Masih
ingatkah Anda mengenai konflik Ambon yang mengagetkan kita? Baiklah, sedikit
menginformasikan awal mula konflik ini muncul. Peristiwa ini terjadi pada bulan
Januari 1999, sebuah tragedi kemanusiaan yang disebabkan oleh tindakan kriminal
yang meledak menjadi kerusuhan. Ini merupakan sebuah rekayasa yang direncanakan
oleh beberapa orang atau kelompok demi kepentingannya dengan mempergunakan isu
“sara’. Konflik ini merenggut korban jiwa yang tidak sedikit dan pastinya telah
membawa penderitaan dalam bentuk kemiskinan bagi rakyat Maluku, khususnya kota
Ambon.
Ambon
menjadi medan perang. Segregasi yang telah berlangsung lama sejak tahun
1970-an akhirnya meledak. Suasana semakin mencekam dengan berkembangnya isu
pertikaian antar sesama warga Ambon (Maluku) khususnya yang beragama Islam dan
Kristen. Warga Kristen melakukan penyerangan ke lokasi yang mayoritas dihuni
oleh warga Muslim dan sebaliknya. Timbulnya peperangan ini banyak menewaskan
korban jiwa dan membumihanguskan perkampungan dan menjarah rumah serta
harta-harta milik penduduk di tanah Maluku. Kabar berita kekerasan menyebar
begitu cepat, foto-foto pembantaian beredar di media. Persis seperti apa yang
kita saksikan dari Palestina. Seruan jihad menggema dari mana-mana.
Astaghfirullah… Tak disangka, hal ini bisa terjadi di negeri
tercinta ini. Bangsa lain menilai kita sebagai bangsa yang ramah, namun
ternyata persepsi itu salah. Di nusantara sering terjadi konflik sosial dalam
masyarakat. Padahal Indonesia sangat indah dengan perbedaan yang di milikinya.
Seharusnya, perbedaan yang ada dapat memperkaya rasa saling percaya, saling
menghormati, saling berbagi, dan mengenal satu dengan yang lainnya dalam
kehidupan bermasyarakat. Bagaimana pun juga, dengan perbedaan-perbedaan yang
ada semestinya kita tetap dapat hidup rukun dan berdampingan, serta menanamkan
toleransi dalam bermasyarakat.
Toleransi atau sikap tenggang rasa memang sangat dibutuhkan
dalam kehidupan bermasyarakat. Toleransi adalah pilihan tepat untuk menghadapi
perbedaan entah itu perbedaan pendapat, perbedaan prinsip, maupun perbedaan
agama. Toleransi beragama berarti sikap manusia sebagai umat yang beragama dan
mempunyai keyakinan, untuk menghormati dan menghargai manusia yang beragama
lain dalam kehidupan bermasyarakat.
Di Indonesia pelanggaran toleransi dalam beragama masih
banyak terjadi misalnya perkelahian, peneroran, penghinaan dan diskriminasi
antar umat beragama. Larangan pendirian rumah ibadah, larangan kegiatan rohani
untuk agama tertentu, pengeboman rumah ibadah dan sebagainya. Tidak adanya
toleransi dalam beragama di Indonesia sering dilakukan dengan sikap tercela.
Oknum-oknum tersebut melakukan tindak kekerasan untuk mempertahankan ego dan
pendirian mereka sebagai umat agama tertentu. Seperti kejadian pengusiran warga
syiah di Sampang, Madura. Warga syiah di paksa meninggalkan Gor Sampang yang
selama ini dijadikan tempat pengungsian, pasca-kerusuhan di Desa Karang Gayam
Kecamatan Omben pada Agustus 2012 lalu. Perbuatan ini dilakukan oleh
warga anti-syiah yang beranggapan ajaran syiah adalah ajaran sesat dan harus
diusir dari Sampang. Peristiwa ini adalah salah satu potret buram Indonesia
dimana toleransi beragama masih sangat minim.
Sebagai warga negara yang baik, kita harus menjunjung tinggi
nilai toleransi terhadap perbedaan sesuai dengan slogan Bhinneka Tunggal Ika
“Berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Agama boleh berbeda tetapi kita
tetap satu bangsa yaitu Indonesia. Pemerintah Indonesia sudah berupaya
keras untuk menghadapi perbedaan yang ada. Undang Undang Dasar 1945 pasal 29
ayat 2 disebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.” Untuk itu kita harus menanamkan sikap toleransi
untuk menjaga kerukunan bangsa kita.
Dalam wacananya yang berjudul Classroom Discourse to
Foster Religious Harmony Pak Chaedar berkata bahwa “Jika Anda ingin
mengetahui kualitas suatu bangsa , dapat dilihat dari kualitas dan praktek sistem pendidikannya . Hampir semua
negara maju menyadari link ini dan dengan demikian membentuk sistem pendidikan
yang baik .” Saya setuju
dengan pernyataan beliau karena kualitas suatu bangsa memang dapat dilihat dari
kualitas dan praktek sistem pendidikannya. Sistem pendidikan yang baik adalah
sistem pendidikan yang tidak hanya sekedar menawarkan aspek intelektual saja,
akan tetapi mencakup nilai-nilai kemanusiaan juga.
Oleh karena itu nilai-nilai kemanusiaan (khususnya
toleransi) penting untuk ditanamkan sejak dini terutama dalam pendidikan dasar,
agar generasi penerus bangsa terhindar dari penyakit sosial seperti tawuran
pelajar, bentrokan pemuda dan bentuk radikalisme lainnya. Berbagai penelitian telah menunjukkan
bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan
rekan-rekan mereka. Dalam konteks
sekolah, itu adalah hubungan di mana mereka saling menghormati rekan, saling membantu, berbagi,
dan pada umumnya mereka bersikap sopan terhadap
satu sama lain . Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting
dalam teori pembangunan sosial (Rubin , 2009).
Sebuah laporan penelitian oleh
Apriliaswati ( 2011 ) menyimpulkan bahwa interaksi teman sebaya dalam dukungan
kelas wacana sipil yang positif di kalangan siswa . Interaksi rekan dalam studi
sosial, kelas Indonesia dan Pancasila tidak berperilaku mengganggu jika guru mengelola secara efektif. Oleh karena
itu, disarankan agar mempromosikan interaksi sebaya harus dilaksanakan sebagai
salah satu kegiatan rutin kelas. Siswa harus diberi kesempatan untuk
berinteraksi dengan satu sama lain melalui tugas-tugas kelompok untuk berlatih
mendengarkan penuh perhatian, berdebat dengan rasa hormat dan mengorbankan suara untuk
mempersiapkan mereka hidup sebagai anggota fungsional dari suatu masyarakat
yang demokratis.
Data dari studi Ariliaswati diperoleh dalam penelitian
tindakan tiga siklus yang dilakukan dengan kelas kelas empat dari 43 siswa di
sebuah sekolah dasar di Pontianak, kota di mana bentrokan antaretnis telah
terjadi cukup sering. Studi ini membuktikan bahwa sekolah harus berfungsi
sebagai laboratorium untuk latihan masyarakat sipil. Sebagai siswa SD,
anak-anak yang belum mampu memberikan alasan informasi dan bukti dari argumen
mereka tapi bisa mengekspresikan kesepakatan dan ketidaksepakatan dengan cara
yang sopan. Selain itu, para siswa tampak percaya satu sama lain, sehingga
kompromi dan konsensus dapat dicapai dengan cara sipil.
Studi Aprilliaswati mengajarkan kepada
kita bahwa pendidikan harus mengembangkan tidak hanya penalaran ilmiah, tetapi
juga wacana sipil positif. Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam
mengembangkan warga intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat
penting untuk menciptakan warga negara yang beradab. Guru SD harus
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu , interaksi
dengan siswa lain dari agama yang berbeda , etnis dan dari kelompok-kelompok
sosial yang berbeda
Berkaitan
dengan hal ini, pendidikan multikultural merupakan satu alternatif melalui
penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan
keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman
etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan
lain-lain. Karena itulah yang terpenting dalam pendidikan multikultural adalah
seorang guru atau dosen tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara
profesional mengajarkan mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Lebih
dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari
pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau
menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Sehingga, out-put
yang dihasilkan dari sekolah/universitas tidak hanya cakap sesuai dengan
disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai
keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan kepercayaan
lain.
Kesatuan dan persatuan bangsa saat ini sedang diuji
eksistensinya. Praktek kekerasan yang mengatasnamakan agama, dari
fundamentalisme, radikalisme, hingga terorisme, akhir-akhir ini semakin marak
di tanah air. Berbagai indikator yang memperlihatkan adanya tanda-tanda
perpecahan bangsa, dengan transparan mudah kita baca. Konflik di Ambon, Papua,
maupun Poso, seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu bisa meledak, walaupun
berkali-kali bisa diredam. Peristiwa tersebut, bukan saja telah banyak merenggut
korban jiwa, tetapi juga telah menghancurkan ratusan tempat ibadah (baik masjid
maupun gereja).
Bila kita amati, agama seharusnya dapat menjadi pendorong
bagi umat manusia untuk selalu menegakkan perdamaian dan meningkatkan
kesejahteraan bagi seluruh manusia di bumi ini. Namun, realitanya agama justru
menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasanan dan kehancuran umat
manusia. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya preventif agar masalah
pertentangan agama tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang. Misalnya,
dengan mengintensifkan forum-forum dialog antar umat beragama dan aliran
kepercayaan (dialog antar agama), membangun pemahaman keagamaan yang lebih
pluralis dan inklusif, dan memberikan pendidikan tentang pluralisme dan
toleransi beragama melalui sekolah (lembaga pendidikan).
Di sisi lain, pendidikan agama yang diberikan di
sekolah-sekolah pada umumnya juga tidak menghidupkan pendidikan multikultural
yang baik, bahkan cenderung berlawanan. Akibatnya konflik sosial seringkali
diperkeras oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan
agama di sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Hal ini membuat konflik
mempunyai akar dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik
sosial kekerasan semakin sulit diatasi, karena dipahami sebagai bagian dari
panggilan agamanya.
Realita tersebut menunjukkan bahwa pendidikan agama baik di
sekolah umum maupun sekolah agama lebih bercorak eksklusive, yaitu agama
diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama lain, seakan-akan hanya
agamanya sendiri yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain
salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun
minoritas. Seharusnya pendidikan agama dapat dijadikan sebagai wahana untuk
mengembangkan moralitas universal yang ada dalam agama-agama sekaligus
mengembangkan teologi inklusif dan pluralis. Berkaitan dengan hal ini, maka
penting bagi institusi pendidikan dalam masyarakat yang multikultur untuk
mengajarkan perdamaian dan resolusi konflik seperti yang ada dalam pendidikan
multikultural.
Akar pendidikan multikultural, berasal dari perhatian
seorang pakar pendidikan Amerika Serikat Prudence Crandall (18-3-1890) yang
secara intensif menyebarkan pandangan tentang arti penting latar belakang
peserta didik, baik ditinjau dari aspek budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan
yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik
merupakan cikal bakal bagi munculnya pendidikan multikultural.
Secara terminologi, pendidikan multikultural berarti proses
pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan
heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran
(agama). Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam
pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses
sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki
penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat
manusia.
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan
bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas
sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan
masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya
mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang
dialaminya. Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan
respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan
persamaan hak bagi setiap kelompok. Dan secara luas pendidikan multikultural
itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti
gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Selanjutnya James Bank, salah seorang pioneer dari
pendidikan multikultural dan telah membumikan konsep pendidikan multikultural
menjadi ide persamaan pendidikan mengatakan bahwa substansi pendidikan
multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan (as education for freedom)
sekaligus sebagai penyebarluasan gerakan inklusif dalam rangka mempererat
hubungan antar sesama (as inclusive and cementing movement).
Melihat dan memperhatikan pengertian pendidikan
multikultural di atas, dapat diambil beberapa pemahaman, antara lain; pertama,
pendidikan multikultural merupakan sebuah proses pengembangan yang berusaha
meningkatkan sesuatu yang sejak awal atau sebelumnya sudah ada. Karena itu,
pendidikan multikultural tidak mengenal batasan atau sekat-sekat sempit yang
sering menjadi tembok tebal bagi interaksi sesama manusia;
Kedua,
pendidikan multikultural mengembangkan seluruh potensi manusia, meliputi,
potensi intelektual, sosial, moral, religius, ekonomi, potensi kesopanan dan
budaya. Sebagai langkah awalnya adalah ketaatan terhadap nilai-nilai luhur
kemanusiaan, penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang, penghargaan
terhadap orang-orang yang berbeda dalam hal tingkatan ekonomi, aspirasi
politik, agama, atau tradisi budaya.
Ketiga,
pendidikan yang menghargai pluralitas dan heterogenitas. Pluralitas dan
heterogenitas adalah sebuah keniscayaan ketika berada pada masyarakat sekarang
ini. Dalam hal ini, pluralitas bukan hanya dipahami keragaman etnis dan suku,
akan tetapi juga dipahami sebagai keragaman pemikiran, keragaman paradigma,
keragaman paham, keragaman ekonomi, politik dan sebagainya. Sehingga tidak
memberi kesempatan bagi masing-masing kelompok untuk mengklaim bahwa
kelompoknya menjadi panutan bagi pihak lain. Dengan demikian, upaya pemaksaan
tersebut tidak sejalan dengan nafas dan nilai pendidikan multikultural.
Keempat,
pendidikan yang menghargai dan menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, suku
dan agama. Penghormatan dan penghargaan seperti ini merupakan sikap yang sangat
urgen untuk disosialisasikan. Sebab dengan kemajuan teknologi telekomunikasi,
informasi dan transportasi telah melampaui batas-batas negara, sehingga tidak
mungkin sebuah negara terisolasi dari pergaulan dunia. Dengan demikian,
privilege dan privasi yang hanya memperhatikan kelompok tertentu menjadi tidak
relevan. Bahkan bisa dikatakan “pembusukan manusia” oleh sebuah kelompok.
Secara garis besar, paradigma pendidikan multikultural
diharapkan dapat menghapus streotipe, sikap dan pandangan egoistik,
individualistik dan eksklusif di kalangan anak didik. Sebaliknya, dia
senantiasa dikondisikan ke arah tumbuhnya pandangan komprehensif terhadap sesama,
yaitu sebuah pandangan yang mengakui bahwa keberadaan dirinya tidak bisa
dipisahkan atau terintegrasi dengan lingkungan sekeliling yang realitasnya
terdiri atas pluralitas etnis, rasionalisme, agama, budaya, dan kebutuhan. Oleh
karena itu, cukup proporsional jika proses pendidikan multikultural diharapkan
membantu para siswa dalam mengembangkan proses identifikasi (pengenalan) anak
didik terhadap budaya, suku bangsa, dan masyarakat global. Pengenalan
kebudayaan maksudnya anak dikenalkan dengan berbagai jenis tempat ibadah,
lembaga kemasyarakatan dan sekolah. Pengenalan suku bangsa artinya anak dilatih
untuk bisa hidup sesuai dengan kemampuannya dan berperan positif sebagai salah
seorang warga dari masyarakatnya. Sementara lewat pengenalan secara global
diharapkan siswa memiliki sebuah pemahaman tentang bagaimana mereka bisa
mengambil peran dalam percaturan kehidupan global yang dia hadapi.
Berbicara mengenai keberagaman agama, Indonesia mempunyai
lima tempat ibadah dalam satu lokasi tepatnya di Puja Mandala, Nusa Dua-Bali.
Disitu terdapat lima tempat ibadah yang saling berdampingan yaitu Masjid,
Gereja Katholik, Vihara, Gereja Protestan dan Pura. Kita dapat menyaksikan
secara langsung cermin Bhinneka Tunggal Ika secara nyata. Sungguh indah memang
jika bangsa Indonesia menerapkan toleransi dan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, mungkin hidup kita akan tentram dan damai tanpa adanya konflik
sosial yang dapat menyebabkan perpecahan bangsa Indonesia.
Hidup rukun adalah sebagai terminal sosial untuk mengantarkan
kehidupan yang aman dan damai. Hidup yang aman dan damai sebagai iklim sosial
yang dibutuhkan untuk menumbuhkan nilai-nilai spiritual dan nilai material
secara seimbang dan kontinue. Nilai-nilai spiritual dan nilai meterial yang
seimbang dan kontinue itu dibutuhkan untuk membangun manusia yang utuh dan
berkualitas. Salah satu aspek yang dapat menimbulkan gangguan kerukunan sosial
adalah pluralisme di bidang agama. Dengan mengembangkan sikap Religious
Literacy kesalahpahaman akan pluralisme agama akan semakin dapat diatasi.
Menurut Pak Chaedar dalam wacananya yang berjudul Bahasa dan
Dialog Agama bahwa “masing-masing agama adalah ahli waris yang sah di Nusantara
ini, wajar saja bila setiap agama menuntut diperlakukan “fair” dalam
menjalankan fungsi dan misi keagamaanya. Yang sulit adalah bahwa, seringkali
justru agama sebagai kekayaan individual yang mendominasi alam pikiran dan
emosi kita ketimbang agama sebagai kekayaan masyarakat dan aset bangsa. Mereka
yang pandai menjaga keseimbangan antara dua kutub kepentingan inilah yang
paling siap untuk bertenggang rasa dan merasa malu untuk memaksakan keyakinan
sendiri pada pemeluk agama lain. Bagaimanakah keseimbangan ini mungkin tertanam
pada setiap individu? Jawabanya yaitu lewat dialog.”
Salah satu tujuan dialog umumnya mencarikan solusi berbagai
permasalahan yang timbul di lapangan menyangkut konflik yang sering terjadi
dalam kehidupan antara umat yang berbeda agama. Religious Literacy tidak
saja diupayakan dalam dialog-dialog antara umat yang berbeda agama, namun
hendaknya juga ditumbuhkan sendiri oleh masing-masing umat beragama terutama
oleh tokoh-tokohnya. Toleransi itu hendaknya ditumbuhkan dari dalam diri
sendiri sebagai suatu kebutuhan hidup dalam masyarakat yang pluralistis.
Kita harus merasa bangga akan tanah air kita dan juga kita
harus bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena kita telah dikaruniai tanah
air yang indah dengan aneka ragam kekayaan alam yang berlimpah ditambah lagi
beraneka ragam suku, ras, adat istiadat, budaya, bahasa, serta agama dan
lain-lainnya. Kondisi bangsa Indonesia yang pluralistis menimbulkan
permasalahan tersendiri, seperti masalah agama, paham separatisme, tawuran
ataupun kesenjangan sosial. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, kerukunan
hidup antar umat beragama harus selalu dijaga dan dibina. Kita tidak ingin
bangsa Indonesia terpecah belah dan saling bermusuhan satu sama lain karena
masalah agama. Toleransi antar umat beragama bila kita bina dengan baik akan
dapat menumbuhkan sikap hormat menghormati antar pemeluk agama sehingga
tercipta suasana yang tenang, damai dan tenteram dalam kehidupan beragama
termasuk dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya melalui
toleransi diharapkan terwujud ketenangan, ketertiban serta keaktifan menjalankan
ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing. Dengan sikap saling
menghargai dan saling menghormati itu akan terbina kehidupan yang rukun,
tertib, dan damai.
Mulai saat ini kita perlu belajar dan menyadari bahwa setiap
manusia itu diciptakan berbeda namun kita harus menghargai perbedaan tersebut.
Kerukunan antar umat beragama akan selalu terpelihara dan terjuwud apabila
masing-masing umat beragama dapat mematuhi aturan-aturan ajaran agamanya maupun
aturan negara atau pemerintah. Umat beragama tidak diperkenankan membuat aturan
sendiri yang memicu terjadinya konflik antar umat beragama. Indonesia adalah
negara multikultural namun kita harus tetap menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa kita. Jadikan perbedaan tersebut menjadi kekuatan bangsa kita, tegakkan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan menanamkan sikap toleransi kehidupan kita
akan lebih tentram dan persatuan bangsa Indonesia akan terwujud, walaupun agama
berbeda namun kita tetap satu yaitu “bangsa Indonesia."
Referensi
Alwasilah, A. Chaedar. 2012. Pokoknya
Rekayasa Literasi. Bandung. PT Kiblat Buku Utama
Alwasilah, A. Chaedar. 2004.
Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Rosdakarya
Artikel ini bercitarasa 'wartawan' kayanya karena kamu memulainya dengan pertanyaan di awal. keterhubungan antara kelas sebagai situs penting penyemai dan penjaga nilai nilai dasar bagi kemanusiaan mestinya dapat porsi lebih dulu
ReplyDelete