Literasi Merupakan Tulang Punggung
Kemajuan Peradaban Suatu Bangsa
Dalam disiplin ilmu pendidikan,
kemampuan nalar sejatinya bertaut erat dengan "literasi". Konsep
literasi tak lagi dimaknai secara sempit yang terbatas pada kemampuan baca
tulis. Konsep literasi di sini berkaitan dengan kemampuan memaknai teks seperti
huruf, angka, dan simbol kultural seperti gambar dan simbol secara kritis.
Bahkan, siswa dengan daya literasi tinggi mampu mengolah informasi dari teks
yang dibacanya, kemudian menyimpulkan dan mengambil keputusan atas informasi
tersebut.
Untuk bisa berdaya literasi tinggi,
siswa diandalkan bukan hanya bisa baca dan tulis, melainkan juga aktif dalam
memaknai teks, mengerti fungsi penggunaannya, dan menganalisa teks secara
kritis dan mentransformasi penggunaannya (Luke dan Freebody: Programme for
International Student Assessment). Literasi menjadi poros upaya peningkatan
kualitas hidup manusia. Oleh sebab itu, ia merupakan sumbu pusaran pendidikan.
Dalam sejarah peradaban manusia,
kemajuan suatu bangsa tidak bisa dibangun dengan hanya bermodalkan kekayaan
alam yang melimpah maupun pengelolaan tata negara yang mapan, melainkan berawal
dari peradaban buku atau penguasaan literasi yang berkelanjutan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Kendati begitu, penguasaan literasi yang
tinggi tentunya tidak mengabaikan aspek sosiokultural karena literasi tersebut
merupakan bagian dari kultur atau budaya manusia.
Di sini terdapat pengertian literasi
oleh beberapa ahli. Kirsch dan Jungeblut (1993) dalam bukunya Literacy:
Profiles of America's Young Adults mendefinisikan literasi kontemporer sebagai
kemampuan seseorang dalam memanfaatkan informasi atau cetak untuk mengembangkan
pengetahuan sehingga mendapatkan manfaay bagi masyarakat luas. Menurut Besnier
(dikutip dalam Duranti, 2001) dalam Key Concepts in Language and Culture,
literasi adalah komunikasi melalui inskripsi yang terbaca secara virsual, bukan
melalui saluran pendengaran dan isyarat. Sehingga, budaya literasi bagi segenap
elwmen bangsa merupakan faktor penentu kemajuan yang paling signifikan.
Mendongeng bisa menjadi salah satu
contoh. Oral society ini semakin menguat dengan hadirnya media radio dan
televisi. Jelas, dengan kondisi ini menciptakan budaya literat secara ajek akan
makin sulit terwujud. Terjadi lompatan fase di mana fase bercerita (praliterat)
tidak diselingi dengan fase membaca (literat), tetapi langsung melompat ke
budaya menonton (paskaliterat).
Tidak heran jika masyarakat kita,
anak-anak, termasuk orang tua merasa asing dengan buku. Mereka tentu lebih
hafal nama-nama artis sinetron dan penyanyi di televisi daripada nama penulis
buku. Ditambah lagi, pada dasarnya daya serap melalui pendengaran lebih tinggi
daripada daya baca.
Data dari Association For the
Educational Achievement, mencatat bahwa 1992 Finlandia dan Jepang sudah
termasuk negara tingkat membaca tertinggi di dunia. Sementara itu, dari 30
negara, Indonesia masuk pada peringkat dua dari bawah. Suatu tingkat literasi
yang sangat ironis bila kita bercermin pada negara-negara tetangga di ASEAN
yang sudah terlebih dahulu bangkit dari keterpurukan peradaban.
Budaya literasi merupakan cermin
kemajuan bangsa. Para antropolog bahasa, seperti Lucian Levi-Bruhl, Claude
Levi-Strauss, Walter Ong, dan Jack Goody memandang literasi sebagai titik
pangkal pembeda masyarakat primitif dan masyarakat beradab (Ma'mur 2010:4).
Adapun sederet nama seperti Pramoedya, Hamka, Rendra, Ayip Rosidi, dan Goenawan
Mohammad yang merupakan kaum intelektual yang membumikan gagasannya dengan
pena. Dengan kata lain, mereka merupakan tokoh intelektual yang menggerakan
massa melalui budaya literasi.
Wagner (2000) menegaskan bahwa
tingkat literasi yang rendah berkaitan erat dengan tingginya tingkat drop-out
sekolah, kemiskinan, dan pengangguran. Ketiga kriteria tersebut adalah sebagian
dari indikator rendahnya indeks pembangunan manusia.
Literasi berkaitan dengan sosial,
politik, ekonomi yang mana berpengaruh pada peradaban. Peradaban kaya karena
social securitynya tinggi.
Sebagaimana pembahasan minggu lalu
mengenai rekayasa literasi, yang direkayasa yaitu cara mendekati dan memahami
reading dan writing. Sehingga, yang direkayasa lebih ke strategi membaca dan
menulis.
Menurut Chaedar, semakin banyak
menulis bahasa Inggris maka semakin tinggi vitalitasnya. Chaedar (2012), pada
abad ke 21, kelas standar dunia menuntut setiap orang untuk berliterasi tinggi,
highly numerate (kemampuan dalam matematika), well informed, cakap dalam
belajar, dan percaya diri dan mampu untuk bermain dalam bagian mereka sebagai
warga negara yang democratic society (Michael Barber).
Terdapat 9 elemen academic writing,
yaitu cohesion, clarity, logical order, consistency, unity, conciseness,
completeness, variety dan formality.
Menurut Ken Hyland (2006), literasi merupakan sesuatu yang kita lakukan.
Hamilton (1998), dikutip dalam Hyland (2006:2), memandang literasi sebagai
penempatan aktifitas dalam interaksi antara orang-orang. Hyland pun berpendapat
bahwa akademic literasi menekankan pada cara kita menggunakan bahasa, menunjuk
sebagai praktek literasi, melalui interaksi sosial dan hubungan-hubungan
kekuatan. Akademik yang sukses berarti merepresentasikan diri dengan cara
menghargai kedisiplinan kita, mengadopsi nilai, kepercayaan, dan identitas yang
mana mewujudkan academic discourse.
Kemudian, di sini akan dicantumkan
point-point crucial mengenai bab rekayasa literasi. Literasi adalah peaktik
kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial politik. Definisi baru literasi
terus menjamur sesuai dengan tuntutan "zaman edan" sehingga tuntutan
mengenai perubahan pengajaran pun tidak bisa dihindari. Model literasi ala
Freebody and Luke (2003): breaking the codes of texts; participating in the
meanings of text; using texts functionally; critically analysing dan
transforming texts. Prof. Alwasilah meringkas lima ayat di atas menjadi:
memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, mentransformasi.
Rujukan literasi tersebut terus
berevolusi, sedangkan rujukan linguistik relatif konstan. Studi literasi
tumpang tindih (overlapping) dengan objek studi budaya dengan dimensinya yang
luas. Pendidikan yang berkualitas tinggi pasti menghasilkan literasi yang
tinggi pula, begitu pun sebaliknya. Reading, writing, arithmetic, dan reasoning
merupakan modal hidup. Ujung tombak pendidikan adalah guru. Reakayasa literasi
adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik
dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Penguasaan bahasa adalah
pintu masuk menuju ke pendidikan dan pembudayaan. Rekayasa literasi yaitu
merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi rekayasa
literasi. Orang literat tidak sekadar berbaca-tulis tetapi juga terdidik dan
mengenal sastra.
Jadi, literasi bukan hanya kemampuan
membaca dan menulis. Akan tetapi, oramg yang berliterasi harus mampu mengolah
informasi dari teks yang dibacanya, kemudian menyimpulkan dan mengambil
keputusan atas informasi tersebut. Kemajuan suatu bangsa tidak hanya
bermodalkan kekayaan alam, tetapi juga peradaban buku atau penguasaan
literasinya. Di Indonesia ini, masyarakatnya lebih ke budaya menonton budaga
literatnya. Sehingga, tidak heran jika masyarakat kita merasa asing dengan
buku. Maka haruslah kita menyadari pentingnya literasi itu untuk membangun
peradaban bangsa kita agar menjadi lebih baik lagi.
0 comments:
Post a Comment