 200 orang madura menyerang desa
parit setelah selesai sholat Ied. Akibatnya secara keseluruhan usai konflik
tahun 1999, data resmi menunjukkan bahwa konflik ini menyebabkan 401 jiwa
meninggal dunia dan pengungsian 58.544 orang madura dari kabupaten sambas.
Sampai saat ini konflik ini diselesaikan pemerintah dengan cara memindahkan
etnis madura dari wilayah Kab. Sambas ke kotamadya Pontianak dan kota
Singkawang.
Pertanyaanya
apakah konflik sambas termasuk sebuah pelanggaran HAM? Dalam UU Peradilan HAM pasal
9, menyebutkan kejahatan terhadap kemanusiaan, bersama-sama dengan kejahatan
genosida, sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Apabila mengacu
pada pasal 9 UU pengadilan HAM. Peristiwa kerusuhan Sambas 1999 dapat
dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Yakni adanya
pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.
Di
nusantara ini kita hidup berlainan agama, adalah warisan sejarah para leluhur
kita. Warisan primordial ini bukan untuk disesali atau dipungkiri, apalagi
ditafsirkan sebagai sirkuit balapan bagi agama-agama untuk beradu ketangkasan.
Harusnya warisan ini dijadikan sebagai kekayaan individu dan bangsa. Dengan hal
itu kita juga berarti meyakini kebenaran agama sendiri, kita juga meyakini
bahwa orang lain pun meyakini kebenaran agama pilihanya.
Perbedaan
agama adalah anugerah bagi bangsa ini. Inilah kekayaan psikologis sosial
religius yang memotivasi kita untuk lebih menarik benang merah, yakni persamaan
pandangan pandangan dalam melibati kehidupan bernegara.
Chaedar
Alwasilah mengatakan kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah pada
awal usia mungkin. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia
sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Menurut
saya yang kebanyakanya adalah yang memiliki latar belakang yang sama , maupun
dari segi budaya, etnis, ataupun agama. Oleh sebab itu diperlukanya pendidikan
multikultural atau pengimplementasian pendidikan berbasis multikultural dalam
institusi pendidikan.
Di
latar belakangi bahwa Indonesia adalah
salah satu negara multikultural terbesar
di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun
geografis yang begitu beragam dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak akan
dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme,
kemiskinan, kerusakan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk
menghormati hak-hak orang lain. Merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari
multikulturalisme tersebut.
Cholis
Muchlis bangsa Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk
atau pluralis. Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari 2 perspektif,
yaitu horizontal dan vertikal. Dalam perspektif hotizontal, kemajemukan bangsa
kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, dan budayanya. Dalam pespektif
vertikal, kemajemukan bangsa dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan,
ekonomi, pekerjaan, dan tingkat sosial budaya. Seperti yang telah disebutkan
diatas masih banyak konflik-konflik yang terjadi di negara ini disebabkan
karena kenyataan bangsa indonesia yang multikultural kata Chaerul Mahfud.
Bahkan
Asep Jamaludin menuding multikultural sebagai salah satu penyebab timbulnya
korupsi, kolusi, nepotisme, premanisme, perseteruan politik, dsb. Adalah
pendidikan multikultural jelas sekali, pendidikan multikultural diperkenalkan
dengan tujuan untuk meredam konflik sekaligus mendatangkan kebaikan dari
keragaman budaya. Pendidikan multikultural diarahkan untuk meredam konflik
sosial dengan cara mengembangkan sikap menghargai perbedaan budaya. Pendidikan
multikultural diharapkan dapat menciptakan struktur dan kultur yang setiap
kelompok budaya bisa melakukan espresi budayanya secara nyaman dan harmonis
tanpa implikasi konflik.
Konsep
pendidikan multikultural juga sudah diterapkan di negara-negara yang menganut
konsep Demokrasi seperti Amerika Serikat (AS) dan Kanada. Bukan hal baru lagi
mereka telah melaksanakanya khususnya dalam melenyapkan diskriminasi rasial
antara orang yang berkulit putih dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan
memelihara integritas nasioanl di negaranya (Muhaemin, 2004).
Ide
pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana di
rekomendasi UNESCO pada bulan oktober 1994 di jenewa. Rekomendasi itu
diantaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidkan hendaknya mengembangkan
kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinekaan
pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan
untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan orang lain. Kedua, pendidikan
hendaknya meneguhkan diri dan mendorong konvergensi gagasan dan
penyelesaian-penyelesain yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan
solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya
meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan.
Karena itu, pendidikan hendaknya meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri
pikiran siswa sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih
kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemamuan untuk berbagi dan memelihara.
Wacana
multikulturalisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumya ketika sistem
nasioanal yang otoriter militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya rezim
soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau balau dengan berbagai konflik
antar suku bangsa dan antar golongan, yang menimbulkan keterkejutan dan
kengerian anggota masyararakat. Kondisi yang demikian membuat berbagai pihak
semakin mempertanyakan kembali sistem nasioanal seperti apa yang cocok bagi
indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat
Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.
Menurut
sosiolog UI Pasurdi Suparlan (2002). Multikulturalisme adalah konsep yang mampu
menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan
sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan budaya, atau sebuah keyakinan yang
mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan
masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan menjadi jembatan
pengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan, dan suku
bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di
tempat-tempat umum, tempat kerja, dan pasar, dan sistem nasioanal dalam hal
kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
Pancasila
sebagai falsafah bangsa merupakan sumber sekaligus cita-cita ideal bangsa
indonesia. Undang-Undang Dasar 1945, selain landasan konstitusioanal, sekaligus
merupakan norma operasioanal dari pancasila. Pancasila sebagai ideologi
terbuka, diyakini memiliki nilai multikultutal. Nilai ini bisa dimaknai dari
setiap sila pancasila. Nilai abstrak mutikultural dalam pancasila menjadi agak
konkrit semangatnya dalam UUD 1945 pasal 32 ayat (1). “negara memajukan
kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia untuk menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.
Pasal
31 ayat (3) yang menyatakan, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasioanal yang meningkatkan keimanan, dan ketaqwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan
undang-undang.
Di
indonesia walaupun masih seputar wacana, pendidikan multikultural relatif baru
dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap perlu bagi masyarakat Indonesia
yang heterogen. Tetapi kita seakan lupa bahwa pesantren sebenarnya telah
menanamkan pendidikan multikultural kepada para santrinya. Hal ini tergambar
dari nilai-nilai keagamaan yang ditanamkan kepada para santri seperti ukhuwah
(persaudaraan), ta’wun (kerjasama), jihad (berjuang). Yang semuanya mengajarkan
persamaan hak manusia. Hal ini sesuai dengan Al-qur’an surat Al-Hujarat ayat 49
bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling
mengenal. Sedangkan orang yang paling mulia di sisi Tuhan adalah orang yang
paling bertaqwa.
Meski
demikian, didalam sebuah pesantren hanya ada satu keragaman dalam beragama,
yakni Islam. Multikulturalisme di pesantren hanya tidak menjangkau dalam ranah
agama karena terkait dengan tujuan pesantren itu sendiri yang mengajarkan yang
mengajarkan agama islam. Meski demikian, justru agama bisa dijadikan media
sebagai pembelajaran pendidikan multikultural secara teoritis dan pembekalan
terhadap para peserta didik terhadap sikap yang demokratis, humanis, dan
pluralis.
Walaupun
non-agama, pesantren sangat terbuka
dengan berbagai perbedaan. Di dalam pessantren, terdapat berbagai peserta didik
yang beragam. Dalam pesantren terdapat para peserta didik yang berbeda-beda
daerah yang membawa adat istiadat mereka masing-masing ke pesantren. Apalagi
pesantren tradisional yang benar-benar menekankan kebersamaan dalam setiap
perbedaan. Sementara ajaran agama (islam) juga mengajarkan untuk menghargai
perbedaan dan anti diskriminasi. Dengan demikian, agama menjadi media dan alat
untuk mengajarkan pendidikan multikultural.
kemudian
masih berkaitan dengan wacana kelas untuk mendorong kerukunan beragama bahwa
interaksi dengan siswa lain dari agama yang berbeda, etnis, dan dari
kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Umumnya kita akan melihat dari segi
persamaan latar belakang saja. Sebagai contoh di sekolah A ada siswa yang
berbeda agama dengan siswa lainya, maka kebanyakan dari kita akan menjauhinya
dengan berbagai alasan dan kesimpulanya si siwsa tersebut akan merasa
termarginalkan di lingkungan sekolahnya sendiri. Sikap apatis kitalah yang
membuat kita merasa paling benar, merasa paling baik di bandingkan kaum
minoritas lainya. Sehingga bagaimana akan timbul suatu keharmonisan apabila
perilaku yang tidak mau menghargai hak orang lain saja kita masih belum bisa
menerimanya.
Guru
merupakan ujung tombak dari pendidikan multikultural. Peran guru sangat
menentukan dalam keberhasilan mendorong pemahaman lintas budaya pada peserta
didik. Apa yang disampaikan guru, cara guru mengajar, dan kepribadian guru
sangat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran (syah, 2000), demikian juga latar
belakang kultural guru turut membentuk persepsi murid terhadap kulturnya.
(Cabello & Burstein, 1995). Guru yang tidak memahami latar belakang
budayanya sendiri dan tidak sensitif budaya atau tidak memiliki pemahaman
lintas budaya tidak bisa diharapkan sukses dalam menerapkan pendidikan
multikultural (Banks,1994). Oleh karena itu sangatlah penting untuk menyiapkan
guru memiliki pemahaman lintas budaya sehingga mampu menyelenggarakan suatu
pendidikan multikultural.
Menurut
KH.Hasyim Asy’ari (pendiri NU/kakek gusdur) berpesan : “sebenarnya Indonesia
ini untuk dijadiakan negara islam sangatlah mudah. Hanya saja Allah justru
berkehendak menampakkan kekuasaanNya terhadap bangsa ini lewat keberagamanya.
Dari suku, bahasa, agama, dan ras yang berbeda-beda itu (Bhineka), Tuhan
menghadirkan islam untuk merangkul mereka semua sebagai perwujudan Rahmatan
Lil’alamin (Tunggal Ika).”
Gus
Dur pencipta lagu Syi'ir Tanpo Waton ini
terkenal sebagai sosok yang penuh kontroversi. Terutama dalam sepak terjangnya
di dunia politik selama menjabat sebagai presiden RI. Salah satu sebutan yang
terkenal dari beliau adalah pandangan masyarakat luar yang mengatakan bahwa Gus Dur adalah Bapak pluralisme . Apa
itu pluralisme? Pada tanggal 28 Juli 2005, MUI menerbitkan fatwa yang melarang
pluralisme. Dalam fatwa tersebut, pluralisme agama,sebagai obyek persoalan yang
ditanggapi, didefinisikan sebagai “ suatu paham yang mengajarkan bahwa semua
agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif, oleh
sebab itu, seorang pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya
sajalah yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan
bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.”
Dengan demikian, MUI menyatakan bahwa pluralisme dalam
konteks yang tertera tersebut bertentangan dengan ajaran Agama Islam.
Kalau MUI yang merupakan induk umat islam di Indonesia melarang
pluralisme lantas mengapa Gus Dur yang merupakan ulama besar disebut sebagai
Bapak pluralisme? Jika merujuk kembali pada pengertian yang dijelaskan MUI
diatas, jelas itu tidak diperbolehkan. Namun bagaimana dengan pluralisme ala
Gus Dur? Dalam hal ini ada definisi lain dari pluralisme yang berarti faham
akan keragaman, bagaimana menghargai segala sesuatu yang beda dalam koridor
yang masih relevan (masih dalam jalur). Positifnya adalah agar negara ini tetap
bersatu padu ‘BHINEKA TUNGGAL IKA.’
Menurut Islamic
Motivation Gus Dur dan pluralisme adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Beliau adalah tokoh yang sangat peduli dengan keberagaman,
perbedaan, dan keaneka ragaman. Ternasuk dalam hal kehidupan agama. Bahkan
beliau juga dekat dengan tokoh-tokoh agama selain agama islam yang beliau anut.
Sering keluar masuk tempat-tempat peribadatan agama lain. Hal inilah yang
seringkali menimbulkan kesalahan penafsiran pluralisme yang Gus Dur ajarkan.
Namun setelah wafatnya beliau, 30 Desember 2009 lalu, orang-orang mulai sadar
akan kebenaran tentang bagaimana cara bertoleransi yang beliau ajarkan.
Pluralisme yang diajarkan Gus Dur adalah murni dari pemikiran
jernih dan didasarkan pada kitab suci Al Quran dan Hadits nabi. Salah satunya
adalah ayat terakhir surat Al Kafirun. Perintah membantu umat lain seperti
membantu pembangunan gereja, juga ada dalam perintah Nabi Muhammad sebagai
bukti sikap Nabi dalam menghormati dan toleransi, sebagaimana yang pernah
dikatakan oleh Quraish Shihab.
Ada pandangan lain mengenai Gus Dur dan Pluralisme yang
menyatakan bahwa Gus Dur Bukanlah bapak pluralisme melainkan bapak humanis,
sebab yang beliau perjuangkan bukan pluralismenya melainkan sisi
kemanusiaannya. Pandangan ini disampaikan oleh Inayah Wulandari Wahid, putri
bungsu Gus Dur sendiri yang ia sampaikan saat peringatan 1000 hari wafatnya Gus
Dur (15 Oktober 2012). Dalam pidatonya ia menuturkan :
"Ketika dia mati-matian membela orang China, Ahmadiyah,
Nasrani, dan orang-orang termarjinalkan lainnya, yang diperjuangkan bukan
Chinanya, bukan Ahmadiyahnya, bukan Nasraninya, melainkan manusianya. Jadi
lebih tepat dikatakan Gus Dur itu tokoh humanis,". Menurut Inayah, Gus Dur
sendiri juga tidak pernah menyebut dirinya pluralis, melainkan humanis.
"Bahkan Gus Dur pernah berpesan agar di pusaranya ditulis 'Di Sini
Dimakamkan seorang Humanis'," ungkap Inayah.
Gus Dur merupakan salah satu dari 4 tokoh yang ketika akhir
hayatnya menggemparkan dunia selama abad ke 21. Ada tokoh-tokoh tersebut adalah
Presiden ke 35 AS, John F Kennedy. Tokoh spiritual dan politikus India, mahatma
Gandhi. Tokoh perjuangan di Iran, Ayatullah Ruhullah Khomeini dan terakhir
Mantan Presiden Republik Indonesia, K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Terlepas dari itu semua, Gus Dur memang merupakan salah satu
tokoh idola. Menurut saya beliaulah orang yang "Indonesia Banget",
yang paling mengerti tentang apa itu Bhineka Tunggal Ika karena beliau
menyadari bahwa kita hidup di negeri yang multi kultur yang tidak akan mungkin
untuk menyatukan keberagaman suku, agama, ras, budaya dan manusia yang ada.
Jalan terbaik untuk itu adalah sikap toleransi kita terhadap adanya perbedaan
tersebut supaya negara tercinta kita ini tetap kokoh berdiri diatas
perbedaan-perbedaan yang ada. Bukanlah perbedaan itu indah?
Penting sekali bagi siswa untuk
mempelajari bagaimana berinteraksi dengan dan memahami orang yang secara etnis,
ras,dan kultural berbeda dari dirinya. Upaya interaksi lintas kultural
seringkali terhalang oleh nilai, harapan dan sikap negatif; kesalahan budaya
(cultural blunders); dan dengan mencoba menentukan aturan etiket sosial (rules
of social etiquette) dari satu sistem budaya terhadap sistem budaya yang lain.
Hasilnya seringkali adalah frustasi, kecemasan, ketakutan, kegagalan dan
permusuhan kelompok antarras dan antaretnik. Pendidikan Multikultural dapat
meredakan ketegangan ini dengan mengajarkan ketrampilan dalam komunikasi lintas
budaya dan dapat membantu siswa mempelajari bagaimana memahami perbedaan budaya
tanpa membuat pertimbangan nilai yang semena-mena tentang nilai intrinsiknya.
Salah satu alasan utama gerakan
untuk memasukkan Pendidikan Multikultural dalam program sekolah adalah untuk
memperbaiki kelalaian dalam penyusunan kurikulum. Tujuan utama Pendidikan
Multikultural adalah mempelajari tentang latar belakang sejarah, bahasa,
karakteristik budaya, sumbangan, peristiwa kritis, individu yang berpengaruh,
dan kondisi sosial, politik, dan ekonomi dari berbagai kelompok etnis mayoritas
dan minoritas. Informasi ini harus komprehensif, analistis, dan komparatif, dan
harus memasukkan persamaan dan perbedaan di antara kelompok-kelompok yang ada.
Ø
Cholis Muchlis
Ø Cabello & Burstein, 1995
Ø Muhaemin, 2004
Ø Islamic Motivation
Ø Mahfud, Choirul. 2011, ”pendidikan multikultural”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ø
Dr. Abdullah Aly,
M. Ag. “Pendidikan Islam Multikultural Di Pesantren”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Ø
Alwasilah,
A. Chaedar.2004. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung. PT
Remaja Rosdakarya.
Judulnya berat tapi ko ga menggunakan referensi dari buku-buku yang mengupas multilingual-multicultral education ya?
ReplyDelete